Share

3. Drama Pras

"Kamu ini mau tahu saja urusan orang," omel Pras kesal. 

 "Urusan orang? Orangnya itu 'kan suami sendiri. Wajar kalau aku ingin tahu, Mas," tukas Suri tegas. Statusnya adalah seorang istri. Ia berhak mengetahui urusan suaminya.

"Sudah! Jangan diperpanjang lagi. Aku mau mandi. Suami baru pulang bukannya disambut dengan senyuman, ini malah diajak ribut. Istri macam apa kamu?" Pras mendengkus sembari berjalan ke kamar mandi.

"Istri yang ingin mengetahui siapa yang menelepon suaminya pukul tiga dini hari. Jawab pertanyaanku, Mas?" Suri tidak mau mengalah.

Sudah cukup beberapa bulan ini Pras memperlakukannya tidak selayaknya seorang istri.

Selama ini, ia terus bersabar dan menghibur diri. Mengucapkan dalam hati, bahwa Pras tengah disibukan oleh pekerjaan, makanya sikapnya tidak mengenakan. Ia terus merapal kalimat penghibur diri itu layaknya mantra setiap hari, agar dirinya tidak suudzon pada suami sendiri.

Tapi kali ia tidak mau sabar lagi. Pembicaraannya dengan Wanti tadi sesungguhnya sudah membuat hatinya ketar-ketir. Ditambah dengan sikap Pras yang menutup-nutupi pembicarannya dengan seseorang yang ia duga keras adalah Bu Murni, mengait emosi Suri. Kesabarannya telah sampai ke titik nadir. Malam ini ia mengkaji kesehatan dalam rumah tangganya ini. Apakah masih bisa dipertahankan, atau memang harus disudahi sampai di sini.

"Aku capek, Ri. Aku mau mandi dan istirahat. Apa kamu tidak bisa menunggu sampai besok pagi?!" Nada suara Pras makin meninggi. 

"Untuk orang yang menelepon Mas tadi, Mas menyediakan waktu hingga dua puluh empat jam. Tapi untuk istri sendiri tiga menit saja tidak bisa ya, Mas?" Suri menembakkan amunisinya. Ia sudah mendengar semuanya. Ia juga sudah bisa menebak siapa perempuan yang menelepon Pras itu. Murni Eka Cipta. Ia hanya ingin menguji Pras saja. Apakah Pras akan jujur atau tidak. Kalau Pras jujur, itu artinya memang tidak ada apa-apa antara Pras dengan Murni. Tetapi karena Pras keukeh tetap ingin merahasiakannya, itu artinya memang ada apa-apa di antara keduanya. Kecurigaan Wanti memang berdasar. 

"Kamu menguping pembicaraan orang, Ri?" Pras mengamuk. 

"Sudah dua kali Mas menyebut diri sendiri dengan orang. Itu artinya Mas tidak merasa sebagai suamiku lagi." Suri tersenyum miris. "Apa memang Mas sungguh-sungguh sudah tidak ingin menjadi suamiku lagi? Katakan saja terus terang, Mas? Mas tahu 'kan kalau aku menyukai kejujuran?" tantang Suri lantang. Dengan sengaja ia menghadang langkah Pras yang ingin masuk ke kamar mandi.

"Baik! Yang meneleponku tadi memang Bu Murni. Bu Murni hanya ingin tahu apakah aku sudah sampai di rumah. Itu saja! Kamu ini, hal kecil begitu saja dipermasalahkan."

"Hal kecil?" Suri tertawa tanpa merasa lucu.

"Kalau itu memang hal kecil, mengapa Mas tidak langsung menjawab saja saat aku tanya tadi? Lagi pula apa pantas seorang atasan menelepon bawahannya hanya untuk menanyakan apakah bawahannya sudah sampai dengan selamat di rumah pada pukul tiga dini hari? Bawahan yang berlainan jenis lagi!" bantah Suri sengit. Sepertinya apa yang dikatakan Wanti tadi masuk akal juga. Hubungan  Murni dan Pras terlalu mesra untuk status atasan dan bawahan. Lagi pula sejak kapan Pras memanggil Murni dengan namanya saja? Akrab sekali!

"Memang kenyataannya begitu! Kamu kan tahu sendiri kalau Bu Murni ini orangnya ramah. Apalagi terhadap karyawannya sendiri. Kamu jangan cemburu buta begini dong, Ri." Suara Pras mulai rendah. Sepertinya ia sadar kalau dirinya memang salah. 

"Aku bukannya cemburu buta, Mas. Aku hanya mengemukakan fakta. Analoginya begini. Kalau benar apa yang Mas katakan, bahwa Bu Murni itu sangat ramah dan perhatian pada semua karyawannya, berarti Bu Murni akan menelepon setiap karyawannya setiap mereka lembur. Bayangkan, Bu Murni akan menelepon seratus tujuh puluh-an karyawannya setiap hari. Kira-kira itu masuk akal tidak Mas? Kalau menurutku sih tidak mungkin. Bayangkan 170-an orang karyawan. Apa nggak dower itu bibirnya Bu Murni? Satu lagi, sejak kapan Mas memanggil Bu Murni dengan panggilan Mur saja? Akrab sekali ya, Mas?" sindir Suri getas. Sindirannya sepertinya mengena. Karena air muka Pras langsung berubah. Ia terlihat serba salah.

"Sudahlah, Ri. Aku capek. Aku mau mandi dan tidur. Besok saja kita bahas masalah ini. Satu yang pasti, tidak ada apa-apa di antara aku dan Bu Murni. Percayalah. Kami dekat karena membahas masalah pekerjaan. Tidak ada hal lainnya. Percayalah padaku, Ri."

Suri memandangi wajah Pras dengan seksama. Ia tahu Pras berbohong. Karena selama mereka berbicara Pras tidak berani menatap matanya. Suri sangat mengenal gerak-gerik suaminya. 

"Baiklah, kalau Mas tidak mau jujur, aku tidak bisa memaksa. Namun ingat satu hal ya, Mas? Jangan sampai aku mendengar kecurangan Mas dari orang lain. Kalau itu sampai terjadi, aku akan hitung-hitungan dengan Mas," ancam Suri dingin.

"Terserah kamu saja. Kamu mau hitung-hitungan dengan cara apa memangnya? Cerai? Mau jadi kamu kalau bercerai dariku? Tamatan SMP tidak ada artinya di ibukota ini. Paling juga menjadi buruh cuci."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status