Malam hari, di taman itu berdiri seorang wanita menoleh pelan ke Erlan. Wajahnya hanya disinari rembulan.
"Nadine?" gumam Erlan lirih. Nadine tersenyum manis, memperlihatkan kedua lesung di pipinya. "Kamu ngapain berdiri di sana sayang?" ucap Erlan, berjalan pelan ke arah Nadine. Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Malam memperlihatkan kepekatannya. Hanya diterangi rembulan dan lampu taman yang hanya 5 Watt. Semakin Erlan mendekat, semakin terlihat nyata, kalau itu bukanlah Nadine. Tapi Nesya. Erlan tercekat. Ia tersentak kaget. "Kamu—kamu? Kenapa jadi Nesya?" Tidak ada jawaban dari wanita itu. Hanya senyum yang melekat di bibir wanita itu, lalu menoleh ke arah lain. "Nesya? Kamu ngapain disini? Kenapa tadi aku, lihat seperti wajah Nadine? Masuk yuk, udaranya dingin disini." Ucapan Erlan membuat wanita itu menoleh ke arahnya. "Aku memang Nadine Mas Erlan." Erlan meloncat ke belakang beberapa langkah. Ia terhenyak saat melihat wanita itu memang Nadine. Tanpa bicara, wanita itu melangkah pergi meninggalkan Erlan di kegelapan malam. Begitu cepat langkahnya bagaikan semilir angin yang menghempas dan hilang begitu saja. "Nadine? Nadine!" panggil Erlan, serasa ada kekosongan di hatinya. Begitu hampa ia rasakan. Ada penyesalan, kenapa dia tidak mempertahankan kepergian Nadine. Kenapa dirinya diam saja. Karena langkahnya seperti kaku, tak bisa digerakan. "Nadine! Nad! Nadine! Tunggu! Maafkan aku sayang! Aku memang salah! Aku bodoh! Tunggu!" Puk! Puk! Puk! Pak? Pak Erlan? Bapak mimpi yah? Bangun Pak!" tangan Nesya menepuk-nepuk pipi Erlan. Erlan membuka matanya, setengah sadar ia terkejut melihat sekitarnya. Melihat kanan dan kiri. Hanya ada Nesya. Langsung saja ia memeluk Nesya, dan menangis. Menjadikan Nesya bingung melihat tingkah Erlan. "Jangan tinggalin aku Nadine, aku masih sayang sama kamu. Aku memang tolol sudah menuduh kamu macam-macam. Aku sudah membiarkan kamu pergi," tangis Erlan terdengar menggema ke seluruh ruangan. DEG! Jantung Nesya berdegup keras. 'Kenapa Erlan bisa tahu kalau aku adalah Nadine? Dari mana dia tau? Apa dia sudah tahu? Kalau selama ini aku berbohong, sudah mengganti wajah dan identitasku?' batinnya. "Pak ... Bapak dengar yah, aku ini Nesya. Bukan Nadine. Bapak habis mimpi apa?" Erlan menghela nafasnya dalam, sambil matanya membulat menatap mata Nesya. Menatap lesungnya yang sama dengan Nadine. Setelah diam sesaat, ia lalu menarik tangan Nesya, membalikkannya. Dilihatnya, tanda berbentuk daun itu adalah tanda Nadine. Ia semakin terkejut. Nafasnya tersengal, menatap panik ke wajah Nesya dan punggung tangan wanita itu. "Bapak tenang yah. Mau aku ambilkan minum?" "Gak, gak usah." nafas Erlan masih tersengal. Tapi Nadine tidak menjawab. Langkahnya melangkah ke dispenser. Mengambil air untuk Erlan. Ia mencoba untuk tenang, supaya Erlan tidak menaruh curiga atas penyamarannya. "Bapak minum dulu, biar hati Bapak tenang setelah mimpi buruk." Erlan meminumnya dan mengatur nafasnya. Lalu menatap ke Nesya. "Kamu Nadine kan? Kamu sudah merubah wajah kamu kan?" tanya Erlan masih menyimpan penasaran. "Bapak ini bicara apa sih? Aku gak ngerti. Sudah dulu ya, Pak. Mungkin Bapak kelelahan. Lagian kok di kantor Bapak sampai tidur gitu. Pasti Bapak semalam bergadang." Drrrrt Drrrrt Drrrrt! Ponsel di tas Nesya bergetar. Ia pamit pada Erlan untuk mengangkat telpon, lalu melangkah ke luar ruangan. "Halo Pa, selamat pagi," sapa Nadine di sambungan telpon dari Stev. "Halo Nad. Ada berita penting pagi ini." ujar Stev terdengar nafasnya tak beraturan. "Berita apa itu Pa? Segitu pentingnya yah?" "Iya, karyawan kita yang bernama Linda, kamu ingat kan? Ternyata dialah yang melakukan percobaan pembunuhan pada Tika hingga meninggal. Dan percobaan pembunuhan sama kamu waktu itu, dia mencoba memberikan suntikan racun ke kamu. Dia menyewa orang saat mengincar orang yang ingin dibunuhnya!" ujar Stev. Nadine tersentak. Ia seolah tidak percaya. "Apa Pa? Tika meninggal dibunuh Linda?" desis Nesya pelan. Wajah Nesya begitu terlihat cemas. Amarahnya membuncah. Matanya membesar. Iya, Tika, teman kamu itu memang meninggal tidak wajar. Tapi dibunuh oleh Linda. Dan sekarang Linda kabur." "Kabur? Kabur kemana Pa? Kenapa bisa kabur?" Stev mengembuskan nafasnya berat. "Akan Papa ceritakan ke kamu setelah pulang kerja nanti. Sudah dulu yang sayang, Papa ada pasien." Sambungan telpon terputus. Wajah Nesya mematung, ia terhenyak. 'Rasanya sulit dipercaya,' batinnya. 'Kenapa Linda ingin membunuh aku? Dan membunuh Tika? Apa hubungannya sama aku dan Tika?' Nesya masih berdiri terpaku menatap kosong lurus ke depannya. Diam-diam Erlan sudah sejak tadi berdiri di balik pintu. Mendengarkan percakapan Nesya dan Papanya. "Sebenarnya siapa Nesya ini? Siapa orang tuanya? Aku akan selidiki,' batin Erlan dengan jantung berdegup keras. 'Benarkah dia Nadine?'Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat sosok wanita keluar dari villanya. Sosok wanita yang baru keluar dari villa menginjak-injak si wanita yang terbaring di lantai. Lalu menikam perutnya. "Sekarang gak ada lagi sainganku untuk mendapatkan Aldiano. Sebelum kamu menikah dengannya, aku sudah lebih dulu mencintai pria itu," seru Linda sambil sekali lagi kakinya menginjak tubuhnya yang tak berdaya. "Lin—Linda. Ka—kamu jahat sekali!" suara Helena terdengar sayup-sayup. "Helena ... Helena ... Sebetulnya akulah yang kasih tahu Aldiano, kalau kamu balikan lagi sama kekasih lama kamu! Hahaha!" Mata Aldiano membelalak saat melihat sosok Linda yang selama ini dicarinya. Suara tawa meringkik terdengar begitu jelas, walau jarak masih agak jauh. 'Itu? Itu bukannya Linda? Kenapa dia disitu?" Aldiano berlari ke arah mereka."Hei! Tunggu!" Mendengar suara pria itu, Linda menoleh cepat, ia langsung berlari menjauh. "Helena? Hei Hel!" Melihat Helena dipenuhi darah, membuat langkahnya maju mun
Dua wanita, di dalam mobil putih tertawa-tawa puas. Setelah memastikan mobil Nadine jatuh ke bawah bukit tanpa seorangpun yang tahu. Jalanan alternatif hanya bisa dilalui dua mobil. "Matilah Kau Nadine! Kau pikir aku gak tahu, kalau itu adalah kamu?! Hahaha. Pintar kamu Linda. Kamu memang jagonya setir mobil!" Linda tertawa sinis melirik ke Helena yang baru keluar dari penjara. "Helena ... Helena. Kalau kamu juga ingin memiliki Aldiano, kamu pun akan aku singkirkan!" batin Linda. "Sekarang kita langsung aja ke villa aku. Biar kamu istirahat dulu. Dan kita pun aman di sana," kata Helena. "Aku sudah lama gak merasakan udara luar. Sekarang merasakan udara bebas, apa lagi di puncak, hmmm segar sekali!" lanjut Helena masih dengan tawanya. Mereka memasuki jalan pegunungan. "Untung aja, dulu aku minta uang sama Aldiano untuk beli villa. Tapi untungnya Aldiano gak tahu letak villa aku. Karena dia orangnya cuek." Helena terus menceracau sepanjang perjalanan. Sedangkan Linda hanya
"Kenapa aku tertidur di kamar? Perasaan semalam aku lag ngerjain tugas untuk meeting pagi ini? Dan—dan kenapa aku gak pakai baju?"Aldiano mengingat-ingat kejadian semalam. Namun tidak banyak Yang dia ingat. Aldiano hanya mengingat seorang perempuan datang ke tempat ini. Dan memberikan Secangkir Kopi. Dia mengingat sehabis Minum kopi itu dirinya tidak ingat apa-apa."Siapa perempuan itu sebenarnya. Ada maksud apa dia ke sini?"Pagi itu masih tersisa kabut yang menggantung ada pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Udara masih terasa dingin. Membuat Aldiano bermalas-malasan untuk bangun. Kepalanya sedikit pening. Tapi ia tersentak pada saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 10.00 pagi."Apa? Sudah pukul 10.00? Sedangkan aku harus meeting pukul 10 tepat sudah harus sampai di sana. Bagaimana ini?"Aldiano buru-buru berlari ke kamar mandi. Ia hanya mencuci muka dan gosok gigi. Dia meraih ponselnya mencari Kontak kliennya.Tapi matanya melihat chat dari Nadine beserta foto dan video. "
"Jangan lupa, langsung chat saya kalau sudah aman!" ujar Ricky."Baik Kang. Saya kesana dulu ya, kang."Lilis menghampiri rumah villa besar kediaman Aldiano. Udara malam di pegunungan terasa dingin menyengat kulit. Kabut tipis menyelimuti lereng bukit. Villa besar milik Aldiano terlihat paling mewah, disana Aldiano langsung mengambil laptopnya mengerjakan pekerjaan yang harus selesai besok pagi untuk rapat bersama beberapa klien dan para perusahaan lainnya.TOK!TOK!TOK!"Siapa?" suara Aldiano terdengar dari dalam."Saya Kang," seru Lilis.Pintu terbuka. Aldiano memandang Lilis. "Kamu itu siapa?""Maaf Pak, saya ponakan Kang Asep, pengurus villa Bapak ini, untuk menggantikan Kang Asep yang lagi sakit. Bisa saya masuk Pak?""Oh iya, silahkan!" jawab Aldiano sambil masuk dan kembali duduk di depan laptop."Maaf Pak, mau minum apa? biar saya buatkan," tanya Lilis membungkuk."Oh iya, kopi manis aja." jawab Aldiano sambil terus jarinya mengetik.Lilis membuatkan kopi panas di dapur. Sete
Mobil Erlan mendekati mobil Ricky. Lalu parkir di sebelahnya. Melihat Erlan datang, Ricky langsung membuka pintu mobilnya, keluar menghampiri dan masuk ke mobil Erlan. "Pak Erlan!" sapa Ricky. "Kamu nunggu disini, apa ada sesuatu?" tanya Erlan bingung. "Bapak lihat rumah itu. Rumah yang paling besar dan mewah. Bapak tahu itu rumah siapa?" Ricky menunjuk ke rumah yang tak jauh dari dia parkir mobilnya. "Ya, saya tahu. Itu rumah orang tua Nadine, mantan istri saya." jawab Erlan antusias. "Jadi Bapak sudah tahu itu rumah orang tua Ibu Nesya alias Nadine. Tapi entah kenapa, calon tunangannya juga tinggal disitu. Tapi yang saya bingung, kenapa Ibu Nesya malah kontrak rumah di tempat lain." Erlan mengernyitkan keningnya. "Iya, ya. Ini rumah Nesya? Lalu apa maksudnya jadi pegawai di kantor saya? Nesya kontrak rumah, padahal rumahnya sebesar ini." Mereka berdua sesaat terpaku. Berpikir yang tidak mungkin dan mungkin. "Pak, kalau Ibu Nesya itu Nadine, apa Bapak gak curiga, kalau wanita
"Pak, apa bapak kenal nama Nadine?" kata Ricky berbisik di telpon."Darimana anda tahu Nama itu?" tanya Erlan mengerutkan keningnya."Ibu Nesya itu namanya Nadine Pak. Coba Bapak lihat foto-foto yang saya kirim."Erlan memutuskan sambungan telpon, matanya langsung memandang satu persatu foto-foto yang dikirim oleh Ricky.Ini kan Mama Alena? Dan ini Aldiano. Dua orang ini siapa? anaknya Mama Alena kan cuma Nadine aja. Berarti Nesya itu Nadine? Ah, bodohnya aku."Erlan mencoba chat Nesya."Nes, boleh kita ketemu nanti malam?"Lebih dari 10 menit, tidak ada balasan dari Nesya. "Aku harus memiliki Nadine dan meminta maaf."Jari Erlan kembali mengetik."Aku tahu kamu adalah Nadine. Maafin aku. Maafin salah aku. Aku sudah salah menuduh kamu dengan keji."Hanya ada tanda warna biru, yang berarti Nadine sudah membaca chat Erlan. Karena rasa kesal, ia menelpon Ricky."Halo Pak.""Ricky, kamu ikuti terus Nesya ya. Saya mau tahu, dia pergi kemana aja," titah Erlan."Baik Pak."Erlan kembali mem