Share

Bab 4 - Bertemu dengan Bintang

"Siapa?" suara Bariton milik Brian menginterupsi Luna yang sedang duduk melamun.

"Ha?" tanya Luna, bingung.

"Nama?" tanya Brian lagi, kini ia duduk di depan Luna, "aku Brian, Ayah Bintang," ujar Brian, memperkenalkan diri lebih dulu.

"Ah, aku Luna," jawab Luna yang baru mengerti kemana arah pembicaraan Brian.

Saat ini, mereka berada di sebuah kantor yang diyakini Luna sebagai tempat kerja Brian. Ia bahkan sempat membaca papan nama yang ada di atas Meja kerja itu. CEO perusahaan, Brian Alferdo.

"Kau sudah memikirkannya? Cara untuk membayar tiga ratus juta itu," tanya Brian sembari menatap Luna yang menunduk dengan lesu, memainkan jari-jemarinya.

"Aku tidak memiliki apa pun, kau bisa mengatakan apa yang kau inginkan," jawab Luna. Ia masih juga menunduk, tidak berani menatap Brian.

"Benarkah? Aku bisa sangat serakah," ujar Brian, meminta Luna untuk menatapnya, "lihat aku! Aku ada di sini, mengapa kau terus melihat ke bawah."

Luna kemudian memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menatap Brian dengan cemas. Luna tidak tahu, Brian adalah orang yang seperti apa. Apakah dia orang yang lebih jahat dari laki-laki tua itu?

"Kau sangat merepotkan." Brian segera berdiri saat melihat wajah Luna. Ada banyak memar di wajah Luna, terutama di bagian dagu. Brian juga bisa melihat bekas sobekan pada ujung bibir Luna, sepertinya saat Luna ditampar oleh laki-laki tua itu.

"Obati Lukamu," ujar Brian, melemparkan kotak obat. Luna segera menangkapnya.

Luna mengambil obat yang diketahuinya bisa untuk mengobati luka basah. Luna merupakan seorang perawat, tentu saja dia mengetahui beberapa hal mengenai obat-obatan.

Luna meraba-raba bagian wajahnya, ia tidak bisa melihatnya. Jadi, Luna hanya memperkirakan bagian yang sakit dan kiranya perlu diberi obat.

"Kau benar-benar merepotkan," sindir Brian, mengambil alih obat oles dari tangan Luna. Brian lalu membantu Luna mengoleskan obat pada bagian-bagian yang terdapat luka.

"Apa kau tidak bisa melawan! Malah membiarkan tubuhmu dipukuli." Brian mengomel, seperti seorang ibu yang mengobati anaknya yang terluka karena perundangan.

Dari arah meja, terdengar suara ponsel yang berdering. Brian segera berdiri, memberikan obat itu pada Luna. "Obati sendiri lukamu," ujar Brian. Ia berjalan dan mengambil ponselnya yang masih berdering.

Baru saja Brian mendekatkan ponselnya ke telinga, ia sudah dikejutkan dengan informasi yang disampaikan secara terburu-buru. Meski begitu, Brian bisa mendengarnya dengan jelas.

"Kau mau kemana?" Luna setengah berteriak, saat melihat Brian yang hendak pergi. Brian terlihat sangat panik.

Brian melihat sejenak ke arah Luna, ia kemudian menariknya untuk pergi bersama. Dan Luna hanya mengikuti saja, mereka meninggalkan kantor Brian yang sudah sepi, karena sudah larut malam.

"Bintang tidak sadarkan diri." Hanya itu yang dikatakan Brian sebelum melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Luna dapat menangkap kecemasan dalam perkataan Brian, bahkan dalam setiap gerakan Brian yang sesekali menggerutu karena ada beberapa mobil yang bergerak lambat.

"Kenapa sangat lama." Brian sudah cemas, waktu terasa semakin lama berputar saat menunggu lampu lalu lintas itu berubah warna.

"Apa kita menerobos saja?" gumam Brian.

"Jangan, kita akan berurusan dengan polisi jika menerobos," ujar Luna memperingatkan setelah hanya diam cukup lama.

"Benar, jangan menerobos," gumam Brian sekali lagi. Tanpa sadar ia mengigit bibirnya, rasa cemas menyerang Brian.

Hingga lampu lalu lintas itu berganti warna menjadi hijau. Brian kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat mereka sampai di rumah sakit hanya dalam hitungan menit. Brian bahkan memarkirkan mobilnya di sembarang tempat, namun ia tidak peduli lagi. Rasa cemas dan takut membuat Brian tidak bisa berpikir lagi dan langsung berlari masuk ke rumah sakit begitu saja.

"Brian, tunggu aku," Luna berteriak, namun tidak dihiraukan oleh Brian.

Brian terus berlari dengan detak jantungnya yang tidak karuan. Menabrak orang-orang yang berpapasan dengannya, tapi malah dia yang marah. Dalam pikiran Brian, terbentuk sketsa tersendiri, menggambarkan hal paling buruk yang mungkin saja terjadi.

"Bintang, Papa mohon. Bertahanlah," gumam Brian yang masih berlari.

Berlarian di lorong-lorong rumah sakit seperti ini, membuat Brian merasa dejavu. Lima tahun lalu, ibu Bintang harus dilarikan masuk ke rumah sakit karena kecelakaan. Saat itu, ia sedang mengandung Bintang. Tidak ada pilihan lain, Bintang harus lahir prematur dan ibu Bintang tidak dapat diselamatkan. Ia meninggalkan Brian dan Bintang untuk selamanya.

"Bintang." Brian tidak tahu lagi harus berkata apa. Menelusuri tiap tangga rumah sakit untuk menuju lantai atas, yaitu ruang khusus VVIP. Jika menggunakan lift, Brian harus menunggu selama beberapa menit. Sehingga ia mengambil jalan pintas dengan menggunakan tangga, tanpa ia sadari kalau itu membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari pada menunggu lift.

"Bintang, Papa mohon, jangan tinggalkan Papa." Brian terus berdoa sepanjang jalan.

"Kenapa ini terasa sangat jauh." Menggerutu sendiri saat ia menyadari masih harus melalui beberapa anak tangga.

"Bintang." Brian terus bergumam. Menyebut nama Bintang dengan kekhawatiran yang merengkuhnya.

Brian hanya bisa berharap, agar yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi. Bintang merupakan alasan mengapa Brian tetap bertahan hingga sekarang. Bekerja keras untuk bisa mencapai jabatannya, sebagai CEO sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi. Meskipun itu merupakan perusahaan keluarganya, tapi Brian harus berjuang lebih keras untuk sampai di sana.

Brian melakukan semua itu untuk Bintang, hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Bintang. Namun, lima bulan yang lalu, Bintang didiagnosis mengidap kanker darah, yang menjadi pukulan telak untuk Brian. Awalnya hanya gejala-gejala ringan, hingga tiga bulan kemudian, Bintang sudah diharuskan mengikuti rangkaian perawatan kemoterapi.

"Brian, Bintang akan baik-baik saja. Bintang akan baik-baik saja." Berulang kali mengucapkan kata itu disetiap iringan langkahnya. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Bintang akan menyambutnya dengan senyuman ceria seperti biasanya.

Hingga akhirnya, perjalanan yang terasa begitu panjang yang mengiringi Brian telah usai. Brian sampai di depan ruangan perawatan Bintang. Lima pengawal yang berjaga di luar segera menunduk memberikan hormat saat Brian melewati mereka, Brian masuk ke ruang perawatan Bintang.

"Ada apa dengan anak saya, dok?" tanya Brian, ia melihat Bintang yang berbaring memejamkan mata. Sedangkan dokter itu, sepertinya ia memang sedang menunggu Brian.

"Jadi begini pak, Bintang mengalami lemas hingga pingsan, disebabkan oleh anemia atau pembakaran kalori berlebih akibat kondisi hipermetabolisme pada sumsum tulang," jelas dokter khusus yang menangani Bintang.

"Untuk saat ini hanya akan diberikan obat. Tapi, perlu saya peringatkan, agar Bintang istirahat yang cukup, tetap mengonsumsi makanan yang sudah disiapkan meskipun nafsu makannya memang menurun. Dan jika bisa, Bintang diajak untuk bermain atau melakukan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan agar terhindar dari stres, karena hal itu juga berpengaruh."

"Tapi, bintang baik-baik saja 'kan?" tanya Brian, kembali memastikan kalau semuanya baik-baik saja.

"Bintang dalam keadaan baik, sekarang dia sudah kembali tidur setelah diberikan obat." Sebelum dokter tersebut keluar, ia berbalik dan kembali berbicara pada Brian.

"Satu lagi pak, saya hanya ingin memberitahukan agar Bintang tidak lagi melewatkan kemoterapi." Dokter itu kemudian keluar dari ruangan Bintang setelah mengatakan itu.

Brian melangkahkan kakinya mendekati Bintang, melihat dengan jelas wajah pucat sang anak. Mencium keningnya lama, Brian merasa tidak becus menjaganya, terkadang terlintas dalam pikiran Brian. Kenapa tidak dirinya saja yang sakit, kenapa harus Bintang? Anak sekecil Bintang harus merasakan penderitaan ini.

"Papa janji, Bintang pasti sembuh. Sebentar lagi, Papa mohon pada Bintang agar sabar dan menunggu saat itu tiba. Papa akan melakukan apapun agar Bintang bisa sembuh." Brian kembali mengecup kening Bintang, lebih lama dari sebelumnya.

Sedangkan Luna, ia hanya berdiri di luar ruangan perawatan Bintang. Luna cukup tahu diri untuk tidak menerobos masuk, meskipun ia juga sangat khawatir dengan keadaan Bintang sekarang.

"Nona, apa anda ingin masuk?" tanya seorang pengawal, membuat Luna menatapnya heran.

'Apa ia tidak salah dengar?' batin Luna.

"Masuklah jika ingin melihat Bintang, dia sedang istirahat sekarang."

Luna melihat Brian yang baru saja keluar dari ruangan Bintang. Brian terlihat kusut, "Masuklah," ujar Brian sekali lagi, menggeser pintu ruangan perawatan Bintang hingga terbuka lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status