Mobil berhenti di pelataran rumah mewah yang berdiri Mega di atas lahan yang luas. Gerbang otomatis untuk masuk keluarnya mobil Terukir elegan berwarna hitam. Bangunan bertingkat tiga bercat putih dengan marmer dinding mengkilap, menunjukkan pemiliknya mempunyai daya seni klasik. Sementara air mancur di tengah-tengah taman yang dipenuhi tanaman bunga anggrek menguar ke setiap sisi. Calista membuka pintu mobil dan turun membukakan pintu untuk Alena. Nadine pun turun. Matanya sangat takjub mengelilingi setiap pemandangan yang membuatnya merasa nyaman. Mereka melangkah masuk di jalan berbatu granit membelah taman itu. Dengan tanaman bonsai dan tanaman hias lainnnya. "Ckckck," indah sekali rumah ini," decak Nadine. Begitu masuk, suasana eksklusif menyambut pandangan Nadine dan Alena. Melalui Dinding cermin samping rumah, kolam renang biru Safir membentang jacuzzi. Tidak henti-hentinya Nadine berdecak kagum. Dua ART berseragam warna pink menyambutnya. "Biar saya bantu, Oh iya N
What's? kenapa kamu nggak bilang Sandra?" bisik Delia mendongak wajahnya. Matanya membulat. "Aku pikir kamu udah tau. Sisa isinya masih ada tiga perempat lagi! Awas kalau Kak Erlan over dosis. Ini salah kamu!" balas bisik Sandra. "Uissst," Delia mengisyaratkan untuk Sandra diam. TAK! TAK! TAK! Langkah kaki Erlan terdengar menghampiri mereka.Sandra dan Delia menghindar darinya. Awal Erlan tak terjadi apa-apa. Namun, setelah 5 menit, tubuhnya mulai merasakan zat yang masuk secara berlebihan. Reaksi obat itu terasa, dan ia kolaps Dan kini Erlan terbaring lemah. Selang infus masih terpasang di tangannya. Nafasnya masih terasa sesak. Fase kritis baru saja dilewati. "Lebih baik kamu pergi dari sini. Aku gak butuh kamu!" ucap Erlan lirih. Delia menggenggam jemarinya sendiri. Seolah merasakan bersalah. Maka perlahan ia meninggalkan Erlan, walau hatinya masih terasa panas oleh sikap Nadine tadi. Rasa dendam menggerogoti benaknya. Rubia dan Sandra masih menanti di ruang tunggu.
"Jangan pernah berani menyentuh sedikit saja kulitnya. Kalau tidak, anda akan tahu akibatnya!" suara bariton itu terdengar lirih dan dingin. "Apa! Akibatnya apa?! Siapa kamu!? Jangan pernah menyentuh tangan aku!" Hardik Delia. Bola matanya menjorok keluar. "Bapak Aldiano? Kenapa Bapak ada disini?" tanya Nadine terkejut. "Saya sudah tahu semua dari anak buah saya. Kalau perempuan ini sudah memberi obat kuat pada suami anda. Silahkan di cek hasil lab suami anda," ucap Aldiano ke Nadine. "Gak perlu Pak. Suami macam apa seperti itu? Dia sudah melecehkan saya," ucap Nadine lirih. "Jangan sembarangan kalau bicara! Aarrrgh ... Lebih baik aku pergi dari kalian," pekik Delia meninggalkan Aldiano dan Nadine. "Sebaiknya kamu tinggalkan tempat ini. Saya sudah dengar semuanya tentang kamu, permisi." "Pak! Pak! Bapak belum jawab pertanyaan saya. Bapak tahu dari mana, kalau saya ada di sini?" teriak Nadine. Aldiano menoleh ke belakang. "Papa. Saya tahu dari papa. Apa kamu lupa, kalau saya ad
"Calista? kamu belum tidur yah? kok balik ke sini lagi?" tanya Nadine saat Calista masuk ke ruangan VVIP."Jangan khawatir Nona. Saya baru saja ambil barang-barang Nona di hotel, karena hari ini cek out. Jadi atas perintah Ibu Pamela, jadi saya pindahkan koper Nona ke rumah Ibu Pamela.""Apa? Kenapa harus dipindahkan ke rumah Ibu Pamela? Saya jadi merasa nggak enak udah merepotkan dia." kata Nadine membelalak."Jangan khawatir Nona, rumah Ibu Pamela itu sangat besar. Jadi sudah saya siapkan kamar untuk Nona dan Ibu Nona. Karena itu perintah dari ibu Pamela."Calista yang sudah ditugaskan langsung untuk menjaga Nadine dan ibunya, sudah menyiapkan satu kamar di rumah Pamela. Calista, seorang gadis muda cantik, yang sudah terlatih khusus untuk menjaga Pamela, namun sekarang, Pamela ingin Calista menjaga Nadine dan ibunya.Alena meraih tangan Nadine. "Kalau mereka itu baik, dan menghargai kamu, apa yang gak pernah kamu dapatkan dari mertua kamu ataupun suami kamu. Kamu pun harus hargai ke
Nadine seolah tahu ucapan suara di telpon Pamela baru saja. Jantungnya berdegup keras. "Apa ini tentang Mama Bu? Mama kenapa?"Pamela tidak menjawab. Ia tetap menarik Nadine untuk melangkah lebih cepat lagi, menuju ruang ICU. Hal ini membuat Nadine ingin menangis. 'Pasti Mama kenapa-napa,'Sepanjang lorong, hatinya bertanya-tanya dengan rasa cemas yang menghinggapi hatinya.Tanpa sadar mereka bertabrakan dengan Rubia. Membuat mata Rubia memandang kaget. Tak kalah terkejutnya dengan Nadine. Tapi Nadine tak mau menegur, ia tetap berjalan cepat bersama Pamela menyusuri lorong itu. Pamela dan Nadine masuk ke ruang ICU. Di mana Di situ Stev sudah menunggu dengan alat kejut jantung di tangannya."Nadine cepat! kamu harus tanda tangan ini. Karena tindakan harus segera dimulai!Nadine segera menanda tangani persetujuan tindakan kejut jantung untuk Alena."Kalian tunggu di luar. Kami segera menindaki ini," ucap Stev panik.Mata Nadine berkaca-kaca melihat wajah Alena pucat pasi tak bergerak
"Bukannya aku gak mau menerima tawaran Ibu dan Bapak. Tapi aku nggak mau jauh dari mama. Biarkan Mama dirawat di sini, dan biarkan aku yang mengurusnya," ucap Nadine sambil memainkan kuku-kukunya, menutupi rasa gugup."Aku mengucapkan banyak terima kasih atas keprihatinan Bapak dan Ibu, terhadap Mama aku. Tapi maaf, untuk kali ini saya menolak."Steve mengangkat bahunya. Ia tidak bisa bicara apa-apa lagi atas kehendak Nadine."Baiklah, kalau kamu yang mau mengurus sendiri, kami berdua tidak bisa apa-apa. Ketentuan ada di tangan kamu. Dan kami tidak bisa memaksa," ucap Pamela."Nadine, sepertinya kamu sudah lelah. Tidurlah dulu di sini. Jangan sampai kamu yang sakit." tukas Stev."Mama kamu biar menjadi urusan saya, kamu nggak usah khawatir. Setelah beliau siuman, akan saya pindahkan ke ruang VVIP. Ok, kalau begitu saya tinggal dulu."Setelah dokter Stev hilang dari pandangan Pamela dan Nadine. Ada kesempatan untuk mereka berbincang-bincang."Nadine, sebetulnya apa yang terjadi sama m