Beranda / Romansa / Istri untuk Papa / Bab 4 - Bertemu dengan Bintang

Share

Bab 4 - Bertemu dengan Bintang

Penulis: Aurel Ntsya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-10 15:30:20

"Siapa?" suara Bariton milik Brian menginterupsi Luna yang sedang duduk melamun.

"Ha?" tanya Luna, bingung.

"Nama?" tanya Brian lagi, kini ia duduk di depan Luna, "aku Brian, Ayah Bintang," ujar Brian, memperkenalkan diri lebih dulu.

"Ah, aku Luna," jawab Luna yang baru mengerti kemana arah pembicaraan Brian.

Saat ini, mereka berada di sebuah kantor yang diyakini Luna sebagai tempat kerja Brian. Ia bahkan sempat membaca papan nama yang ada di atas Meja kerja itu. CEO perusahaan, Brian Alferdo.

"Kau sudah memikirkannya? Cara untuk membayar tiga ratus juta itu," tanya Brian sembari menatap Luna yang menunduk dengan lesu, memainkan jari-jemarinya.

"Aku tidak memiliki apa pun, kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan," jawab Luna. Ia masih juga menunduk, tidak berani menatap Brian.

"Benarkah? Aku bisa sangat serakah," ujar Brian, meminta Luna untuk menatapnya, "lihat aku! Aku ada di sini, mengapa kau terus melihat ke bawah."

Luna kemudian memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menatap Brian dengan cemas. Luna tidak tahu, Brian adalah orang yang seperti apa. Apakah dia orang yang lebih jahat dari laki-laki tua itu?

"Kau sangat merepotkan." Brian segera berdiri saat melihat wajah Luna. Ada banyak memar di wajah Luna, terutama di bagian dagu. Brian juga bisa melihat bekas sobekan pada ujung bibir Luna, sepertinya saat Luna ditampar oleh laki-laki tua itu.

"Obati Lukamu," ujar Brian, melemparkan kotak obat. Luna segera menangkapnya.

Luna mengambil obat yang diketahuinya bisa untuk mengobati luka basah. Luna merupakan seorang perawat, tentu saja dia mengetahui beberapa hal mengenai obat-obatan.

Luna meraba-raba bagian wajahnya, ia tidak bisa melihatnya. Jadi, Luna hanya memperkirakan bagian yang sakit dan kiranya perlu diberi obat.

"Kau benar-benar merepotkan," sindir Brian, mengambil alih obat oles dari tangan Luna. Brian lalu membantu Luna mengoleskan obat pada bagian-bagian yang terdapat luka.

"Apa kau tidak bisa melawan! Malah membiarkan tubuhmu dipukuli." Brian mengomel, seperti seorang ibu yang mengobati anaknya yang terluka karena perundangan.

Dari arah meja, terdengar suara ponsel yang berdering. Brian segera berdiri, memberikan obat itu pada Luna. "Obati sendiri lukamu," ujar Brian. Ia berjalan dan mengambil ponselnya yang masih berdering.

Baru saja Brian mendekatkan ponselnya ke telinga, ia sudah dikejutkan dengan informasi yang disampaikan secara terburu-buru. Meski begitu, Brian bisa mendengarnya dengan jelas.

"Kau mau kemana?" Luna setengah berteriak, saat melihat Brian yang hendak pergi. Brian terlihat sangat panik.

Brian melihat sejenak ke arah Luna, ia kemudian menariknya untuk pergi bersama. Dan Luna hanya mengikuti saja, mereka meninggalkan kantor Brian yang sudah sepi, karena sudah larut malam.

"Bintang tidak sadarkan diri." Hanya itu yang dikatakan Brian sebelum melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Luna dapat menangkap kecemasan dalam perkataan Brian, bahkan dalam setiap gerakan Brian yang sesekali menggerutu karena ada beberapa mobil yang bergerak lambat.

"Kenapa sangat lama." Brian sudah cemas, waktu terasa semakin lama berputar saat menunggu lampu lalu lintas itu berubah warna.

"Apa kita menerobos saja?" gumam Brian.

"Jangan, kita akan berurusan dengan polisi jika menerobos," ujar Luna memperingatkan setelah hanya diam cukup lama.

"Benar, jangan menerobos," gumam Brian sekali lagi. Tanpa sadar ia mengigit bibirnya, rasa cemas menyerang Brian.

Hingga lampu lalu lintas itu berganti warna menjadi hijau. Brian kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat mereka sampai di rumah sakit hanya dalam hitungan menit. Brian bahkan memarkirkan mobilnya di sembarang tempat, namun ia tidak peduli lagi. Rasa cemas dan takut membuat Brian tidak bisa berpikir lagi dan langsung berlari masuk ke rumah sakit begitu saja.

"Brian, tunggu aku," Luna berteriak, namun tidak dihiraukan oleh Brian.

Brian terus berlari dengan detak jantungnya yang tidak karuan. Menabrak orang-orang yang berpapasan dengannya, tapi malah dia yang marah. Dalam pikiran Brian, terbentuk sketsa tersendiri, menggambarkan hal paling buruk yang mungkin saja terjadi.

"Bintang, Papa mohon. Bertahanlah," gumam Brian yang masih berlari.

Berlarian di lorong-lorong rumah sakit seperti ini, membuat Brian merasa dejavu. Lima tahun lalu, ibu Bintang harus dilarikan masuk ke rumah sakit karena kecelakaan. Saat itu, ia sedang mengandung Bintang. Tidak ada pilihan lain, Bintang harus lahir prematur dan ibu Bintang tidak dapat diselamatkan. Ia meninggalkan Brian dan Bintang untuk selamanya.

"Bintang." Brian tidak tahu lagi harus berkata apa. Menelusuri tiap tangga rumah sakit untuk menuju lantai atas, yaitu ruang khusus VVIP. Jika menggunakan lift, Brian harus menunggu selama beberapa menit. Sehingga ia mengambil jalan pintas dengan menggunakan tangga, tanpa ia sadari kalau itu membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari pada menunggu lift.

"Bintang, Papa mohon, jangan tinggalkan Papa." Brian terus berdoa sepanjang jalan.

"Kenapa ini terasa sangat jauh." Menggerutu sendiri saat ia menyadari masih harus melalui beberapa anak tangga.

"Bintang." Brian terus bergumam. Menyebut nama Bintang dengan kekhawatiran yang merengkuhnya.

Brian hanya bisa berharap, agar yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi. Bintang merupakan alasan mengapa Brian tetap bertahan hingga sekarang. Bekerja keras untuk bisa mencapai jabatannya, sebagai CEO sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi. Meskipun itu merupakan perusahaan keluarganya, tapi Brian harus berjuang lebih keras untuk sampai di sana.

Brian melakukan semua itu untuk Bintang, hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Bintang. Namun, lima bulan yang lalu, Bintang didiagnosis mengidap kanker darah, yang menjadi pukulan telak untuk Brian. Awalnya hanya gejala-gejala ringan, hingga tiga bulan kemudian, Bintang sudah diharuskan mengikuti rangkaian perawatan kemoterapi.

"Brian, Bintang akan baik-baik saja. Bintang akan baik-baik saja." Berulang kali mengucapkan kata itu disetiap iringan langkahnya. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bintang akan menyambutnya dengan senyuman ceria seperti biasanya.

Hingga akhirnya, perjalanan yang terasa begitu panjang yang mengiringi Brian telah usai. Brian sampai di depan ruangan perawatan Bintang. Lima pengawal yang berjaga di luar segera menunduk memberikan hormat saat Brian melewati mereka, Brian masuk ke ruang perawatan Bintang.

"Ada apa dengan anak saya, dok?" tanya Brian, ia melihat Bintang yang berbaring memejamkan mata. Sedangkan dokter itu, sepertinya ia memang sedang menunggu Brian.

"Jadi begini pak, Bintang mengalami lemas hingga pingsan, disebabkan oleh anemia atau pembakaran kalori berlebih akibat kondisi hipermetabolisme pada sumsum tulang," jelas dokter khusus yang menangani Bintang.

"Untuk saat ini hanya akan diberikan obat. Tapi, perlu saya peringatkan, agar Bintang istirahat yang cukup, tetap mengonsumsi makanan yang sudah disiapkan meskipun nafsu makannya memang menurun. Dan jika bisa, Bintang diajak untuk bermain atau melakukan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan agar terhindar dari stres, karena hal itu juga berpengaruh."

"Tapi, bintang baik-baik saja 'kan?" tanya Brian, kembali memastikan kalau semuanya baik-baik saja.

"Bintang dalam keadaan baik, sekarang dia sudah kembali tidur setelah diberikan obat." Sebelum dokter tersebut keluar, ia berbalik dan kembali berbicara pada Brian.

"Satu lagi pak, saya hanya ingin memberitahukan agar Bintang tidak lagi melewatkan kemoterapi." Dokter itu kemudian keluar dari ruangan Bintang setelah mengatakan itu.

Brian melangkahkan kakinya mendekati Bintang, melihat dengan jelas wajah pucat sang anak. Mencium keningnya lama, Brian merasa tidak becus menjaganya, terkadang terlintas dalam pikiran Brian. Kenapa tidak dirinya saja yang sakit, kenapa harus Bintang? Anak sekecil Bintang harus merasakan penderitaan ini.

"Papa janji, Bintang pasti sembuh. Sebentar lagi, Papa mohon pada Bintang agar sabar dan menunggu saat itu tiba. Papa akan melakukan apapun agar Bintang bisa sembuh." Brian kembali mengecup kening Bintang, lebih lama dari sebelumnya.

Sedangkan Luna, ia hanya berdiri di luar ruangan perawatan Bintang. Luna cukup tahu diri untuk tidak menerobos masuk, meskipun ia juga sangat khawatir dengan keadaan Bintang sekarang.

"Nona, apa anda ingin masuk?" tanya seorang pengawal, membuat Luna menatapnya heran.

'Apa ia tidak salah dengar?' batin Luna.

"Masuklah jika ingin melihat Bintang, dia sedang istirahat sekarang."

Luna melihat Brian yang baru saja keluar dari ruangan Bintang. Brian terlihat kusut, "Masuklah," ujar Brian sekali lagi, menggeser pintu ruangan perawatan Bintang hingga terbuka lebar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri untuk Papa   Bab 97 - Perayaan

    Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.

  • Istri untuk Papa   Bab 96 - Dialog Kenangan

    "Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y

  • Istri untuk Papa   Bab 95 - Obrolan Pengantar Tidur

    "Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.

  • Istri untuk Papa   Bab 94 - Berkumpul

    "Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem

  • Istri untuk Papa   Bab 93 - Kerinduan Yang Terbayarkan

    Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint

  • Istri untuk Papa   Bab 92 - Persiapan Kembali ke Rumah

    Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status