Share

H. 3

Tidak bisakah jika semua ini hanya candaan? Sengaja mengerjaiku? Namun, nyatanya ini kenyataan. Semenjak aku tau jika suamiku menjadikanku istri kedua, rasanya duniaku kacau balau. Aku ... yang begitu menaruh harapan akan rumah tangga kami, sikap santun Farid, nyatanya ia lakukan sebagai pelarian yang kala itu sedang bermasalah dengan istri pertamanya. 

Aku dibohongi, jelas pasti. Pernah aku ajukan cerai, walau masih secara verbal, tapi Farid menolak dengan alasan anak-anak dan ia juga mencintaiku. 

Apakah bisa satu hati terbagi? Farid bisa melakukannya? 

"Nazwa, bekalnya, Nak," kataku saat Nazwa siap berangkat sekolah. 

"Iya, Ma." Ia sibuk menyiapkan buku sekolah, setelah kulihat ia keluar kamar, Nazwa juga membawakan tas sekolah Arinda. "Ma, Kakak minggu ini terakhir naik jemputan?" 

"Iya, nanti Mama aja yang antar, ya," sahutku lagi. 

Arinda menyusul keluar kamar. Ia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Alhamdulillah, kedua anakku begitu patuh dan tidak neko-neko. Bisa dibilang Farid memang memfasilitasi semuanya, bahkan aku dibelikan mobil city car walau bekas dan tahun lama tapi tetap nyaman dan sehat, tidak bolak balik masuk bengkel. 

Rahasia statusku sebagai istri keduanya tertutup rapat dari orang-orang, termasuk warga komplek yang tau jika suamiku memang sering keluar kota untuk dinas kerja. Jabatan suamiku sebagai kepala bagian mencukupi semuanya, untuk materi. Namun, tidak untuk hatiku. 

Selalu ada rasa mengganjal di dalam hati, begitu mengingat saat kami berhubungan tubuh, bayang-bayang istri pertama selalu di benak tapi aku memilih bungkam. 

Ironis sekali, alasan aku menjalan semua ini hanya karena anak-anak, bagaimanapun mereka butuh pendidikan juga semua hal yang layak. 

Dua belas tahun menikah, sama sekali aku belum pernah bertemu atau bicara dengan istri pertamanya. Mama dan papa mertuaku juga melarang, jika ada apa-apa, mereka garda terdepanku. Bagaimana dengan keluargaku sendiri? Sebagai orang desa, mereka hanya bisa pasrah, mereka kembalikan semua ke aku. 

Anak-anak berangkat sekolah, jemputan sudah semakin jauh dari rumah. Kembali kukerjakan rutinitas harian, apalagi jika bukan pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya. 

Tak berselang lama, aku mendengat suara deru mobil berhenti di depan rumah. Saat kuintip dari dalam rumah, mobil Farid. Kutengok jam dinding, masih jam sembilan pagi, tumben suamiku pulang ke sini. Memang, sudah dua malam dia di rumah istri pertamanya. 

Tapi tunggu, kenapa yang keluar seorang wanita berambut panjang dan begitu cantik. Buru-buru aku memakai hijab instan, merapikan daster yang kukenakan lalu membuka pintu. 

"Assalamualaikum, benar rumahnya Anisa?" sapanya ramah. 

"Iya, Mbak, saya Anisa," jawabku dengan perasaan minder bukan main. Ia begitu wangi, pakaiannya terlihat sederhana tapi begitu menunjukkan kelasnya. Celana jeans ketat, kemeja hampir membentuk lekuk tubuhnya terlihat pas dan menunjang tubuh semampainya. Belum lagi wajah terawat dan rambut panjang hitam legam. 

"Saya Siska, istri pertama suamimu."

Deg! 

Jantungku seperti berhenti berdenyut, aku diam. Ia mengulurkan tangan, kedua lututku justru lemas. 

"Nisa, saya Siska, istri pertama Farid." Ia tersenyum lagi, terlihat ramah. Dengan ragu dicampur perasaan takut, aku membalas jabat tangannya. "Boleh masuk?" katanya lagi. Aku tak bisa berkata-kata, hanya mengangguk pelan lalu membuka pintu ruang tamu lebar. 

"Silakan duduk, Mbak," ucapku ramah. Siska menatap seluruh ruang tamu rumahku. 

"Farid adil, ya, kamu juga dikasih mobil. Lalu sofa ini satu set sama seperti di rumahku, meja makan, kulkas, beberapa hiasan rumah juga sama. Farid yang atur kan?" tanyanya. 

"Iya," jawabku. 

"Kamu tau alasannya?" Siska melepaskan kacamata hitam yang dikenakan, ia taruh di atas kepalanya. 

"Nggak, saya terima aja." 

Siska tersenyum singkat. "Karena dia nggak mau kita iri." 

"Oh ...," jawabku seraya menunduk. Masih berdebar hebat, bagaimana bisa istri pertama suamiku menyambangi istri kedua tanpa memberitahu, apa sengaja sidak? 

"Kamu tau tujuanku ke sini kira-kira apa?" lanjutnya. 

"Nggak, jujur saya terkejut karena selama ini--"

"Saya cuma mau pastikan kalau memang Farid punya istri lain selain saya yang sudah dua belas tahun disembunyikan."

Aku menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan. 

"Maaf, bukannya Siska tau?" 

"Ya, saya tau. Cuma maksud saya, kenapa harus larang saya ketemu kamu. Apa takut saya marah atau labrak kamu? Aneh si Farid," keluhnya sambil bersedekap. Aku tidak menjawab apa-apa lagi, mana aku tau apa alasan suami kami begitu. 

"Anak kalian dua?" lanjutnya. 

"Iya. Nazwa dan Arinda," jawabku diakhiri senyuman. 

"Oh." Ia menatap ke pigura foto yang terpajang di rak sudut ruang tamu. "Umur berapa?" 

"Nazwa sebelas tahun dan Arinda delapan tahun," jawabku lagi dengan bangga. Ya, setidaknya Farid punya keturan dariku. 

Siska menatapku. "Apa kamu nggak marah atau kecewa ke Farid? Dia sudah bohongi kamu. Kami saat itu ribut besar, baru menikah setahun. Farid kecewa denganku karena satu hal dan akhirnya dia mau kita bercerai. Tetapi dia ketemu kamu dan suka sama kamu. Diam-diam Farid menjalani hubungan denganmu yang membuat aku mendapat tamparan hebat. Apalagi dia menikah denganmu tanpa sepengetahuanku." Siska mengatur napasnya dulu, terlihat gurat kecewa. 

"Saya tadinya mau tuntut pembatalan karena Farid kenikah tanpa izinku. Tetapi saya sadar ini terjadi karena kesalahanku juga. Farid juga sayang sama kamu dan mau tanggung jawab karena sudah membuamu jatuh cinta dengannya."

Tidak bisa berkata-kata, aku diam sambil menatapnya.

Siska melirikku. "Apa aku boleh kasih beberapa syarat ke kamu, Nis?" 

"Syarat apa?"

"Keluarga besar saya tidak tau masalah ini, kalau Farid menikah lagi. Mereka mulai curiga dengan Farid yang kadang weekend suka tidak di rumah atau hadir di acara keluarga karena berbagi waktu dengan kamu. Jadi, saya memberikan syarat ke kamu, kalau masih mau bertahan dengan rumah tangga ini, tolong biarkan Farid lebih sering lama dengan saya dan jangan kamu hubungi dia supaya dia tidak kepikiran kamu dan anak-anak." 

Aku mengernyit, "bukannya memang setelah sekian tahun lamanya, Farid lebih sering sama kamu?" Kucoba membalas ucapannya. Kini raut wajah Siska menunjukkan sedikit ketidak sukaan karena ucapanku. 

"Memang. Dan sekarang saya mau lebih. Farid harus lebis lama dengan saya. Kamu paham maksudnya kan? Bagaimana kalau keluarga besar saya tau dan mereka akan menyerang kamu juga anak-anakmu. Tau kekuatan netizen kalau ini saya viralkan, kan, Nis? Saya rasa kamu sudah memiliki fasitas sesuai yang bisa Farid kasih, kurang apa lagi? Rumah ada, mobil ada, anak-anak sekolah aman. What else?" Nada bicara sedikit ketus. "Saya senang akhirnya bisa ketemu madu saya. Saya juga tau, Farid sebenarnya tidak mencintai kamu sebesar dia mencintai saya. Jangan coba mencari Farid dalam keadaan apapun. Biarkan dia yang datang ke kamu tapi atas seizin saya." 

Siska beranjak, ia memakai kacamata hitamnya lagi lalu berjalan keluar rumah. Ia mengendarai mobilnya sendiri, sama sepertiku. Mobil itu city car keluaran terbaru, Farid pasti berat mencicilnya. Sedangkan mobil untukku ia beli tunai setelah kami menabung selama tiga tahun dengan total lima puluh juta. 

Posisi pekerjaan Farid memang baru sebagai kabag, tapi diluar kantor, ia banyak pekerjaan lain. Menjadi auditor sudah pasti banyak sabetan sana sini, pembawaannya yang tenang, juga mampu membuat semua orang percaya memakai jasa suamiku sebagai auditornya. 

Aku menutup pintu, kemudian duduk perlahan di sofa, meremas kedua tangan karena persyaratan yang diajukan Siska, masuk diakal demi suasana tetap stabil. 

"Kalau memang Farid lebih cinta Siska, aku percaya. Dari penampikan fisiknya saja begitu semampai, wajah cantik, kulit halus putih. Ia juga bekerja, setauku dari cerita Mama mertua. Jomplang sekali denganku. Ya Allah, apa aku salah menjadi yang kedua? Apa aku harus melepaskan suamiku, aku mencintainya Ya Allah, terlepas dari kebohongannya yang menjadikanku madu dalam pernikahannya." Aku berbicara sendiri, kadang ini aku lakukan guna melegakan perasaanku. 

bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status