Pamela dan Stev sama-sama tersenyum memandang wajah Nadine. Namun malam ini, wajah itu terlihat pucat dan tertekan. "Saya dengar, ibu anda mengalami gangguan jantung. Saya segera periksa beliau." ujar dokter Stev berjalan cepat ke ruang ICU. Pamela duduk bersama Nadine. "Ibu dengar dari Calista, tadi dia telpon Ibu Katanya mama kamu masuk rumah sakit. Makanya kami kemari. Kebetulan Ibu dan Bapak belum tidur." "Calista? Maaf, saya gak bermaksud mengganggu Bapak dan Ibu malam-malam gini," jawab Nadine merasa tidak enak, kalau sampai ia mengganggu bosnya. "Gak perlu kamu minta maaf, kami berdua tidak merasa direpotin sama kamu." "Jadi Ibu dan Bapak sudah pulang dari Sidney? Kapan? Kok aku gak ada kabar kepulangan Ibu?" "Sebetulnya dari dua hari yang lalu, tapi kami sibuk. Jadi nggak bisa kasih tahu kamu. Maaf yah," ucap Pamela menepuk paha Nadine. Nadine tersenyum kecil. "Kenapa harus minta maaf Bu. Aku tahu kok, ibu dan bapak memang sama-sama sibuk." "Nanti kalau mamamu sudah se
Udara dingin malam itu terasa menyengat hingga ke tulang. Cepat-cepat Nadine turun memanggil seseorang yang bertugas malam itu."Pak, tolong cepat Pak. Mama saya pingsan, tolong saya Pak!" kata Nadine cemas, nafasnya tersengal.Security yang sedang berdiri, langsung cepat memanggil perawat untuk mengambil brangkar. Seorang perawat pria meraih brangkar dan mendorong ke arah mobil. Calista membantu mengangkat tubuh Alena, meletakkan ke atas brangkar. Perawat pria itu mendorongnya ke ruang IGD.Sepanjang lorong menuju IGD, air mata Nadine tak henti mengalir. Kecemasan menyelubungi pikirannya. Jantungnya berdegup keras."Maafin Nadine ya, Ma. Nadine sempat gak percaya sama Mama. Nadine sempat marah sama Mama. Mereka semua penipu, mereka jahat." gumam bibir Nadine yang terus berceloteh memohon maaf sambil terisak. "Tuhan, sembuhkan Mama. Aku gak mau Mama kenapa-napa. Aku mau Mama sehat. Jangan ambil dia, walau pun suatu saat nanti aku sukses."Tiba-tiba Nadine teringat ucapan Alena. ("Mam
"RUMAH TANGGA ANAKKU?!" Ucapan Rubia, sang mertua masih terngiang di telinganya. Tak ada cela untuk Nadine memberikan penjelasan apa pun. Dan kini, tak ada lagi ruang untuk Nadine bertahan di rumah ini.'Mama mertuaku gak pernah menganggap aku memantunya. Seolah aku ini hanyalah bayangan kasat mata.'"Cepat pergi!" seru Rubia menunjuk jari telunjuknya ke pintu."Baik Ma, aku akan pergi, setelah aku kemasin barang-barang aku," Nadine bertekat malam ini juga ia angkat kaki dari rumah ini."Oh iya, satu lagi Ma," Nadine membalikkan badannya ke belakang menatap Rubia."Sebelumnya, aku mau bersihkan badanku dulu, karena sudah ternoda oleh anak mama. Aku nggak mau badanku ada banyak noda."Suara Nadine dingin. Entah Kenapa saat ini ia berani mengucapkan itu pada Rubia. Seolah dirinya bukanlah Nadine yang dulu.Maka Nadine langsung masuk ke kamar mandi. Melepas pakaiannya yang kusut. Menyiram dirinya dengan air shower. Menggosokkan seluruh tubuh dan wajahnya dengan sabun sekeras-kerasnya. R
"Mas! Jangan Mas! Jangan! Aku gak mau Mas!" teriak Nadine sambil menangis keras. "Kenapa? Aku suamimu! Gak pantas kamu menolak aku! Cepat!" Erlan menarik tangan Nadine keras, masuk ke dalam kamarnya. Brakkk! Ceklekkk! Pintu terkunci rapat. Tidak ada cela untuk Nadine lari. Erlan menghempaskan tubuh Nadine yang kurus ke atas ranjang. Nadine semakin teriak memenuhi ruangan. "Mas! Aku gak mau! Lepasin aku Mas!" Tidak ada suara sahutan dari Erlan. Hanya suara dengus nafasnya yang terdengar semakin menderu. Mengoyak pakaian Nadine, melemparkan ke lantai. Kini tubuh itu polos. Mata Erlan semakin membulat. Tenaga Erlan yang kuat, membuat Nadine tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya menangis dibalik dengus nafas Erlan yang memburu. Di luar kamar, Sinta menggedor-gedor pintu. "Keluar kalian! Ini kamar aku! Keluar!" Gedoran yang sangat kuat, hingga tangannya terasa sakit. Tidak di hiraukan oleh Erlan. Sinta menangis. Hatinya begitu nyeri. "Makanya Del, kalau mau melakuka
"Mama kamu itu ada sakit kanker, umurnya mungkin gak lama. Kamu akan menyesal dikemudian hari!" ujar Rubia mencoba membuat Nadine yakin dengan suara lantang.Nadine tertegun, seolah sedang memikirkan sesuatu. Apa yang Mama Alena ceritakan sangat berbeda dengan wanita yang baru ia temui ini.'Tapi dia sedang sakit. Bagaimana kalau ternyata dia benar Mama aku. Pastinya aku menyesal seumur hidup.'"Iya nak, benar. Mama Memang sedang sakit. Apa kamu tega membiarkan mama sakit sendirian? Dengan umur Mama yang gak lama lagi ini," kata wanita itu sambil menangis."Apa Ibu sudah ke dokter?" tanya Nadine pelan."Mama sudah berkali-kali ke dokter Nak, tapi hasilnya percuma. Sebetulnya Mama mau ke rumah sakit herbal, tapi biayanya mahal. Uang mama nggak cukup untuk itu.""Berapa yang Ibu butuhkan untuk berobat disana?""Nggak usah Nak, berobat ke sana mahal sekali. Mama nggak mau merepotkan kamu sayang,""Gak apa-apa Bu. Kalau Ibu memang benar-benar butuh, saya akan kasbon di kantor.""Teman Ma
"Nadine! Aku mau bicara sama kamu," ujar Delia ke Nadine Pagi itu, di rumah baru Delia, yang baru ditempati 2 minggu lalu. Mereka semua tinggal di rumah Delia yang terlihat lebih besar dari rumah Rubia. Kamar utama ditempati Delia dan Erlan. Walau begitu, Erlan lebih suka tidur di kursi panjang. seperti biasa, dari pada tidur di ranjang bersama istri keduanya. Sedangkan kamar-kamar lain yang cukup besar, ditempati Sandra dan Rubia. Nadine bersama Alena ibunya satu kamar yang terletak di kamar belakang. "Mau bicara apa Del?" tanya Nadine di pagi hari itu. Lalu Delia membawa Nadine ke taman belakang. Mereka berdua duduk di kursi taman berhadapan. Mata Delia tajam memandang wajah Nadine. "Apa yang mau kamu bicarakan Del?" suara Nadine lirih. Delia menghembuskan nafasnya. seakan mencari kata untuk bicara dengan Nadine. "Ini tentang Erlan. Selama kami menikah, dia gak mau bersetubuh dengan aku. kenapa? Apa kamu yang hasut dia?" suara Delia mulai meninggi. Sebenarnya Nadi