Betapa perih hati Alya, karena suami yang dia cinta dan percaya, kini berubah menjadi sosok yang kasar dan penuh pengkhianatan. Alya dibiarkan mengurus rumah dan keluarga sendirian, menanggung semua beban hidup seorang diri seolah tak bersuami. Alya ingin menyerah, namun ia bertahan demi putri semata wayangnya. "Ayah, aku nggak mau sama Bunda yang ini. Kenapa gak cerai saja?" Kalimat yang terlontar dari mulut anaknya sendiri, membuat pertahanan Alya seketika runtuh.
View MoreAlya mengusap wajahnya kasar. Saat keluar dari rumah memang tidak ada pikiran untuk membawa sertifikat rumah milik orang tuanya. Pikirannya seolah buntu dengan rasa sakit yang tak terkira.“Aku nggak izinkan rumah ini dijual. Kalian nggak ada hak!” Alya merampas sertifikat dari tangan Budhe. Dadanya kembang kempis–merasakan gejolak luar biasa dalam diri.“Kamu ini gimana sih, Al? Rumah ini kalau dijual ‘kan lumayan uangnya. Kamu bisa bagi-bagi sedikit buat kami, gimanapun juga kita ini ‘kan masih keluarga,” kata Budhe tanpa rasa malu.Alya tersenyum kecut. “Keluarga? Emangnya selama ini kalian di mana saat aku butuh bantuan? Di mana kalian saat aku minta bantuan buat ngurus rumah ini? Kalian cuma datang saat butuh, itu yang disebut keluarga?”“Jangan kurang ajar, Alya!” Pakdhe ikut bicara.“Ya, kami ini jauh lebih tua dari kamu,” imbuh Budhe.Alya tak peduli dengan bentakan Budhe. Dia tidak salah. Semua yang dikatakan benar adanya. “Mending Budhe dan yang lain pulang. Sampai kapan pu
Alya menggelengkan kepala. Rumah mendiang orang tuanya tidak boleh dijual dengan alasan apa pun. Entah bagaimana kondisi rumah itu sekarang, Alya belum sempat melihat ke sana lagi.“Apa besok aku ke sana aja ya?” Alya merebahkan tubuhnya yang terasa penat. Dia mengambil selembar uang 20.000 dari saku, upah uji coba hari ini. Dilihatnya uang yang bagi sebagian orang tidak ada arti mengingat mahalnya harga barang-barang. Dia menyadari bahwa mencari uang bukanlah perkara mudah. Uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang kehidupan orang bisa saja berantakan. Mata Alya mulai terasa berat. Dia ingin mandi lebih dulu, tapi rasa penat membuatnya enggan berpindah posisi. Beberapa detik dia terpejam, tak lama terbuka kembali. Ada yang hilang dari dirinya–Naya.Air matanya langsung menetes begitu mengingat putri yang dia sayang sepenuh hati. Tidak peduli seberapa sering penolakan itu didapatnya, tapi yang namanya seorang ibu tidak akan pernah bisa membenci darah dagi
"Kenapa Ayah sekamar sama Tante Andin?" Hendra terkejut. Secara refleks dia mendorong Andin hingga jatuh tersungkur ke lantai.“Sakit, Mas,” kata Andin mengeluh, mengusap pinggangnya yang nyeri. “Naya kenapa belum tidur?” Hendra mengabaikan Andin, memilih untuk menjelaskan kepada putrinya agar tidak terjadi salah paham. “Tadi Tante Andin cuma mau pinjem handuk. Katanya lupa bawa.”“Oh.” Ekspresi Naya datar. “Aku mau tidur sama Ayah.”Permintaan tak biasa dari Naya mengejutkan Hendra, begitu juga dengan Andin. Harapan untuk bisa berduaan gagal sudah jika ada Naya di sana.Andin berdiri dengan senyum dibuat-buat. Jelas dia merasa kesal, tapi tidak boleh menunjukkannya secara terang-terangan. Sebelum resmi menikah dengan Hendra, dia harus bisa berperan sebagai calon ibu yang baik. “Emang Naya biasanya tidur sama Ayah?” tanya Andin.Gelengan kepala Naya membuat Andin bertambah kesal. Jari-jarinya sampai menari di udara. Andai saja bisa, dia ingin meremas Naya untuk melampiaskan amarah
"Kamu benar juga, Nay," kata Bu Lastri diikuti anggukan Hendra. Namun, tidak demikian dengan Andin. Bagaimana bisa seorang selebgram seperti dirinya menjadi pembantu? Dia jelas menolak dengan tegas, harga dirinya seperti terinjak-injak.Penolakan yang disertai alasan-alasan tentang reputasinya di dunia media sosial nyatanya tidak membuat Hendra berubah pikiran. Baginya itu adalah cara yang paling aman untuk saat ini demi menghindari masalah lain. Hanya ada dua pilihan, maju atau tidak sama sekali.Andin terpaksa menerima keputusan itu. Satu sisi dia menyimpan kebencian tersendiri pada Naya yang mencetuskan ide sebagai pembantu.‘Tunggu aja apa yang bisa kulakukan padamu nanti. Dasar, monster kecil sialan!’ batin wanita berkulit putih tersebut.“Bibi!” Panggilan Naya sontak membuat semuanya terkejut. Mereka menatap Naya penuh tanya, bertanya siapa yang sedang dipanggil. Naya menjelaskan dengan polosnya bahwa dia sedang memanggil Andin. Bukankah pembantu di rumah sering dipanggil deng
Hendra mengangguk dan tersenyum puas. Meski ada resiko yang muncul jika rencana itu dilakukan, tapi mengingat kalau dia akan mendapat banyak keuntungan rasanya tidak ada salahnya dicoba. Anggaplah dia sedang memakai jasa orang secara gratis, mengurus anak dan rumah yang sudah terbengkalai sejak kepergian Alya. “Ya udah, ayo!” kata Hendra. Andin meraih tasnya, menenteng di tangan sebelah kiri. Tangan kanannya menengadah, “Mana uangnya? Biar aku yang bayar ke kasir.” Hendra tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih. “Apa kamu nggak ada niat buat balik traktir aku? Kan kamu yang pilih tempat.” “Hah?” Andin menganga tak percaya mendengarnya. Baru kali ini Hendra mengatakan hal sensitif soal uang. Bukankah hal yang wajar kalau lelaki yang membayar makanan? “Ah, baiklah. Kupikir kamu ini wanita yang mandiri secara finansial,” kata Hendra seraya berdiri. Nada suara Hendra yang datar membuat Andin sedikit shock. Itu lebih terkesan seperti pemaksaan secara halus. Akan tetap
Alya melihat Andin sedang merias seorang anak–yang tak lain adalah Naya. Tampak wajah bahagia Naya karena sebelumnya selalu dilarang mengenakan make up. Entah kapan video itu diambil, yang jelas Alya merasa tak suka jika Naya tumbuh lebih cepat sebelum waktunya.Jarinya terus menggulir layar, lagi-lagi video yang tak seharusnya terlihat. Naya dengan riang berjoget bersama Andin, menikmati setiap irama yang terdengar.“Astaghfirullah! Apa-apaan ini? Kenapa Naya jadi begini?” Alya mengelus dada. Susah payah dia memberikan batasan pada Naya, mengajarkan sesuai ajaran agama agar tidak salah jalan, kini hancur hanya dalam hitungan hari. Naya hanyalah seorang anak kecil yang bahkan belum masuk masa puber. Harusnya saat ini dia belajar atau bermain dengan teman seusianya–bukan malah mengikuti trend–berjoget macam tak punya rasa malu saja. Kalau dibiarkan, semakin lama akan semakin terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak perlu.Buru-buru Alya menelpon Hendra. Jelas dia tak akan membiarkan Nay
“Alya!”Suara tak asing terdengar mendekat. Tak lama Alya menerima pelukan hangat, seperti mempunyai seorang ibu saja.“Ibu kenapa bisa ada di sini?” tanya Alya seraya melepaskan pelukan Bu Titik. Dia ingin turun dari motor ojol dulu.“Feeling Ibu beneran terjadi,” ujar Bu Titik seraya menoleh ke ojol. “Sampai sini aja, Pak. Ini ongkosnya, makasih ya!”Ojol tersebut tampak lega mendengar ucapan Bu Titik dan segera menerima uangnya. Dia bergegas pergi karena tak mau terjerat masalah lebih panjang lagi.Selepas kepergian ojol tersebut, Bu Titik mengajak Alya masuk mobil. Rasanya tidak pantas juga bicara di pinggir jalan, apalagi kondisi Alya terlihat tidak baik-baik saja. Bu Titik bersikap layaknya orang normal, mengusap punggung Alya–memberikan rasa aman.“Kamu bisa ceritakan apa pun,” kata Bu Titik.Tadinya Alya enggan membicarakan masalah pribadinya, terlebih pada orang yang belum begitu dia kenal. Akan tetapi, rasa sesak yang memenuhi hati seolah tidak sanggup ditahan lagi. Dengan p
Alya menelan saliva susah payah melihat ekspresi HRD yang sulit dijelaskan tersebut. Meski biasanya juga tidak murah senyum dan lebih terkesan tegas, auranya masih terasa sangat positif, berbeda dengan sekarang.“Katakan saja, Bu. Insya Allah saya siap mendengarkan,” kata Alya.HRD menghela napas panjang, lalu berkata, “Berita tentang rumah tanggamu terdengar sampai direktur umum, bahkan tentang pengusiran warga. Aku tidak tau jelas siapa yang menyampaikan berita ini, yang jelas mereka adalah perwakilan dari warga dan direktur memutuskan bahwa kamu harus keluar dari perusahaan.”“Apa? Tapi nggak ada peraturan yang menyatakan masalah pribadi seperti ini akan berimbas pada pekerjaan ‘kan?” tanya Alya memastikan.“Ya, seperti yang pernah kusampaikan sebelumnya. Itu tak ada hubungannya dengan kontrak kerja, hanya saja direktur pun tak bisa menolak jika sudah bersangkutan dengan warga sekitar. Perusahaan ini bisa berdiri sampai sekarang juga atas persetujuan para warga sekitar dan ada hita
Tubuh Alya lemas. Dia seperti seorang manusia tanpa tulang, tidak sanggup berdiri atau sekedar menopang beban tubuhnya sendiri. Kalimat Naya terlalu menyakitkan, padahal masih anak kecil. Entah kalimat itu keluar dari pikirannya sendiri atau ada yang sudah mendoktrin Naya, yang jelas itu sangat menusuk dan tidak masuk akal.Senyum Hendra mengembang. Lelaki tersebut meminta Bu Lastri untuk membawa Naya kembali ke kamar. Setelah itu, barulah dia berjongkok di depan Alya, menatap lekat wanita yang sudah mendampinginya selama bertahun-tahun.“Kamu dengar sendiri bukan? Naya bukan hanya menolak kedatanganmu, tapi juga menolak menjadi anakmu,” kata Hendra. “Lebih baik kamu lupakan kalau pernah melahirkan Naya. Aku akan mengurus hak asuhnya di pengadilan saat perceraian kita nanti.”“Kamu nggak bisa melakukan ini, Mas. Naya itu hidupku!” seru Alya, mengumpulkan sisa kekuatan dan juga keberanian dalam diri.“Tentu saja aku bisa. Selain Naya sudah bisa memilih sendiri akan ikut dengan siapa, a
“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments