Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid.
"Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami.
“Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.”
Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku.
“Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan."
“Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak. Di sini aku yang memang salah. Seharusnya aku tidak menimbang perasaan siapapun, aku hanya berusaha tidak menyakiti kalian, tetapi nyatanya ada hati yang dirugikan. Terutama kamu, Nisa.”
Aku semakin sesenggukan, kupeluk erat pingga suamiku yang begitu aku cinta. Ya Allah, berat sekali hati ini. Kuatkan hambamu ini menjadi istri kedua dari suami yang mencoba adil. Semoga buah kesabaranku menghasilkan kebahagiaan bagi kami semua.
***
“Aku gak bisa protes apapun. Siska berhak miliki Farid juga,” kataku pada ustadzah yang menjadi guru serta penasihatku. Kala itu aku duduk di karpet masjid setelah acara pengajian mingguan.
“Kamu harus bisa tegas, Nisa, bagaimana juga Farid salah karena berbohong menyembunyikan status pernikahannya dengan Siska dan sekarang kamu yang kena getahnya. Kamu bisa tuntut Farid ke jalur hukum juga.”
Aku menggeleng, “aku gak mau, ustadzah. Dia suami yang aku cinta dan juga ayah dari kedua putriku,” kataku lirih. Aku mendengar hela napas panjang ustadzah, lalu ia menggenggam tanganku, seketika kepalaku terangkat menatapnya yang memakai cadar warna hitam.
“Nisa, begini. Aku tidak mau menggurui atau memberi nasehat yang memang kamu tidak mau lakukan. Tetapi, aku hanya memberi saran, karena kamu juga punya hak bahagia. Jadi, begini, Nisa … kamu, boleh meminta hak kepada Farid untuk pulang ke rumahmu juga, untuk bertemu denganmu dan kedua anak-anak juga. Kalau pun Siska melarang, itu akan menjadi urusan Farid. Di situ akan terlihat apakah suamimu bisa berlaku adil dan bijak atau tidak. Jika tidak, kamu boleh protes karena Farid tidak bisa adil kepada kalian berdua. Jangan memendam apa yang kamu rasakan, Nisa, kamu posisinya benar.”
Aku menangis, hah … benar sekali ucapannya. Apakah aku bisa melepaskan suamiku jika memang aku merasakan ketidak adilan dirinya dalam berbagi waktu?
“Tidak mudah poligami. Maka itu, seorang lelaki yang mau melakukannya harus dipikirkan dengan sebaik mungkin karena banyak sekali yang harus dibagi adil.” Aku mengangguk, kembali membenarkan ucapan ustadzah. Kututup wajah dengan kedua telapak tangan, tumpah air mataku, sesak napasku. Ustadzah memelukku erat. “Ceritakan kegundahanmu ini ke Allah ya, Nis, rajinkan tahajudmu, istikharahmu, lalu bahas dengan anak-anak karena sudah besar.” Pelukan terlepas. Aku begitu sesenggukan.
“Ini bukan pernikahan gagal karena masalah ketidak cocokan kalian, tapi lebih karena kamu tidak nyaman diperlakukan tidak adil. Semoga kamu bisa terus sabar, ikhlas dan mendapat keputusan baik untuk rumah tanggamu, ya. Saya doakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian.”
Kami berjalan keluar dari masjid bersama-sama. Tiba dipelataran masjid, aku melihat satu mobil terparkir, lalu seorang pria dengan pakaian koko rapi dengan kain sarung dan peci hitam berjalan setelah keluar dari mobilnya. Segera kujaga pandangan dengan menundukkan kepala, tetapi langkah kaki ustadzah terhenti.
“Assalamualaikum, Ilham, kapan pulang dari luar kota?”
“Waalaikumsalam, Kak. Baru semalam. Kak Tyas apa kabar?”
“Baik. Abi tanyain kamu, mampir ke rumah kalau bisa, ya.”
“Iya, Kak. Ilham ke dalam dulum.”
“Oh, iya, janjian sama Ustadz Ridwan, ya?”
“Iya.”
“Yaudah, salam untuk Abi dan Umma kamu, ya. Maaf Kakak belum sempat main ke rumah.”
“Iya, Insyaa Allah disampaikan. Kak Tyas sibuk ceramah sama ngajar Ta'lim, 'kan. Salam untuk keluarga semua ya, Kak, Assalamualaiku.”
“Waalaikumsalam,” balas ustadzah. Aku masih menunduk hingga ustadzah menyenggol bahuku. “Ilham sudah pergi jauh,” bisiknya.
Aku mengangkat kepala, tersenyum tipis. Kami lanjut berjalan kaki, karena kebetulan rumah kami berdekatan hanya beda tiga rumah ke samping kiri.
“Ilham itu pemalu, jarang interaksi sama orang diluar rumah atau keluarga. Apalagi main kelayaban. Kamu kalau belum menikah, saya jodohin sama adik sepupu saya itu, Nis. Usianya lebih tua setahun dari kamu, kerja di perusahaan sawit yang ada di sumatera, tapi sekarang dipindah ke Jakarta karena dia jago keuangan.”
“Ustadzah kok gitu bilangnya. Ustadzah kan tau aku cinta sama Farid.”
“Iya, tetapi kadang karena terlalu cinta jadinya kamu tidak bisa berpikir mana cinta karena Allah atau karena nafsu dan takut omongan tetangga juga keluarga.”
Astaghfirullah, mengapa ucapan ustadzah jujur sekali. Kini aku hanya bisa diam. Bicara dengan beliau yang paham hukum, hak serta kewajiban suami istri dalam islam, membuatku mendapatkan banyak keterkejutan yang disampaikan oleh beliau dengan cara yang tidak tegas, seringnya bercanda atau menyindir halus sehingga begitu mengena dihati dan pikiranku.
“Ustadzah, sebelum kita berpisah karena ke rumah masing-masing, ada satu pertanyaan yang dari tadi aku pikirkan,” ucapku saat kami tiba di depan pagar rumahnya.
“Iya, mau tanya apa, Nis?” Ia memutar tubuh berdiri menghadapku.
“Untuk sikapku ke Siska, apa boleh aku bilang tegas ke dia jika Farid adalah suamiku juga dan aku berhak memintanya ada bersama aku dan anak-anak?”
“Boleh. Tetapi dengan yabayun, bicara dengan baik, jika dia keras hati juga sikapnya tidak mengenakan, kamu sabar tapi tetap mempertahankan permintaanmu. Saat bicara, Farid harus ada, kalian bertemu bertiga, ya.”
Ah, sama sekali aku tidak terpikir untuk kami bertemu bertiga, memang harusnya dilakukan sejak lama bukan malah Farid menyembunyikanku. Saran ustadzah Tyas memberiku secercah harapan tentang rumah tanggaku supaya berjalan baik. Warga di sekitar rumah tidak ada yang tau statusku kecuali ustdazah Tyas sehingga kondisi emosi juga batinku dan anak-anak masih terjaga baik.
Saat aku tiba di depan rumah, terlihat paket tergeletak diatas kursi teras. Bentuk paket itu seperti dokumen, ditujukan kepadaku dengan pengirim atas nama Siska. Dengan cepat jemariku membuka isi amplop coklat itu, lembaran foto terdapat di dalamnya. Satu persatu kukeluarkan. Foto Farid dengan Siska, yang jika kulihat sejak mereka pacaran lalu menikah. Ada satu surat yang Siska kirimkan ke aku juga.
Amplop lama, tulisan tangan suamiku. Perlahan aku baca isi surat, tertulis bagaimana Farid memuja Siska dan begitu jelas terlihat ia mencintai wanita itu dnegan sangat besar. Perasaanku kembali nyeri, mendapati pria yang kucintai memiliki cinta yang besar kepada wanita lain walaupun itu istri sahnya. Melihat wajah berseri Farid ditiap lembar foto tersebut, rasa tak tegaku muncul kepada Siska, bagaimanapun juga ia perempuan yang pasti punya rasa cembruu, lalu bagaimana denganku, salahkah aku cemburu juga?
bersambung,
Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. "Selamat sore," apa pelayan. "Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Sisk
Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. “Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. “Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. “Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. “Arin mana?” bisik mama. “Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. “Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. “Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag seba
“Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen
Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam
Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi
“T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa