Istri yang Tak Didambakan

Istri yang Tak Didambakan

last updateLast Updated : 2025-05-03
By:  Listy Airyn Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating. 1 review
53Chapters
568views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Betapa perih hati Alya, karena suami yang dia cinta dan percaya, kini berubah menjadi sosok yang kasar dan penuh pengkhianatan. Alya dibiarkan mengurus rumah dan keluarga sendirian, menanggung semua beban hidup seorang diri seolah tak bersuami. Alya ingin menyerah, namun ia bertahan demi putri semata wayangnya. "Ayah, aku nggak mau sama Bunda yang ini. Kenapa gak cerai saja?" Kalimat yang terlontar dari mulut anaknya sendiri, membuat pertahanan Alya seketika runtuh.

View More

Chapter 1

1. Ini bukan rumah

“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. 

Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.

“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”

“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.

Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. 

Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik tekstil. Rasa lelah tak pernah diizinkan hadir menghias wajahnya barang sebentar. Bukan hanya urusan rumah yang dibebankan pada tubuh mungil tersebut, tapi juga biaya rumah tangga yang tak sedikit.

“Jangan lupa pisahin makanan buat Hendra nanti,” kata Bu Lastri.

Kening Alya mengerut. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. 

“Emangnya Mas Hendra belum pulang, Bu?” tanya Alya. 

“Masih tanya lagi! Kalau udah pulang ngapain aku suruh pisahin makanan buat anakku? Kasihan banget dia harus kerja keras buat nafkahin wanita nggak becus kayak kamu itu,” tutur Bu Lastri, seolah yang di depannya adalah seonggok batu tanpa hati.

Alya tersenyum tipis. Dia mengabaikan setiap kata pedas yang terlontar dari mulut ibu mertuanya. Anggaplah itu makanan pokok sehari-hari yang tak akan pernah berganti menu.

Setelah selesai mencuci piring, Alya mengambil kembali tasnya. Dia menyempatkan diri ke kamar Naya, anak perempuan yang telah dia lahirkan 7 tahun silam. 

Cahaya lampu kamar yang redup menerangi wajah cantik putrinya yang terlelap. Ada boneka beruang kecil di sisi gadis kecil tersebut, hadiah yang Alya belikan dari sisa uang belanja beberapa bulan lalu.

“Mimpi indah, Sayang,” ucap Alya lirih, mengecup kening putrinya yang tidur dengan wajah damai.

Ada rasa bersalah yang menyelimuti hati Alya. Tingginya biaya rumah tangga memaksanya untuk bekerja lembur setiap hari. Waktunya lebih banyak dihabiskan di pabrik, jarang bisa menemani masa tumbuh kembang Naya.

Alya menutup pintu kamar Naya perlahan, tak mau mengusik ketenangan barang sedetik. Pikirannya sekarang hanyalah ingin merebahkan tubuh, mengistirahatkan tulang dan sendi yang terasa ngilu. Namun, kewajibannya belum selesai karena harus mandi.

Air dingin yang menyentuh kulit memberi sedikit kelegaan pada tubuh yang letih seolah ikut terbawa arus. Alya mengeringkan badan, lalu mengambil daster kesayangan dari lemari. 

“Akhirnya aku bisa tidur juga,” ucap Alya. 

Namun, harapan itu musnah ketika pintu kamar terbuka. Hendra, suaminya, pulang tepat pukul 10 malam.

“Alya, buatkan aku teh,” kata Hendra seraya melonggarkan dasi yang melingkar di leher.

“Iya, Mas,” jawab Alya. Dia bangkit lagi, melangkah ke dapur. 

Tak lama, Hendra muncul di ambang pintu dapur. Pria itu tampak lelah, tapi tidak membuat Alya merasa iba sedikit pun. Sorot mata lelaki itu semakin hari terasa semakin dingin, atau mungkin lebih tepat jika disebut seperti tak ada kepedulian.

“Belum juga? Lama banget sih! Hangatkan makanan buatku juga, aku lapar,” ujar Hendra sembari melepas kemeja, lalu melemparkannya begitu saja ke kursi.

“Iya, Mas.”

Setelah menyiapkan teh dan makanan, Alya membawanya ke meja makan. Di sana Hendra sudah duduk dengan kaki bersilang, sibuk dengan ponselnya. 

Alya mempersilahkan suaminya untuk menyantap makanan, kemudian dirinya pergi ke kamar setelah sebelumnya mengambil kemeja yang ditanggalkan begitu saja. Niat hati ingin menggantung kemeja, matanya malah menangkap sesuatu yang tak biasa. Rambut panjang berwarna pirang, terjebak diantara serat kain kemeja hitam itu. 

Alya mengambil helai rambut itu dengan hati-hati, mengukur dengan jelas rambut yang tidak sepanjang miliknya. Senyum tipis muncul seolah ingin membuang rasa takut terhadap sesuatu yang mungkin saja akan menyakiti hati.

“Mas Hendra,” panggil Alya pelan saat kembali ke ruang makan.

Hendra mengangkat kepala, menatap Alya dengan sebelah alis terangkat. Bertanya dengan nada datar, “Apa?”

“Ini apa, Mas?” tanya Alya hati-hati, menunjukkan helai rambut yang ditemukan.

“Rambut, kan?” Hendra melanjutkan makannya dengan santai.

“Iya, aku tau ini rambut. Maksudku—”

Sadar sedang dicurigai, Hendra kembali mengangkat wajah. “Apa? Itu ‘kan hanya sehelai rambut, ngapain dibikin ribet sih? Kamu tahu sendiri kerjaanku gimana, banyak karyawan yang keluar masuk ruanganku. Bisa aja ‘kan rambutnya nempel di baju.”

Alya tidak menjawab. Jawaban suaminya tidak sepenuhnya masuk akal, tapi saat ini dia tidak memiliki energi yang lebih untuk sekedar berdebat. Jadi, dia hanya mengangguk pelan, menyimpan pertanyaan itu tinggal dalam hatinya.

“Ya udah, aku ke kamar dulu, Mas,” kata Alya yang berharap malam ini akan berakhir tanpa adanya pertengkaran. Dia sudah mengalah dengan menurunkan ego, meski sejatinya rasa curiga itu tak bisa hilang begitu saja.

“Hemmm,” sahut Hendra yang kembali tenggelam dalam ponselnya tanpa peduli bagaimana keadaan Alya saat ini. 

Di kamar, Alya berbaring di sisi ranjang yang terlalu besar untuknya sendiri. Matanya mulai terpejam, tapi pikirannya sungguh sangat berisik. Dia terus memikirkan tentang Naya, putri yang semakin lama terasa semakin jauh dari jangkauan. Dia bisa merasakan jarak yang sepertinya sengaja dibuat oleh putrinya.

Di satu sisi, dugaan tentang rambut pirang itu juga terus berputar di kepala. Belum lagi beban hidup yang dia tanggung, semakin melengkapi liku kehidupannya dalam berumah tangga.

“Saat aku tak menemukan kehangatan dan ketenangan, apakah ini masih bisa disebut rumah?” gumamnya perlahan. 

Air mata mengalir tanpa suara, terasa sangat menyesakkan dada. Bagi dunia luar, Alya adalah seorang wanita kuat, ibu yang baik, istri yang sempurna, dan dianggap sebagai wanita idaman masa kini. Akan tetapi, dalam diri wanita berkulit putih tersebut, dia malah merasa perlahan-lahan sedang menuju kehancuran. Dia seperti sebuah kaca yang retak, tapi tetap dipaksa berdiri tegak. Hanya satu yang dia takutkan sekarang, itu adalah saat di mana dia merasa tidak sanggup lagi, hancur berantakan, dan pecahannya menyakiti orang lain.

Alya kembali membuka mata. Dia duduk di tepi ranjang dan menatap kemeja yang tergantung di pintu. Ada dorongan kuat yang memaksanya bangkit, mengambil kembali kemeja yang menjadi sumber kegelisahan hati.

Dia menghirup kemeja suaminya dalam-dalam. “Aroma ini–” 

Belum sempat Alya mencerna aroma manis yang melekat, dorongan pintu dari luar membuatnya terhuyung ke belakang, nyaris tersungkur. Muncul Hendra yang tersenyum sambil menatap layar ponsel.

“Mas, kenapa ada aroma parfum cewek di kemejamu? Nggak mungkin ‘kan parfum karyawan bisa nempel kayak rambut pirang tadi?” tanya Alya dengan tatapan penuh curiga.

Sorot mata Hendra langsung berubah nyalang. Dia meraih tubuh Alya, menarik tangan yang masih memegang kemejanya. Hanya dalam sekejap mata, tubuh Alya melayang ke atas ranjang diikuti tamparan keras di wajah, meninggalkan noda darah di sudut bibir merah muda.

Alya berteriak merasakan kepalan tangan Hendra yang tiba-tiba terarah ke perutnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Nala Ratih S
Ceritanya bagus, keren, lanjutkan ...
2025-02-10 23:33:35
0
53 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status