Share

Bab 6. Ditolak Kerja

Penulis: sisakata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-09 11:05:48

“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya.

“Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya.

Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah.

Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?”

Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya.

Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk jalanan yang remang-remang menemani tiap langkah Ayara. Pepohonan di sekitar jalan tampak bergerak seirama, karena angin yang berhembus sedikit kencang. Untungnya belum terlalu larut, masih banyak pengendara yang berlalu lalang, sehingga Ayara tak begitu takut.

Ayara terus berjalan tanpa tujuan. Ingin menaiki taksi atau kendaraan lainnya juga ia tidak punya uang pegangan, karena sebelum ia pergi dari rumah tadi, Nirmala sempat menahannya dan merampas sisa uang yang Janu berikan beberapa hari lalu. Alhasil, Ayara pergi benar-benar dalam keadaan tangan kosong.

Tampaknya langit ikut merasakan kesedihan yang menimpa Ayara. Kini hujan mulai turun. Ayara berlari kecil mencari tempat yang setidaknya bisa dijadikan tempat berteduh. Mobil yang lewat di sisinya sampai badannya terkena cipratan air. Miris memang, tetapi Ayara tidak peduli saat ini tubuhnya kotor, yang ia pedulikan sekarang adalah kondisi anaknya. Putranya tidak boleh sakit.

Hujan semakin deras, beruntungnya Ayara sudah berhasil berteduh di depan sebuah ruko yang tertutup. Ayara mengambil asal kain dalam tas untuk menyelimuti putranya.

“Maaf, ya, kamu harus hujan-hujanan gini karena Bunda.” Ayara merasa bersalah pada anaknya. Ia mencium lembut kening El dan mengusap pelan agar tidur anak itu tidak terganggu. “Jangan bangun dulu, ya. Bunda nyari masjid dulu biar tidur kamu enak.”

Ayara memperhatikan sekitar, tidak terlihat bangun masjid atau sejenisnya di sekitar sana. Namun, tepat beberapa langkah dari posisinya saat ini, Ayara melihat sebuah restoran yang ramai pengunjung. Perempuan berhijab itu memicingkan mata, Ayara merasa tak asing dengan restoran itu, tetapi ia tidak tahu kapan ia pernah melihatnya.

Ah, lupakan. Ayara tidak peduli tentang itu. Kini ia kembali menerobos hujan dan tibalah keduanya tepat di depan bangunan mewah dengan dinding kaca yang menghiasi setiap sudut luarnya. Kesan pertama yang Ayara tangkap adalah restoran ini adalah tempat duduk orang kaya yang menghabiskan waktu bersama orang tercintanya.

“Huhf … semoga aku bisa.” Ayara mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk ke dalam sana.

Begitu masuk Ayara langsung dibuat takjub dengan desain elegan restoran tersebut. Tidak ada pasang mata yang menatapnya, mungkin karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Harum semerbak menusuk penciuman. Suara alunan musik mengalun indah, Ayara celingukan mencari seseorang yang bisa dijadikan tempat bertanya.

“Mbak.” Ayara mencekal tangan seorang perempuan yang hendak melewatinya. Ia yakin itu adalah pegawai di sini.

Perempuan itu mengernyit bingung dengan Ayara yang tiba-tiba menahannya. “Ada apa, ya, Mbak? Apa pesanannya belum tiba?” tanyanya sopan.

“Bukan.” Ayara menggeleng cepat. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah. “Apa saya bisa kerja di sini juga, Mbak?” tanya Ayara ragu, tetapi penuh harap.

“Maaf, tidak bisa ya, Mbak.” Pegawai perempuan itu menangkup tangannya di depan dada. Berharap Ayara paham dengan jawabannya.

Ayara mendesah kecewa saat pegawai itu pergi dari hadapannya. Apakah dirinya tidak layak berkerja di sini? Itulah pikiran Ayara. Ayara hendak pergi, tetapi ketika matanya menatap wajah Aciel yang terlelap dalam gendongan, membuat hati Ayara berkata untuk tetap berusaha merayu perempuan tadi agar membiarkan dirinya bekerja di tempat ini.

Ayara mengikuti kata hatinya, lantas ia mengikuti langkah pegawai tadi yang berjalan ke arah belakang, yang ia yakini itu tempat para pelayan. Sebelum terlambat, Ayara dengan cepat menahan pergelangan pelayan itu kembali.

“Loh, Mbak? Kenapa sayang lagi? Bukannya sudah saya bilang di sini tidak ada lowongan pekerjaan, Mbak!” Perempuan itu membalas dengan nada tak bersahabat. Pasalnya ia juga geram dengan Ayara yang terus bersikeras meminta pekerjaan padanya.

Ayara mengentaskan rasa gengsi dan wajah tak tahu malu. Ayara menggenggam tangan pelayan itu dan kembali memohon. “Tolong, Mbak, bantu saya … terima saya kerja di sini, ya. Saya butuh uang, biar anak saya tidur nyaman,” tambah Ayara sembari melirik ke arah putranya.

Dikarenakan suara Ayara yang cukup bising, membuat beberapa mata menoleh ke arah mereka. Hal itu membuat perempuan pelayan itu semakin kesal. Apa lagi ketika Ayara menjual cerita sedihnya. Ingin sekali ia mendorongnya, tetapi ia tahan karena sekarang sedang waktu kerja dan harus profesional.

“Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Tidak bisa bekerja di sini, ya, Mbak.” Dengan senyum terpaksa ia kembali membalas permintaan menjengkelkan Ayara. "Masalah Mbak gak punya tempat tinggal, itu bukan urusan saya!"

Ayara tersentak saat mendengar itu. memang benar bukan urusan orang lain. akan tetapi, tidak salahnya orang lain membantu dirinya 'kan?

"Berikan kesempatan untuk saya, ya. Saya bisa kerja apa saja. Cuci piring juga bisa, Mbak. Saya bisa apa saja." Ayara berusaha menjelaskan keahliannya, meskipun di bidang cuci-mencuci.

'Ngenyel banget sih, ini buk-ibuk!' gerutu perempuan itu dalam hati. Ia sudah kehabisan kata-kata agar Ayara paham dengan jawabannya.

Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap Ayara. Kali ini tatapannya lebih intimidasi. "Sekali lagi maaf, ya, Mbak. Lebih baik Mbak pergi atau tidak diusir sama satpam?"

"Tapi, Mbak, say—"

“Ada apa ini?”

Kedua perempuan itu sontak menoleh pada asal suara. Bahkan, kalimat Ayara tak selesai ketika suara bariton menyapa pendengaran dan menyela pembicaraan mereka.

“Maaf, Pak.” Pelayan itu menunduk singkat padanya. Ia pun bingung harus menjelaskan dari mana.

“Apa yang terjadi?” Orang tersebut menoleh ke arah perempuan berhijab yang tak lain adalah Ayara. “Siapa kamu?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   GN Bab 66. Janji Sakral

    GN Bab 66.Bab: Janji yang Terucap di Bawah LangitSatu bulan berlalu dengan cepat, penuh dengan hiruk-pikuk persiapan pernikahan Ayara dan Arsen. Sabtu yang menjadi hari penting bagi Arsen dan Ayara, justru batal karena kendala dari pihak wedding organizer. Sebulan setelahnya rasanya seperti mimpi bagi Ayara, yang dulu hanya membayangkan pernikahan di sela-sela tumpukan berkas dan masalah mantan madunya.Di sebuah vila kecil di pinggiran kota—tempat yang dipilih Ayara karena jauh dari hiruk-pikuk kota, dan dekat dengan ketenangan alam—hari ini akhirnya tiba setelah semua haru-hara.Langit cerah, langit yang sama seperti saat Arsen pertama kali menatap Ayara dengan mata yang sungguh-sungguh.Kursi-kursi putih berjejer rapi di halaman rumput yang masih basah oleh embun. Dekorasi bunga nuansa hijau dan peach memberi kesan hangat, lembut, dan sederhana. Musik akustik mengalun pelan, menemani tamu-tamu terdekat yang hadir dengan senyum bahagia.Ayara melangkah perlahan dengan gaun putih s

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 65.

    Bab 65: Langkah di Ambang Kebebasan"lHari Selasa pun tiba pertanda jika sidang lanjutan dari proses perceraian Laras dan Janu berlangsung pada tahap pembuktian. Hari ini terasa lebih berbeda dari sebelumnya, entah mengapa ada gelagat cemas yang menyertai. Laras berdiri di depan cermin kamar mandi apartemennya, menatap pantulan wajahnya yang sedikit pucat. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang bisa saja tidak akan terjadi. Laras memejamkan matanya ketika bayangan Nirmala muncul. Pikiran tentang wanita tua yang pernah menjambaknya di depan umum ketika itu membuat perutnya mual, meski bayi dalam kandungannya seolah mengingatkannya untuk tetap kuat.Dengan helaan napas panjang Laras memaksakan seluas senyum, “Bisa, aku bisa demi hidup yang lebih sehat dengan bayi ini.”Blus biru tua yang sederhana namun rapi, dengan rok panjang yang menyembunyikan perutnya yang mulai membesar. Rambutnya dikuncir rapi ikut terayun pelan ketika perempuan itu melangkah keluar. Reza sudah menunggu

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 64. Ayara Arsen &

    “Lebih baik Laras tinggal di apartemenku saja.” Celetukan Reza yang sangat tiba-tiba berhasil membuat Ayara, Arsen, sekaligus Laras menatap laki-laki itu dengan mulut terbuka.“Kamu lagi bercanda?” Alis Arsen mengerut, “Ngajak perempuan yang masih istri orang tinggal bareng?” Arsen menatap penuh tanya pada temannya itu.Reza yang semula menegang karena semua orang menatapnya intens, sontak menggeleng cepat. Pria itu seolah menyangkal dugaan yang ada di pikiran mereka masing-masing. “Bukan, bukan tinggal bareng, Sen. Laras tinggal di apartemen yang udah gak aku pakai akhir-akhir ini. Aku belum segila itu untuk tinggal berduaan sama seorang perempuan.”Baik Arsen maupun Ayara berhasil bernapas lega. Mereka termasuk Laras pun menyangka jika Reza mengajaknya tinggal berdua. Tentu saja itu tidak akan Laras setujui. Namun, jika seperti yang Reza katakan, Laras akan mempertimbangkan kembali.“Gimana, Laras? Mau kan tinggal di apartemen Mas Reza aja?” Ayara menggenggam tangan Laras. “Biar kam

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   63. Insiden

    Setelah selesai urusan di kantor pengacara, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi makan siang bersama, hitung-hitung agar Laras merasa nyaman dan tidak terlalu canggung ketika berada antara mereka.Ayara langsung menyambar tangan Laras begitu mereka tiba di depan sebuah restoran. "Ayo kita masuk. Kamu jangan gugup gitu, di sini gak ada yang kenal sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut, okay.”Ayara tersenyum pada Laras yang sesekali celingukan melihat sekitar, selayaknya takut ada orang yang ia kenal atau orang yang mengenalnya.Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, keempat manusia dewasa itu berjalan memasuki pintu kaca di hadapannya. Pilihan mereka pada sebuah meja yang terletak di samping tembok. Tak lama mereka duduk, seorang pelayan datang dengan tablet menu di tangannya.Usai memesan makanan, mereka mulai menikmati suasana di restoran sederhana itu. Tempatnya tenang, dengan lampu-lampu kuning yang memberikan suasana nyaman. Di setiap sudut diisi oleh sebagian orang membuat suas

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 62. Kantor Pengacara

    Langit masih mendung, udara terasa dingin setelah hujan reda. Di dalam mobil, Ayara terus melirik ke jendela, pikirannya berkecamuk. Hari ini adalah hari dimana ia akan membahas masalah Laras lebih serius. Arsen yang menyetir melirik Ayara sebentar. "Kamu kenapa cemas gitu, Sayang?” tanyanya dengan suara yang terdengar ragu. Ayara menarik napas dalam. "Hem, aku gak tau juga Mas, takut nanti Laras ngejelasin ke Mas Rezanya.” Arsen menatap Ayara lembut, “Gak ada yang perlu ditakutkan, yakin aja Laras bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Lagian Mas yakin kalau kalau masalah ini pasti diterima.” Ucapan penenang yang kembali Arsen berikan. Ayara tersenyum simpul, perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mencoba yakin jika laporan Laras nanti pasti akan diproses dengan baik seperti yang Arsen katakan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan rumah Laras setelah beberapa saat dalam perjalanan. Ayara bisa melihat perempuan itu duduk di teras, memeluk dirinya sendiri. Wajah yang biasa te

  • Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris   Bab 61. Serangan Mertua

    Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status