Suri mematung. Ia sama sekali tidak mengira kalau ternyata Pras sangat memandang rendah pendidikannya.
Padahal, sewaktu Pras melamarnya dulu, Pras mengatakan bahwa pendidikan formalnya bukanlah yang utama. Karena pendidikan yang paling penting di matanya adalah pendidikan akhlak dan hati yang mulia. Makanya dulu ia bersedia menerima lamaran Pras. Karena di matanya, Pras adalah laki-laki baik yang bersedia menerima kekurangan dan kelebihannya. Tak disangka tak dinyana, ternyata semua itu adalah bualan semata. Suri sakit hati mendengar hinaan Pras. Harga dirinya bagai dicampakkan seperti setumpuk kotoran."Maaf, aku tidak sengaja mengucapkannya. Aku sedang lelah lahir batin, Ri. Makanya ucapanku jadi tidak terkontrol."
Secepat mulut Pras berucap, secepat pula itunya ia meminta maaf. Namun, Suri tidak menjawab.
Kini, ia sudah mengantongi satu hal: selama ini, Pras memang memandang rendah dirinya. Hanya saja, pria itu menutupinya dengan baik. Dan kini pada saat emosinya terkait, maka semua yang dibatini Pras keluar dengan sendirinya. Bukankah sesuatu yang tidak sengaja terucap adalah kebenaran yang sesungguhnya? Karena apa? Karena sesungguhnya hal tersebut memang telah lama bersemayam di benaknya."Tidak masalah, Mas. Walaupun apa yang Mas katakan sangat melukaiku, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku ini hanya lulusan SMP. Tetapi soal buruh cuci, aku tidak setuju Mas. Pemilik PT Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, serta motivator Andri Wongso pun hanya lulusan SD. Tapi siapa yang tidak mengenal mereka berdua di negeri ini? Sementara para sarjana-sarjana hebat seperti Mas ini malah menjadi keroco di perusahaan-perusahaan yang menurut Mas orang bodoh tadi. Benar tidak, Mas?" tantang Suri. Ia memang bukan seorang sarjana seperti Pras. Tetapi, ia punya otak. Untuk itu ia akan menantang Pras beradu argumen. Zaman sekarang pengetahuan tidak melulu harus didapatkan melalui jalur formal. Internet dan kelas-kelas online telah bertebaran di mana-mana. Ia sudah lama belajar hal-hal baru melalui internet. Pengetahuannya sekarang semakin luas dan beragam. Ia sekarang mengetahui banyak hanya dari sebuah ponsel.
"Wah, sudah hebat ya kamu sekarang? Bisa membahas-bahas soal pemilik PT dan seorang motivator. Jangan-jangan besok-besok kamu akan diangkat menjadi tim sukses oleh salah seorang pejabat. Hehehe." Pras tertawa. Tapi tawanya adalah tawa mengejek yang menyakitkan hati.
"Jangan suka mengejek orang, Mas. Apalagi terlalu memandang ke atas. Takutnya kalau suatu nanti Mas jatuh, orang akan beramai-ramai menyukurinya," tukas Suri geram. Sikap Pras akhir-akhir ini sungguh keterlaluan. Penghinaannya sudah mulai terang-terangan.
"Dan siapa orang-orang yang kamu maksud itu? Dirimu sendiri bukan?" Suara Pras makin lama makin keras. Emosi membuat urat-urat di lehernya bersembulan.
"Kamu ini memang bodoh sekali! Bukannya mendoakan keberhasilan suami, ini malah menginginkan kejatuhannya. Dengar baik-baik. Kalau aku jatuh, maka kamu pun akan ikut sengsara juga. Buka otakmu lebar-lebar. Dibilang bodoh kamu tidak terima. Dibilang pandai, nyamuk pun tertawa mendengarnya. Sana, aku mau mandi. Menghalangi jalan saja." Suri nyaris terjengkang saat Pras mendorongnya dari pintu kamar mandi. Untung saja ia masih sempat menyeimbangkan tubuhnya. Air mata Suri menitik saat Pras membanting pintu kamar mandi di belakangnya.
Dengan kasar, Suri menghapus air matanya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak mau terus dijadikan keset oleh Pras. Tapi untuk itu ia harus memperbaiki dirinya dulu. Ia harus memiliki senjata untuk menghadapi Pras. Karena berperang maju tak gentar tanpa persiapan, itu namanya bunuh diri. Ia tidak sebodoh itu. Bukan hanya pernikahan yang membutuhkan persiapan. Tetapi, perceraian juga!
*****
Kini, Suri menulusuri toko demi toko untuk mencari benang rajut yang sesuai dengan pesanan customer.Dari beberapa toko yang ia singgahi belum ada yang sesuai dengan keinginannya. Baik itu sesuai dengan jenis benang dan warna benang, atau sesuai dengan budgetnya.
Memang, sudah dua bulan ini Suri mencoba memasarkan berbagai hasil rajutannya melalui marketplace dan media sosialnya. Ia memasarkan baju hangat, syal, selimut, topi, kaus kaki, dan juga tas yang lucu-lucu.
"Kamu harus coba mencari penghasilan sendiri, agar tidak lagi dihina-hina suami! Manfaatkan saja keahlianmu merajut untuk mendapatkan penghasilan," usul Waniti kala Suri bercerita tentang hinaan-hinaan Pras. Temannya itu begitu emosi.
Menurut Wanti, Suri bisa mencari penghasilan dengan memanfaatkan keahliannya merajut dan menjualnya melalui marketplace atau media sosial.
Wanti juga menasehatinya untuk berani mencoba hal-hal baru, kalau tidak mau tergilas zaman. Pendidikan yang rendah tidak boleh membuatnya apatis terhadap perkembangan zaman. Semua orang bisa belajar, katanya lagi.Dalam bidang pendidikan Wanti memang jauh lebih baik darinya. Wanti tamatan Sekolah Menengah Kejuruan Bisnis dan Manajemen. Dulu Wanti terpaksa menerima pekerjaan sebagai buruh jahit, karena belum juga mendapat panggilan kerja. Padahal, sudah berpuluh-puluh surat lamaran yang ia layangkan pada perusahaan-perusahaan besar incarannya. Hanya PT Adi Busana Eka Cipta ini yang menerima temannya itu dan hasil memang tidak akan menghianati usaha! Buktinya, Wanti kini sudah diangkat menjadi manajer pemasaran hingga sekarang.
Oleh karena itu, Wanti terus menyemangatinya saat dirinya ragu. Menurut Wanti, berniaga pada zaman sekarang sangat mudah. Ia tinggal memotret barang dagangan dan mengunggahnya pada marketplace atau media sosial. Barang yang ia jual juga bisa menggunakan sistem pre order atau pesanan. Jadi, ia bisa berjualan dengan uang muka dari pemesan. Selain itu, ia juga tidak perlu takut kalau barangnya tidak laku karena memang sistemnya sudah dipesan terlebih dahulu.
Untung saja, Suri segera mempraktekannya. Ia menginstal sebuah marketplace ternama dan mengunggah barang-barang hasil rajutannya.
Kini, hasil uji cobanya mulai menampakkan hasil pada minggu pertama, dan terus meningkat setiap harinya.
Dagangan ready stocknya bahkan sudah habis, hingga ia harus membuka pre order tas rajut lucu yang alhamdullilah banyak sekali peminatnya. Makanya, ia sekarang sibuk mencari warna-warna benang yang sesuai dengan pesanan customernya. Suri sama sekali tidak menduga, kalau tas rajut yang polanya ia adopsi dari YouTube kini laris manis.
Selain itu, demi memenuhi permintaan pasar, Suri juga merekrut beberapa teman sesama buruh jahitnya dulu. Dan lagi-lagi Wanti lah yang membantunya mengumpulkan teman-temannya itu. Ada lima orang penjahit yang bersedia membantunya merajut paruh waktu.
"Alhamdulillah," syukur Suri akan semua hal baik di hidupnya meski hubungannya dengan Pras masih dalam perang dingin.
Mereka tidak bertengkar. Hanya saja mereka mengurangi intensitas kebersamaan. Masing-masing hanya berbicara seperlunya saja. Tidak ada lagi obrolan santai atau canda tawa seperti awal-awal pernikahan mereka dahulu.Bahkan, Pras mengurangi nyaris separuh jatah bulanannya. Katanya, pria itu sedang mempunyai kebutuhan lain, sehingga Pras mengusulkan untuk memangkas hal-hal yang tidak perlu. Dengan berat hati, Suri pun terpaksa memberhentikan Fahmi, supir yang selama ini mengantar jemput Wira, anaknya, atau mengantarnya beraktivitas. Sebagai gantinya Suri sendirilah yang mengantar jemput anaknya meski dia belum terlalu mahir.Tak hanya itu, Pras semakin sering pulang malam dan tidak pernah mengabarinya lagi. Kini, Suri pun pasrah dan tidak berinisiatif untuk mencari tahu lagi.
Alih-alih mencemaskan Pras, Suri kini memanfaatkan waktu luangnya dengan hal yang lebih bermanfaat, yaitu merajut dan menguprade diri!
******
Setelah menyusuri hampir 12 toko, Suri nyaris berteriak girang kala memindai warna-warna benang di toko terakhir. Akhirnya, ia melihat ada warna purple gold dan dragasi watercolors di pajangan kaca toko!
'Semoga saja harganya juga bersahabat. Aku masih harus cari pengait tas yang bagus, resleting dan segala hiasan-hiasan untuk mempercantik barang-barang rajutan,' batin Suri takut kalau uangnya tidak cukup.
"Cari apa, Bu? Benang rajut ya? Ibu mau benang rajut jenis apa? Wol, nylon, aklirik, katun, rayon atau sutra?" Seorang pramuniaga yang ramah tiba-tiba menghampiri Suri.
"Saya lihat-lihat dulu ya, Mbak? Ini yang berwarna purple gold dan watercolors berapa persatuannya, ya?" Suri menujuk benang yang dicarinya. Toko ini seperti menjawab semua pencariannya. Warna dan semua jenis benang ada. Begitu juga media-media lain untuk rajutannya--semua dalam satu toko!
"Benangnya 138 ribu rupiah per gulungnya, Bu? Satu gulung 100 gram, 138 meter. Ibu mau warna yang mana saja?" tanya sang pramuniaga ramah.
Suri tercenung. Untuk membuat satu tas ukuran 30x27 cm, ia membutuhkan empat gulung benang. Pesanan tasnya sebanyak lima puluh buah. Berarti, ia membutuhkan sekitar 200 gulung benang. Nominal uangnya adalah Rp 27.600.000,00. Suri tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Sebenarnya saya membutuhkan masing-masing seratus gulung untuk dua warna ini. Tapi karena sesuatu hal, saya membeli masing-masing warna 50 gulung dulu. Bisa, Mbak?" tawar Suri.
"Bisa saja, Mbak. Tapi saya tidak menjamin, saat Mbak ingin membeli lagi, stok benangnya bisa saja sudah habis. Karena warna purple gold dan watercalors ini sedang trend akhir-akhir ini. Banyak sekali pengrajin rajut yang mencarinya. Berhubung stoknya masih ada kenapa Mbak tidak membeli sesuai yang Mbak butuhkan saja," usul sang pramuniaga.
"Saya maunya juga begitu, Mbak. Tapi masalahnya uang saya tidak cukup." Suri tersenyum rikuh.
"Ambil saja dulu, Suri. Kamu bisa membayarnya apabila sudah memiliki uang nanti."
Sebuah suara bariton terdengar dari balik punggungnya. Suri sontak berbalik.Ia penasaran dengan orang yang menyela pembicaraannya dengan sang pramuniaga.Itu Damar Adhiyatna! Mantan suami Murni Eka Cipta ... wanita yang kemungkinan besar sedang dekat dengan suami Suri.
"Selamat sore, Pak Damar. Maaf saya tidak menyadari kehadiran Bapak." Suri membungkukkan sedikit tubuhnya. Kehadiran Damar membuatnya rikuh. Istimewa Damar mengetahui kesulitannya. "Sore juga. Saya baru saja tiba di toko. Wajar kalau kamu tidak melihat kehadiran saya." Suri hanya tersenyum kecil. Ia tahu harus bersikap bagaimana menanggapi kata-kata Damar. Damar dulu mengenalnya sebagai seorang buruh jahit di perusahaan mantan istrinya. Lantas sebagai istri Pras. Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Makanya Suri kikuk. Walau mereka bukan atasan dan bawahan lagi, tetapi tetap saja, dalam hati Suri ada perasaan sungkan berhandai-handai dengan Damar. Ia merasa tidak selevel. "Silakan melanjutkan acara belanjanya, Suri. Jangan sungkan, ini adalah toko salah seorang kerabat saya. Saya yang memasok semua bahan-bahannya. Jadi sudah pasti harganya lebih murah. Saya menemui pemilik toko dulu." Suri mengangguk. Selanjutnya ia kembali melihat-lihat bahan-bahan rajutan. Ia mem
"Duduk dulu, Mas. Mari kita bicara baik-baik. Mas tahu 'kan kalau Wira sedang tidur." Suri mengabaikan serpihan asbak rokok dan vas bunga. Pikirnya nanti saja kekacauan ini ia bersihkan. Ia akan mengutamakan menjelaskan segala kesalahpahaman pada Pras dulu.Suri menghempaskan pinggulnya pada sofa di hadapan Pras. Ia berusaha tetap tenang walau Pras sudah melemparkan ejekan. Ia tidak mau terpancing. Kalau dirinya ikut-ikutan emosi, masalah tidak akan selesai. Yang ada mereka berdua akan saling berbalas ejekan. "Bicara baik-baik kamu bilang? Bukannya kamu yang memulai duluan? Kamu telah mempermalukanku di hadapan banyak orang, Suri!" Pras menunjuk wajah Suri geram. Namun ia mengikuti langkah Suri ke sofa. Pras sengaja mengambil posisi duduk di hadapan Suri. Pras ingin Suri terintimidasi dengan kemarahannya. "Mempermalukan, Mas? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?" Suri menjinjitkan kedua alisnya. Ia tidak merasa melakukan hal yang memalukan. "Apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Pr
Mata Suri membola lalu menunjuk dirinya sendiri. "Mas bilang apa tadi? Aku mengemis?" "Iya. Karena sudah hampir dua minggu ini aku direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan konyol seputar rajutan nenek-nenekmu itu oleh para kolega atau pun rekan-rekan kerja. Kalau kamu tidak mengemis pada mereka, dari mana mereka tahu soal kegemaran merajutmu itu?"Suri tidak sanggup menjawab pertanyaan namun isinya tuduhan oleh Pras. Hatinya perih karena diremehkan dan dihina sedemikian rupa oleh suaminya sendiri. Rasa sakitnya sampai membuat lidahnya kelu.Suri bernapas pendek-pendek. Mencoba mendinginkan kepalanya walau hatinya panas luar biasa. Menghadapi Pras, tidak perlu dengan ejekan. Namun dengan kalimat efektif yang mematikan."Aku tidak pernah mengemis pada siapa pun, Mas. Aku memasarkan daganganku melalui marketplace dan media sosial. Mereka yang tertarik pada rajutanku dan menghubungiku untuk membuat pesanan. Mereka semua yang mencariku, bukan sebaliknya."Demi mendukung argumennya, Suri meng
"Rumahmu nomor berapa, Suri?" "Eh, nomor sebelas, Pak. Lurus saja. Nanti di simpang empat depan sana, kita belok kiri." Suri kaget saat Damar tiba-tiba saja berbicara padanya. Selama hampir empat puluh lima menit berkendara, Damar sama sekali tidak bersuara. Demikian juga dengan dirinya. Sekian tahun tidak pernah bertemu, Suri tidak tahu harus berbincang-bincang tentang apa dengan mantan atasannya ini. Rasanya aneh saja semobil dengan Damar. Dalam mimpi pun ia tidak pernah membayangkannya. "Simpang depan pertama itu ya? Oke. Oh ya, tadi Ibu sudah memberikan nomor kontaknya, demikian juga saya. Jadi kalau kamu membutuhkan sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungi kami ya, Suri?" pungkas Damar lagi. "Baik, Pak." Suri mengangguk takzim. Setelahnya hening lagi. "Kalau masalah butik dan sebagainya, kamu boleh kompromikan dengan Ibu. Tapi kalau masalah benang dan tetek bengeknya, kamu jangan segan-segan mencari saya," terang Damar lagi. "Baik, Pak." Suri kembali membeo. "Janga
Pras menyipitkan sebelah matanya. Ciri khasnya jika tertarik pada sesuatu."Begini, ibu saya bekerjasama dengan Suri dalam bisnis rajut. Kami mengirim benang-benang, sementara Suri merajutnya untuk butik-butik ibu saya," imbuh Damar lagi. Selama Damar dan Pras berbicara, Suri berjalan ke arah bagasi. Ia muak melihat akting Pras saat berperan sebagai suami yang baik. Lebih baik ia mengangkat barang-barang belanjaannya daripada mengikuti drama murahan satu babak Pras. "Bisa tidak, Ri? Berat lo barang-barangmu itu," seru Damar. Ia juga ikut berjalan ke arah bagasi."Bisa, Pak. Saya mah sudah terbiasa nguli." Suri mencoba bercanda. "Biar aku saja yang membawanya, Ri. Kamu istirahat saja di dalam," usul Pras penuh perhatian. Jikalau tidak ada orang lain di antara mereka, mungkin Suri akan bertanya pada Pras apakah dirinya sehat. Tetapi karena ada Damar di antara mereka Suri mengangguk singkat, setelah berpamitan pada Damar. Ia harus menjaga wibawa Pras. Seraya masuk ke dalam rumah, Su
'Tenang Suri. Jangan terbawa emosi. Semakin kamu tenang, Pras akan semakin kelimpungan,' batin Suri menenangkan dirinya. "Akhir-akhir ini kamu gampang sekali mengucapkan kata cerai. Kamu pikir aku akan semudah itu menceraikanmu? Hah, mimpi saja. Lihat saja, si duda sialan itu akan menunggumu sampai bungkuk!" ceracau Pras emosi. Suri tidak mempedulikan ceracauan Pras lagi. Yang penting ia sudah menyatakan sikapnya. Suri mengangkat empat plastik besar barang belanjaannya dengan susah payah. Ia juga pura-pura tuli saat Pras membanting segala barang pecah belah di ruang tamu. Biar saja. Toh guci-guci antik dan vas bunga kristal itu dibeli dengan uang Pras. Yang rugi siapa coba? ****** "Jadi si Pras seperti cacing kepanasan ya melihatmu diantar pulang Pak Damar?" Wanti menggeser tumpukan benang di samping Suri. Memberi ruang yang cukup luas untuk bokongnya di atas tikar. Hari minggu sore ini ia mengunjungi Suri untuk mengajak sahabatnya ini berjalan-jalan. Sudah lama mereka tidak kel
Suri memperhatikan ketiganya berteriak-teriak seru kala bola masuk ke dalam keranjang. Pras bahkan mengangkat anak perempuan itu tinggi-tinggi dan menggendongnya di punggung. Persis yang biasa dilakukan Pras pada Wira, apabila mereka bermain bersama. Tiba-tiba, anaknya itu berlari kencang, hingga membuat Suri begitu panik. "Wira! Tunggu Bunda, Nak!" Suri kaget saat Wira sekonyong-konyong berlari ke arah Pras. Tanpa dikomando Suri dan Wanti bergegas menyusul Wira. Menilik kesedihan dan kemarahan pada air muka Wira, pasti putranya itu akan meledak. "Ayah! Ayah bilang Ayah ada PR pekerjaan. Tapi kenapa Ayah malah main Timezone dengan anak lain. Ayah bohong. Wira benci sama Ayah!" teriak Wira di belakang Pras. Kedua tangan Wira terkepal di masing-masing sisi tubuhnya. Pras sontak berbalik. Keterkejutan terlihat jelas di kedua matanya. Ia dengan cepat menurunkan sang gadis cilik dari bahu kekarnya. Secepat itu pula Murni menggandeng putrinya dan berlalu begitu saja dari area mesin b
"Wow! Ini yang aku tunggu-tunggu. Pras itu sudah keterlaluan, Ri. Kamu dan Wira tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jangan khawatir, Ri. Aku Wanti sahabatmu si perawan tua ini, siap membantunya dalam hal apa saja. Serahkan saja semuanya padaku." Wanti mengacungkan jempolnya. "Iya, aku akan menyerahkan semuanya padamu. Tapi kamu harus menyerahkan satu hal padaku, agar aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku soal perceraian ini," tutur Suri kalem."Heh? Menyerahkan sesuatu? Apa itu, Ri?""Rekaman video kejadian tadi. Aku tahu kalau kamu merekam semua kejadiannya diam-diam.""Astaga, kamu walau lagi emosi matamu celik juga ya, Ri?" Wanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Suri ini memang orang teliti sekali sampai pada hal-hal yang mendetail. Tapi apa pun itu, seperti yang ia janjikan tadi, ia akan mendukung Suri. Sudah saatnya laki-laki seperti Pras ini gigit jari karena tingkahnya sendiri. Suri refleks memindai jam di dinding, tatkala suara mobil Pras terdengar memasuki halaman. Pukul