Share

Bab 4. Bohong

Jam sudah menunjukan pukul tiga sore. Aku memutuskan untuk pulang, karena sebentar lagi Mas Adrian akan pulang. Selama di rumah Tante Ranti, beliau lebih banyak diam. Raut kesedihan kentara sekali di wajah cantiknya walau sudah tak lagi muda. Setiap kutanya ada apa? Beliau selalu menjawab tak ada apa-apa.

Belum selesai masalahku mengenai Mas Adrian, kini bertambah lagi satu persoalan tentang Tante Ranti yang membuatku bingung. Hingga benda pipih yang yang kugenggam berdering mengagetkanku.

Ibu mertua memanggil.

"Hallo Assalamualaikum Nisa, ini Ibu." Terdengar suara Ibu dari seberang sana, suara lembut yang selalu membuatku nyaman. 

Hubunganku dengan Ibu Mertua dan Adik iparku terjalin dengan baik. Karena memang pernikahanku dengan Mas Adrian terjadi karena Ibu yang memintaku pada Tante Ranti untuk menjadi menantunya.

Aku sendiri yatim piatu, dan aku di asuh oleh Tante Ranti adik dari Ibuku. Sebagai wujud baktiku pada Tante Ranti aku menerima perjodohan dengan Mas Adrian.

Aku merasa bersyukur memiliki ibu mertua dan adik ipar yang baik. Ibu menganggapku seperti anaknya sendiri. Dania juga adik yang baik. jadi jika ada cerita-cerita tentang mertua julid dan ipar jahat itu semua tak aku alami.

"Iya Bu! Wa'alaikumusalam. Ibu apa kabar?

"Alhamdulillah kabar Ibu baik. Kamu apa kabar Sayang?"

"Alhamdulillah Nisa juga sehat Bu."

 "Alhamdulillah! Adrian ada?"

"Mas Adrian lagi lembur Bu! Belum pulang."

"Oh gitu, Alhamdulillah akhir-akhir ini sering lembur ya Adrian?"

"Iya Bu, Alhamdulillah," jawabku. 

Aku tidak bohong, karena setiap hari Mas Adrian pamitnya untuk lembur. Walaupun kenyataannya, Riko bilang tak ada lembur sejak enam bulan yang lalu. Biarlah nanti aku cari tahu yang sebenarnya.

"Alhamdulillah kalau gitu. Ehm, Nis! Apa sudah ada tanda-tanda calon cucu ibu akan hadir?" tanya Ibu. 

Jujur aku sedih jika di tanya soal ini. Karena sampai saat ini aku belum juga hamil, walau hasil pemeriksaan dokter, aku dan Mas Adrian sama-sama sehat.

"Belum Bu! Maafkan Nisa ya Bu, belum bisa kasih cucu untuk ibu," jawabku sendu.

"Oh, tidak apa-apa Nis! Ibu cuma tanya, karena semua itu kan kehendak Allah. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak mantu ibu."

"Iya Bu, makasih ibu selalu ngertiin."

"Ehm, tadinya ibu pikir Nisa lagi hamil, karena sudah tiga bulan ini Adrian hanya mengirimi Ibu uang setengah dari biasanya. Ibu pikir Nisa hamil, dan butuh banyak biaya untuk cek ke dokter."

Apa yang Ibu katakan membuatku tercengang. Apa lagi ini? Mas Adrian hanya mengirimi Ibu setengah dari biasanya. Biasanya Mas Adrian mengirimi Ibu satu juta rupiah jika setengahnya, itu artinya Mas Adrian hanya mentransfer lima ratus ribu rupiah untuk Ibu.

Lalu apa maksudnya beberapa bulan ini Mas Adrian bilang sebagian gaji lemburnya juga sudah di kirim untuk Ibu. 

Mas Adrian berbohong. 

"Ehm mungkin sebagian di tabung sama Mas Adrian Bu, untuk persiapan kalau nanti Nisa hamil, Ibu doain aja ya Bu. Nanti Nisa sampaikan lagi sama Mas Adrian untuk tidak mengurangi jatah untuk Ibu," Aku menjawab sekenanya. 

"Makasih ya Nis. Sebenarnya Ibu juga nggak apa-apa di kasih segitu, yang penting Adrian selalu bisa penuhi kebutuhan kamu. Tadi itu Ibu cuma mengira kalau kamu sudah mulai isi, maafkan Ibu ya Nis!" Terdengar kekehan kecil suara Ibu di seberang sana.

"Nggak apa-apa Bu. Anisa sendiri malah nggak tahu kalau Mas Adrian ngirimin Ibu cuma segitu, Anisa taunya setiap habis gajian Mas Adrian sendiri yang langsung kirim untuk Ibu," ucapku jujur.

"Ibu memang nggak salah pilih kamu jadi mantu Ibu Nis! Kamu baik, nggak banyak nuntut ini itu, semoga rumah tangga kalian langgeng terus ya, Sayang!"

"Aamiin. Makasih ya Bu!" Doa Ibu tentu aku Amini.

Setelah ngobrol cukup lama dengan Ibu, panggilan telepon berakhir. 

Meskipun pernikahanku dengan Mas Adrian terjadi karena perjodohan, tapi selama menjalani biduk rumah tangga tiga tahun ini, benih cinta telah tumbuh di hati kami. Tiga tahun pernikahan kami, aku merasa begitu bahagia, sikap Mas Adrian yang begitu hangat, lembut, dan selalu menunjukkan rasa sayangnya padaku. 

Aku merasa jadi wanita paling beruntung mendapatkan Mas Adrian, laki-laki tampan, dan keluarganya pun sangat baik padaku.

Hanya saja tiga bulan terakhir ini sikapnya mulai berubah. Dan sekarang kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Entah apa yang sebenarnya Mas Adrian lakukan di belakangku, hingga berani membohongiku. 

"Assalamualaikum!" Suara salam Mas Adrian mengagetkanku yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Wa'alaikumusalam Mas, baru pulang?"

"Ya seperti yang kamu liat, Mas baru pulang." Mas Adrian duduk tak jauh dariku seraya melepas sepatunya.

Bergegas aku bangkit dan membuatkan secangkir teh untuknya, aku sangat berharap saat rileks minum teh, Mas Adrian mau bicara yang sebenarnya, mengapa berbohong padaku.

"Ini tehnya Mas!" Mas Adrian masih sibuk dengan ponselnya saat aku meletakkan secangkir teh hangat di depannya. Uap panas disertai aroma melati menguar di udara.

"Hem." Mas Adrian meraih cangkir teh lalu meniupnya pelan, namun matanya masih fokus pada layar ponselnya.

"Mas aku mau bicara sama kamu, Mas," ucapku setelah mendaratkan bobotku disampingnya.

"Bicara apa, ngomong aja Nis!"

Baru kusadari kini Mas Adrian sudah jarang sekali memanggilku 'Sayang' lebih sering menyebut namaku.

"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan Mas?" tanyaku masih mencoba untuk tenang.

"Sembunyikan? Sembunyikan apa sih maksud kamu?" Mas Adrian melirik sekilas kearahku, seraya meletakkan kembali cangkir tehnya. Kemudian kedua netranya kembali asyik dengan ponselnya. 

"Aku serius Mas! Kemana kamu selama ini?" tegasku.

Mas Adrian tertawa.

"Kemana apa maksudmu Nis? Ya aku selama ini di sini lah sama kamu! Aku pergi ya untuk kerja! Pertanyaan kamu itu aneh!"

Aku menatap lekat kearahnya. Bibirnya bicara demikian tapi tidak dengan tatapan matanya itu berbeda, aku yakin jika Dia sedang berbohong.

"Jangan bohong kamu Mas! Siang tadi aku ketemu Riko dan Dia bilang nggak ada lembur selama setengah tahun ini. Lalu selama ini kamu kemana!" seruku.

Aku luapkan rasa kesal, rasa penasaran yang sejak tadi memenuhi isi pikiranku.

"Terus kamu percaya? Nisa, aku ini suami kamu! Sudah seharusnya kamu lebih percaya sama aku suamimu, daripada orang lain!" sahutnya tak kalah sengit.

"Mas! Kamu tahu, aku paling nggak suka dibohongi! Apalagi Ibu tadi telpon katanya sudah tiga bulan ini kamu ngirimin Ibu setengah dari biasanya! Padahal kamu selalu bilang sama aku gaji kamu sebagian sudah untuk Ibu! Kamu kemanakan sebagian gaji kamu Mas?! Apalagi kalau kamu setiap hari lembur!" teriakku diiringi deru napas memburu.

Geram rasanya. Aku merasa dibohongi, terlebih dibohongi oleh laki-laki yang begitu kucinta.

Mas Adrian terperangah, bibirnya terbuka untuk beberapa saat. Netranya yang sejak tadi fokus pada layar ponsel kini sepenuhnya menatap ke arahku.

Pias. Sejenak Mas Adrian terdiam membisu melihatku uring-uringan sore ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status