Tidak bisakah jika semua ini hanya candaan? Sengaja mengerjaiku? Namun, nyatanya ini kenyataan. Semenjak aku tau jika suamiku menjadikanku istri kedua, rasanya duniaku kacau balau. Aku ... yang begitu menaruh harapan akan rumah tangga kami, sikap santun Farid, nyatanya ia lakukan sebagai pelarian yang kala itu sedang bermasalah dengan istri pertamanya.
Aku dibohongi, jelas pasti. Pernah aku ajukan cerai, walau masih secara verbal, tapi Farid menolak dengan alasan anak-anak dan ia juga mencintaiku.
Apakah bisa satu hati terbagi? Farid bisa melakukannya?
"Nazwa, bekalnya, Nak," kataku saat Nazwa siap berangkat sekolah.
"Iya, Ma." Ia sibuk menyiapkan buku sekolah, setelah kulihat ia keluar kamar, Nazwa juga membawakan tas sekolah Arinda. "Ma, Kakak minggu ini terakhir naik jemputan?"
"Iya, nanti Mama aja yang antar, ya," sahutku lagi.
Arinda menyusul keluar kamar. Ia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Alhamdulillah, kedua anakku begitu patuh dan tidak neko-neko. Bisa dibilang Farid memang memfasilitasi semuanya, bahkan aku dibelikan mobil city car walau bekas dan tahun lama tapi tetap nyaman dan sehat, tidak bolak balik masuk bengkel.
Rahasia statusku sebagai istri keduanya tertutup rapat dari orang-orang, termasuk warga komplek yang tau jika suamiku memang sering keluar kota untuk dinas kerja. Jabatan suamiku sebagai kepala bagian mencukupi semuanya, untuk materi. Namun, tidak untuk hatiku.
Selalu ada rasa mengganjal di dalam hati, begitu mengingat saat kami berhubungan tubuh, bayang-bayang istri pertama selalu di benak tapi aku memilih bungkam.
Ironis sekali, alasan aku menjalan semua ini hanya karena anak-anak, bagaimanapun mereka butuh pendidikan juga semua hal yang layak.
Dua belas tahun menikah, sama sekali aku belum pernah bertemu atau bicara dengan istri pertamanya. Mama dan papa mertuaku juga melarang, jika ada apa-apa, mereka garda terdepanku. Bagaimana dengan keluargaku sendiri? Sebagai orang desa, mereka hanya bisa pasrah, mereka kembalikan semua ke aku.
Anak-anak berangkat sekolah, jemputan sudah semakin jauh dari rumah. Kembali kukerjakan rutinitas harian, apalagi jika bukan pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya.
Tak berselang lama, aku mendengat suara deru mobil berhenti di depan rumah. Saat kuintip dari dalam rumah, mobil Farid. Kutengok jam dinding, masih jam sembilan pagi, tumben suamiku pulang ke sini. Memang, sudah dua malam dia di rumah istri pertamanya.
Tapi tunggu, kenapa yang keluar seorang wanita berambut panjang dan begitu cantik. Buru-buru aku memakai hijab instan, merapikan daster yang kukenakan lalu membuka pintu.
"Assalamualaikum, benar rumahnya Anisa?" sapanya ramah.
"Iya, Mbak, saya Anisa," jawabku dengan perasaan minder bukan main. Ia begitu wangi, pakaiannya terlihat sederhana tapi begitu menunjukkan kelasnya. Celana jeans ketat, kemeja hampir membentuk lekuk tubuhnya terlihat pas dan menunjang tubuh semampainya. Belum lagi wajah terawat dan rambut panjang hitam legam.
"Saya Siska, istri pertama suamimu."
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdenyut, aku diam. Ia mengulurkan tangan, kedua lututku justru lemas.
"Nisa, saya Siska, istri pertama Farid." Ia tersenyum lagi, terlihat ramah. Dengan ragu dicampur perasaan takut, aku membalas jabat tangannya. "Boleh masuk?" katanya lagi. Aku tak bisa berkata-kata, hanya mengangguk pelan lalu membuka pintu ruang tamu lebar.
"Silakan duduk, Mbak," ucapku ramah. Siska menatap seluruh ruang tamu rumahku.
"Farid adil, ya, kamu juga dikasih mobil. Lalu sofa ini satu set sama seperti di rumahku, meja makan, kulkas, beberapa hiasan rumah juga sama. Farid yang atur kan?" tanyanya.
"Iya," jawabku.
"Kamu tau alasannya?" Siska melepaskan kacamata hitam yang dikenakan, ia taruh di atas kepalanya.
"Nggak, saya terima aja."
Siska tersenyum singkat. "Karena dia nggak mau kita iri."
"Oh ...," jawabku seraya menunduk. Masih berdebar hebat, bagaimana bisa istri pertama suamiku menyambangi istri kedua tanpa memberitahu, apa sengaja sidak?
"Kamu tau tujuanku ke sini kira-kira apa?" lanjutnya.
"Nggak, jujur saya terkejut karena selama ini--"
"Saya cuma mau pastikan kalau memang Farid punya istri lain selain saya yang sudah dua belas tahun disembunyikan."
Aku menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan.
"Maaf, bukannya Siska tau?"
"Ya, saya tau. Cuma maksud saya, kenapa harus larang saya ketemu kamu. Apa takut saya marah atau labrak kamu? Aneh si Farid," keluhnya sambil bersedekap. Aku tidak menjawab apa-apa lagi, mana aku tau apa alasan suami kami begitu.
"Anak kalian dua?" lanjutnya.
"Iya. Nazwa dan Arinda," jawabku diakhiri senyuman.
"Oh." Ia menatap ke pigura foto yang terpajang di rak sudut ruang tamu. "Umur berapa?"
"Nazwa sebelas tahun dan Arinda delapan tahun," jawabku lagi dengan bangga. Ya, setidaknya Farid punya keturan dariku.
Siska menatapku. "Apa kamu nggak marah atau kecewa ke Farid? Dia sudah bohongi kamu. Kami saat itu ribut besar, baru menikah setahun. Farid kecewa denganku karena satu hal dan akhirnya dia mau kita bercerai. Tetapi dia ketemu kamu dan suka sama kamu. Diam-diam Farid menjalani hubungan denganmu yang membuat aku mendapat tamparan hebat. Apalagi dia menikah denganmu tanpa sepengetahuanku." Siska mengatur napasnya dulu, terlihat gurat kecewa.
"Saya tadinya mau tuntut pembatalan karena Farid kenikah tanpa izinku. Tetapi saya sadar ini terjadi karena kesalahanku juga. Farid juga sayang sama kamu dan mau tanggung jawab karena sudah membuamu jatuh cinta dengannya."
Tidak bisa berkata-kata, aku diam sambil menatapnya.
Siska melirikku. "Apa aku boleh kasih beberapa syarat ke kamu, Nis?"
"Syarat apa?"
"Keluarga besar saya tidak tau masalah ini, kalau Farid menikah lagi. Mereka mulai curiga dengan Farid yang kadang weekend suka tidak di rumah atau hadir di acara keluarga karena berbagi waktu dengan kamu. Jadi, saya memberikan syarat ke kamu, kalau masih mau bertahan dengan rumah tangga ini, tolong biarkan Farid lebih sering lama dengan saya dan jangan kamu hubungi dia supaya dia tidak kepikiran kamu dan anak-anak."
Aku mengernyit, "bukannya memang setelah sekian tahun lamanya, Farid lebih sering sama kamu?" Kucoba membalas ucapannya. Kini raut wajah Siska menunjukkan sedikit ketidak sukaan karena ucapanku.
"Memang. Dan sekarang saya mau lebih. Farid harus lebis lama dengan saya. Kamu paham maksudnya kan? Bagaimana kalau keluarga besar saya tau dan mereka akan menyerang kamu juga anak-anakmu. Tau kekuatan netizen kalau ini saya viralkan, kan, Nis? Saya rasa kamu sudah memiliki fasitas sesuai yang bisa Farid kasih, kurang apa lagi? Rumah ada, mobil ada, anak-anak sekolah aman. What else?" Nada bicara sedikit ketus. "Saya senang akhirnya bisa ketemu madu saya. Saya juga tau, Farid sebenarnya tidak mencintai kamu sebesar dia mencintai saya. Jangan coba mencari Farid dalam keadaan apapun. Biarkan dia yang datang ke kamu tapi atas seizin saya."
Siska beranjak, ia memakai kacamata hitamnya lagi lalu berjalan keluar rumah. Ia mengendarai mobilnya sendiri, sama sepertiku. Mobil itu city car keluaran terbaru, Farid pasti berat mencicilnya. Sedangkan mobil untukku ia beli tunai setelah kami menabung selama tiga tahun dengan total lima puluh juta.
Posisi pekerjaan Farid memang baru sebagai kabag, tapi diluar kantor, ia banyak pekerjaan lain. Menjadi auditor sudah pasti banyak sabetan sana sini, pembawaannya yang tenang, juga mampu membuat semua orang percaya memakai jasa suamiku sebagai auditornya.
Aku menutup pintu, kemudian duduk perlahan di sofa, meremas kedua tangan karena persyaratan yang diajukan Siska, masuk diakal demi suasana tetap stabil.
"Kalau memang Farid lebih cinta Siska, aku percaya. Dari penampikan fisiknya saja begitu semampai, wajah cantik, kulit halus putih. Ia juga bekerja, setauku dari cerita Mama mertua. Jomplang sekali denganku. Ya Allah, apa aku salah menjadi yang kedua? Apa aku harus melepaskan suamiku, aku mencintainya Ya Allah, terlepas dari kebohongannya yang menjadikanku madu dalam pernikahannya." Aku berbicara sendiri, kadang ini aku lakukan guna melegakan perasaanku.
bersambung,
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko