Share

Bab 3. Rahasia

Aku tak habis pikir apa yang terjadi pada suamiku akhir-akhir ini. Pertemuanku dengan Riko siang tadi menambah satu lagi kejanggalan. 

Mas Adrian, kalau benar selama ini tidak ada lembur, lalu kamu kemana selama ini?

Sepulang dari minimarket aku memilih untuk main ke rumah Tante Ranti, sejak ibuku meninggal tepatnya saat aku masih berusia tujuh tahun, aku ikut dengan Tante Ranti–adik dari ibu. Sedangkan Bapak, aku bahkan tak pernah melihatnya, karena beliau telah berpulang lebih dulu saat aku masih dalam kandungan.

Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh menit menaiki angkot, aku sampai di rumah Tante Ranti. 

"Assalamualaikum Tante." Aku mengucap salam seraya langsung masuk ke dalam rumah yang tidak sepenuhnya tertutup, jam segini biasanya Tante Ranti sedang masak di dapur.

Tante Ranti dan Om Edwin sudah seperti pengganti orangtuaku. Hanya mereka berdua lah yang kumiliki, karena Tante Ranti dan ibu hanya dua bersaudara. Sedangkan dari pihak keluarga Bapak, aku samasekali tak tau, apakah mereka masih ada atau tidak, karena dulu kami hidup di kampung ibuku. Setelah ibuku meninggal, aku di bawa Tante Ranti ke Jakarta bersamanya.

Tak ada sahutan dari salam yang diucapkan. Rumah pun sepi, sampai aku memasuki dapur, tampak pintu belakang terbuka lebar, mungkin Tante Ranti lagi di belakang rumah. Aku pun langsung melangkahkan kaki memasuki pintu belakang.

"Sudah! Jangan kamu hubungi aku lagi! Aku tidak tahu dimana Putri berada. Mungkin dia sudah tiada, aku tidak tahu keberadaannya!"

"Aku tidak bohong! Untuk apa aku bohong!"

Tante Ranti seperti sedang marah-marah dengan seseorang di telepon. Tapi tunggu kenapa dia menyebut-nyebut nama Putri, bukankah putri itu nama kecilku dulu, saat ibu masih ada. Tapi entah mengapa sejak aku ikut Tante Ranti beliau jadi memanggilku Anisa.

"Sekarang Anisa tinggal di sini sama Tante ya! Di lingkungan baru ini kami panggil kamu Anisa saja, karena tuh tetangga depan rumah namanya sama Putri juga, nanti jadi bingung kalau nama Putri ada dua," ucapnya terkekeh waktu aku baru saja pindah ke rumah ini. Memang tetangga depan rumah ada yang namanya putri tapi sudah ia sudah sekolah SMU waktu itu.

Sejak saat itu di panggil dengan nama Anisa. Aku langsung mengangguk setuju karena aku juga suka nama Anisa, nama yang bagus menurutku.

"Silahkan kamu cari dia sampai ke ujung dunia pun kau tak kan menemukannya. Putri sudah sudah nggak ada!"

Tante Ranti mematikan teleponnya sepihak, sambil memijit pelan pelipisnya.

"Tante Ranti marah-marah sama siapa Tan? Putri siapa? Apa yang di maksud itu aku?"

Tante Ranti menoleh terkejut saat menyadari aku ada di belakangnya.

"A–Anisa! Sejak kapan kamu di situ?"

"Sejak tadi Tan, Tante telepon sama siapa itu tadi marah-marah," tanyaku lagi.

"Ah, oh, itu tadi biasa orang iseng nggak jelas, udah biarin aja. Kamu tumben datang kesini ada apa?" Tante Ranti menjawab dengan gugup walau akhirnya dia bisa langsung menguasai keadaan dan merangkulku untuk masuk ke dalam rumah.

"Kamu sehat Nis?"

"Alhamdulillah sehat Tante. Tante beneran nggak apa-apa?" tanyaku khawatir, karena saat selesai marah-marah dengan si penelpon, wajah tante Ranti terlihat pucat.

"Nggak. Nggak apa-apa, biasa aja kok, mungkin Tante hanya kurang istirahat. Duduk Nis, kamu sehat kan? Adrian memperlakukan kamu dengan baik kan?" Kami duduk di kursi makan, aku menuang segelas air putih untuk Tante Ranti yang masih terlihat pucat.

"Minum dulu Tan," aku menyodorkan segelas air putih padanya, Tante Ranti meraihnya dan langsung meneguknya.

"Alhamdulillah aku sehat Tan, ehm soal Mas Adrian ... Itu dia Tante, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku."

Tante Ranti menyipitkan netranya, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Sesuatu apa? Mungkin itu perasaanmu aja Nis, Adrian itu kan laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, kamu harus percaya sama dia, hormati dia, dia itu suamimu Nis."

Tante Ranti masih berucap tanpa memandangku.

"Iya Tan. Nisa ngerti, tapi entah kenapa ada yang mengganjal. Bisa merasa Mas Adrian seperti tidak jujur," ucapku sendu.

Tante Ranti menghela napas berat, kemudian menatapku. Tatapan sedih, aku melihat ada kaca-kaca memenuhi sudut netra tuanya.

"Tante. Maaf Nisa jadi cerita masalah rumah tangga Nisa, dan membuat Tante sedih, maaf Tante." Buru-buru aku meraih jemari tangannya. Tak ingin membuatnya sedih, bahuku Tante Ranti sudah seperti ibuku sendiri, bahkan garis wajahnya juga begitu mirip ibu. Ketika aku menatapnya, aku seperti menatap ibuku.

"Gak apa-apa. Tante nggak apa-apa. Tante minta kamu yang kuat ya Sayang, maafkan Tante. Maafkan Tante," ucap Tante Ranti yang hampir menangis kemudian bangkit dan masuk ke dalam kamar. 

Meninggalkanku sendirian di ruang makan, dengan berbagai kebingungan bergelayut di kepala.

Kenapa Tante jadi menangis dan minta maaf? Terus saat tadi menelpon seseorang kenapa ia seperti ketakutan? Bahkan menyebutkan nama putri, entah mengapa hati ini yakin, yang dimaksud adalah aku.

"Assalamualaikum, Mah!"

Suara salam dari luar rumah, suaranya Om Edwin. Om Edwin memang punya bengkel yang tak jauh dari rumah, jadi dia bisa pulang kapanpun saat mendesak atau untuk sekedar ngopi dan makan siang biasanya Om Edwin pulang ke rumah.

"Wa'alaikumusalam Om," sahutku. Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya takzim.

"Nisa! Kapan datang? dimana Tantemu?"

"Ada di kamar Om, tadi seperti habis nelpon seseorang seperti marah-marah kemudian masuk kamar," jelasku.

"Pasti di teror lagi, mereka masih tetap sama, tak menyerah." Om Edwin seperti bergumam, tapi terdengar jelas di telingaku.

"Mereka Siapa Om?"

"Oh tidak. Om temui Tantemu dulu ya! Ingat selalu pesan Om ya! Kamu harus selalu waspada dan hati-hati di manapun kamu berada." Aku hanya mengangguk.

Om Edwin masuk ke dalam kamar. Selalu begitu, sedari aku kecil dulu pesan yang sama sekali Om Edwin katakan, bahkan aku tak di izinkan untuk pergi jauh-jauh. Untuk sekolah saja, Aku hanya boleh mendaftar ke sekolah yang tak jauh dari rumah, padahal dulu aku ingin sekali masuk ke SMU favorit.

Aku memutuskan untuk duduk-duduk di ruang tengah menunggu Tante Ranti keluar kamar, mau pulang juga di rumah sepi, lebih baik aku di sini dulu.

Aku membuka layar ponselku, sekedar mengecek aplikasi berwarna hijau. Ternya sama, peranku sejak sejam yang lalu belum juga di buka oleh Mas Adrian. 

"Mereka lagi? Sudahlah Mah? Lebih baik kita bicarakan saja dengan Nisa yang sebenarnya, biar dia juga mulai mempersiapkan diri."

"Kamu lupa Mas, bahkan anak kita juga sudah menyakitinya! Aku juga tak tega untuk menambah lagi bebannya!"

"Ssstt! Jaga bicaramu Mah!"

Sayup-sayup terdengar suara Om Edwin dan Tante Ranti berbincang dari dalam kamar, pintu kamarnya terbuka sedikit, aku yang berada di ruang tengah tepat di depan kamar mereka bisa mendengar jelas percakapan mereka.

Sekali lagi namaku disebut,anak mereka yang menyakiti? Siapa? semua ini membuatku semakin bingung.

Brak! 

Om Edwin menutup kamarnya, seperti menyadari jika ada aku yang tadi sempat mendengar percakapannya dengan Tante Ranti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kaya nya Adryan bermain dgn anak nya tante nya itu dn tante nya tau Adryan selingkuhin Anisa ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status