Share

H.5

Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid. 

"Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami. 

“Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.” 

Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku. 

“Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan." 

“Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak. Di sini aku yang memang salah. Seharusnya aku tidak menimbang perasaan siapapun, aku hanya berusaha tidak menyakiti kalian, tetapi nyatanya ada hati yang dirugikan. Terutama kamu, Nisa.” 

Aku semakin sesenggukan, kupeluk erat pingga suamiku yang  begitu aku cinta. Ya Allah, berat sekali hati ini. Kuatkan hambamu ini menjadi istri kedua dari suami yang mencoba adil. Semoga buah kesabaranku menghasilkan kebahagiaan bagi kami semua. 

***

“Aku gak bisa protes apapun. Siska berhak miliki Farid juga,” kataku pada ustadzah yang menjadi guru serta penasihatku. Kala itu aku duduk di karpet masjid setelah acara pengajian mingguan. 

“Kamu harus bisa tegas, Nisa, bagaimana juga Farid salah karena berbohong menyembunyikan status pernikahannya dengan Siska dan sekarang kamu yang kena getahnya. Kamu bisa tuntut Farid ke jalur hukum juga.” 

Aku menggeleng, “aku gak mau, ustadzah. Dia suami yang aku cinta dan juga ayah dari kedua putriku,” kataku lirih. Aku mendengar hela napas panjang ustadzah, lalu ia menggenggam tanganku, seketika kepalaku terangkat menatapnya yang memakai cadar warna hitam. 

“Nisa, begini. Aku tidak mau menggurui atau memberi nasehat yang memang kamu tidak mau lakukan. Tetapi, aku hanya memberi saran, karena kamu juga punya hak bahagia. Jadi, begini, Nisa … kamu, boleh meminta hak kepada Farid untuk pulang ke rumahmu juga, untuk bertemu denganmu dan kedua anak-anak juga. Kalau pun Siska melarang, itu akan menjadi urusan Farid. Di situ akan terlihat apakah suamimu bisa berlaku adil dan bijak atau tidak. Jika tidak, kamu boleh protes karena Farid tidak bisa adil kepada kalian berdua. Jangan memendam apa yang kamu rasakan, Nisa, kamu posisinya benar.” 

Aku menangis, hah … benar sekali ucapannya. Apakah aku bisa melepaskan suamiku jika memang aku merasakan ketidak adilan dirinya dalam berbagi waktu? 

“Tidak mudah poligami. Maka itu, seorang lelaki yang mau melakukannya harus dipikirkan dengan sebaik mungkin karena banyak sekali yang harus dibagi adil.” Aku mengangguk, kembali membenarkan ucapan ustadzah. Kututup wajah dengan kedua telapak tangan, tumpah air mataku, sesak napasku. Ustadzah memelukku erat. “Ceritakan kegundahanmu ini ke Allah ya, Nis, rajinkan tahajudmu, istikharahmu, lalu bahas dengan anak-anak karena sudah besar.” Pelukan terlepas. Aku begitu sesenggukan. 

“Ini bukan pernikahan gagal karena masalah ketidak cocokan kalian, tapi lebih karena kamu tidak nyaman diperlakukan tidak adil. Semoga kamu bisa terus sabar, ikhlas dan mendapat keputusan baik untuk rumah tanggamu, ya. Saya doakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian.” 

Kami berjalan keluar dari masjid bersama-sama. Tiba dipelataran masjid, aku melihat satu mobil terparkir, lalu seorang pria dengan pakaian koko rapi dengan kain sarung dan peci hitam berjalan setelah keluar dari mobilnya. Segera kujaga pandangan dengan menundukkan kepala, tetapi langkah kaki ustadzah terhenti. 

“Assalamualaikum, Ilham, kapan pulang dari luar kota?” 

“Waalaikumsalam, Kak. Baru semalam. Kak Tyas apa kabar?” 

“Baik. Abi tanyain kamu, mampir ke rumah kalau bisa, ya.” 

“Iya, Kak. Ilham ke dalam dulum.” 

“Oh, iya, janjian sama Ustadz Ridwan, ya?” 

“Iya.” 

“Yaudah, salam untuk Abi dan Umma kamu, ya. Maaf Kakak belum sempat main ke rumah.”

“Iya, Insyaa Allah disampaikan. Kak Tyas sibuk ceramah sama ngajar Ta'lim, 'kan. Salam untuk keluarga semua ya, Kak, Assalamualaiku.” 

“Waalaikumsalam,” balas ustadzah. Aku masih menunduk hingga ustadzah menyenggol bahuku. “Ilham sudah pergi jauh,” bisiknya. 

Aku mengangkat kepala, tersenyum tipis. Kami lanjut berjalan kaki, karena kebetulan rumah kami berdekatan hanya beda tiga rumah ke samping kiri. 

“Ilham itu pemalu, jarang interaksi sama orang diluar rumah atau keluarga. Apalagi main kelayaban. Kamu kalau belum menikah, saya jodohin sama adik sepupu saya itu, Nis. Usianya lebih tua setahun dari kamu, kerja di perusahaan sawit yang ada di sumatera, tapi sekarang dipindah ke Jakarta karena dia jago keuangan.” 

“Ustadzah kok gitu bilangnya. Ustadzah kan tau aku cinta sama Farid.” 

“Iya, tetapi kadang karena terlalu cinta jadinya kamu tidak bisa berpikir mana cinta karena Allah atau karena nafsu dan takut omongan tetangga juga keluarga.” 

Astaghfirullah, mengapa ucapan ustadzah jujur sekali. Kini aku hanya bisa diam. Bicara dengan beliau yang paham hukum, hak serta kewajiban suami istri dalam islam, membuatku mendapatkan banyak keterkejutan yang disampaikan oleh beliau dengan cara yang tidak tegas, seringnya bercanda atau menyindir halus sehingga begitu mengena dihati dan pikiranku. 

“Ustadzah, sebelum kita berpisah karena ke rumah masing-masing, ada satu pertanyaan yang dari tadi aku pikirkan,” ucapku saat kami tiba di depan pagar rumahnya. 

“Iya, mau tanya apa, Nis?” Ia memutar tubuh berdiri menghadapku. 

“Untuk sikapku ke Siska, apa boleh aku bilang tegas ke dia jika Farid adalah suamiku juga dan aku berhak memintanya ada bersama aku dan anak-anak?” 

“Boleh. Tetapi dengan yabayun, bicara dengan baik, jika dia keras hati juga sikapnya tidak mengenakan, kamu sabar tapi tetap mempertahankan permintaanmu. Saat bicara, Farid harus ada, kalian bertemu bertiga, ya.” 

Ah, sama sekali aku tidak terpikir untuk kami bertemu bertiga, memang harusnya dilakukan sejak lama bukan malah Farid menyembunyikanku. Saran ustadzah Tyas memberiku secercah harapan tentang rumah tanggaku supaya berjalan baik. Warga di sekitar rumah tidak ada yang tau statusku kecuali ustdazah Tyas sehingga kondisi emosi juga batinku dan anak-anak masih terjaga baik. 

Saat aku tiba di depan rumah, terlihat paket tergeletak diatas kursi teras. Bentuk paket itu seperti dokumen, ditujukan kepadaku dengan pengirim atas nama Siska. Dengan cepat jemariku membuka isi amplop coklat itu, lembaran foto terdapat di dalamnya. Satu persatu kukeluarkan. Foto Farid dengan Siska, yang jika kulihat sejak mereka pacaran lalu menikah. Ada satu surat yang Siska kirimkan ke aku juga. 

Amplop lama, tulisan tangan suamiku. Perlahan aku baca isi surat, tertulis bagaimana Farid memuja Siska dan begitu jelas terlihat ia mencintai wanita itu dnegan sangat besar. Perasaanku kembali nyeri, mendapati pria yang kucintai memiliki cinta yang besar kepada wanita lain walaupun itu istri sahnya. Melihat wajah berseri Farid ditiap lembar foto tersebut, rasa tak tegaku muncul kepada Siska, bagaimanapun juga  ia perempuan yang pasti punya rasa cembruu, lalu bagaimana denganku, salahkah aku cemburu juga?

bersambung,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status