Sukma merapikan tudung saji dan memeriksa dapur sebelum berangkat ke rumah ibunya. Pagi ini suasana hatinya tidak baik-baik saja. Saat tahu angsuran yang harus dibayar sekitar tiga juga, kepalanya seketika terasa berat. Dulu saat Yudi membayar utang bank keliling Romi yang jumlahnya 800 ribu sebulan, dia hanya diberi nafkah satu juta per bulan. Dia pastikan ke depan mungkin Yudi akan kesulitan memberinya uang. Sukma berusaha menenangkan diri, walau dia punya penghasilan sendiri, bukan berarti tidak butuh nafkah dari Yudi. Dia memasukkan gamis, jilbab dan bahan makanan ke dalam tas kain untuk diberikan ke ibunya.
Rumah yang ditempati ibunya sekarang bekas kontrakan mereka dulu. Dari usahanya berjualan online, Sukma mampu membeli rumah itu saat dia masih menimba ilmu di salah satu universitas. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman. Bukannya tak pernah mengajak sang ibu tinggal bersama di kontrakannya, tetapi wanita itu selalu menolak untuk pindah. "Ibu di sini saja, Nak. Tempat ini penuh kenangan, meskipun sederhana." Begitu alasan yang sering kali diberikan. Sukma mengerti, tetapi tetap saja hatinya khawatir setiap kali meninggalkan ibunya sendirian. Setelah 30 menit perjalanan, Sukma tiba di depan rumah kontrakan ibunya. Dia mengetuk pintu pelan, lalu masuk begitu mendengar suara ibunya dari dalam. "Eh, Sukma. Tumben pagi-pagi ke sini?" Sukma mencium tangan ibunya dan meletakkan tas yang dibawanya di atas meja. "Aku kangen, Bu. Lagi pula ada yang mau aku ceritakan." Ibunya langsung menyuguhkan teh hangat sambil duduk di kursi yang berderit. "Ceritakan saja, Nak. Kalau ada beban di hati, jangan dipendam sendiri." Awalnya, Sukma ragu untuk memulai, tapi setelah didesak ibunya, dia mulai menceritakan semua yang terjadi. Perihal sikap mertua yang selalu memihak adik-adik Yudi, hingga bagaimana Yudi menjadi sosok yang tak bisa tegas pada keluarganya. Ibunya mendengarkan dengan tenang. Meski begitu raut wajahnya sesekali berubah mendung ketika Sukma bercerita soal beban utang yang ditanggung Yudi.dan perlakuan mertuanya. "Begini, Nak," ibunya mulai bicara setelah Sukma selesai. "Ujian dalam rumah tangga itu banyak bentuknya. Kadang datang dari orang luar, kadang dari keluarga sendiri. Selama Yudi itu tidak main perempuan, jud-i, mabuk-mabukan, masih ada alasan untuk bertahan." Sukma diam, menundukkan kepalanya. "Tapi, Bu, aku capek. Apa aku salah kalau ingin Yudi lebih tegas pada keluarganya? Kenapa semua orang menganggap aku ini penghalang antara Yudi dan ibunya? Padahal aku cuma ingin dia adil. Aku juga punya hak untuk bahagia, Bu." Ibunya menarik napas panjang, lalu menatap Sukma dengan lembut. "Kamu tidak salah, Sukma. Kamu hanya ingin suami memperhatikan istri, bukan hanya keluarga besarnya. Tapi ingat, menikah itu artinya menerima semua beban pasanganmu. Kalau kamu mundur sekarang, apa yakin hidupmu akan lebih tenang?" Sukma menghela napas. Kata-kata ibunya mengendap di kepalanya, tetapi tidak cukup untuk meredakan am4rahnya. "Aku tahu, Bu. Aku kasihan sama Mas Yudi. Keluargany menjadikan dia sapi perah, mereka tidak mau tahu Mas Yudi secapek apa, kalau ada maunya baru mulut manis mereka keluar." Ibunya mengangguk pelan. "Kalau begitu, kamu harus bicarakan ini lagi dengan Yudi. Jangan diam saja. Tapi, ingat, jangan sampai lidahmu jadi pisau yang meluk-ai. Kata-kata itu bisa lebih tajam dari apa pun, Nak." Setelah menghabiskan waktu hingga sore, Sukma berpamitan untuk pulang. Di perjalanan, dia memutuskan mampir ke warung kecil untuk membeli stok camilan. Saat sedang memilih roti dan mie instan, sayup-sayup dia mendengar suara yang sangat familiar. "Iya, Mbak. Sukma itu nggak pernah perhatian ke saya. Padahal rumahnya cuma di seberang sana, lho. Dekat banget" "Lho, bukannya Mbak Sukma sering ke rumah Bu Lilis? Saya sering liat tiap sore." "Iya, cuma lihat doang, tapi nggak ngasih apa-apa. Dia di rumah pun sibuk main ponsel. Basa-basi mau nitip belanja apa juga nggak. Padahal dia kan istrinya Yudi. Mestinya dia ikut tanggung jawab sama saya, minimal jangan pengaruhi anak saya buat benc1 saya." Sukma menajamkan telinga. Tidak salah, itu suara ibu mertuanya. "Iya, saya dengar Yudi sering sakit sekarang. Mungkin karena istri nggak berbakti," sahut seorang wanita lain. Sukma mengepalkan tangannya. Dia melangkah pelan ke arah mereka, sengaja menampakkan diri. Ibu mertuanya langsung terdiam begitu melihat Sukma berdiri dengan senyum tipis. "Oh, jadi saya kurang perhatian, ya?" Sukma bertanya dengan nada datar, sangat tenang meskipun ada nyala api di matanya. "Memangnya makanan yang Ibu makan setiap hari itu turun dari langit? Atau rumah Ibu bisa bersih sendiri tanpa saya yang membantu?" Ibu mertuanya salah tingkat, tetapi segera memasang wajah acuh tak acuh. "Kamu itu bicara apa, Sukma? Ibu cuma curhat, kok. Nggak usah tersinggung." Sukma tersenyum sinis. "Curhat, ya, Bu? Baiklah, lain kali kalau Ibu butuh bantuan, jangan lupa curhat ke orang lain juga. Jangan ke saya, soalnya saya menantu tidak berbakti." Wanita yang tadi berbicara dengan ibu mertuanya menunduk canggung, sementara Sukma membayar belanjaannya dengan tenang. Sebelum pergi, dia menoleh sekali lagi ke arah ibu mertuanya. "Ingat, Bu. Kalau memang saya ini istri yang nggak berbakti, Ibu bebas suruh Mas Yudi cari istri lain. Saya nggak akan keberatan." Sukma meninggalkan warung dengan langkah tegas, tetapi hatinya terasa panas. Dia tahu kata-katanya tadi bisa memicu masalah lebih besar, tetapi dia sudah terlalu muak. Bisa-bisanya yang dia lakukan selama ini untuk ibu mertua tidak dihargai sama sekali. Ketika tiba di rumah, Yudi sudah menunggu di meja makan. Melihat wajah suaminya yang lelah, Sukma merasa sedikit bersalah. Dia menahan diri agar tak mengadukan sikap ibu mertuanya tadi. Dia tak ingin menambah beban hati suaminya. "Darimana, Sayang?" Yudi bertanya dengan nada lembut. "Dari rumah Ibuku, trus belanja," jawab Sukma singkat, lalu berjalan ke dapur untuk menyimpan barang belanjaannya. Yudi mengikuti dari belakang. "Kamu nggak apa-apa? Tadi Ibu telepon, katanya kamu marah di warung." Sukma membalikkan badan dengan cepat. "Oh, jadi Ibumu sudah telepon duluan, ya? Hebat sekali. Dia cerita apa? Kalau aku ini menantu yang nggak tahu diri? Atau aku ini istri yang menghalangi anaknya berbakti?" Yudi terlihat bingung. "Sukma, jangan salah paham. Aku cuma tanya." Sukma memotong dengan suara yang lebih tinggi. "Mas, sampai kapan kamu akan terus jadi boneka keluargamu? Aku ini istrimu, tapi aku selalu dianggap orang luar. Apa aku harus menunggu sampai kamu kehilangan segalanya baru sadar?" Yudi tidak menjawab. Dia menundukkan kepala, tampak seperti orang yang kehilangan kata-kata. Sukma melanjutkan dengan suara yang lebih tenang tetapi tegas. "Aku sudah sabar, Mas, tapi sabar ada batasnya. Kalau kamu terus begini, aku nggak tahu sampai kapan bisa bertahan." Yudi mengangkat kepala dan menatap Sukma dengan sorot bersalah. "Maaf, ya, udah jangan dengarkan Ibu lagi. Sedapat mungkin hindari konfrontasi dengan Ibu." Sukma menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. "Kamu tahu, Mas? Bukan hanya ada anak durhaka, tetapi ada juga Ibu durhaka yang membuat putranya lupa kewajibannya pada istri." Setelah berkata demikian, Sukma pergi ke kamar tanpa menunggu jawaban. Dia membiarkan Yudi berdiri sendirian di dapur. Yudi terduduk lemas di kursi dapur memikirkan kata-kata Sukma. Dia tahu istrinya benar, tapi, apa yang harus dia lakukan?Setelah dua hari menghilang, Yudi akhirnya pulang ke rumah dengan langkah gontai. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang mengguncang hatinya. Dia meletakkan sembarang sepeda motornya. Dahinya berkerut ketika melihat mobil yang biasa dipakai Sella terparkir di pekarangan rumah. Saat membuka pintu, ia disambut oleh ibunya yang berdiri dengan wajah marah. "Ke mana saja kamu dua hari ini, Yudi? Menghilang tanpa kabar, membuat kami semua khawatir!" Ibunya bertolak pinggang menatap Yudi tajam. Yudi hanya terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan ibunya. Lagipula dia bukan an4k kecil yang harus berkabar. Harusnya ibunya mengerti perasaannya, tapi wanita itu seolah-olah menutup mata. Yudi merasa miris, inilah keluarga yang dia agung-agungkan dulu. Saat melewati kamar Juno, matanya tertuju pada Sella dan Juno yang tiba-tiba muncul dari kamar. "Setelah kamu pergi begitu saja, kami terpaksa menikahkan Sella dengan Juno untuk menghindari malu." Ibunya menjelaskan tanpa diminta. Yudi menat
Pagi itu, rumah Sella telah disulap menjadi tempat yang megah. Dekorasi elegan menghiasi setiap sudut, bunga-bunga segar menebarkan aroma wangi, dan para tamu mulai berdatangan, menantikan momen sakral akad nikah antara Yudi dan Sella. Di sebuah kamar yang disediakan khusus untuknya, Yudi duduk termenung. Pikirannya berkecamuk, bayangan tentang Sukma, mantan istrinya, terus menghantui benaknya. Penyesalan perlahan merayapi hatinya, terutama mengingat anak mereka yang akan segera lahir. Namun, Yudi mencoba menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa keputusan untuk menikahi Sella adalah yang terbaik, terutama setelah banyaknya bantuan yang diberikan Sella kepada keluarganya. Lambat-laun dia yakin perasaan pada Sukma akan hilang dengan sendirinya. Merasa bosan karena terlalu lama menunggu, Yudi memutuskan keluar kamar untuk mencari minuman dan menghisap sebatang rokok, berharap dapat meredakan kegelisahannya. Saat melintasi koridor, telinganya menangkap suara des4han dari salah satu
Empat bulan akhirnya berlalu. Sukma menatap surat cerai di tangannya. Satu bulan yang lalu Yudi mengantarkan surat itu bersama undangan pernikahannya dengan Sella. Senyum kemenangan tampak di wajah wanita itu, dia masih saja berusaha memprovokasi Sukma, seolah-olah tak puas berhasil menghancurkan rumah tangganya. Namun, Sukma memilih tidak menanggapi, karena Sella memang tak penting untuknya. "Aku harap kamu datang ke pernikahan aku dan Mas Yudi. Resepsinya sangat mewah dan meriah." Sella sengaja menggandeng lengan Yudi untuk menunjukkan posisinya. "Aku usahakan, karena akhir-akhir ini aku sibuk sekali." Suara Sukma terdengar tenang. Sella salah kalau berpikir dia akan terpancing trik murahan itu. Hatinya telah mati rasa, jadi mau keduanya bermesra4n pun di depannya tidak berpengaruh apa pun. Sella mencibir. "Ck, gayamu sok sibuk. Paling juga sibuk nyari kerja. Lagian siapa yang mau pekerjakan wanita h4mil sepertimu. Sebentar lagi perutmu bunc1t, kamu pikir nggak ngerepotin?!" L
Sukma duduk tenang di ruang sidang, tangannya terlipat di pangkuan. Perutnya yang mulai membesar sedikit mengganggu posisi duduknya, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan itu. Hari ini, ia ingin semuanya selesai. Di seberangnya, Yudi duduk dengan wajah tegang. Sella dan ibu Yudi duduk di belakang tampak tersenyum penuh kemenangan. Sukma tidak peduli. Ia hanya ingin berpisah secepat mungkin. Hakim mengetukkan palunya. "Saudara Yudi, saudari Sukma, kita lanjutkan sidang perceraian ini. Saudara Yudi, sebelumnya Anda menyampaikan beberapa tuduhan terhadap saudari Sukma, di antaranya bahwa beliau terlalu mandiri dan tidak mendukung rumah tangga sesuai harapan Anda, serta ada keraguan mengenai kehamilannya. Benarkah?" Yudi mengangguk tegas. "Benar, Yang Mulia." Hakim mengalihkan pandangannya ke Sukma. "Saudari Sukma, apakah Anda membantah tuduhan tersebut?" Sukma mengangkat wajahnya, menatap hakim dengan tenang. "Tidak, Yang Mulia." Ruangan mendadak sunyi. Yudi mena
Sukma berdiri di depan toko pakaian yang siap beroperasi. Matanya berembun menatap papan nama yang baru saja dipasang. Usaha ini adalah impian yang akhirnya menjadi nyata. Meski hidupnya sedang kacau karena perceraiannya dengan Yudi, setidaknya dia masih punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Di sampingnya, Arman berdiri dengan tangan di saku, memperhatikan dalam diam. Dia tahu Sukma berusaha tegar, tapi sorot matanya menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. “Kalau kamu butuh bantuan untuk mengurus toko ini, aku siap,” kata Arman akhirnya. Sukma tersenyum kecil. “Terima kasih, Man. Aku harus berterima kasih karna kamu udah bantu aku mewujudkan impianku. Walau buka pemilik, tapi dipercaya olehmu sudah sangat luar biasa. Aku nggak mau merepotkan kamu lagi." “Kamu nggak merepotkan aku. Malah aku senang direpotkan kamu terus.” Sukma menoleh, dan saat itu dia melihat binar di mata Arman sangat tulus, tatapannya begitu dalam membuat hatinya bergetar. Ketulusan yang tak pernah dia temukan
"Jangan-jangan an4k yang kau kandung bukan berasal dari benihku." Sukma geram mendengar perkataan Yudi. Apakah aku serendah itu di matanya? Jangankan berzin4, berdekatan dengan lelaki lain saja tidak pernah. Sementara dia, sidang cerai belum dimulai dia sudah membawa wanita mur4han itu bersamanya. Lihatlah, dengan tidak tahu malu Sella bergelayut di lengannya. "Terserah kamu mau bicara apa. Lagipula nggak akan merubah apa pun." Sukma melangkah perlahan menuju Pengadilan Agama sambil mengusap perutnya. Meski terlihat tegar, tidak ada yang tahu hatinya ngilu mendengar tudingan Yudi. Tiga tahun pernikahan tak membuat lelaki itu benar-benar mengenalnya. Sangat miris, selama pernikahan hari-hari dia dan Yudi lewati dengan harapan Tuhan mempercayai mereka dengan memiliki an4k, tetapi saat dikabulkan lelaki itu justru menggugat cerai, memilih wanita lain. Di sampingnya, Arman berjalan dalam diam. Sesekali dia melirik Sukma. Mendengar tudingan Suami Sukma membuatnya emosi. Andai tadi Suk
Dua minggu berlalu sejak pertengkaran di rumahnya, Yudi tidak pernah lagi datang atau sekadar bertanya kabar. Ada kesedihan mengendap di dada Sukma, bukan perihal lelaki itu mengabaikannya, tetapi dia sedih an4knya yang belum dilahirkan tidak dipedulikan sang ayah. Padahal di tiga semester pertama sangat berat, terutama morning sickness yang membuat tubuhnya lemas. Belum keinginan memakan sesuatu yang tak pernah dia makan sebelumnya. "Nak, ini rujak pepaya kampung yang kamu minta. Padahal nggak musimnya, tapi kalau emang rezeki pasti ada aja jalannya." Narti, ibu Sukma meletakkan kantong kresek di atas meja. Sukma yang sedang berada di kamar meletakkan ponselnya. Untuk merintang waktu, dia belajar bagaimana mengembangkan bisnis baik secara online atau offline. "Ibu dapat dari mana?" tanya Sukma, dia menatap rujak yang sudah tersaji di atas meja dengan mata berbinar. "Dari Wak Romlah. Katanya, anaknya baru pulang bawa banyak oleh-oleh buah. Saat Ibu lewat di depan rumah dipanggil l
"Dia kenapa?" tanya Juno melihat Yudi uring-uringan masuk ke dalam rumah. Sella yang ditanya mengangkat bahu acuh tak acuh, dia duduk di sebelah Juno dengan raut cemberut. "Masmu dari rumah Sukma. Dia kesal karena wanita itu ada laki-laki lain.""Laki-laki lain?" Dahi Juno berkerut, dia menggeser duduk lebih dekat dengan Sella. "Maksudnya gimana?"Sella tersenyum tipis. "Sukma itu tampilannya aja alim, muslimah taat, aslinya dia doyan selingkuh." "Nggak mungkin dia begitu, kamu pasti salah."Sella berdecak. "Kalau begitu dia juga berhasil menipu kamu. Emang, ya, sekarang nggak bisa menilai orang dari penampilan." Suaranya terdengar sinis."Memangnya ada bukti kalau Mbak Sukma selingkuh?"Sella menatap Juno tajam. "Kamu masih ngebela dia? Jelas-jelas tadi saat aku dan Yudi ke rumahnya, si Sukma itu baru pulang jalan sama laki-laki lain. Bukan hanya itu, laki-laki itu mengatakan akan menikahi Sukma setelah melahirkan nanti. Aku jadi curiga, jangan-jangan an4k yang dia kandung bukan an
Arman berlari menghampiri Sukma yang mencoba bangkit, sementara sepeda motornya dibiarkan begitu saja."Kamu nggak apa-apa?" Arman memapah Sukma membawanya duduk di trotoar."Aku nggak apa-apa, tapi perutku ...." Sukma meringis sambil memegangi perutnya.Wajah Arman pias, dia tahu Sukma sedang mengandung. "Tunggu di sini, aku ambil mobil dulu. Kita ke rumah sakit."Sukma mengangguk. Dia melihat beberapa orang lelaki membawa sepeda motornya ke pinggir. Dia juga melihat Arman berbicara dengan pemilik warung lalu memberikan sesuatu. Sukma terpaksa membanting stang sepeda motor ke kiri untuk menghindari anak kecil yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Sayangnya, dari belakang sepeda motor langsung menabraknya. Beruntung keduanya tidak terlalu kencang hingga tidak ada luka serius."Ayo, apa kau kuat berjalan?" Arman membantu Sukma bangkit.Sukma mengangguk, tapi baru beberapa langkah dia mengaduh. Arman tak mau berpikir panjang dia membopong si wanita lalu mendudukkan di kursi depan di