Share

Bab 7. Mambantu Ibu²

Penulis: sisakata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-12 16:33:13

“Sa-saya ma—”

“Maaf, Pak Arsen. Tapi Mbak ini buat keributan di sini. Dia sibuk minta pekerjaan, padahal sudah saya jelaskan baik-baik kalau di sini tidak ada lowongan. Tapi, Mbak ini maksa saya terus.” Rentetan penjelasan diutarakan oleh pelayan itu. Ia tidak mau salah di mata bos-nya hanya karena Ayara.

Pria yang dipanggil Arsen itu mengangguk paham atas penjelasannya. Lantas ia mengalihkan atensi pada sosok perempuan berkerudung coklat susu yang sedang menggendong seorang anak laki-laki. Arsen menatap datar Ayara yang diam tak berkutik begitu pelayan tersebut menyela ucapannya.

“Benar begitu?”

Ayara mengangguk semangat. Berharap pria di depannya akan memberinya pekerjaan. “Bisa saya bekerja di sini, Pak?”

Arsen tidak habis pikir dengan perempuan berhijab itu. Datang malam-malam dengan menggendong anak. Pertanyaan dalam diri Arsen, apakah dia tega membawa seorang anak di malam hari? Seketika Arsen menggeleng kecil. “Sepertinya yang dikatakan pegawai saya sudah cukup jelas.” Arsen menjawab seadanya. Secara tidak langsung Arsen mendukung balasan penolakan yang pelayan berikan.

“Tapi, Pak, saya butuh sekali. Bantu say—”

“Apa kamu mengerti bahasa manusia?” Arsen menatap datar, terkesan kesal padanya karena cukup susah untuk dibilang. “Mita, bawa dia keluar.”

“Baik, Pak.” Pelayan Mita mengangguk cepat, ia memegang tangan Ayara dan sedikit menyeretnya.

Namun, sebisa mungkin Ayara menahan tubuhnya dan menghampiri Arsen kembali. Ia masih memohon pada pria itu.

“Tolong, Pak. Kalau tidak izinkan saya numpang di depan teras juga gak papa, boleh? Kasihan anak saya kedinginan kalau saya harus pergi lagi, Pak.” Ayara mencoba kembali merayu pria itu, agar memberinya tumpangan di depan restoran.

“Panggilkan satpam saja, Mita. Dia terlalu keras kepala,” perintah Arsen pada Mita. Setelahnya Arsen pergi dari sana, terlihat pria itu memasuki lift.

Ayara menatap nanar kepergian Arsen. Penolakan kembali Ayara terima. Kini, Ayara sudah dibawa keluar oleh Mita. Ayara tak lagi berbicara, apalagi sampai mendesak Mita seperti tadi. Ayara sadar diri, ternyata dirinya setidak beruntung ini dalam kehidupan.

Dengan Aciel yang sudah terlelap, Ayara kembali berjalan menyusuri jalanan malam. Beruntungnya hujan tak lagi turun, memudahkan Ayara mencari tempat untuknya berteduh.

Setelah lumayan lama berjalan, sampai di taman kota. Ayara tak sengaja melihat sebuah gazebo yang terletak tak jauh dari taman kota. Ayara berjalan cepat menuju pondok itu. Begitu tiba, Ayara langsung menidurkan Aciel dengan baik. Biarkan anak itu tidur dengan posisi nyaman.

Namun, berbeda halnya dengan Ayara. Perempuan dengan baju gamis instan, ia memilih untuk tidur dalam posisi duduk. Ia takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika ia tidur sejara terlentang. Mengingat ini adalah luar ruangan, lebih baik ia menghindar sebelum terjadi kan?

“Selamat tidur anak Bunda.” Ayara memejamkan matanya, dengan tangan terus memegang jemari putranya.

Pagi-pagi sekali Ayara bangun. Akan tetapi, ia tidak bisa ke mana-mana. Perut yang lapar pun, ia tidak punya solusi. Uang sepeser pun tak ada. Ayara memohon agar saat putranya bangun, anak itu tidak langsung meminta makan.

Ayara menelusuri sekitar, udara segar terasa sangat nyaman. Di sekeliling taman Ayara melihat beberapa orang yang sedang berlari pagi dan berjalan santai. Namun, atensi Ayara teralihkan pada sebuah suara. Suara itu terdengar seperti orang tertabrak.

“Aduh, gimana, ya?” Ayara kebingungan harus pergi memeriksa orang itu atau tetap diam menunggu Aciel bangun.

Setelah memupuk keyakinan, Ayara beranjak dari pondok itu dan bergegas menuju sumber suara. Ayara berlari kecil melintasi jalan, tak jauh dari sisi bundaran jalan taman, terlihat seorang perempuan yang umurnya tak begitu muda terjatuh di atas aspal. Buru-buru Ayara mendekatinya, lantas membantu perempuan tersebut.

“Ibu, ibu, tidak apa-apa?” Ayara membantu ibu itu untuk bangun.

“Tolong, Nak. Ibu diserempet motor, tapi dia langsung pergi.” Ibu itu mengadu pada Ayara. “Bantu ibu, Nak. Kaki Ibu berdarah,” lanjutnya menunjuk ke arah kakinya.

Benar saja cairan merah terlihat jelas di sana. Ayara seketika bergetar saat melihat darah yang mengucur dari jari kaki ibu tersebut. Akan tetapi, Ayara mencoba melawan ketakutannya. Ia merasa harus membantu ibu itu, tanpa harus membuatnya tersinggung.

“Iy-iya, Bu. Ada darah,” katanya dengan suara bergetar. “Sa-saya bantu, ya.” Ibu itu mengangguk saat Ayara menawarkan bantuan.

Ayara mulai memapah wanita itu. Dengan perlahan Ayara melangkah melewati jalan raya yang masih sedikit sepi. Dengan penuh kehati-hatian Ayara membopongnya, sampai keduanya tiba di pondok tadi.

“Ibu duduk di sini dulu, ya.” Ayara membantu ibu itu duduk di sana. Kemudian Ayara beralih pada Aciel yang ternyata sudah bangun. “Sayang udah bangun, Nak?”

Anak itu mengangguk lucu. Matanya terpaku pada seorang perempuan yang datang dengan bundanya. “Ini tiapa, Nda?”

Ayara menoleh pada sosok yang dimaksud anaknya. Ayara tersenyum tipis, lalu menggendong Aciel ke hadapan ibu tersebut. “Ini orang yang Bunda tolong, tadi ibu ini baru ditabrak orang.”

Aciel mengangguk kecil, tak lama ia tersenyum pada ibu tersebut. “Namanya tiapa?” tanya El dengan ramah.

Ayara sendiri belum sempat menanyakan nama kepada wanita itu. Akan tetapi, anaknya langsung menanyakan namanya.

“Maaf, Bu. Anak saya suka bertanya-tanya.” Ayara tersenyum kikuk pada ibu tersebut.

“Tidak apa, Nak,” katanya pada Ayara. Lalu, ia beralih pada Aciel. “Hai, anak ganteng, panggil nenek Ratih aja ya.” Ratih membalas ramah pertanyaan Aciel.

Anak itu mengangguk semangat. Hal itu membuat Ayara terkekeh geli melihat anaknya. Beginilah putranya jika berkenan dengan orang, tetapi jika dengan neneknya sendiri El akan merengut.

“Nama kamu siapa, Nak?” Ratih ikut menanyakan nama Aciel.

“Ibu bisa panggil El saja.” Ayara menyebutkan nama anaknya.

“Kalau kamu?” tanya Ratih kembali.

“Panggil Ayara saja, Bu.” Ayara menjawab dengan senyuman. “Eh, Bunda hampir lupa. Kamu duduk di sini dulu, ya. Bunda mau bantu lap darah di kaki Nenek Ratih.” Ayara meletakkan Aciel di sebelahnya, kemudian Ayara kembali fokus pada Ratih.

Ratih tersenyum mendengar Ayara yang terlihat rela membantunya. Apalagi ketika Ayara merobek ujung hijabnya sebagai kain penahan darah terakhir agar lukanya tidak terbuka.

“Kau sangat baik, Ayara.” Tiba-tiba Ratih bersuara usai Ayara menyelesaikan aktivitasnya.

Ayara tersenyum tipis. “Aku hanya membantu ini, Bu. Ini hal kecil,” balas Ayara lagi, ia merasa tidak pantas dipuji. Lagi pula ini hanya bantuan biasa.

“Kau takut darah ‘kan?” terka Ratih membuat Ayara tertegun.

“I-Ibu, tau?” Padahal Ayara sudah berusaha menutupi rasa ketakutannya, tetapi Ratih masih bisa menebaknya.

“Jelas tau, Ay. Tadi kamu sempat bergetar saat lihat kaki saya yang berdarah. Tapi, kamu hebat, mau melawan demi membantu orang.” Ratih memandang Ayara dengan takjub. “Terima kasih, ya, Nak. Kalau nggak ada kamu, Ibu gak tau harus gimana tadi. Soalnya sakit banget pas diserempet,” kekehnya setelah berbicara.

“Iya, Bu, sama-sama. Senang sudah membantu. Ibu bisa jalan sendiri? Atau mau aku bantu lagi?” tawar Ayara sebelum dirinya beranjak dari sana.

“Memangnya tidak merepotkan?” Ayara menggeleng kecil. “Ya sudah, Ibu minta tolong lagi, ya, Nak Aya.”

Ayara mengangguk cepat. Ayara bersedia membantu, sebelum sebentar lagi ia berencana akan ke toko emas untuk menjual satu-satunya kalung yang ia punya. Apalagi alasannya selain untuk makan. Ia yakin setelah ini, El akan merengek ingin sarapan.

Kini mereka dalam perjalanan menuju rumah Ratih. Memang tak terlalu jauh dari taman. Ayara melihat rumah-rumah sekitar sini sangat cantik dan mewah. Ayara bisa menebak jika ibu ini orang kaya. Tak sadar mereka mulai memasuki gerbang rumah Ratih.

“Memangnya kamu habis dari mana, Nak?” Ratih belum mengetahui Ayara dari mana, sehingga bisa bertemu dan membantunya. “Kau tinggal daerah sini juga?”

Ayara terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia mengatakan kisah hidupnya pada orang lain kan?

Di tengah kebingungan Ayara, sebuah suara mengalihkan perhatian kedua perempuan berbeda umur tersebut.

“Ma? Mama kenapa?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   GN Bab 66. Janji Sakral

    GN Bab 66.Bab: Janji yang Terucap di Bawah LangitSatu bulan berlalu dengan cepat, penuh dengan hiruk-pikuk persiapan pernikahan Ayara dan Arsen. Sabtu yang menjadi hari penting bagi Arsen dan Ayara, justru batal karena kendala dari pihak wedding organizer. Sebulan setelahnya rasanya seperti mimpi bagi Ayara, yang dulu hanya membayangkan pernikahan di sela-sela tumpukan berkas dan masalah mantan madunya.Di sebuah vila kecil di pinggiran kota—tempat yang dipilih Ayara karena jauh dari hiruk-pikuk kota, dan dekat dengan ketenangan alam—hari ini akhirnya tiba setelah semua haru-hara.Langit cerah, langit yang sama seperti saat Arsen pertama kali menatap Ayara dengan mata yang sungguh-sungguh.Kursi-kursi putih berjejer rapi di halaman rumput yang masih basah oleh embun. Dekorasi bunga nuansa hijau dan peach memberi kesan hangat, lembut, dan sederhana. Musik akustik mengalun pelan, menemani tamu-tamu terdekat yang hadir dengan senyum bahagia.Ayara melangkah perlahan dengan gaun putih s

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 65.

    Bab 65: Langkah di Ambang Kebebasan"lHari Selasa pun tiba pertanda jika sidang lanjutan dari proses perceraian Laras dan Janu berlangsung pada tahap pembuktian. Hari ini terasa lebih berbeda dari sebelumnya, entah mengapa ada gelagat cemas yang menyertai. Laras berdiri di depan cermin kamar mandi apartemennya, menatap pantulan wajahnya yang sedikit pucat. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang bisa saja tidak akan terjadi. Laras memejamkan matanya ketika bayangan Nirmala muncul. Pikiran tentang wanita tua yang pernah menjambaknya di depan umum ketika itu membuat perutnya mual, meski bayi dalam kandungannya seolah mengingatkannya untuk tetap kuat.Dengan helaan napas panjang Laras memaksakan seluas senyum, “Bisa, aku bisa demi hidup yang lebih sehat dengan bayi ini.”Blus biru tua yang sederhana namun rapi, dengan rok panjang yang menyembunyikan perutnya yang mulai membesar. Rambutnya dikuncir rapi ikut terayun pelan ketika perempuan itu melangkah keluar. Reza sudah menunggu

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 64. Ayara Arsen &

    “Lebih baik Laras tinggal di apartemenku saja.” Celetukan Reza yang sangat tiba-tiba berhasil membuat Ayara, Arsen, sekaligus Laras menatap laki-laki itu dengan mulut terbuka.“Kamu lagi bercanda?” Alis Arsen mengerut, “Ngajak perempuan yang masih istri orang tinggal bareng?” Arsen menatap penuh tanya pada temannya itu.Reza yang semula menegang karena semua orang menatapnya intens, sontak menggeleng cepat. Pria itu seolah menyangkal dugaan yang ada di pikiran mereka masing-masing. “Bukan, bukan tinggal bareng, Sen. Laras tinggal di apartemen yang udah gak aku pakai akhir-akhir ini. Aku belum segila itu untuk tinggal berduaan sama seorang perempuan.”Baik Arsen maupun Ayara berhasil bernapas lega. Mereka termasuk Laras pun menyangka jika Reza mengajaknya tinggal berdua. Tentu saja itu tidak akan Laras setujui. Namun, jika seperti yang Reza katakan, Laras akan mempertimbangkan kembali.“Gimana, Laras? Mau kan tinggal di apartemen Mas Reza aja?” Ayara menggenggam tangan Laras. “Biar kam

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   63. Insiden

    Setelah selesai urusan di kantor pengacara, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi makan siang bersama, hitung-hitung agar Laras merasa nyaman dan tidak terlalu canggung ketika berada antara mereka.Ayara langsung menyambar tangan Laras begitu mereka tiba di depan sebuah restoran. "Ayo kita masuk. Kamu jangan gugup gitu, di sini gak ada yang kenal sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut, okay.”Ayara tersenyum pada Laras yang sesekali celingukan melihat sekitar, selayaknya takut ada orang yang ia kenal atau orang yang mengenalnya.Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, keempat manusia dewasa itu berjalan memasuki pintu kaca di hadapannya. Pilihan mereka pada sebuah meja yang terletak di samping tembok. Tak lama mereka duduk, seorang pelayan datang dengan tablet menu di tangannya.Usai memesan makanan, mereka mulai menikmati suasana di restoran sederhana itu. Tempatnya tenang, dengan lampu-lampu kuning yang memberikan suasana nyaman. Di setiap sudut diisi oleh sebagian orang membuat suas

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 62. Kantor Pengacara

    Langit masih mendung, udara terasa dingin setelah hujan reda. Di dalam mobil, Ayara terus melirik ke jendela, pikirannya berkecamuk. Hari ini adalah hari dimana ia akan membahas masalah Laras lebih serius. Arsen yang menyetir melirik Ayara sebentar. "Kamu kenapa cemas gitu, Sayang?” tanyanya dengan suara yang terdengar ragu. Ayara menarik napas dalam. "Hem, aku gak tau juga Mas, takut nanti Laras ngejelasin ke Mas Rezanya.” Arsen menatap Ayara lembut, “Gak ada yang perlu ditakutkan, yakin aja Laras bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Lagian Mas yakin kalau kalau masalah ini pasti diterima.” Ucapan penenang yang kembali Arsen berikan. Ayara tersenyum simpul, perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mencoba yakin jika laporan Laras nanti pasti akan diproses dengan baik seperti yang Arsen katakan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan rumah Laras setelah beberapa saat dalam perjalanan. Ayara bisa melihat perempuan itu duduk di teras, memeluk dirinya sendiri. Wajah yang biasa te

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 61. Serangan Mertua

    Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status