Share

5_ Pesta Anniversary Om Hilman

Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya.

"Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren."

Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal.

"Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini.

"Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini."

Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menyediakan pakaian pesta daripakaian tradisional hingga gaun-gaun cantik, ada juga gamis untuk pakaian muslimah. Mutia memilih gaun pesta berbahan brokat berwarna ungu, dia membelikan pakaian serupa untuk Renita, Renita memilih warna krim.

"Wah, ternyata pas sekali ukurannya, Kak. Tubuh kakak ini memang seperti model papan atas," puji pelayan toko itu setelah mutiara mencoba gaunnya.

"Wah, iya. Hanya saja punya aku kepanjangan," keluh Renata.

"Bisa kami potong sebentar, Kak. Kakak bisa menunggu sebentar."

Sambil menunggu baju Renita selesai, Mutia dan Renita menuju ke salon kecantikan yang tidak jauh dari butik, masih salon yang sederhana dengan tarif hanya beberapa ratus ribu. Di salon Mutia cukup menata rambutnya dan mengoleskan make up sederhana dan natural di wajahnya. Setelah selesai semuanya, kedua wanita itu bersiap menuju kediaman paman Mutiara.

"Aduh, Bu ... Dasarnya ibu ini memang cantik, dipakein baju seharga dua ratus ribuan juga malah semakin cantik," puji Renita yang melihat pakaian Mutiara terlihat wah, dibandingkan dengannya, walaupun harga dan bahannya sama.

"Bisa aja kamu, Ren. Mungkin saya cocok memakai warna ini."

"Bisa jadi, Bu. Ibu pintar memilih warna."

Ketika sampai tujuan, sebuah hotel bintang lima di kawasan bisnis di kota ini. Rupanya pamannya masih seperti dulu, suka sekali menghamburkan uang demi sebuah prestisius. Bagaimana tidak banyak hutang lelaki itu, gaya hidup Hedon seperti ini membuatnya bersikap serakah dan egois.

"Wah, meriah sekali pestanya, Bu. Seperti pesta pernikahan, padahal kan cuma anniversary saja, kan?" seru Renita.

"Ya, begitulah. Ini anniversary pernikahan mereka yang ke dua lima, pernikahan perak. Tentu saja dirayain semeriah-meriahnya."

"Berapa budget untuk mengadakan pesta seperti ini, ya?"

"Kamu gak usah mikirin sampai segitunya, Ren. Nanti malah stress."

"Eh, iya Bu, maaf ...," jawab Renita sambil terkekeh menertawakan kekonyolannya sendiri.

Mereka berjalan beriringan menuju ke arah meja-meja tamu undangan. Ketika melihat pasangan paman dan bibinya, Mutiara berjalan menuju ke arah mereka.

"Mutia? Kamu datang sendiri?" tanya Erni istri pamannya.

"Selamat, ya Om, Tante ... Semoga langgeng pernikahannya," ujar Mutia yang langsung mengulurkan sebuah paper bag.

"Oh, apa ini?" tanya Erni dengan antusias.

"Kamu datang sendiri?" Kini Hilman yang bertanya pada keponakannya.

"Ini, datang berdua dengan Renita asistenku."

"Maksud Om, kamu gak datang bersama Tommy?"

"Tadi dari kantor langsung ke sini, gak sempat mau ketemu Tommy dulu."

"Ah, alasan saja kamu," sungut Hilman yang sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi pada rumah tangga keponakannya ini.

"Duh, Mutia ... Tidak sia-sia kamu menikah dengan orang kaya, kamu memberi Tante gelang berlian?!" seru Erni dengan tatapan terpesona pada benda ditangannya.

"Itu hasil jerih payah aku selama bekerja, Tante. Bukan dari siapapun," jawab Mutiara dengan jengah.

"Seharusnya kamu itu berterima kasih pada Om yang sudah menjodohkanmu dengan Tommy, pewaris PT Sanjaya Sejahtera. Kalau menikah dengan Fahri nggak tahu kamu palingan cuma makan gaji UMR."

"Betul itu Mutia. Sekarang kamu makan, sana ... Tante masih banyak tamu. Sudah itu kamu bantu menerima tamu, banyak banget tamu Om sama Tante kamu ini," ujar Erni dengan riang

Mutia tahu betul bagaimana karakter tantenya itu, bagaimana tidak? Dia sudah satu rumah dengan wanita itu selama delapan tahun. Wanita paruh baya itu hanya bisa menghargai orang jika punya uang dan menguntungkan baginya, tentu saja hari ini wanita itu bersikap begitu ramah padanya karena hadiah gelang bermata berlian seharga lima puluh juta yang Mutiara hadiahkan padanya.

"Hei, Jeng Erni ... Selamat, ya? Happy anniversary, Jeng ...."

"Eh, Jeng Diana ... Loh, kok datang sendiri, Jeng. Kok nggak bareng menantunya? Itu loh Mutia sudah datang," seru Erna dengan antusias.

"Loh, Mutia ... Kamu sudah datang?" tanya Diana yang merasa surprise.

"Iya, Ma."

"Mana Tommy?"

"Mutia datang bersama Ernita, Ma. Tadi dari hotel Novotel menemui pak Rio Dewanto."

"Oh, Rio Dewanto dari Adiguna grup?"

"Iya, Ma."

"Bagaimana ini si Tommy. Padahal Mama sudah menyuruhnya untuk datang ke sini," keluh Diana.

"Ya, sudahlah, Jeng. Kita bergabung dengan teman-teman arisan kita, yuk?" ajak Erni

Setalah kedua ibu-ibu itu pergi dari hadapan mereka, Mutia segera mengajak Renita ke stand makanan.

"Kita makan dulu, Ren. Sudah itu kita pulang saja."

"Kok cepat banget, Bu. Sebentar, saya lihat penampilan Anomali dulu ya, Bu," ujar Renita.

Mata Renita tidak lepas dari grup musik anomali yang sering ditontonnya di YouTube. Hebat sekali paman bosnya ini bisa menyewa grup musik beraliran slow pop, jenis musik kesukaannya ini.

"Ibu mau apa? Biar saya ambilkan?" tawar Renita ketika sudah sampai stand makanan.

"Tidak usah, aku bisa ambil sendiri. Ayo, kita ambil bersama," ujar Mutia yang langsung mengambil piring dan sendok yang tersedia di sana.

"Wah ... Wah, datang juga OKB, orang kaya baru ke sini?" cibir seorang perempuan muda dengan penampilan glamour di belakang perempuan itu berdiri empat orang temannya yang berpenampilan sama.

"Evita?" tegur Mutia

"Hmm, baju yang kamu kenakan ini pasti mahal ya harganya? Berapa juta? Sejuta, dua juta? Enak banget jadi istri direktur," cibir Evita yang ditanggapi tawa teman-temannya.

"Jadi Mutia ini sudah kaya ya, Vit? Nggak jadi pembantu kamu lagi, dong?" celetuk salah satu teman Evita.

"Ya gitu, deh ... Tapi cuma istri di atas kertas saja. Kalian tahu Tommy Sanjaya?"

"Iya, Tommy anaknya pengusaha Herry Sanjaya itu, ya?"

"Betul, banget. Kalian tahu, kan? Tommy itu pacarnya di mana-mana. Ada yang jadi istri simpanan sampai artis ibu kota juga jadi selingkuhannya."

"Oh? Apa Mutia menikah dengan lelaki itu?"

"Iya, kasihan kan? Istri gak dianggap."

"Uh, kasihan banget ...."

Mutia hanya menghela napas mendengar ejekan dari para gadis yang dulu pernah satu sekolah dengannya. Evita dan Mutiara bersekolah di SMP dan SMA yang sama saat kedua orang tua Mutiara meninggal karena kecelakaan. Tetapi Evita tidak pernah menganggapnya saudara, gadis itu selalu memperlakukannya layaknya seorang pembantu, sehingga teman-teman di sekolah juga menganggap demikian. Di masa SMP dan SMA, Mutiara akhirnya tidak memiliki teman karena dia sekolah di sekolah elit dan selalu direndahkan oleh siapapun di sana.

"Sudahlah, aku mau makan dulu, ya?" pamit Mutiara dengan sopan.

"Eh, nanti dulu. Kayak kelaparan aja kamu, apa kamu gak diberi nafkah sama suamimu itu sehingga mau makan gratis di sini?" sinis Evita.

"Mau apa lagi sih, Vit? Aku sudah menuruti semua kemauan kamu. Kamu memintaku menikah dengan lelaki yang harusnya dijodohkan denganmu sudah kuturuti, terus sekarang maunya kamu itu apa?" ujar Mutiara dengan jengkel.

"Wuah, ada apa ini? Jadi sebenarnya Tommy itu mau dijodohkan sama kamu, Vit?" tanya Riana, teman akrabnya Evita sejak SMP.

"Tadinya iya, tapi aku nggak Sudi karena sudah tahu perangainya seperti apa," jawab Evita.

"Lantas kenapa kamu seolah-olah tidak terima?" tanya Mutiara.

"Siapa yang tidak terima? Makan saja itu si Tommy. Yang membuatku tidak terima, kamu sudah memiliki Tommy, tapi kenapa tidak mengikhlaskan Fahri untuk aku?" sewot Evita

"Evita ... Urusan Fahri itu bukan aku yang punya hak untuk mengendalikan pikiran dan hatinya, dia berhak sendiri. Kalau dia tidak mau menikah denganmu dan dia hanya mencintaiku, ya bukan salahku. Kau tidak bisa mendapatkan semua yang kau inginkan, Vit. Fahri itu manusia yang punya hati, bukan barang yang harus kuberikan padamu."

"Kamu ... Kamu memang keterlaluan, Mutia! Dasar perempuan tak tahu diri kamu!!"

Evita benar-benar merasa tertampar dengan omongan Mutia. Sudah berani wanita ini dengannya, ya?

"Kamu memang harus diberi pelajaran!!"

"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status