“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya.
“Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya. Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah. Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?” Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya. Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk jalanan yang remang-remang menemani tiap langkah Ayara. Pepohonan di sekitar jalan tampak bergerak seirama, karena angin yang berhembus sedikit kencang. Untungnya belum terlalu larut, masih banyak pengendara yang berlalu lalang, sehingga Ayara tak begitu takut. Ayara terus berjalan tanpa tujuan. Ingin menaiki taksi atau kendaraan lainnya juga ia tidak punya uang pegangan, karena sebelum ia pergi dari rumah tadi, Nirmala sempat menahannya dan merampas sisa uang yang Janu berikan beberapa hari lalu. Alhasil, Ayara pergi benar-benar dalam keadaan tangan kosong. Tampaknya langit ikut merasakan kesedihan yang menimpa Ayara. Kini hujan mulai turun. Ayara berlari kecil mencari tempat yang setidaknya bisa dijadikan tempat berteduh. Mobil yang lewat di sisinya sampai badannya terkena cipratan air. Miris memang, tetapi Ayara tidak peduli saat ini tubuhnya kotor, yang ia pedulikan sekarang adalah kondisi anaknya. Putranya tidak boleh sakit. Hujan semakin deras, beruntungnya Ayara sudah berhasil berteduh di depan sebuah ruko yang tertutup. Ayara mengambil asal kain dalam tas untuk menyelimuti putranya. “Maaf, ya, kamu harus hujan-hujanan gini karena Bunda.” Ayara merasa bersalah pada anaknya. Ia mencium lembut kening El dan mengusap pelan agar tidur anak itu tidak terganggu. “Jangan bangun dulu, ya. Bunda nyari masjid dulu biar tidur kamu enak.” Ayara memperhatikan sekitar, tidak terlihat bangun masjid atau sejenisnya di sekitar sana. Namun, tepat beberapa langkah dari posisinya saat ini, Ayara melihat sebuah restoran yang ramai pengunjung. Perempuan berhijab itu memicingkan mata, Ayara merasa tak asing dengan restoran itu, tetapi ia tidak tahu kapan ia pernah melihatnya. Ah, lupakan. Ayara tidak peduli tentang itu. Kini ia kembali menerobos hujan dan tibalah keduanya tepat di depan bangunan mewah dengan dinding kaca yang menghiasi setiap sudut luarnya. Kesan pertama yang Ayara tangkap adalah restoran ini adalah tempat duduk orang kaya yang menghabiskan waktu bersama orang tercintanya. “Huhf … semoga aku bisa.” Ayara mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk ke dalam sana. Begitu masuk Ayara langsung dibuat takjub dengan desain elegan restoran tersebut. Tidak ada pasang mata yang menatapnya, mungkin karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Harum semerbak menusuk penciuman. Suara alunan musik mengalun indah, Ayara celingukan mencari seseorang yang bisa dijadikan tempat bertanya. “Mbak.” Ayara mencekal tangan seorang perempuan yang hendak melewatinya. Ia yakin itu adalah pegawai di sini. Perempuan itu mengernyit bingung dengan Ayara yang tiba-tiba menahannya. “Ada apa, ya, Mbak? Apa pesanannya belum tiba?” tanyanya sopan. “Bukan.” Ayara menggeleng cepat. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah. “Apa saya bisa kerja di sini juga, Mbak?” tanya Ayara ragu, tetapi penuh harap. “Maaf, tidak bisa ya, Mbak.” Pegawai perempuan itu menangkup tangannya di depan dada. Berharap Ayara paham dengan jawabannya. Ayara mendesah kecewa saat pegawai itu pergi dari hadapannya. Apakah dirinya tidak layak berkerja di sini? Itulah pikiran Ayara. Ayara hendak pergi, tetapi ketika matanya menatap wajah Aciel yang terlelap dalam gendongan, membuat hati Ayara berkata untuk tetap berusaha merayu perempuan tadi agar membiarkan dirinya bekerja di tempat ini. Ayara mengikuti kata hatinya, lantas ia mengikuti langkah pegawai tadi yang berjalan ke arah belakang, yang ia yakini itu tempat para pelayan. Sebelum terlambat, Ayara dengan cepat menahan pergelangan pelayan itu kembali. “Loh, Mbak? Kenapa sayang lagi? Bukannya sudah saya bilang di sini tidak ada lowongan pekerjaan, Mbak!” Perempuan itu membalas dengan nada tak bersahabat. Pasalnya ia juga geram dengan Ayara yang terus bersikeras meminta pekerjaan padanya. Ayara mengentaskan rasa gengsi dan wajah tak tahu malu. Ayara menggenggam tangan pelayan itu dan kembali memohon. “Tolong, Mbak, bantu saya … terima saya kerja di sini, ya. Saya butuh uang, biar anak saya tidur nyaman,” tambah Ayara sembari melirik ke arah putranya. Dikarenakan suara Ayara yang cukup bising, membuat beberapa mata menoleh ke arah mereka. Hal itu membuat perempuan pelayan itu semakin kesal. Apa lagi ketika Ayara menjual cerita sedihnya. Ingin sekali ia mendorongnya, tetapi ia tahan karena sekarang sedang waktu kerja dan harus profesional. “Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Tidak bisa bekerja di sini, ya, Mbak.” Dengan senyum terpaksa ia kembali membalas permintaan menjengkelkan Ayara. "Masalah Mbak gak punya tempat tinggal, itu bukan urusan saya!" Ayara tersentak saat mendengar itu. memang benar bukan urusan orang lain. akan tetapi, tidak salahnya orang lain membantu dirinya 'kan? "Berikan kesempatan untuk saya, ya. Saya bisa kerja apa saja. Cuci piring juga bisa, Mbak. Saya bisa apa saja." Ayara berusaha menjelaskan keahliannya, meskipun di bidang cuci-mencuci. 'Ngenyel banget sih, ini buk-ibuk!' gerutu perempuan itu dalam hati. Ia sudah kehabisan kata-kata agar Ayara paham dengan jawabannya. Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap Ayara. Kali ini tatapannya lebih intimidasi. "Sekali lagi maaf, ya, Mbak. Lebih baik Mbak pergi atau tidak diusir sama satpam?" "Tapi, Mbak, say—" “Ada apa ini?” Kedua perempuan itu sontak menoleh pada asal suara. Bahkan, kalimat Ayara tak selesai ketika suara bariton menyapa pendengaran dan menyela pembicaraan mereka. “Maaf, Pak.” Pelayan itu menunduk singkat padanya. Ia pun bingung harus menjelaskan dari mana. “Apa yang terjadi?” Orang tersebut menoleh ke arah perempuan berhijab yang tak lain adalah Ayara. “Siapa kamu?”“Lebih baik Laras tinggal di apartemenku saja.” Celetukan Reza yang sangat tiba-tiba berhasil membuat Ayara, Arsen, sekaligus Laras menatap laki-laki itu dengan mulut terbuka.“Kamu lagi bercanda?” Alis Arsen mengerut, “Ngajak perempuan yang masih istri orang tinggal bareng?” Arsen menatap penuh tanya pada temannya itu.Reza yang semula menegang karena semua orang menatapnya intens, sontak menggeleng cepat. Pria itu seolah menyangkal dugaan yang ada di pikiran mereka masing-masing. “Bukan, bukan tinggal bareng, Sen. Laras tinggal di apartemen yang udah gak aku pakai akhir-akhir ini. Aku belum segila itu untuk tinggal berduaan sama seorang perempuan.”Baik Arsen maupun Ayara berhasil bernapas lega. Mereka termasuk Laras pun menyangka jika Reza mengajaknya tinggal berdua. Tentu saja itu tidak akan Laras setujui. Namun, jika seperti yang Reza katakan, Laras akan mempertimbangkan kembali.“Gimana, Laras? Mau kan tinggal di apartemen Mas Reza aja?” Ayara menggenggam tangan Laras. “Biar kam
Setelah selesai urusan di kantor pengacara, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi makan siang bersama, hitung-hitung agar Laras merasa nyaman dan tidak terlalu canggung ketika berada antara mereka.Ayara langsung menyambar tangan Laras begitu mereka tiba di depan sebuah restoran. "Ayo kita masuk. Kamu jangan gugup gitu, di sini gak ada yang kenal sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut, okay.”Ayara tersenyum pada Laras yang sesekali celingukan melihat sekitar, selayaknya takut ada orang yang ia kenal atau orang yang mengenalnya.Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, keempat manusia dewasa itu berjalan memasuki pintu kaca di hadapannya. Pilihan mereka pada sebuah meja yang terletak di samping tembok. Tak lama mereka duduk, seorang pelayan datang dengan tablet menu di tangannya.Usai memesan makanan, mereka mulai menikmati suasana di restoran sederhana itu. Tempatnya tenang, dengan lampu-lampu kuning yang memberikan suasana nyaman. Di setiap sudut diisi oleh sebagian orang membuat suas
Langit masih mendung, udara terasa dingin setelah hujan reda. Di dalam mobil, Ayara terus melirik ke jendela, pikirannya berkecamuk. Hari ini adalah hari dimana ia akan membahas masalah Laras lebih serius. Arsen yang menyetir melirik Ayara sebentar. "Kamu kenapa cemas gitu, Sayang?” tanyanya dengan suara yang terdengar ragu. Ayara menarik napas dalam. "Hem, aku gak tau juga Mas, takut nanti Laras ngejelasin ke Mas Rezanya.” Arsen menatap Ayara lembut, “Gak ada yang perlu ditakutkan, yakin aja Laras bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Lagian Mas yakin kalau kalau masalah ini pasti diterima.” Ucapan penenang yang kembali Arsen berikan. Ayara tersenyum simpul, perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mencoba yakin jika laporan Laras nanti pasti akan diproses dengan baik seperti yang Arsen katakan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan rumah Laras setelah beberapa saat dalam perjalanan. Ayara bisa melihat perempuan itu duduk di teras, memeluk dirinya sendiri. Wajah yang biasa te
Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t
Malam itu, Ayara masih duduk di samping Kakeknya. Angin malam yang sejuk menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi.Kakek menghela napas panjang, mengusap janggut putihnya sebelum akhirnya menatap cucunya dengan pandangan yang lebih lembut."Ayara..." suaranya terdengar lebih tenang, tidak lagi sekeras sebelumnya. "Kakek hanya takut kamu terluka lagi."Ayara menggenggam tangan Kakeknya, jemarinya hangat meski hatinya masih terasa berat. "Aku tahu, Kek. Tapi kali ini aku yang memilih. Aku gak mau perempuan lain mengalami apa yang pernah aku alami."Kakek diam sejenak, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Kamu benar-benar keras kepala, ya?"Ayara tertawa pelan. "Bukan keras kepala, Kek. Cuma... aku gak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja.” Kini Ayara melirih."Kamu benar-benar seperti almarhum ayahmu."Ayara menoleh, terkejut dengan ucapan tiba-tiba sang kakek. "Apa maksud Kakek?"Kakek mengubah raut wajahnya yang tegas dengan ters
Langit mendung menggantung rendah ketika Ayara tiba di kafe kecil tempat ia berjanji bertemu dengan Laras. Matanya langsung mencari sosok perempuan itu di antara meja-meja yang hampir penuh. Saat menemukan Laras duduk di sudut ruangan, Ayara langsung terdiam.Perempuan itu mengenakan sweater oversized, tetapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Ada lebam ungu di pelipisnya, bibirnya pecah, dan di sudut matanya masih tampak sembab seolah habis menangis semalaman."Laras..." Ayara menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya.Laras menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayara. "Maaf, aku bikin kamu repot."Ayara menggeleng cepat. "Apa yang terjadi?"Laras menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar serak. "Sejak malam aku pulang dari rumahmu itu... hidupku berubah jadi neraka, Ra." Ia menelan ludah, matanya menatap kosong meja di depannya. "Ibu Nirmala selalu pukul aku, hampir tiap hari dia datang ke rumaku. Aku mau ngelawan, tapi aku gak … aku gak bisa