Share

Istri yang Kau Jadikan Taruhan
Istri yang Kau Jadikan Taruhan
Author: Pulungan

Pernikahan Wasiat

“Sah,” Suara riuh di dalam ruangan membuat Khanza menangis.

Gadis 21 tahun itu terpaksa menikah dengan orang yang tidak ia kenal karena wasiat Ayahnya sebelum meninggal. Ia bahkan baru tahu jika Ayahnya dan mertuanya adalah sahabat.

“Jangan harap saya bahagia dengan pernikahan ini. Hapus air matamu, jangan seolah-olah yang paling menderita saya juga korban disini.” Bisik Romi di telinga Khanza membuat gadis itu buru-buru menghapus air matanya.

Ayah Romi dan Ayah khanza sudah berpuluh tahun bersahabat, hanya saja mereka jarang ketemu karena beda provinsi penugasan.

Romi adalah pengusaha muda yang sukses di umur 25 tahun. Tapi ia sangat membenci perempuan karena mantan pacarnya kabur membawa uangnya dalam jumlah yang banyak.

Itulah sebabnya ia tidak pernah berpacaran lagi, namun nasib berkata lain Ketika ia menghindari pacaran malah jodoh yang datang.

“Nak tolong jaga Khanza baik-baik ya dia gadis yang baik. Dia juga tidak punya siapa-siapa lagi itulah sebabnya Ayah menikahkan kalian supaya Khanza ada yang melindungi.

Ayah tau kamu sangat membenci perempuan, tapi yakinlah Nak tidak semua perempuan seperti Sopi mantan pacar kamu.

Ketika kamu menyakiti Khanza maka sama halnya kamu sedang menyakiti Ayah, tolong ingat ini," nasehat Ayah sambil menepuk-nepuk pundak anaknya.

Romi tidak menjawab ia hanya mengangguk sekilas lalu melirik Khanza yang masih setia menunduk. Sepanjang hari tidak ada raut kebahagiaan di wajah keduanya.

***

Malam hari, semua tamu undangan sudah pulang. Romi dan Khanza pun masuk ke dalam kamar, keduanya hanya saling diam.

Romi memang sengaja langsung membawa Khanza ke rumah pribadinya, untuk menghindari tetangga dan godaan dari keluarganya.

“Aku tidak mau seranjang denganmu,” ucap Romi ketus lalu ia masuk ke dalam kamar mandi. Lagi-lagi Khanza hanya bisa menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya.

‘Oke, Khanza walaupun kamu yatim-piatu dan sebatang kara, kamu harus kuat kamu tidak boleh cengeng.

Yakinlah Allah sudah mengatur semuanya dengan baik,’ ucapnya dalam hati lalu mengambil tikar kecil di dekat meja rias.

Khanza menggelar tikar tersebut di dekat jendela. Ia juga muak jika harus dekat-dekat dengan Romi, ia menarik kopernya di taruh di dekatnya. Sekarang posisinya dengan ranjang romi dari ujung ke ujung.

10 menit kemudian Romi keluar dari kamar mandi. Ia melihat Khanza sedang berdiri di jendela, bibirnya menyunggingkan senyum.

“Gitu dong cari tempat sendiri dan tau diri. Jadi nggak usah lebay nangis-nangis segala” ledek Romi membuat Khanza berbalik dengan tatapan tajam.

“Aku juga nggak butuh bantuanmu, jadi nggak usah ngerasa paling berkuasa. Kalo bukan wasiat Ayahku aku tidak mau melakukan ini, paham!” bentak Khanza.

Ia sudah tidak tahan dengan kata-kata Romi yang selalu menyudutkannya. Romi mematung sejenak mendengar Khanza begitu marah.

“Satu hal lagi jangan menyamakanku dengan mantan pacarmu, aku tidak butuh uangmu.” Lanjut Khanza lalu ia berlalu ke kamar mandi tanpa memperdulikan Romi.

“Galak juga ya, kirain cengeng dari kemaren perasaan nangis-nangis terus.” Gumam Romi lalu ia merebahkan tubuhnya di ranjang.

10 menit kemudian Khanza keluar dari kamar mandi. Romi yang melihat itu langsung memejamkan matanya pura-pura tidur. Setelah Khanza melewatinya ia langsung membuka matanya sebelah.

Ia melihat Khanza tidur tanpa bantal dan hanya menggunakan kain panjang sebagai selimut. Tiba-tiba saja ia teringat dengan nasehat Ayahnya tadi.

Setelah memastikan Khanza sudah tidur, Romi bangkit dari ranjang ia mengambil selimut dan satu bantal. Kemudian ia berjalan mendekati Khanza yang sudah meringkuk seperti janin.

Perlahan ia mengangkat kepala Khanza dengan satu tangannya, lalu satu tangannya lagi memposisikan bantal.

Namun detik kemudian ia mematung melihat wajah Khanza yang putih bersih dengan bibir yang tebal dan bulu mata yang lentik.

Sejak awal ia dipertemukan dengan Khanza, ia tidak pernah mau menatap gadis itu. 

Tanpa ia sadari tiba-tiba saja ia menundukkan kepalanya hendak mencium bibir Khanza.

Namun niatnya diurungkan saat Khanza menggeliat, buru-buru Romi merebahkan kepala Khanza di bantal, lalu ia kembali ke ranjang sambil memukul kepalanya pelan.

“Apaan sih, ogah banget dah suka sama cewek begituan nggak … nggak,” umpatnya lalu kembali memejamkan matanya.

Pukul 2 dini hari, Romi terjaga dari tidurnya saat mendengar suara tangis yang begitu kecil dan tertahan.

Saat ia menoleh ia mendapati Khanza sedang berdoa sambil menangis. Diam-diam ia mengamati wajah gadis itu dengan hidung yang sudah memerah.

‘Cengeng banget sih,’ batin Romi lalu ia bangkit hendak melaksanakan sholat tahajjud.

Khanza yang melihat itu buru- buru menyelesaikan doanya, lalu ia kembali ke tikar kecilnya.

Ia membuka lap topnya berniat menyelesaikan skripsinya yang sempat tertunda dari Ayahnya meninggal, hingga hari ini ia dinikahkan dengan Romi. Khanza mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi Salman untuk curhat.

[Assalamualaikum Khanza, tumben nelpon malam-malam] ucap Salman. 

[Walaikumsalam Salman, maaf ya aku ganggu tapi aku benar-benar butuh bantuanmu] ucap Khanza memelas.

[Nggak heran sih nelpon pasti ada maunya, kalo nggak ada maunya bukan Khanza namanya] ledek Salman membuat Khanza terkekeh sambil menggaruk-garuk tengkuknya.

Disisi lain, Romi yang baru saja selesai sholat langsung melihat kearah Khanza yang tengah tertawa, ntah apa yang lucu. Tiba-tiba saja Romi tidak suka melihat itu, karena ia tau Khanza tengah berbicara dengan laki-laki tengah malam.

[Iya kamu sih, orang udah sidang kamu malah ngilang nggak ada kabar. Kamu tahu nggak sih kucing di rumahku tuh nyariin kamu terus nanyain dimana Khanza yang ngeselin, gitu] ujar Salman panjang lebar.

[Hahah ... Kamu pikir aku ikan, Aku mau minta bantuanmu untuk membantuku menyesaikan skripsi.

Aku belum bisa fokus soalnya, Em … a--aku juga mau minjem uang boleh gak ya] cicit Khanza tapi dapat di dengar oleh Romi yang sedang melipat sajadah. Ia langsung tersenyum mengejek mendengar ucapan gadis itu.

[Yah Khanza, kamu tahu sendiri kan aku juga baru aja selesai skripsi dan itu menghabiskan uang banyak.

Belum lagi Ayah yang sedang sakit, aku mungkin bisa ngasih kamu pinjaman tapi nggak banyak soalnya aku juga butuh, Za] ucap Salman merasa tidak enak menolak Khanza.

Sedangkan Khanza yang paham kondisi Salman langsung mengangguk sambil menghembuskan nafas panjang.

[Nggak usah lagi Salman, maaf ya aku malah minjam disaat yang nggak tepat. Gak apa-apa kok, aku minjam ke yang lain aja] ucap Khanza membuat Salman diam sejenak.

[Kamu butuh berapa Za] tanya Salman lagi.

 [Sekitar sa—”] Tiba-tiba saja Romi merampas ponselnya membuat Khanza terlonjak kaget. Ia langsung mendongak menatap romi dengan tatapan tidak suka.

“Ngapain kamu ambil ponselku?” tanya Khanza dengan nada tidak suka. Ia berusaha mengambil ponselnya, tapi Romi malah mengangkat tangannya ke atas membuat Khanza semakin emosi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status