Share

H.5

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2023-05-16 18:00:07

Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid. 

"Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami. 

“Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.” 

Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku. 

“Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan." 

“Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak. Di sini aku yang memang salah. Seharusnya aku tidak menimbang perasaan siapapun, aku hanya berusaha tidak menyakiti kalian, tetapi nyatanya ada hati yang dirugikan. Terutama kamu, Nisa.” 

Aku semakin sesenggukan, kupeluk erat pingga suamiku yang  begitu aku cinta. Ya Allah, berat sekali hati ini. Kuatkan hambamu ini menjadi istri kedua dari suami yang mencoba adil. Semoga buah kesabaranku menghasilkan kebahagiaan bagi kami semua. 

***

“Aku gak bisa protes apapun. Siska berhak miliki Farid juga,” kataku pada ustadzah yang menjadi guru serta penasihatku. Kala itu aku duduk di karpet masjid setelah acara pengajian mingguan. 

“Kamu harus bisa tegas, Nisa, bagaimana juga Farid salah karena berbohong menyembunyikan status pernikahannya dengan Siska dan sekarang kamu yang kena getahnya. Kamu bisa tuntut Farid ke jalur hukum juga.” 

Aku menggeleng, “aku gak mau, ustadzah. Dia suami yang aku cinta dan juga ayah dari kedua putriku,” kataku lirih. Aku mendengar hela napas panjang ustadzah, lalu ia menggenggam tanganku, seketika kepalaku terangkat menatapnya yang memakai cadar warna hitam. 

“Nisa, begini. Aku tidak mau menggurui atau memberi nasehat yang memang kamu tidak mau lakukan. Tetapi, aku hanya memberi saran, karena kamu juga punya hak bahagia. Jadi, begini, Nisa … kamu, boleh meminta hak kepada Farid untuk pulang ke rumahmu juga, untuk bertemu denganmu dan kedua anak-anak juga. Kalau pun Siska melarang, itu akan menjadi urusan Farid. Di situ akan terlihat apakah suamimu bisa berlaku adil dan bijak atau tidak. Jika tidak, kamu boleh protes karena Farid tidak bisa adil kepada kalian berdua. Jangan memendam apa yang kamu rasakan, Nisa, kamu posisinya benar.” 

Aku menangis, hah … benar sekali ucapannya. Apakah aku bisa melepaskan suamiku jika memang aku merasakan ketidak adilan dirinya dalam berbagi waktu? 

“Tidak mudah poligami. Maka itu, seorang lelaki yang mau melakukannya harus dipikirkan dengan sebaik mungkin karena banyak sekali yang harus dibagi adil.” Aku mengangguk, kembali membenarkan ucapan ustadzah. Kututup wajah dengan kedua telapak tangan, tumpah air mataku, sesak napasku. Ustadzah memelukku erat. “Ceritakan kegundahanmu ini ke Allah ya, Nis, rajinkan tahajudmu, istikharahmu, lalu bahas dengan anak-anak karena sudah besar.” Pelukan terlepas. Aku begitu sesenggukan. 

“Ini bukan pernikahan gagal karena masalah ketidak cocokan kalian, tapi lebih karena kamu tidak nyaman diperlakukan tidak adil. Semoga kamu bisa terus sabar, ikhlas dan mendapat keputusan baik untuk rumah tanggamu, ya. Saya doakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian.” 

Kami berjalan keluar dari masjid bersama-sama. Tiba dipelataran masjid, aku melihat satu mobil terparkir, lalu seorang pria dengan pakaian koko rapi dengan kain sarung dan peci hitam berjalan setelah keluar dari mobilnya. Segera kujaga pandangan dengan menundukkan kepala, tetapi langkah kaki ustadzah terhenti. 

“Assalamualaikum, Ilham, kapan pulang dari luar kota?” 

“Waalaikumsalam, Kak. Baru semalam. Kak Tyas apa kabar?” 

“Baik. Abi tanyain kamu, mampir ke rumah kalau bisa, ya.” 

“Iya, Kak. Ilham ke dalam dulum.” 

“Oh, iya, janjian sama Ustadz Ridwan, ya?” 

“Iya.” 

“Yaudah, salam untuk Abi dan Umma kamu, ya. Maaf Kakak belum sempat main ke rumah.”

“Iya, Insyaa Allah disampaikan. Kak Tyas sibuk ceramah sama ngajar Ta'lim, 'kan. Salam untuk keluarga semua ya, Kak, Assalamualaiku.” 

“Waalaikumsalam,” balas ustadzah. Aku masih menunduk hingga ustadzah menyenggol bahuku. “Ilham sudah pergi jauh,” bisiknya. 

Aku mengangkat kepala, tersenyum tipis. Kami lanjut berjalan kaki, karena kebetulan rumah kami berdekatan hanya beda tiga rumah ke samping kiri. 

“Ilham itu pemalu, jarang interaksi sama orang diluar rumah atau keluarga. Apalagi main kelayaban. Kamu kalau belum menikah, saya jodohin sama adik sepupu saya itu, Nis. Usianya lebih tua setahun dari kamu, kerja di perusahaan sawit yang ada di sumatera, tapi sekarang dipindah ke Jakarta karena dia jago keuangan.” 

“Ustadzah kok gitu bilangnya. Ustadzah kan tau aku cinta sama Farid.” 

“Iya, tetapi kadang karena terlalu cinta jadinya kamu tidak bisa berpikir mana cinta karena Allah atau karena nafsu dan takut omongan tetangga juga keluarga.” 

Astaghfirullah, mengapa ucapan ustadzah jujur sekali. Kini aku hanya bisa diam. Bicara dengan beliau yang paham hukum, hak serta kewajiban suami istri dalam islam, membuatku mendapatkan banyak keterkejutan yang disampaikan oleh beliau dengan cara yang tidak tegas, seringnya bercanda atau menyindir halus sehingga begitu mengena dihati dan pikiranku. 

“Ustadzah, sebelum kita berpisah karena ke rumah masing-masing, ada satu pertanyaan yang dari tadi aku pikirkan,” ucapku saat kami tiba di depan pagar rumahnya. 

“Iya, mau tanya apa, Nis?” Ia memutar tubuh berdiri menghadapku. 

“Untuk sikapku ke Siska, apa boleh aku bilang tegas ke dia jika Farid adalah suamiku juga dan aku berhak memintanya ada bersama aku dan anak-anak?” 

“Boleh. Tetapi dengan yabayun, bicara dengan baik, jika dia keras hati juga sikapnya tidak mengenakan, kamu sabar tapi tetap mempertahankan permintaanmu. Saat bicara, Farid harus ada, kalian bertemu bertiga, ya.” 

Ah, sama sekali aku tidak terpikir untuk kami bertemu bertiga, memang harusnya dilakukan sejak lama bukan malah Farid menyembunyikanku. Saran ustadzah Tyas memberiku secercah harapan tentang rumah tanggaku supaya berjalan baik. Warga di sekitar rumah tidak ada yang tau statusku kecuali ustdazah Tyas sehingga kondisi emosi juga batinku dan anak-anak masih terjaga baik. 

Saat aku tiba di depan rumah, terlihat paket tergeletak diatas kursi teras. Bentuk paket itu seperti dokumen, ditujukan kepadaku dengan pengirim atas nama Siska. Dengan cepat jemariku membuka isi amplop coklat itu, lembaran foto terdapat di dalamnya. Satu persatu kukeluarkan. Foto Farid dengan Siska, yang jika kulihat sejak mereka pacaran lalu menikah. Ada satu surat yang Siska kirimkan ke aku juga. 

Amplop lama, tulisan tangan suamiku. Perlahan aku baca isi surat, tertulis bagaimana Farid memuja Siska dan begitu jelas terlihat ia mencintai wanita itu dnegan sangat besar. Perasaanku kembali nyeri, mendapati pria yang kucintai memiliki cinta yang besar kepada wanita lain walaupun itu istri sahnya. Melihat wajah berseri Farid ditiap lembar foto tersebut, rasa tak tegaku muncul kepada Siska, bagaimanapun juga  ia perempuan yang pasti punya rasa cembruu, lalu bagaimana denganku, salahkah aku cemburu juga?

bersambung,

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri sebatas harapan    H.49

    Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu

  • Istri sebatas harapan    H. 48

    Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis

  • Istri sebatas harapan    H.47

    Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah

  • Istri sebatas harapan    H.46

    Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia

  • Istri sebatas harapan    H.45

    Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di

  • Istri sebatas harapan    H.44

    Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status