Share

Bab 3 - Aksi Penyelamatan

"Apa lagi? Bukankah utangnya sudah dilunasi! Lalu, kenapa masih menahanku?" jerit Luna, ia merasakan seluruh tubuhnya berdenyut nyeri.

"Beraninya kau berteriak dihadapanku!" Laki-laki tua itu geram, melayangkan tamparan yang membuat Luna tersungkur. Ia tidak suka saat Luna mencoba untuk melawan.

"Apa salahku? Aku merasa tidak memiliki kesalahan apa pun," rintihnya. Luna tidak merasa memiliki kesalahan pada laki-laki tua itu, selain dari hutang yang ditinggalkan orang tuanya.

Laki-laki itu tersenyum licik, melihat Luna yang hanya bisa berlutut. 'Anak perempuan yang malang,' pikirnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Luna harus terbebani dengan masalah yang dibuat oleh kedua orang tuanya. Hutang yang ditinggalkan kedua orang tua Luna tidak dalam jumlah yang sedikit.

"Uang tadi hanya untuk membebaskan anak kecil itu," ujar laki-laki tua itu, "untuk utangmu, kau masih harus membayarnya."

Laki-laki tua itu kembali diam, dia menampakkan mimik wajah berpikir selama beberapa saat. "Bagaimana dengan seratus juta? Itu sudah sangat sedikit, aku memberimu keringanan sekarang," lanjutnya, kembali menunjukkan senyum jenaka.

"Kau, laki-laki tua tidak tahu diri! Dasar licik!" teriak Luna, hendak menyerang laki-laki tua itu. Namun, tubuhnya lebih dulu ditarik dan dihempaskan ke lantai.

Luna menggeram kesakitan, ia merasa kalau tubuhnya sebentar lagi akan hancur lebur. Luna bahkan kembali merasakan pengelihatannya yang berkunang-kunang. Tapi, Luna memaksakan diri agar tetap sadar. Luna tidak tahu, hal buruk apa yang akan terjadi jika ia sampai pingsan di sini.

"Beraninya kau! Mencoba melawan?" Laki-laki tua itu mendekat, mencengkeram pada bagian rahang Luna. Memaksa Luna agar melihatnya. Dan, lagi-lagi Luna hanya bisa memejamkan mata, merasa ngilu dan nyeri.

"Kau punya pria itu, kau bisa menggodanya. Dan bawakan uang yang banyak untukku," ujar laki-laki tua itu, menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan, membuat wajah Luna ikut bergerak.

"Lagi pula, apa lagi yang kau harapkan? Kau tidak memiliki siapa pun sekarang, jadi tidak perlu takut untuk menjual diri dan menjadi j****g," ujar laki-laki tua itu, melepaskan tangannya dari rahang Luna. Ia mengedipkan matanya, genit.

Luna yang tidak tahan, menggerakkan tangannya. Menampar laki-laki tua dengan mulut yang kurang ajar itu. Luna merasakan napasnya yang memburu, ia tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan laki-laki tua itu.

"Kau!" geram laki-laki tua itu, menyentuh pipinya tepat pada bekas tamparan Luna.

"Baiklah, sepertinya kau mencoba untuk bermain-main. Kurung dia!" perintah laki-laki tua itu pada seluruh pengawal yang kemudian mendekati Luna.

Luna hanya bisa berteriak saat tubuhnya ditarik. Luna dibawa ke dalam sebuah ruangan yang sangat gelap. Luna dikurung di sana, tanpa ada pencahayaan atau apa pun itu.

"Lepaskan aku!" teriak Luna terus menerus sembari memukul-mukul pintu yang terkunci dari luar.

Hingga Luna mulai lelah melakukannya. Memilih untuk duduk di lantai, sudah pasrah. Luna tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan.

Saat Luna sudah benar-benar menyerah akan semuanya, sebuah suara tidak sangaja tertangkap oleh indra pendengaran Luna.

"Siapa di sana?" gumam Luna, ia mendengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat.

Luna tidak bisa melihat, semuanya gelap. Luna bahkan tidak tahu, ada apa saja yang ada dalam ruangan ini.

"Jangan membuatku takut, kau siapa?" Luna merasakan jantungnya terpompa dengan cepat, mulai meraba-raba yang ada di sekitarnya. Mencari perlindungan.

"Kau…." Luna nyaris berteriak, jika mulutnya tidak langsung dibekap.

"Jangan berisik, jika kau ingin selamat!"

Luna diam, tidak lagi meronta. Ia mengenali suara bariton itu. Ia baru mendengarnya beberapa waktu yang lalu, suara bariton milik pria itu, Ayah Bintang.

"Bagaimana kau bisa ada di sini?" bisik Luna, diam-diam ia merasa bersyukur.

"Kau tidak perlu mengetahuinya," jawab Brian dingin. Ia menggenggam tangan Luna, menarik Luna agar mengikutinya.

"Berjalanlah pelan, ini merupakan tempat penyiksaan. Entah sudah berapa orang yang meninggal di ruangan ini," ujar Brian. Ia berjalan dengan cepat, membuat Luna kesulitan menyamakan langkahnya.

Luna jadi merinding, ia semakin mendekat pada Brian. Luna bahkan mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Brian.

"Jangan membuatku takut, dan berjalanlah pelan. Aku tidak bisa menyamai langkah kakimu," bisik Luna. Mereka berjalan mengendap-endap dalam ruangan gelap itu. Meski begitu, langkah kaki Brian begitu lebar hingga terasa begitu cepat.

"Kita harus bergerak cepat, kita harus keluar dari sini sebelum polisi datang," desak Brian. Ia lalu menarik Luna agar berada di depannya.

"Naiklah ke punggungku," perintah Brian sembari membungkuk.

"Untuk apa?" tanya Luna, sedari tadi mereka berbicara dengan berbisik-bisik. Takut kalau ada yang menyadari keberadaan mereka.

"Naik saja, lalu keluar melalui jendela itu. Aku sudah menghilangkan kacanya," geram Brian saat Luna masih belum juga mengikuti perintahnya, sedangkan waktu mereka semakin menipis.

"Baiklah." Luna segera naik ke punggung Brian. Hanya dengan meraba-raba, Luna bisa mengetahui letak jendela yang dimaksud Brian.

Luna segera berpindah, berpegang pada pinggiran jendela. Luna melihat keluar, namun sama saja. Sangat gelap. Luna bahkan mulai takut, ia tidak tahu seberapa tinggi ia berada saat ini.

"Aku takut turun, sepertinya ini sangat tinggi," ujar Luna pelan, ia melihat ke bawah tapi semuanya gelap.

"Kita sudah tidak punya waktu, cepatlah melompat. Aku juga harus keluar dari sini," desis Brian, memaksa Luna untuk melompat. Hingga Luna hampir saja jatuh.

Luna yang tidak memiliki pilihan lain, memberanikan diri untuk melompat dengan memejamkan mata. Dan ternyata tidak seburuk yang ada dalam perkiraannya, jaraknya tidak begitu tinggi. Selain itu, ada rumput yang menjadi tempat pendaratannya.

Setelah Luna, Brian juga ikut keluar. Dia melompat dan mendarat di sebelah Luna yang masih berjongkok. Brian segera berdiri, lalu menarik Luna agar kembali mengikutinya.

"Siapa di sana!"

Luna mencengkeram tangan Brian, dia tidak bisa melihat karena gelap. Dia juga tidak tahu asal suara itu dari mana.

"Diamlah, mereka tidak berbicara dengan kita," ujar Brian, menenangkan Luna yang sudah panik. Brian masih berjalan dengan pelan, menarik Luna.

Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, terdengar suara sirine polisi yang semakin dekat. Luna juga merasakan tangan besar Brian menggenggamnya semakin erat.

"Lari," ujar Brian dengan suara yang cukup besar, menarik tangan Luna agar ikut berlari.

Luna baru menyadarinya, ternyata ada banyak derap langkah kaki yang ikut berlari. Sepertinya mereka bukanlah pengawal dari laki-laki tua itu, Karena mereka berlari ke arah yang sama.

Setelah berlari sangat jauh, Luna jatuh terkulai karena merasa kehabisan tenaga. Mengatur napasnya, Luna akhirnya bisa melihat cahaya. Sebuah cahaya dari lampu jalan yang terpancar.

"Kau baik-baik saja?" tanya Brian , melihat Luna yang berbaring di tepi jalan yang sunyi, tidak ada kendaraan yang melalui jalan ini.

"Kita ada dimana?" gumam Luna, ia menyadari kalau inii seperti di tengah hutan, dan mereka baru saja keluar dari hutan belantara yang gelap gulita.

Detak jantung Luna bahkan masih tidak beraturan, sehabis berlari. Luna juga merasakan kulitnya yang lengket karena keringat. Kakinya juga terasa pegal, Luna juga merasa perih pada beberapa bagian di kakinya, sepertinya tergores ranting saat mereka berlari.

"Cepatlah bangun, kita harus segera meninggalkan tempat ini," ucap Brian, menarik Luna untuk segera bangun. Mereka hanya memiliki beberapa waktu yang tersisa, bisa saja para pengawal dari laki-laki tua itu menyusul.

Di depan mereka sudah ada tiga mobil. Luna juga melihat sekitarnya, ada banyak laki-laki dengan tubuh kekar yang berpakaian serba hitam.

Saat mereka semua sudah masuk ke dalam mobil, tiga mobil itu kemudian melaju lebih dulu. Sedangkan di dalam mobil yang ditumpangi Luna hanya ada tiga orang, hanya ada Luna dan Brian. Juga seorang sopir.

"Minumlah." Brian memberikan air mineral kemasan botol pada Luna.

Luna segera menerimanya, meminumnya hingga habis. Saat menoleh, Luna melihat rumah itu, rumah yang sekarang dikepung polisi. Bahkan mobil mereka ditahan oleh beberapa aparat kepolisian untuk diperiksa.

Namun, saat melihat Brian yang duduk di sebelah Luna, pihak kepolisian kemudian membiarkan mereka untuk pergi.

"Terima kasih, sudah menyelamatkan aku," ujar Luna pelan. Ia melirik pada Brian yang duduk di sebelahnya.

"Kau berpikir kalau aku menyelamatkanmu?" tanya Brian, ia menatap Luna dengan senyum miring, "aku menyelamatkan uang tiga ratus juta yang aku keluarkan," lanjutnya, kali ini Brian menatap Luna yang cukup terkejut.

Luna menunduk, ia pikir kalau pria ini sudah berbesar hati dan menyelamatkannya. Ternyata Luna salah. Tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. lagi pula, siapa yang akan ikut campur dalam masalah orang lain, jika itu tidak berkaitan dengan dirinya.

"Uang tiga ratus juta tidaklah sedikit, kau harus membayarnya," ujar Brian, mengalihkan pengelihatannya dari Luna. Ia bersandar dan memejamkan mata.

"Aku tidak memiliki apapun lagi, bagaimana aku harus membayarnya," gumam Luna. Sepertinya keberuntungan memang tidak pernah berpihak pada Luna, ada saja masalah yang dihadapinya, Luna seperti keluar dari kandang harimau dan masuk ke kandang singa.

"Menurutmu, kau bisa membayarnya dengan apa?" Brian mengangkat sebelah alisnya, menatap Luna yang juga menatapnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status