“Balikin gak!” suara Khanza mulai meninggi, membuat Romi langsung membungkam mulut Khanza dengan satu tangannya. Detik kemudian pandangan mereka beradu sejenak, Khanza langsung menggigit tangan Romi.
“Akh … gila kamu ya,” kesal Romi yang hanya di hadiahi tatapan tajam dari Khanza.
“Sini ponselku!" bentak Khanza ntah kenapa setiap melihat Romi emosinya langsung naik begitu saja.
“Kamu nggak malu nelpon laki-laki tengah malam begini minta uang. Dimana harga dirimu sebagai perempuan, kamu tahu kan perempuan yang bekerja demi uang di waktu sekarang itu apa?
Apa kamu seperti itu juga,” cecar Romi membuat mata Khanza kembali berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Romi sekejam itu jika berbicara.
“Jika kamu menganggap aku serendah itu silahkan saja. Yang jelas aku tidak akan meminta uangmu yang banyak itu,” jawab Khanza dengan air mata yang sudah tidak bisa di bendung lagi.
Lain halnya dengan Romi yang kaget melihat Khanza menangis. Khanza berbalik, lalu ia membuka pintu balkon. Ia duduk sambil memeluk lututnya di malam yang dingin dan gelap itu.
Sedangkan Romi ia masih mematung dengan ucapan Khanza barusan. Ia juga bahkan tidak sadar denga apa yang baru saja ia ucapkan pada Khanza. Benarkah ia menyamakan Khanza dengan wanita malam?
Romi mendekati pintu balkon ia melihat jelas bahu gadis itu bergetar. Antara rasa bersalah dan kasihan yang ia rasakan saat ini. Romi terus memandangi khanza yang sudah sesegukan.
“Ibu … Ayah kenapa kalian sangat cepat meninggalkanku. Kenapa kalian memberiku kehidupan yang seperti ini.
Kalian tega hiks …, Kakak juga pergi ntah kemana, tidak kasian 'kah kalian melihatku?” ucap Khanza di sela-sela tangisnya.
Romi kembali mematung mendengar keluh kesah itu, lalu ia memilih duduk di balik pintu.
Lama ia mendengarkan Khanza berbicara sambil menangis, hingga suara Khanza pun tidak terdengar lagi.
Romi bangkit dari duduknya, ia melihat Khanza sudah tidur duduk sambil memeluk lututnya.
Romi menghela nafas panjang, lalu ia mendekati Khanza kemudian menggendong gadis itu membawanya masuk. Pelan-pelan ia merebahkan tubuh Khanza di tikar, lalu ia kembali menyelimutinya.
Saat hendak berdiri, tidak sengaja Romi membaca buku khanza yang tergeletak di lantai
“Uang kuliah yang harus di bayar 3.000.000, uang pegangan tinggal 500.000.
Bagaimana ini ya Allah? Apa aku harus berhenti kuliah. Tapi sudah tanggung sekali tinggal skripsi yang sempat tertunda?
Tapi jika lanjut dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu, jika aku bekerja bagaimana dengan skripsiku?
Ya Allah aku benar-benar bingung sekarang” tulis Khanza dengan emot menangis. Romi tersenyum sekilas, lalu ia menatap Khanza yang sudah tertidur pulas.
Romi mengambil uang sekitar empat juta dari dalam lemari. Kemudian ia memasukkan tiga juta ke dalam amplop dan satu jutanya ke amplop berbeda.
Ia memasukkan uang tersebut ke dalam tas Khanza, lalu ia kembali ke ranjangnya. Sebelum memejamkan matanya, ia menoleh sekilas ke arah Khanza.
***
Keesokan harinya, Khanza mulai terbangun dari tidurnya. Ia kaget melihat dirinya sudah di tikar dengan selimut tebal ditubuhnya, ia langsung mengecek semua pakaiannya.
Romi yang baru saja keluar dari kamar mandi, ia melihat Khanza seperti orang ketakukan hanya memutar mata malas.
“Saya nggak nafsu melihat kamu, jadi nggak usah terlalu berharap.” ucap Romi mengagetkan Khanza lalu ia menuju lemari pakaiannya.
Sedangkan Khanza yang melihat Romi hanya memakai handuk dipinggang langsung mendengus kesal.
“Sok ganteng banget, gak tau malu,” umpat Khanza.
Ia mengalihakan pandangannya, Romi yang mendengar itu langsung melotot kemudian ia langsung berbalik melihat gadis itu.
“Ngomong apa tadi?” sahut Romi membuat Khanza tersenyum mengejek.
“Perasaan punya telinga, nggak berfungsi ya,” ledek Khanza hendak melewati Romi.
“Kamu-“ Romi langsung menarik Khanza dan menghimpit gadis itu ke tembok.
Sedangkan Khanza yang kaget langsung mematung, pasalnya Romi belum mengenakan pakaiannya dan sekarang tangannya berada di dada bidang Romi. Sedangkan Romi langsung menunduk melihat Khanza yang terus berontak.
“Awas ih,” kesal Khanza sambil berusaha mendorong dada Romi supaya menjauh.
Namun apa yang terjadi, Romi malah semakin mempersempit jarak mereka membuat Khanza langsung menahan nafas.
“Akh …,” romi meringis saat khanza menginjak kakinya. Melihat itu Khanza tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur.
“Lain kali nggak usah sok ganteng,” ketus Khanza lalu ia berlalu ke kamar mandi. Romi yang mendengar itu langsung mangut-mangut seakan-akan merencanakan sesuatu.
Setelah merasa rapi Khanza berangkat terlebih dahulu, tanpa menghiraukan Romi yang masih sibuk dengan ponselnya. Sudah hampir 5 menit baru Romi sadar kalau Khanza sudah tidak ada.
“Kemana dia? Apa berangkat duluan? Dasar tidak punya sopan santun." kesal Romi, lalu ia keluar dan melajukan mobilnya. Di tengah jalan ia melihat Khanza sedang berjalan menuju jalan raya.
Tit! Tit! Suara klakson mobil membuat khanza langsung menoleh, tapi ia bingung kenapa mobil tersebut berhenti di depannya.
Detik kemudian Romi membuka jendela mobil membuat Khanza langsung kaget, lalu ia mengalihkan pandangannya.
“Kuat 'kan jalan kaki?” tanya Romi membuat khanza memutar mata malas.
“Kuat,” jawabnya singkat, lalu ia kemabali berjalan meninggalkan Romi, sedangkan Romi yang melihat itu hanya acuh.
Disisi lain, Khanza sebenarnya tidak tahu ia mau kemana hanya saja ia ingin keluar agar tidak sumpek di rumah Romi.
Ia menaiki angkot tujuannya sekarang adalah perpustakaan sekedar melihat buku yang banyak sekalian jalan-jalan.
Sampai di perpustakaan ia langsung mendudukkan dirinya, lalu mengeluarkan lap topnya.
Ia mengerjakan skripsi sambil memandang ke arah bangunan-bangunan yang tinggi karena ia memilih duduk di dekat jendela.
Saat mengeluarkan lap top, Khanza melihat ada amplop di tasnya. Ia langsung membuka amplop tersebut, matanya langsung membola melihat isinya adalah uang. Ia menghitung uang tersebut berjumlah tiga juta.
“Kira-kira siapa yang menaruh uang ini? Apa monster itu? Rasanya nggak mungkin sih dia.
Orang pelit begitu nggak bakal punya hati,” gumam Khanza, detik kemudian bibirnya tersenyum indah.
“Aku harus bayar uang kuliah sekarang, masalah ini uang siapa urusan belakangan.
Nanti kalo aku udah kerja aku kasih bonus lima ribu,” ucapnya dengan semangat, lalu ia kembali memasukkan lap topnya kemudian ia bergegas mencari bank.
Setelah punya momongan Romi jauh lebih dewasa begitu juga dengan Khanza yang semakin sabar menghadapi segala sesuatu."Eugh," tiba-tiba bayi mereka menggeliat tengah malam saat Romi dan Khanza sedang tidur pulas."Oek ... oek," tangis bayi itu pecah saat merasa tidak ada yang memperdulikannya."Eh sayang ... bangun Nak, haus iya," ucap Khanza lalu ia duduk kemudian menggendong bayinya."Kenapa sayang? Hum ... jangan rewel ya Nak, kasian Ayah capek udah kerja," lanjut Khanza sambil menciumi pipi bayinya tersebut.Tapi tangis Kaila tak kunjung reda membuat Khanza bingung."Khanza," panggil Romi yang terusik mendengar suara tangisan bayi mereka membuat Khanza langsung menoleh ke samping."Kakak bangun, maaf ya Kaila rewel," ucap Khanza membuat Romi langsung duduk di samping Khanza."Sini biar saya gendong," ujar Romi membuat Khanza langsung memberikan Kaila ke gendongan suaminya tersebut."Oh anak Ayah ini, kenapa rewel sayang? Panas ya bajunya ketebelan ya sayang? Sini Ayah buka bukain
Setelah Romi berangkat Khanza mulai merasa perutnya mules. Tapi ia masih mencoba menahan karena Khanza tahu itu hanya kontraksi palsu."Aduh ... Nak jangan buat Bunda sakit gini sayang, kita tunggu Ayah dulu," gumam Khanza sambil mengusap-usap perutnya."Khanza kenapa Nak?" tanya Indah saya melihat Khanza meringis sambil mengatur nafasnya."Ini Bun sakit, tapi kayaknya masih kontraksi palsu," jawab Khanza membuat Indah langsung mendekati Khanza. Ia melihat menantunya tersebut sudah keringatan menahan sakit."Wah gak iya ini, Mas!" panggil Indah membuat Bimo yang sedang mencuci tangan langsung buru-buru."Iya sayang kenapa?" tanya Bimo bingung melihat Indah panik."Khanza Mas, kita bawa ke rumah sakit aja takut dia melahirkan disini, udah waktunya kayaknya ini." ucap Indah buru-buru membuat Bimo langsung mengangguk lalu buru-buru keluar ngeluarin mobil."Ayo sayang," ajak Indah membantu Khanza berjalan."Emang udah waktunya Bun?" tanya Khanza sambil mengatur nafasnya."Udah gak apa-ap
6 bulan kemudian, bulan ini sudah memasuki bulan Khanza melahirkan. Perutnya yang sudah membuncit membuatnya benar-benar kesusahan untuk bergerak dan bahkan harus berpegang.Tidak jarang Romi tidak berangkat kerja karena tidak tega meninggalkan Khanza di rumah, walaupun sudah ada Indah, Bimo dan Fatimah di rumahnya.Pagi ini Romi siap-siap berangkat ke kantor karena ada rapat penting dan tidak bisa di wakilkan. Sebenarnya Romi tidak ingin meninggalkan Khanza tapi karena dadakan juga mau tidak mau Romi harus berangkat.Ceklek! Pintu kamar terbuka menampakkan Khanza membuat Romi yang sedang memasang dasi langsung tersenyum."Gak bisa," ucap Romi seperti anak kecil membuat Khanza terkekeh."Ya udah sini, Kakak harus belajar bikin dasi biar nanti pas aku lahiran bisa sendiri," ucap Khanza sambil meraih dasi tersebut. Romi duduk di sisi meja rias untuk mempermudah Khanza memasang dasinya."Gak ah, maunya kamu yang bikin," jawab Romi membuat Khanza mencebikkan bibirnya."Kan akunya lahira
Seminggu kemudian, Vina mulai merasa aneh dengan dirinya, ia sering kali pusing dan mual-mual. Tapi Vina tidak memberi tahu suaminya, karena menurutnya itu cuma masuk angin biasa."Vina, bisa ke ruangan saya sebentar," panggil Romi membuat Vina langsung menoleh lalu mengangguk."Iya Pak," jawab Vina lalu beranjak dari kursinya. Saat berdiri ia merasa sedikit pusing membuat Salman yang melihat itu langsung mendekati isterinya tersebut."Kamu gak apa-apa?" tanya Salman sambil memegang tangan Vina membuat Vina langsung menoleh lalu menggeleng."Gak apa-apa Kak, aku ke ruangan Pak Romi dulu ya," ucap Vina yang dibalas anggukan oleh Salman.Sampai di ruangan Romi, Vina melihat Khanza sedang ngemil sambil menonton di ponselnya. Vina sedikit tersenyum melihat Khanza yang mulai terlihat berisi dari sebelumnya."Mbak," panggil Vina membuat Khanza menghentikan filmnya lalu menoleh."Eh Vina, apa kabar?" tanya Khanza membuat Vina langsung tersenyum."Baik Mbak," jawab Vina, tapi Khanza malah me
"Kak," panggil Khanza, ia tahu kalo suaminya pasti marah."Udah selesai?" tanya Romi sambil merangkul pundak Khanza."Em ... tinggal buat Mama Ira sih," jawab Khanza sambil menunjukkan paper bag di tangannya. Romi mengambil paper bag tersebut lalu memasukkannya ke dalam sel."Ini ada sedikit makanan buat Ibu sama Rea, kalo mau silahkan dimakan kalo gak suka kasih aja sama yang sebelah," ucap Romi tegas membuat Ira dan Rea diam seketika."Mbak Cantik terima kasih ya makanannya, enak sekali," panggil salah satu narapidana membuat Khanza langsung menoleh lalu mengangguk."Romi kamu kesini mau jenguk Ibu?" tanya Ira dengan semangatnya membuat Khanza sedikit mendongak melihat ekspresi suaminya itu."Sebenarnya kalo dari hati Romi pribadi belum ya Bu, cuma karena Khanza yang selalu ngajakin kesini akhirnya Romi mau. Tapi hasilnya berbanding terbalik dengan dugaan Romi, Ibu malah bentak dan maki-maki istriku." jawab Romi dengan nada tertahan membuat Ira diam seketika lalu ia saling melempar
Seminggu telah berlalu, Khanza berniat mengunjungi Ibu mertuanya yang di penjara, pagi-pagi sekali ia sudah berkutat di dapur menyiapkan makanan untuk Ira.Sedangkan Romi karena berhubung hari libur, ia hanya malas-malasan di kamar karena tadi malam lembur menyelesaikan semua pekerjaannya."Khanza kemana sih? Kok gak masuk-masuk," gumamnya yang tengah berbaring di ranjang sambil mengotak-atik ponselnya.Tanpa membuang waktu ia langsung bangkit dari ranjang sebelum keluar. Romi merapikan rambutnya di depan kaca lalu ia keluar dari kamar."Khanza," panggilnya namun tidak ada sahutan sedikitpun membuat Romi langsung mengedarkan pandangannya hingga ia melihat gadis itu di dapur.Romi melipat kedua tangannya lalu mendekati Khanza dari belakang."Khanza," panggil Romi lagi membuat Khanza kaget."Hah? Iya, kenapa Kak?" tanya Khanza saat melihat Romi sedang menatapnya sambil melipat kedua tangannya."Kamu dari tadi saya panggil-panggil kenapa gak nyahut-nyahut?" tanya Romi membuat Khanza meno