“Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.
“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?”
Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.
Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.
Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak lama aku memilih pergi,” gumam Alya seraya menatap pantulan dirinya di kaca.
Ada banyak cara bagi Alya untuk pergi, tapi semua itu kalah dengan satu hal, yaitu Naya. Jika saja Naya berpihak padanya, pasti semua akan lebih mudah untuk keluar dari keluarga toxic tersebut. Akan tetapi, Naya selalu saja membela Hendra dan Bu Lastri, membuat niat Alya untuk pergi hilang seketika.
***
Alya membuka mata dengan kepala yang terasa berat akibat lelah semalam. Dia menoleh ke jam dinding, pukul lima lebih sedikit. Tidak ada waktu bermalas-malasan, dia harus segera bangkit untuk menyiapkan sarapan dan mengurus pekerjaan rumah lainnya.
Setelah mencuci muka, Alya menuju dapur. Tangannya mulai bekerja, mengambil beras, mengiris bawang, dan memanaskan minyak di wajan. Tidak ada suara yang menemani, hanya bunyi mendesis dari minyak yang bertemu irisan bawang merah.
“Alya, mana tehku?” Suara keras dari ruang tengah membuat Alya terkesiap. Ibu mertuanya sudah duduk dengan wajahnya cemberut seperti biasa.
“Sebentar, Bu. Aku siapin dulu,” jawab Alya dengan nada tenang, meskipun hatinya mendidih. Dia menuangkan teh hangat ke dalam cangkir dan meletakkannya di hadapan ibu mertuanya.
Tanpa berterima kasih, wanita tua itu menyeruput teh dan langsung mengernyit. “Ini teh apa sih nggak ada manis-manisnya? Apa kamu nggak bisa membuat sesuatu dengan benar?”
Alya hanya tersenyum tipis. “Maaf, Bu. Aku sengaja kurangin gulanya.”
“Emangnya kenapa? Kamu mulai perhitungan sekarang? Heiii, meskipun itu gulanya kamu yang beli, kamu bisa tinggal di rumah ini juga numpang anakku! Jangan nggak tahu diri gitu dong!” Bu Lastri seperti biasa bicara setajam silet.
“Bukan begitu, Bu. Bukannya terakhir kali periksa kadar gula Ibu tinggi, ya?”
Bu Lastri melirik menantunya sekilas tanpa bicara apa-apa lagi karena memang belakangan kesehatannya menurun. Terakhir kali dokter mengatakan bahwa dia harus menjaga pola makan dan jam istirahat. Kalau bukan karena Alya, mungkin dia sudah lupa akan nasehat dokter. Hanya saja, rasa gengsi yang begitu tinggi membuat wanita paruh baya tersebut melengos.
Alya pun kembali ke dapur, menyelesaikan masakan dengan cepat. Ketika semuanya siap di meja makan, ia memanggil Hendra dan Naya untuk sarapan. Naya sudah berpakaian rapi dengan seragam sekolahnya, sementara Hendra memakai baju formalnya.
“Sarapan udah siap. Ayo, kita semua makan dulu,” panggil Alya lembut.
Namun, Naya tidak menjawab. Anak itu hanya menatap Alya dengan ekspresi datar sebelum berkata, “Aku nggak mau makan sama Bunda.”
Kata-kata itu seperti pukulan telak di hati Alya, tetapi ia berusaha tetap tenang. Dia berjongkok di depan Naya, merapikan anak rambut yang sedikit berantakan. “Iyaaa, Naya emang udah besar bisa makan sendiri. Bunda ambilin sarap–”
Naya menggeleng keras. “Nggak mau! Aku bisa sendiri!”
Alya menahan napas saat anak itu langsung berlari, berlindung di belakang Bu Lastri. Belum lagi tatapan tak suka Hendra yang menyusul Naya ke meja makan.
“Lihat, kan, Al? Anakmu sendiri nggak mau dekat sama kamu. Kamu sih … terlalu sibuk sama kerjaan sampai lupa jadi ibu yang baik. Coba lebih perhatikan rumah, jangan cuma cari uang saja,” kata ibu mertuanya dengan nada tajam.
“Bu, saya kerja juga buat nutup kebutuhan keluarga ini,” jawab Alya pelan.
“Jangan alasan! Istri itu tugasnya ngurus rumah dan anak, bukan sibuk sendiri,” balas wanita tua itu.
Sebelum Alya bisa menjawab, Hendra sudah protes dengan nada tidak peduli. “Kenapa mesti ribut sih? Ini masih pagi loh!”
“Salahin aja istrimu itu, Ndra! Bisanya mbantah aja. Udah gitu nggak bisa ngurus anak pula. Naya sampai nggak mau dekat sama dia,” tukas Bu Lastri dengan cepat.
Hendra menghela napas panjang sebelum menatap Alya. “Alya, kamu harusnya tahu tugasmu sebagai istri. Berbaktilah pada orang tua dan urus rumah ini dengan benar. Jangan sampai orang rumah kecewa karena ulahmu.”
Alya ingin membalas, tetapi tatapan Naya membuat mulutnya bungkam seribu bahasa. Tajamnya ucapan Bu Lastri atau suaminya tidak sebanding dengan tajamnya tatapan Naya. Hati Alya seperti diiris pisau tajam saja.
“Udah, jangan ribut lagi, buruan makan!” kata Hendra lagi, mengambil sepiring nasi dan juga lauk untuk dirinya sendiri, sedangkan Bu Lastri mengambilkan untuk Naya, baru untuk dirinya sendiri.
Namun, baru juga sesuap masuk mulut, Bu Lastri langsung melepehnya. “Ini kenapa nggak pedes sama sekali? Aneh banget rasanya!”
Hendra menatap Alya yang baru saja duduk dan ingin makan juga. “Ngapain malah bengong? Bikinin sambel buat Ibu!”
Alya meletakkan kembali sendok yang sudah di tangan. Dia kembali ke dapur, mengabaikan sarapan yang sudah tidak sabar mengisi perutnya yang lapar. Tangannya gemetar saat mengambil wajan dan bahan-bahan dasar membuat sambal.
Ketika selesai, dia membawa sambalnya ke meja makan. Semua orang sudah selesai sarapan kecuali Bu Lastri.
“Sini, cepetan! Lama banget sih!” Bu Lastri menyambar mangkok kecil dari tangan Alya. “Udah laper banget ini!”
Alya menelan saliva susah payah melihat Bu Lastri makan dengan lahap. Perutnya pun minta diisi, tapi sudah tak ada banyak waktu lagi, dia harus segera bersiap mengantar Naya sekolah.
“Naya, Bunda ambil kunci motor dulu bentar,” kata Alya.
“Nggak!” sahut Naya lantang hingga Hendra dan Bu Lastri menoleh bersamaan. “Aku nggak mau diantar sekolah sama Bunda!”
“Tapi kenapa? Biasanya juga sama Bunda kok,” ujar Alya dengan bibir bergetar.
“Aku mau sama Ayah!” Naya menggandeng tangan Hendra.
“Ayahmu harus berangkat pagi-pagi, Nay. Dianterin Bunda aja ya,” kata Alya berusaha keras membujuk. Satu-satunya kesempatan yang dia miliki untuk bersama dengan Naya hanyalah saat mengantar sekolah saja, tentu dia tidak mau melewatkannya.
“Enggak! Bunda bau! Bunda nggak cantik kayak yang lain! Aku malu sama temen-temen!” Naya berteriak dengan nada tak suka, meninggalkan luka yang teramat mendalam di hati Alya.
“Aku benci Bundaaa!”
Seorang wanita asing tiba-tiba menyelinap masuk di antara kerumunan. Gerak-geriknya mencurigakan. Di tangannya berkilat sesuatu — sebilah pisau.Semua terjadi begitu cepat. Wanita itu menyerbu ke arah Alya dengan ekspresi penuh kebencian.Sebelum Alya sempat bergerak, seseorang lebih dulu menerjangnya.Seorang lelaki memakai baju serba hitam berdiri di depan Alya, menjadikan tubuhnya sebagai pelindung. Membiarkan pisau tajam bersarang di perutnya. Tak lama, lelaki itu jatuh. Teriakan panik menggema di udara.Alya membalik tubuhnya dan mendapati sosok itu — Hendra.Pisau itu masih menancap di tubuh Hendra, darah mengalir deras dari lukanya. Matanya menatap Alya dengan ekspresi lega, meski tubuhnya mulai melemah.“Kamu wanita nggak tahu diri! Kamu harus mat–!” Wanita tadi menarik rambut Alya, tapi segera diatasi Alex.“Amankan wanita ini! Laporkan pada pihak berwajib!” seru Alex pada bagian keamanan setelah berhasil melumpuhkan wanita tadi.Pesta berubah menjadi kekacauan. Orang-orang
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Naya dinyatakan cukup stabil oleh dokter, Alya mengurus proses pemulangan putrinya. Bu Titik yang selalu menunjukkan perhatian tulus, mengusulkan sesuatu."Naya tinggal di rumah kami dulu, ya? Biar kami bisa bantu jagain juga. Kamu pasti capek," ujar Bu Titik sambil membelai pipi Naya dengan sayang.Alex yang berdiri di sampingnya turut membujuk dengan senyuman lembut. "Anggap aja kayak rumah sendiri. Kita ini udah kayak keluarga."Alya tersenyum kecil, sungkan menolak kebaikan mereka. Dan untuk sementara dia setuju.Rumah Alex memang cukup besar, hangat dan juga nyaman. Ditambah dengan segala sesuatu yang serba ada, membuat rumah tersebut bak istana dengan berbagai fasilitas tersedia. Belum lagi Bu Titik memperlakukan Naya seperti cucunya sendiri, membelikan mainan, pakaian baru, bahkan menyiapkan makanan kesukaan.Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan karena perlakuan buruk — justru sebalik
Hendra diam saja saat tangan Alya mendarat di pipi. Dia menerima apa pun yang akan dilakukan Alya–sadar kalau semua ini terjadi karena kesalahannya."Naya–anak sekecil itu … harusnya dilindungi! Bukan disiksa!" teriak Alya, telunjuknya nyaris menyentuh dada Hendra. "Tapi kamu malah sibuk dengan duniamu sendiri! Kamu … kamu udah milih perempuan itu buat jadi ibu Naya, tapi apa?! Dia malah nyiksa Naya!"Tubuh Hendra sedikit bergetar. Suaranya nyaris tak terdengar saat berusaha bicara, "Maaf, a-aku nggak tahu, Al.”"Kamu nggak tahu?!" Alya nyaris tertawa karena marah. "Kamu menutup mata! Kamu membiarkan Naya terluka! Dan sekarang? Sekarang kamu mau apa? Minta maaf? Kamu pikir dengan minta maaf semua selesai? Kamu pikir luka di tubuh Naya bisa hilang gitu aja dengan permintaan maafmu yang konyol itu?”Hendra tidak menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, seolah menerima semua tuduhan itu tanpa perlawanan. Diam-diam, dalam hati kecilnya, dia tahu semua kata-kata Alya benar. Dia telah gaga
Di sisi lain, Alya merasakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi, tapi tidak tahu apa. Moodnya jadi gampang berubah membuat Bu Titik merasa khawatir.“Kamu kenapa, Alya?”“Aku nggak tau, Bu. Feelingku nggak enak aja,” jawab Alya.Bu Titik menghela napas panjang. Dia berjalan mendekat dan mengusap rambut Alya penuh sayang. Tentu bukan tanpa alasan dia berlaku demikian. Sejak awal dia ingin Alya menjadi menantunya dan berharap itu akan menjadi kenyataan.Kini, jalan sudah terbuka lebar. Status Alya sudah jelas dan seharusnya bukan masalah jika Alya mulai membuka hati untuk orang lain, khususnya untuk Alex. Hanya saja, dia tidak yakin putranya yang pernah patah hati itu bisa diandalkan atau tidak, terlebih Bu Titik belum memastikan apakah Alex tertarik pada Alya atau tidak. “Mungkin kamu cuma kecapekan aja karena belakangan ini sibuk terus,” kata Bu Titik. “Gimana kalau besok kita pergi ke luar kota untuk refreshing?”“Itu–” Alya tampak ragu, terlebih di pikirannya ada Naya.“Kamu berh
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah. *** Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya. Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja? Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu. “Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.” Alya mengerutkan kening. "Siapa?" “Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama di
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop