Share

Bab 2 - Jaminan

"Mama... Mama!" teriakan yang memekik itu terdengar sangat jelas. Membuat seorang pria yang terlihat cemas berhenti berlarian. Ia mengenal suara itu, suara putrinya.

"Bintang?" gumamnya lirih, melihat ke arah sekitar. Sepertinya para pengawalnya juga mendengar suara itu.

"Segera cari! mengapa kalian berhenti!" bentak pria itu, membuat para pengawalnya bergerak cepat, mencari sumber suara yang hanya terdengar sekilas.

Brian, ayah Bintang. Hanya bisa menggeram marah. Ia mengusap wajahnya beberapa kali, ia baru meninggalkan putrinya selama beberapa jam, dan ada banyak pengawal yang berjaga.

Tapi, tiba-tiba putrinya sudah tidak ada di ruang perawatannya. Bahkan para pengawal yang berjaga tidak mengetahui keberadaannya, membuat Brian seketika murka.

"Tuan, Nona Kecil ada di rooftop," teriak seorang pengawal.

Brian segera berlari, melewati beberapa anak tangga hanya dengan sekali lompatan. Ia juga tidak menghiraukan tiga orang lainnya yang berjalan berlawanan arah dengannya.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi!" bentak Brian, melihat hanya ada seorang perempuan yang terkulai lemas, tidak sadarkan diri.

"Dimana Bintang?" Brian berbalik, melihat pengawalnya yang tadi, "dimana putriku!" hardiknya pada pengawal itu, ia nyaris mencekiknya.

"Aku melihatnya Tuan, tadi. Dia bersama wanita itu!" jawab pengawal itu dengan terbata-bata. Hingga pengawal yang lain datang.

"Tuan! Saya sudah memeriksa cctv yang ada di sini. Dan, Nona kecil. Dia diculik, sepertinya ada hubungannya dengan perempuan yang di sana," ujar pengawal itu sembari menunjuk pada Luna yang masih tidak sadarkan diri.

Brian mengepalkan tangannya, rahang Brian ikut mengeras, ada kilatan amarah dalam matanya. Ia kemudian melangkah mendekati Luna. Hanya dengan menggunakan kakinya, Brian membuat tubuh Luna terbalik. Memperlihatkan wajah Luna yang penuh memar.

"Bawa perempuan ini!" perintahnya.

Brian kemudian pergi dari sana. Ia masih memiliki kesadaran yang cukup untuk tidak menghajar Luna.

Ditengah-tengah emosinya yang memuncak, Brian berusaha memupuk sabar yang sangat dibutuhkannya saat ini. Ia bahkan menunggu Luna yang sedang ditangani. Dan saat dokter keluar, Brian segera menemui Luna.

"Beraninya kau! Kau pikir apa yang kau coba lakukan? Hah!" Sekeras apapun Brian berusaha untuk sabar, ia tetap tidak bisa mengendalikan amarahnya jika itu berkaitan dengan keselamatan Bintang.

Sedangkan Luna yang baru sadar beberapa jam yang lalu, cukup terkejut saat melihat seorang pria yang tampak asing di matanya. Pria yang menghampiri Luna dengan bentakan yang mampu membuat telinganya berdengung.

"Apa yang kau coba lakukan pada putriku, hah! Menunjukkan kekerasan di hadapannya, dan kau bahkan menjadikan putriku sebagai jaminan untuk masalahmu!" bentak Brian, melampiaskan amarah yang sedari tadi mendekam dalam dirinya.

"Argh...." Luna kembali menjerit kesakitan, rahang dan bagian tulang pipinya masih terasa sakit akibat pukulan tadi, dan sekarang pria yang tidak dikenalinya ini mencengkeram erat rahangnya.

"Jangan macam-macam denganku, apalagi dengan putriku. Aku bisa lebih jahat dari mereka!" ancam Brian. Namun, Luna tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa menjerit tertahan.

Saat Brian melepas cengkeramannya, Luna memejamkan mata. Merasakan ngilu pada rahang dan tulang pipinya. Sangat sakit, hingga membuat air mata Luna jatuh dengan sendirinya.

"Tidak perlu menangis! Aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini! Dan juga, kau harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kau lakukan!" desis Brian, ia menatap tajam pada Luna yang masih menggeram kesakitan.

"Maaf sebelumnya Tuan, tapi aku bahkan tidak mengenal Anda," ujar Luna disela-sela rasa sakitnya, Luna memang tidak memiliki kekuasaan, ia hanya orang biasa. Tapi ia juga tidak akan terima jika harus ditindas tanpa ia ketahui di mana letak kesalahannya.

"Kau tidak mengenalku? Aku juga tidak mengenalmu, lalu kenapa kau menjadikan putriku sebagai jaminan atas masalahmu sendiri!" hardik Brian, wajahnya bahkan memerah dengan rahang mengeras. Ia berusaha menahan emosinya yang meluap.

Sedangkan Luna, ia berusaha memikirkannya. 'Siapa anak dari pria itu? Mengapa dia berpikir kalau aku menjadikan putrinya sebagai jaminan? Atau jangan-jangan, dia Ayah dari anak perempuan yang aku temui di rooftop?' batin Luna.

"Bintang? Apakah Anda Ayah Bintang?" tebak Luna, memastikan.

"Beraninya kau menyebut nama putriku setelah apa yang kau lakukan!" geram Brian dengan nada rendah, namun ada tekanan dalam setiap ucapannya yang tegas.

"Memangnya apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apapun pada putri anda, Tuan," ujar Luna, membela diri.

'Menjadikannya jaminan? Aku bahkan berusaha mati-matian untuk melindungi anak kecil itu. Dan imbalannya, aku malah mendapat tuduhan seperti ini,' batin Luna.

"Kau tidak melakukan apa pun, tapi menyerahkan putriku pada rentenir untuk dijadikan jaminan? Dan kau mesih juga mengelak!" bentak Brian, kembali tersulut emosi saat mendengar Luna yang mengelak. Dia bahkan mencondongkan tubuhnya, mendekati Luna.

"Selesaikan masalahmu dengan para rentenir itu, dan kembalikan putriku dalam keadaan selamat tanpa ada luka sedikit pun," ujar Brian, suaranya yang terdengar berat dan dalam membuat Luna menelan ludah.

Luna memberanikan diri, menatap Brian. Menerka-nerka, apa mungkin para rentenir itu membawa Bintang saat Luna tidak sadarkan diri? Sepertinya hanya itu kemungkinan yang sangat tepat.

"Mereka mengambil Bintang?" tanya Luna dengan ragu, ia berharap tidak. Hal itu tidak boleh terjadi.

"Menurutmu?" decak Brian kesal, "sekarang pergi menghadap pada rentenir itu, selesaikan masalahmu dengan mereka. Atau, kau ingin aku menyeretmu ke sana?" ancam Brian.

Luna segera bergegas, mencabut jarum infus yang tertancap di tangannya. Terasa berdenyut nyeri dengan darah yang mengalir, tapi itu bukanlah masalah. Yang ada dipikiran Luna hanya Bintang, dia tidak boleh ada di tangan para rentenir itu.

"Kau mau kemana?" tanya Brian, menahan Luna yang hendak pergi.

"Kita tidak punya waktu, Bintang tidak boleh ada di sana!" sergah Luna, menyingkirkan tangan Brian yang menahan tangannya. Luna berjalan dengan cepat. Begitu pun dengan Brian yang kini mengikuti Luna.

"Kau mau berjalan? Naiklah ke mobil," ujar Brian, menarik Luna agar segera masuk ke dalam mobil.

Mereka meninggalkan parkiran rumah sakit, menggunakan mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Hal itu membuat mereka cepat sampai pada tempat tujuan, di sebuah rumah yang terdapat banyak pengawal.

Awalnya, mereka tidak diperbolehkan masuk, hingga Luna menampakkan diri, membuat salah satu pengawal mengantar mereka untuk segera masuk.

"Kau datang juga rupanya. Aku pikir, kau sudah tidak bernapas," ujar seorang laki-laki tua, dia terkekeh saat melihat wajah Luna yang mengeras.

"Anak itu, dia sedang tidur," ujar laki-laki tua itu, lagi.

"Dia tidak ada hubungannya denganku, jadi bebaskan dia!" pinta Luna. Kedua tangannya terkepal, menampakkan buku-buku jarinya yang memutih.

"Benarkah? Tapi, aku tidak percaya." laki-laki tua itu malah mengejek, menjulurkan lidah seperti anak kecil, "jika dia tidak ada hubungannya denganmu, lalu untuk apa kau berlari ke sini. Bahkan bekas jarum di tanganmu masih mengeluarkan darah," ujarnya lagi, sembari menatap tangan Luna yang meneteskan darah.

Luna maju beberapa langkah. Menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan laki-laki tua itu. Ini adalah pilihan terakhir yang bisa Luna lakukan. Ia harus memohon dan menyerahkan diri.

"Aku mohon, lepaskan dia. Aku benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Dia hanyalah pasien di rumah sakit tempatku bekerja," ujar Luna lirih, memohon dengan menundukkan kepala.

"Lunasi utangmu, bawa uangnya sekarang. Dan sebagai gantinya, kau bisa mengambil anak itu," ujar laki-laki tua itu.

Luna hanya bisa diam dan menunduk dalam, Luna tidak memiliki uang. Andai saja ia memilikinya, tentu masalah ini tidak akan sampai seperti sekarang.

"Berapa?" tanya Brian. Sedari tadi ia diam, berusaha mencari tahu letak permasalahan antara Luna dan laki-laki tua itu.

"Berapa yang harus dibayar!" bentak Brian saat pertanyaannya tidak mendapat jawaban. Laki-laki tua itu hanya memandangnya, menelisik dari atas hingga ke bawah.

"Tenang, tidak usah marah-marah seperti itu. Memangnya kau siapa? Suaminya?" tanya laki-laki tua itu dengan senyum jenakanya.

"Aku Ayah dari anak perempuan yang kau ambil, dan aku tidak mengenal perempuan ini!" hardik Brian, menunjuk Luna yang duduk bersimpuh di hadapan laki-laki tua itu. Brian hanya memerlukan putrinya, "berapa yang harus dia bayar agar putriku kembali?"

Laki-laki tua itu yang kini berubah jadi diam, memikirkan nominal yang harus dibayar. Yang pasti, nominalnya lebih besar dari uang pinjaman orang tua Luna.

"Lima milyar? Tapi tenang saja, karena kau tidak ada hubungannya dengan perempuan ini." Laki-laki tua itu menunjuk Luna yang masih berlutut, "kau hanya perlu memberiku satu milyar," lanjutnya, kali ini iaa tampak serius.

"Mengapa sangat banyak? Utang orang tuaku tidak sampai satu milyar, dan kau sudah mengambil rumah kami sebagai bayarannya. Aku hanya perlu membayar sisanya," sergah Luna, ia tidak suka saat laki-laki rubah itu memanfaatkan keadaan.

"Benarkah? Sepertinya aku melupakan itu, apa karena orang tuamu sudah lama menjadi tanah?" Laki-laki tua itu kemudian tertawa, merasa geli sendiri dengan apa yang ia ucapkan.

Sedangkan Luna, ia hanya bisa menahan diri. Meski sangat marah mendengar orang tuanya yang dijadikan lelucon, tapi Luna tidak bisa melawan.

"Aku akan membayarmu tiga ratus juta, uangnya akan segera sampai," ujar Brian, tegas.

"Baiklah, mari kita menunggu uang. Uang... oh, uang...." Laki-laki tua itu kembali tertawa. Sembari bersenandung, mengulang-ulang kata 'uang' dengan nada sesukanya.

Mereka tidak menunggu lama, hingga datang seorang pengawal. Membawa sebuah tas, dan menyerahkan tas itu pada Brian

"Bawa kemari putriku, dan aku berikan uang ini," perintah Brian, menunjukkan uang yang ada di dalam tas tersebut.

"Hei, bawa kemari anak kecil itu," ujar laki-laki tua itu, memerintahkan salah satu pengawalnya yang ada di sana.

Tidak berselang lama, terlihat Bintang yang sedang tertidur dalam gendongan pengawal dibawa keluar dari sebuah kamar. Pengawal itu kemudian menyerahkan Bintang pada Brian.

"Ini." Brian melemparkan tas yang berisikan uang, jatuh tepat di dekat kaki laki-laki tua itu.

"Kau sangat tidak sopan," ujar laki-laki tua itu, "anak muda sekarang kehilangan sopan santunnya," ucapnyaagi. Meski begitu, ia tampak bahagia melihat tumpukan uang yang ada di dalam tas.

"Pergilah, anak muda yang tidak sopan," usir laki-laki tua itu.

Brian kemudian melirik pada Luna yang masih berlutut. Luna yang mengerti arti lirikan Brian, hendak berdiri. Akan tetapi, Luna kembali mengadu kesakitan saat sebuah sepatu menginjak sebelah tangannya. Tepat pada bekas infus dengan darah yang sudah mengering.

"Hei! anak muda yang tidak sopan, aku hanya memintamu pergi sendirian," ujar laki-laki tua itu. ia menggerakkan tangannya, mengusir Brian.

"Dan kau, urusan kita belum selesai, sayang," ujar laki-laki tua itu, menggoda Luna dengan mengedipkan sebelah matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status