"Demi Allah, Bu. Saya tidak pernah menyakiti Alisa.""Jangan bohong kamu! Ibu memang sudah muak melihat wajahmu yang sok lugu itu. Perempuan mandul seperti kamu ini, lebih baik diceraikan saja!""Astaghfirullah, Bu. Ini tentang masalah Alisa, kenapa sampai bicara soal perceraian? Saya bersumpah atas nama Allah, kalau saya tidak pernah menyakiti cucu Ibu!""Halah! Kamu ini banyak omong. Lebih baik kamu tinggalkan saja rumah ini, daripada menjadi sumber malapetaka bagi cucuku." Wanita tua itu kembali menghardik."Haris tidak membutuhkan istri mandul seperti kamu. Yang dia butuhkan adalah perempuan yang subur seperti Dewi." Tanpa mempedulikan perasaan Sofia, ibunda Haris terus bicara sambil telunjuknya mengarah ke wajah sang menantu. Sama sekali tidak menghiraukan keadaan sekitar di mana orang-orang telah berdatangan dan menyaksikan semuanya.Salah seorang kerabat ibu mertua yang kebetulan melintas, segera menghampiri untuk menenangkan wanita yang sedang dikuasai oleh amarah itu. Dengan
Sofia segera menutup pintu rumahnya dengan kasar. Wanita itu duduk terkulai di sofa. Kepalanya yang tadi pusing semakin berdenyut sakit. Dengan malas, ia lalu meraih amplop putih yang tergeletak di atas meja, yang tadi diberikan Dewi. Dibukanya benda itu perlahan. Netranya membeliak tak percaya saat menghitung jumlah lembaran rupiah yang ada di dalamnya."Tiga ratus ribu?" tanyanya lirih pada diri sendiri sambil mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna merah dari dalam amplop."Tega kamu, Mas, membiarkan istri mudamu memperlakukan aku seperti ini." Tangan Sofia mengepal menahan amarah. Ditariknya napas dalam-dalam untuk mengisi rongga paru-paru yang terasa sesak. Sedih dan marah bercampur jadi satu. Perempuan itu bangkit dari tempat duduk, menghapus lelehan air mata dengan kasar. Habis sudah kesabarannya kini. Sudah cukup ia diperlakukan semena-mena seperti ini. Ia tak mau lagi mengemis belas kasihan pada laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Tak sudi terus ditind
"Oke, sudah lengkap. Silahkan masuk," ucap wanita itu, kemudian membuka pintu ruangan yang sejak tadi tertutup. Menarik napas panjang demi mengurangi rasa gugup, Sofia lalu melangkah masuk dengan ucapan basmalah. Di dalam ruangan itu telah duduk empat orang dengan draf pertanyaan masing-masing. Dua diantaranya wanita, sisanya adalah laki-laki. Sofia dipersilahkan duduk tepat di hadapan para pewawancara. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika salah seorang laki-laki yang tadi duduk membelakangi, tiba-tiba membalikkan badan dan langsung menatapnya tajam.Sofia berusaha bersikap tenang, mengabaikan sorot dingin dan menusuk dari pria yang sempat ditemuinya di toilet lantai bawah. Bersikap biasa saja meski sebenarnya ia begitu gugup saat ini. Dia yang tadinya sudah menyiapkan diri untuk melakukan interview, mendadak kehilangan konsentrasi karena keberadaan lelaki yang tadi membentaknya karena salah masuk toilet.Sofia yang sempat merasa tegang karena menjadi pusat perhatian akhirnya me
"Nih, upahmu. Karena kerjamu nggak becus, kamu hanya akan dibayar dengan sebungkus nasi putih." Bu Jenar lalu melemparkan sebuah bungkusan pada Sofia, yang kemudian dipungut oleh Sofia dengan tangan bergetar. Dengan mata berkaca-kaca, ia melangkah keluar meninggalkan tempat itu.Para pelanggan yang kebetulan menyaksikan bagaimana Sofia diperlakukan, hanya bisa geleng-geleng kepala. Sikap semena-mena pemilik warung membuat mereka ilfil. Beberapa diantaranya langsung berdiri meninggalkan tempat itu. Pun dengan seorang pria bertopi dan berkaca mata hitam yang sejak tadi memperhatikan Sofia. Laki-laki itu meninggalkan meja, setelah sebelumnya membayar makanan yang belum sempat disentuhnya.Pria berkaca mata hitam berdiri terpaku di pinggir jalan. Netranya memandang punggung Sofia yang berjalan menjauh. Untuk beberapa saat lamanya ia mengarahkan pandangan pada wanita itu. Ia kemudian melangkah menuju mobil sport hitam miliknya yang terparkir tak jauh dari situ.Di depan sana, Sofia melangk
"Penampilanmu itu merusak pemandangan," pungkas lelaki itu membuat hati Sofia mencelos.Sofia menunduk. Apa yang diucapkan oleh lelaki itu memang benar adanya. Siapa pun yang melihatnya, mungkin akan berpendapat seperti itu. Sofia sudah menduga ini sebelumnya. Apa boleh buat, ia tak punya pakaian lain. Dia tidak mungkin memaksakan diri untuk membeli beberapa lembar baju baru yang lebih pantas. Bisa-bisa ia harus puasa sebulan penuh.Menyaksikan perubahan raut wajah Sofia, Alif merasa bersalah. Laki-laki itu menyesal telah berkata seperti itu. Kalimat yang barusan ia ucapkan telah menyakiti perasaan wanita yang belum genap sejam bekerja di kantor itu."Maafkan perkataanku barusan. Terserah kamu mau menerima atau tidak. Tapi jika kamu menolak, berarti harus siap-siap menyaksikan pemandangan seperti tadi." Alif berkata datar. Laki-laki itu kemudian kembali ke mejanya untuk meneruskan pekerjaan.Tak lama kemudian terdengar suara lirih Sofia yang mengucapkan terima kasih. Perempuan itu akh
"Apa yang kau lakukan di kamarku?" teriak Sofia saat mendapati seorang perempuan tengah berbaring di atas ranjang miliknya. Wanita yang masih mengenakan kebaya putih khas pengantin itu menoleh, lalu memandang dengan tatapan pongah. Perlahan dia mengubah posisi tubuh menghadap Sofia yang berdiri di ambang pintu. Sebelah tangan dia gunakan untuk menyangga kepala, sementara kedua kaki sengaja dia julurkan hingga tampak betisnya yang putih mulus."Ini kamar Mas Haris. Itu artinya ... ini kamarku juga." "Apa kau bilang?" bentak Sofia dengan mata membulat. Bisa-bisanya perempuan itu mengakui kamar tidur ini sebagai kamar miliknya, hanya karena kini dia sudah resmi menjadi istri kedua Haris, suami Sofia."Hei, santai saja kenapa? Kau tahu sendiri kalau separuh rumah Ibu sedang direnovasi, termasuk kamar Mas Haris. Di sana juga masih banyak tamu. Kami tak bebas berduaan. Jadi, kami memutuskan untuk menginap di sini. Di kamar ini.""Apa? Menginap di sini? Kalian benar-benar sudah gila!" Sofi
Dari dalam kamar terdengar suara Dewi yang tertawa manja penuh kemenangan. Sofia mengangkat wajah yang masih bersimbah air mata. Menatap nyalang pada pintu kamar yang telah tertutup rapat dengan lampu yang sudah dipadamkan. Sofia bangkit dari duduk, melangkah ke arah dapur. Tangannya meraih sebuah kursi kayu, lalu menyeret benda itu sampai di depan kamar. Entah kekuatan dari mana, diangkatnya kursi kayu itu tinggi-tinggi, hendak diban tingnya pada pintu kamar yang tertutup rapat.Ingin rasanya Sofia mendobrak pintu kamarnya yang tertutup. Biar dua orang yang sedang bermesraan di dalam sana jadi terganggu. Namun, wanita itu berubah pikiran dan terpaksa mengurungkan niat. Ia tak mau sikapnya yang penuh amarah hanya akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan perempuan yang telah memenangkan hati sang suami. Sofia yang berhasil mengendalikan diri dari amarah yang memuncak, akhirnya menurunkan kursi yang sempat terangkat. Tangannya bergerak mengelus dada berulangkali sambil bibirnya mengucap
Tak sanggup terus mendengarkan suara sepasang kekasih di dalam kamar, tangan Sofia bergerak menutupi kedua telinga demi meredam suara yang membuat jantungnya serasa seperti tercabik. Tawa manja perempuan yang kini berstatus sebagai istri kedua itu seakan sengaja mengejek dan menertawakan kehancuran dirinya.Tak mau terus terpuruk dalam kesedihan, Sofia perlahan bangkit. Melangkah gontai menuju salah satu kamar yang lain. Sebuah ruangan berukuran lebih kecil dari kamar utama. Kamar itu lebih sering kosong karena tidak ada yang menempati. Seluruh ruangan tampak bersih dan rapi. Sofia memang selalu membersihkan kamar tersebut meski tak ada yang menempati.Wanita berwajah ayu itu memilih membaringkan tubuh rampingnya di atas ranjang berukuran sedang. Beberapa kali ia menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Berharap sesak dalam dada segera sirna. Masih dengan sisa-sisa air mata, netranya memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Sepanjang malam itu Sofia