Share

Keputusan yang harus di ambil

“Suamiku bukanlah seorang duda!”

Baru selangkah Anggita mendekati kerumunan ibu mertuanya bersama wanita yang dibawa oleh sang suami, Anggita tiba-tiba ditarik masuk ke arah dapur oleh Anita, adik iparnya.

“Mau ngapain, Mbak?” desis wanita yang lebih muda dari Anggita tersebut. “Jangan macam-macam! Aku enggak mau Mbak merusak acara ini.”

“Apa-apaan kamu, Nit? Aku mau kasih tahu ke semua orang di luar sana kalau kakak iparmu itu punya istri!”

Anita tampak meremehkan. “Dengan penampilan Mbak yang lusuh begini? Bikin malu, Mbak!” ucapnya. “Udahlah, urusan Mbak Anggita sama Mas Beni selesaikan saja di rumah.”

Anggita terperangah. "Nit, kamu jahat banget. Kamu enggak memiliki empati sedikit pun sama aku? Kita di sini sama-sama menantu. Bagaimana kalau suamimu tiba-tiba membawa pulang wanita lain?"

"Mbak, maaf ya. Bukan enggak memiliki empati sama Mbak Anggita. Hanya saja, aku pikir wajar ya kalau Mas Beni itu mencari wanita lain." Sembari mengatakan itu, Anita menatap Anggita dari ujung kaki hingga kepala, lalu menutup mulutnya–menahan tawa.

"Mbak, coba ngaca deh. Ini kan acara yang didatangi banyak orang. Masa penampilan Mbak lusuh dan bau begini?” Anita kembali terkekeh. Ia kian meremehkan kakak iparnya itu. “Lagian, meski kita sama-sama menantu, suamiku nggak mungkin bawa pulang wanita lain. Aku masih pintar urus suami, nggak kayak Mbak.”

Mendengar rentetan kalimat dari Anita, rasanya Anggita ingin sekali menjambak adik iparnya itu. Penampilan dia yang seperti ini toh karena sejak tadi ia mengurusi persiapan acara.

Namun, Anggita tak mau membuat dirinya terlihat bodoh karena semua pasti akan membela Anita, bukan dirinya.

Ia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri.

Karenanya, Anggita membiarkan Anita meninggalkannya yang tengah mengatasi kemarahan dan rasa dongkolnya tersebut. Anggita juga menekan perasaan sakit hatinya lantaran ia bisa menyaksikan kemesraan sang suami dengan wanita lain sepanjang acara.

Baru ketika ia sudah sampai di rumah sendiri bersama suaminya, Anggita langsung meminta penjelasan pada sang suami.

"Mas, siapa wanita itu?”

Namun, Beni hanya diam dan tak banyak bicara. Pria itu malah sibuk dengan ponsel miliknya dan tersenyum sendiri.

“Mas! Aku bicara sama kamu,” ucap Anggita lagi. ”Siapa wanita itu? Calon istri barumu?”

"Ck, berisik!” balas Beni kasar. “Kalau sudah tahu, ngapain nanya?”

Meskipun sudah menduga, tetap saja Anggita merasa sakit hati saat mendengar jawaban suaminya.

“Ibu tahu? Jadi karena itu ibumu bilang kalau kamu sudah duda?” cecar Anggita lagi. Suaranya bergetar karena emosi. “Aku ini masih istri kamu! Bukan pembantu. Seenaknya saja dia bilang kamu sudah duda dan aku cuma sekadar pembantu di sana.”

Beni mendengus. “Lagian kamu sadar diri dong. Mana mungkin Ibu mau mengakui kamu sebagai menantunya di depan para tamunya Anita dan teman-temannya. Ngaca! Lihat diri kamu. Udah jelek, bau lagi!"

“Tetap saja aku ini masih istri sah kamu. Kamu enggak bisa menghargai aku?" Anggita kembali bicara dengan menahan sesak yang kian menusuk di dada. "Kamu lupa siapa yang menemani kamu saat kamu susah?"

Anggita ingat. Dahulu, ialah yang menjamin kebutuhan suaminya ketika pria itu masih belum mapan seperti sekarang, bahkan sebelum keduanya menikah.

Sementara itu, Beni tersenyum miring. Dengan enteng ia kembali mengabaikan Anggita. Namun, sang istri tidak membiarkan pria itu lolos kali ini. Anggita kembali mengejarnya dan terjadi pertengkaran lagi.

"Mas, demi kamu aku meninggalkan keluarga aku. Aku memilih kamu meskipun keluargaku menentang habis-habisan, bahkan mengatakan kalau kamu hanyalah pria berengsek,” ucap Anggita. “Ternyata memang benar, kamu itu memang manusia tidak tahu terima kasih!"

"Jaga ucapan kamu! Kamu yang tidak tahu diri!” bentak Beni. “Coba kamu ngaca, sebagai istri, apa pernah kamu membuat aku senang? Sehari-hari cuma ngurus rumah aja, tapi penampilan udah bener-bener kayak pembantu! Lusuh dan kusam.”

Anggita terperangah. Dahulu, ia masih bisa bersolek diri. Namun, semenjak menikah, ia sudah tidak dapat memperhatikan penampilannya lagi.

"Mas, aku seperti ini pun karena kamu tak pernah memberikan uang lebih," kata Anggita lirih. “Uang yang kamu kasih–”

"Bukan urusanku!” sergah Beni. “Lagian, untuk apa aku memberi uang lebih. Kamu itu sebagai istri harusnya pintar-pintar mengurus keuangan. Ini nih, sebabnya aku nggak bisa kasih gajiku sepenuhnya juga ke kamu.”

“Jadi wanita nggak bisa dandan, ngurus uang juga gak becus,” gerutu Beni. Matanya kembali fokus pada ponsel di tangannya. “Sudahlah. Asal kamu tahu, aku akan menikah lagi. Jangan pernah halangi aku."

Anggita mencengkeram lengan sang suami dan menarik pria itu agar kembali menghadapnya.

“Aku masih istrimu!” bentaknya dengan mata merah karena menahan tangis. “Kalau kamu mau menikah lagi, paling tidak ceraikan aku dulu! Toh ibumu sudah tidak menganggapku menantu!”

“Heh!” Beni menarik tangannya dengan kasar, sontak membuat Anggita sedikit terpelanting. “Memangnya kamu mau pergi ke mana, Anggita? Sudahlah, kamu tetap bantu-bantu di sini saja. Paling tidak kamu bisa makan dan tidur gratis.”

Anggita tak kuat mendengar semua cercaan dari sang suami. Ia pun masuk ke kamar, ia meremas dada merasakan sesak yang begitu perih. Pria yang selama ini ia bela di depan keluarga besarnya malah kini membuangnya.

Suaminya benar. Meskipun bercerai pun, Anggita tidak tahu ia harus pergi ke mana setelahnya. Ia tidak mau tinggal di tempat ini–tempat yang sudah tidak lagi menghargainya meski ia sudah memberikan banyak hal pada suami dan keluarga pria tidak tahu terima kasih itu.

Namun, Anggita juga tidak mungkin kembali pada keluarganya. Di detik ketika Anggita melanggar larangan keluarganya untuk menikahi Beni, saat itu juga sang kepala keluarga mencoretnya dari daftar anggota keluarga.

Saat itu, tiba-tiba sebuah pesan masuk.

Anggita menatap ponselnya sesaat dan meraihnya, lalu membuka pesan tersebut.

[Kabarmu bagaimana?]

Sebuah pesan masuk dari sang kakak pun berhasil membuat Anggita kembali menangis. Dengan tangan bergetar, wanita itu Lalu, ia pun gegas menghubungi sang kakak.

“Kakak,” isak Anggita setelah terdengar kakaknya mengangkat panggilan. “Kak, aku mau pulang."

Hening di seberang saluran telepon sebelum akhirnya sebuah suara maskulin menyahut.

"Pulanglah. Akan Kakak jemput."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status