Share

2. Tak Tahan

"Ya begitulah, Ti. Aku 'kan punya penyakut asam lambung. Terlambat makan sedikit saja, langsung kumat."

Walau dadanya terasa nyeri, Suri mengikuti sandiwara yang telah dimainkan Pras. Ia masih ingin menjaga muka suaminya.


"Iya sih. Ehm, aku meneleponmu sebenarnya ingin menceritakan sesuatu. Tapi bagaimana ya, aku tidak enak mengatakannya."


Suri mengelus dada perlahan. Mempersiapkan mental agar siap mendengar apapun yang akan diceritakan oleh Wanti. Dirinya dan Wanti sudah saling mengenal lama. Oleh karenanya, saat nada suara Wanti bimbang seperti ini, Suri sudah menangkap sesuatu. Bahwa apapun yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu nanti bukanlah hal yang menggembirakan.


"Kamu ingin bilang apa, Ti? Katakan saja. Kamu ini seperti sedang berbicara dengan orang lain saja." Suri sedapat mungkin memperdengarkan nada suara yang biasa-biasa saja. Padahal denyut jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.


"Begini ya, Ri. Entah ini hanya perasaanku saja. Tapi aku merasa sikap Pras terhadap Bu Murni agak-agak terlalu akrab untuk hubungan antara ehm atasan dan bawahan. Aku malah melihat mereka cenderung mesra. Seperti pasangan suami istri saja."


Degh!


Suri mengelus dada ketiga kalinya. Mendadak seperti ada jarum-jarum kecil yang menancap di sana. Nyeri sekaligus menegangkan. Berbagai macam syak wasangka berkecamuk di kepalanya. Murni Eka Cipta adalah pemilik perusahaan. Usia Murni hanya dua tahun di atas Pras. Status Murni janda beranak satu. Murni sudah berpisah lama dengan Pak Damar Adhiyatna.


"Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Ti. Dari dulu Bu Murni 'kan memang selalu dekat dengan staff-staffnya. Dengan kita dulu juga begitu 'kan?"


"Aku tahu. Tapi kedekatannya dengan Pras, lain dari yang lain, Ri. Coba kamu bayangin, Bu Murni mengambilkan makanan dan minuman untuk, Pras. Pantas tidak itu, Ri? Aneh kan? Seperti suami istri saja!"


"Mungkin itu sebagai bentuk penghargaan Bu Murni pada Mas Pras. Kata Mas Pras, ia bekerja keras untuk kemajuan perusahaan akhir-akhir ini."


Suri mencoba menengahi kecurigaan Wanti. Ia bukannya tidak percaya pada Wanti. Ia hanya tidak mau suudzon. Ia harus memastikan kebenarannya terlebih dahulu sebelum menuduh seseorang. Semakin panas hatinya, semakin ia coba mendinginkan kepalanya.


"Ck! Itulah mengapa tadi aku ragu-ragu menceritakannya padamu. Kamu 'kan orang selalu berpikir positif, bahkan untuk sesuatu yang negatif. Penempatan pikiran positifmu itu terkadang terlalu berlebihan, Ri. Aku takut, saat kamu menyadari kebenarannya nanti, semuanya sudah terlambat. Aku mengatakan ini karena aku menyayangimu. Kita sama-sama anak rantau, Ri. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Pertimbangkan baik-baik kata-kataku ini, Ri. Tanyakan baik-baik pada Pras. Mencegah itu lebih baik daripada ke pengadilan kan, Ri?"


Pengadilan. Itu artinya Wanti serius dengan ucapannya.


Suri menutup ponsel dengan hati gelisah. Semoga saja apa yang dikatakan Wanti ini tidak benar adanya. Namun apa yang disarankan oleh sahabatnya itu akan ia tunaikan. Setelah Pras pulang nanti ia akan menanyakan kebenarannya.

******

"Kriet!"

Suara pintu pagar yang digeser seketika membuat kantuk Suri lenyap. Suri memindai jam dinding. Pukul tiga dini hari. Client seperti apa yang harus dilobby hingga pagi buta seperti ini?

Suri beringsut dari ranjang. Ia menggelung rambutnya asal, dan bergegas keluar. Ia bermaksud membantu Pras mengunci pintu pagar. Mbok Inah sudah tidur sedari tadi. 

Suri membuka pintu utama tepat saat mobil Pras berhenti di depan garasi. Tergopoh-gopoh, Suri membuka pintu garasi.

Setelahnya, mobil Pras melaju dan langsung masuk ke dalam garasi dengan mulus. Suri bergegas berlari ke pintu pagar. Menguncinya dengan teliti. Kemudian, Suri menunggu hingga Pras keluar dari mobil. Ia bermaksud mengunci pintu garasi, setelah Pras keluar. 

"Aku capek. Tolong ambilkan tas kerjaku di mobil. Aku mau mandi kemudian tidur. Aku tidak mau diinterogasi malam ini." Pras menyerahkan remote mobil dan melenggang masuk ke dalam rumah. Suri menerima remote mobil sembari mencium-cium udara. Aroma tubuh Pras yang melintas sangat tidak enak di hidungnya. Ada berbagai aroma bercampur baur di sana. Seperti aroma parfum, asap dan juga tembakau. 

Namun, seperti yang diinginkan Pras, Suri tidak banyak bertanya. Ia segera mengeluarkan tas kerja dan mengunci pintu mobil serta garasi. Setelah mengunci rumah sekaligus mematikan lampu ruang tamu, Suri tergopoh-gopoh ke kamar. Pras tadi bilang kalau dirinya ingin mandi. Untuk itu ia akan mempersiapkan baju ganti Pras seperti biasanya. 

Ketika tiba di pintu kamar, Suri menghentikan langkahnya. Ia mendengar Pras tengah berbicara dengan seseorang di ponsel. Siapa yang menelepon Pras pada jam tiga subuh seperti ini?

Penasaran, Suri menempelkan telinganya pada daun pintu. Ia ingin mendengarkan pembicaraan Pras. Sebenarnya Suri tidak mau menguping. Hanya saja ia penasaran karena Pras berbicara dengan sangat pelan, hingga nyaris berbisik. Seolah-olah Pras takut kalau pembicaraannya terdengar oleh telinga lain. Telinganya tepatnya. Hal tersebut tentu saja membuat Suri makin penasaran. Dengan siapa sesungguhnya Pras berbicara?

"Aku juga baru tiba di rumah, Mur. Tidak masalah. Suri tidak akan banyak tanya. Aku bisa menanganinya. Dia 'kan tidak tahu apa-apa soal bisnis. Tidak masalah, Mur. Kamu boleh menelepon dan menanyakan apa saja dan kapan saja padaku. Ponselku dua puluh empat jam terbuka untukmu. Sama-sama, Mur. Selamat beristirahat juga." 

Setelah tidak mendengar apapun lagi, perlahan Suri membuka pintu kamar. Ia memunguti pakaian kotor Pras yang menumpuk di sudut kamar. Seperti katanya tadi, Pras memang akan mandi. 

Namun, Suri tak tahan lagi. Dia beranikan diri untuk bertanya pada suaminya itu.

"Siapa yang menelepon pukul tiga dini hari begini, Mas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status