Sukma sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur ketika Yudi muncul dari kamar mandi dengan langkah berat. Wajah pria itu masih terlihat pucat, sisa demam semalam belum sepenuhnya hilang. Namun, aroma masakan yang memenuhi udara membuat perutnya keroncongan. Dia mendekati Sukma perlahan, lalu melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu.
"Maaf, Sayang," bisiknya pelan. Sukma berhenti mengaduk nasi goreng yang hampir matang. Meski hatinya melunak sedikit, dia tidak langsung menjawab. Semalaman dia tid-ur membelakangi suaminya. Bahkan, saat pria itu mencoba memeluk dia menepis. Yudi mempererat pelukannya, kepalanya bersandar di bahu Sukma. "Aku tahu aku salah. Aku terlalu sering menaruh beban keluargaku di atas pundak kita. Aku tahu itu menyakitimu." Sukma menarik napas dalam. "Mas, aku nggak keberatan membantu keluargamu, tapi mereka udah kelewatan. Ibumu terlalu memanjakan adik-adikmu. Aku ini istrimu, jangan sampai aku merasa hanya sebagai tamu dalam hidupmu." "Aku cuma nggak tega melihat Ibu dan adik-adikku kesulitan. Cuma aku tempat mereka bergantung Sukma," sahut Yudi. Mendengar Yudi masih keras kepala membela keluarganya, Sukma menoleh, menatap suaminya dengan mata tajam. "Mas, kesulitan apa? Mereka nggak kesulitan! Ibu masih sehat dan punya pemasukan dari tambak dan sawah yang dikelola orang. Adikmu, Rani, suaminya pegawai eselon di BUMN. Kamu dengar sendiri kan, suaminya baru beli motor. Liat story w******p Rani, motor yang dibeli Moge, harganya ratusan juta. Kalau mereka bisa hidup hedon, kenapa kamu yang harus nanggung semuanya? Kamu nggak merasa itu nggak adil?" "Aku nggak punya pilihan, Sukma. Sejak dulu aku terbiasa mengambil tanggung jawab keluarga. Jadi aku merasa itu kewajibanku kepada mereka." "Mas, jangan bilang nggak ada pilihan. Kamu selalu punya pilihan. Masalahnya, kamu nggak berani bilang 'tidak.' Kamu nggak berani mengecewakan mereka, tapi kamu malah tega membiarkan aku kecewa berkali-kali!" Yudi terdiam. Kata-kata Sukma seperti cambuk yang melecut dadanya. Dia tahu istrinya benar, tapi setiap kali melihat air mata ibunya, setiap kali Rani memohon, hatinya selalu luluh. "Aku nggak mau jadi anak durhaka, Sukma," ucap Yudi lirih. Sukma mendengus pelan, selalu alasan yang sama. Yudi menelan mentah-mentah doktrin sesat dari ibu mertuanya. "Mas, membantu keluarga itu mulia, tapi kalau sampai mengorbankan keluargamu sendiri, itu namanya egois. Apa pernah mereka bilang terima kasih atas semua yang kamu lakukan? Yang ada setiap ada masalah, kamu yang mereka salahkan!" Yudi tertunduk, dia tahu Sukma benar. Tidak ada ucapan terima kasih dari ibunya atau Rani. Bahkan ketika dia terlambat memberi u4ng, yang dia dapat hanyalah keluhan dan tuntutan. "Mas ...." Sukma menatap suaminya lekat. "Aku nggak mau kita hidup seperti ini terus. Aku ingin kita punya masa depan yang lebih baik. Selagi kita belum punya anak, kita bisa meerencanakan masa depan lebih baik, tapi kalau kamu terus seperti ini, aku nggak yakin kita bisa sampai ke sana. Mas harus berubah. Kalau nggak, siap-siap aja kamu kehilangan aku." Yudi terkejut mendengar kata-kata itu. "Sukma, jangan bicara begitu." "Aku serius, Mas." Sukma mengangguk mantap. "Aku nggak mau terus hidup di bawah bayang-bayang keluargamu. Kalau kamu nggak bisa memilih, aku yang akan memilih pergi." * Pagi itu, setelah sarapan, Yudi pergi ke bank seperti yang diminta ibunya. Dia membawa berkas-berkas yang kemarin diserahkan debt kolektor. Selama perjalanan, pikirannya penuh. Kata-kata Sukma terus terngiang di telinganya. Perasaan bersalah menyusup ke dadanya. Sejak menikah dia tidak pernah memberi nafkah yang layak. Sebagian besar gajinya habis untuk keperluan keluarga. Mereka sangat hapal hari dan jam dia gajian. Setelah tiba di bank, seorang petugas menjelaskan dengan detail tentang pinjaman yang ingin ia ajukan. "Jadi, untuk pinjaman sebesar enam puluh juta juta rupiah selama dua tahun, cicilan bulanannya tiga juta seratus ribu rupiah," jelas petugas itu ramah. "Tiga jutaan?" Yudi mengulang pelan, memastikan dia tidak salah dengar. Petugas itu mengangguk. "Benar, Pak. Itu belum termasuk bunga." Yudi merasa kepalanya semakin berat. Gajinya hanya lima juta per bulan. Setiap bulan ia memberi 1 juta 500 ribu untuk ibunya. Kalau dia membayar cicilan 3 jutaan, maka yang tersisa hanya 500 ribu. "Bagaimana, Pak? Setidaknya harus masuk minimal dua angsuran, kalau tidak saya tidak bisa bantu," ucap petugas itu. Yudi tersenyum tipis, mencoba menutupi kepanikannya. "Iya, saya akan usahakan." Dalam perjalanan pulang, Yudi lebih sering melamun. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dengan sisa uang 500 ribu per bulan? Lalu bagaimana dengan nafkah Sukma? Harusnya dia menzalimi istrinya lagi? Kepalanya benar-benar mau pec4h. Di sisi lain, di tahu ibunya akan sedih kalau rumah mereka di sita. Sesampainya di rumah, dia menemukan Sukma sedang menyusun paket-paket jualannya. Wajah istrinya terlihat serius, meski ada kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. "Mas," Sukma memanggil tanpa menoleh. "Kamu sudah ke bank?" "Sudah." "Dan?" Sukma menghentikan kegiatannya, menatap Yudi dengan penuh harap. Yudi menghela napas panjang. "Cicilannya terlalu besar, Sukma. Aku nggak tahu bisa bayar atau nggak." "Mas ...." Sukma mendekat, menatap suaminya dengan tatapan memohon. "Apa kamu masih mau mengambil tanggung jawab pinjaman itu?" Yudi terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. "Kalau Mas tetap mau mengambil pinjaman itu, aku nggak tahu lagi harus berkata apa. Aku sudah bilang, Mas, cukup sampai di sini. Kalau Mas tetap memprioritaskan mereka, aku anggap kamu sudah nggak peduli sama aku." Yudi merasa dinding yang mengelilinginya semakin sempit. Dia tahu Sukma benar. Dia tahu harus mengambil keputusan, tapi bayangan wajah ibunya membuatnya bimbang. "Aku nggak mau lihat Ibu menderita. Rumah itu peninggalan Ayah, aku lahir dan besar di sana," ucap Yudi akhirnya. "Dan kamu rela aku yang menderita, Mas?" Sukma bertanya, suaranya bergetar. Pertanyaan itu seperti pukulan telah bagi Yudi, dia tidak tahu harus menjawab apa. Sukma menghela napas panjang, dia tersenyum getir, terlihat jelas dia kecewa dengan keputusan Yudi. "Mas, kalau kamu memang nggak bisa tegas, aku nggak tahu mesti ngomong apa lagi. Terserah!" Sukma kembali sibuk dengan pekerjaannya. Yudi hanya bisa menatap Sukma dengan tatapan nanar dan kosong. Hatinya hancur, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan istrinya." Ponsel Yudi bergetar, dia memandangi ponselnya. Di layar, ada pesan dari Rani. "Mas, gimana u4ng untuk studi tour keponakanmu? Aku butuh uangnya tiga hari lagi." Yudi menutup matanya, kepalanya semakin berdenyut nyeri.Setelah dua hari menghilang, Yudi akhirnya pulang ke rumah dengan langkah gontai. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang mengguncang hatinya. Dia meletakkan sembarang sepeda motornya. Dahinya berkerut ketika melihat mobil yang biasa dipakai Sella terparkir di pekarangan rumah. Saat membuka pintu, ia disambut oleh ibunya yang berdiri dengan wajah marah. "Ke mana saja kamu dua hari ini, Yudi? Menghilang tanpa kabar, membuat kami semua khawatir!" Ibunya bertolak pinggang menatap Yudi tajam. Yudi hanya terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan ibunya. Lagipula dia bukan an4k kecil yang harus berkabar. Harusnya ibunya mengerti perasaannya, tapi wanita itu seolah-olah menutup mata. Yudi merasa miris, inilah keluarga yang dia agung-agungkan dulu. Saat melewati kamar Juno, matanya tertuju pada Sella dan Juno yang tiba-tiba muncul dari kamar. "Setelah kamu pergi begitu saja, kami terpaksa menikahkan Sella dengan Juno untuk menghindari malu." Ibunya menjelaskan tanpa diminta. Yudi menat
Pagi itu, rumah Sella telah disulap menjadi tempat yang megah. Dekorasi elegan menghiasi setiap sudut, bunga-bunga segar menebarkan aroma wangi, dan para tamu mulai berdatangan, menantikan momen sakral akad nikah antara Yudi dan Sella. Di sebuah kamar yang disediakan khusus untuknya, Yudi duduk termenung. Pikirannya berkecamuk, bayangan tentang Sukma, mantan istrinya, terus menghantui benaknya. Penyesalan perlahan merayapi hatinya, terutama mengingat anak mereka yang akan segera lahir. Namun, Yudi mencoba menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa keputusan untuk menikahi Sella adalah yang terbaik, terutama setelah banyaknya bantuan yang diberikan Sella kepada keluarganya. Lambat-laun dia yakin perasaan pada Sukma akan hilang dengan sendirinya. Merasa bosan karena terlalu lama menunggu, Yudi memutuskan keluar kamar untuk mencari minuman dan menghisap sebatang rokok, berharap dapat meredakan kegelisahannya. Saat melintasi koridor, telinganya menangkap suara des4han dari salah satu
Empat bulan akhirnya berlalu. Sukma menatap surat cerai di tangannya. Satu bulan yang lalu Yudi mengantarkan surat itu bersama undangan pernikahannya dengan Sella. Senyum kemenangan tampak di wajah wanita itu, dia masih saja berusaha memprovokasi Sukma, seolah-olah tak puas berhasil menghancurkan rumah tangganya. Namun, Sukma memilih tidak menanggapi, karena Sella memang tak penting untuknya. "Aku harap kamu datang ke pernikahan aku dan Mas Yudi. Resepsinya sangat mewah dan meriah." Sella sengaja menggandeng lengan Yudi untuk menunjukkan posisinya. "Aku usahakan, karena akhir-akhir ini aku sibuk sekali." Suara Sukma terdengar tenang. Sella salah kalau berpikir dia akan terpancing trik murahan itu. Hatinya telah mati rasa, jadi mau keduanya bermesra4n pun di depannya tidak berpengaruh apa pun. Sella mencibir. "Ck, gayamu sok sibuk. Paling juga sibuk nyari kerja. Lagian siapa yang mau pekerjakan wanita h4mil sepertimu. Sebentar lagi perutmu bunc1t, kamu pikir nggak ngerepotin?!" L
Sukma duduk tenang di ruang sidang, tangannya terlipat di pangkuan. Perutnya yang mulai membesar sedikit mengganggu posisi duduknya, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan itu. Hari ini, ia ingin semuanya selesai. Di seberangnya, Yudi duduk dengan wajah tegang. Sella dan ibu Yudi duduk di belakang tampak tersenyum penuh kemenangan. Sukma tidak peduli. Ia hanya ingin berpisah secepat mungkin. Hakim mengetukkan palunya. "Saudara Yudi, saudari Sukma, kita lanjutkan sidang perceraian ini. Saudara Yudi, sebelumnya Anda menyampaikan beberapa tuduhan terhadap saudari Sukma, di antaranya bahwa beliau terlalu mandiri dan tidak mendukung rumah tangga sesuai harapan Anda, serta ada keraguan mengenai kehamilannya. Benarkah?" Yudi mengangguk tegas. "Benar, Yang Mulia." Hakim mengalihkan pandangannya ke Sukma. "Saudari Sukma, apakah Anda membantah tuduhan tersebut?" Sukma mengangkat wajahnya, menatap hakim dengan tenang. "Tidak, Yang Mulia." Ruangan mendadak sunyi. Yudi mena
Sukma berdiri di depan toko pakaian yang siap beroperasi. Matanya berembun menatap papan nama yang baru saja dipasang. Usaha ini adalah impian yang akhirnya menjadi nyata. Meski hidupnya sedang kacau karena perceraiannya dengan Yudi, setidaknya dia masih punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Di sampingnya, Arman berdiri dengan tangan di saku, memperhatikan dalam diam. Dia tahu Sukma berusaha tegar, tapi sorot matanya menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. “Kalau kamu butuh bantuan untuk mengurus toko ini, aku siap,” kata Arman akhirnya. Sukma tersenyum kecil. “Terima kasih, Man. Aku harus berterima kasih karna kamu udah bantu aku mewujudkan impianku. Walau buka pemilik, tapi dipercaya olehmu sudah sangat luar biasa. Aku nggak mau merepotkan kamu lagi." “Kamu nggak merepotkan aku. Malah aku senang direpotkan kamu terus.” Sukma menoleh, dan saat itu dia melihat binar di mata Arman sangat tulus, tatapannya begitu dalam membuat hatinya bergetar. Ketulusan yang tak pernah dia temukan
"Jangan-jangan an4k yang kau kandung bukan berasal dari benihku." Sukma geram mendengar perkataan Yudi. Apakah aku serendah itu di matanya? Jangankan berzin4, berdekatan dengan lelaki lain saja tidak pernah. Sementara dia, sidang cerai belum dimulai dia sudah membawa wanita mur4han itu bersamanya. Lihatlah, dengan tidak tahu malu Sella bergelayut di lengannya. "Terserah kamu mau bicara apa. Lagipula nggak akan merubah apa pun." Sukma melangkah perlahan menuju Pengadilan Agama sambil mengusap perutnya. Meski terlihat tegar, tidak ada yang tahu hatinya ngilu mendengar tudingan Yudi. Tiga tahun pernikahan tak membuat lelaki itu benar-benar mengenalnya. Sangat miris, selama pernikahan hari-hari dia dan Yudi lewati dengan harapan Tuhan mempercayai mereka dengan memiliki an4k, tetapi saat dikabulkan lelaki itu justru menggugat cerai, memilih wanita lain. Di sampingnya, Arman berjalan dalam diam. Sesekali dia melirik Sukma. Mendengar tudingan Suami Sukma membuatnya emosi. Andai tadi Suk