“Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan?
Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.
“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalahkan atas keadaan yang terjadi.
“Kamu nggak usah beralasan macam-macam! Emang dasar kamunya aja nggak becus jadi ibu dan juga istri! Aku ‘kan udah kasih jatah bulanan 200 ribu!” Bu Lastri tak merasa bersalah sedikit pun. Baginya, anak lelaki adalah hak milik sampai dia mati, termasuk hartanya.
“Bu, listrik di rumah ini aja lebih dari 200 ribu,” tukas Alya.
“Ohhh, kamu mau mulai hitung-hitungan? Ya udah, mulai besok cuci baju pakai tangan! Mesin cucinya biar dijual aja! Kalau nyetrika baju jangan pakai setrika listrik, pakai aja setrika arang! Kamu itu harusnya bisa mengatur pengeluaran, gimana caranya biar nggak boros, bukan malah meminta uang tambahan!”
Sakit di hati Alya sangat sulit untuk digambarkan. Sebesar apa pun usahanya demi keluarga, semua tidak akan ada arti bagi orang yang tidak menyukainya. Ingatannya kembali pada bapak mertua yang dulu mengayomi, sungguh Alya rindu saat-saat itu.
Pada akhirnya, Alya tak sempat sarapan karena waktu terus berjalan. Dia harus segera berangkat bekerja, menghindari keterlambatan yang sudah beberapa kali membuatnya mendapat surat peringatan dari HRD.
—
Seperti hari-hari biasa, Alya lembur dan pulang malam. Pekerjaan rumah yang menumpuk sudah menunggu saat tubuh lelahnya masuk ke rumah. Matanya tertuju ke seluruh penjuru rumah yang berantakan, seolah tidak ada penghuni saja.
Di ruang tengah ada anak dan suaminya sedang menonton televisi bersama. Ada seulas senyum yang muncul karena tak biasanya Hendra pulang lebih awal. Namun, saat melihat ibu mertua yang menuruni tangga, senyumnya langsung hilang.
“Ngapain malah berdiri di situ aja? Cepet beresin tuh dapur! Cucian juga udah menggunung!” kata Bu Lastri.
“Iya, Bu.”
Alya mengganti bajunya terlebih dahulu, membereskan meja makan yang masih berantakan. Langkahnya menuju ke dapur, mencuci perabotan dan merapikan segala isinya.
Pandangan Alya tertuju ke bagian sudut, di mana seharusnya ada mesin cuci di sana. Dengan langkah cepat Alya mendekat, memastikan pandangannya.
“Mesin cucinya di mana?” gumam Alya. Saat dia melihat ada bak besar di kamar mandi, barulah dia ingat ucapan sang mertua tadi pagi. Sebelah sudut bibirnya terangkat, dengan helaan napas yang cukup berat.
“Aku udah bantu kamu buat jual mesin cucinya biar ngirit pengeluaran!” Tiba-tiba suara Bu Lastri terdengar dari arah belakang.
Alya tak menjawab. Dia segera masuk kamar mandi dan menutupnya rapat. Tangannya memutar kran, membiarkan air mengalir dengan deras, mengabaikan suara Bu Lastri dari balik pintu. Alya lelah, hanya ingin segera menyelesaikan semuanya tanpa perlu membuang energi untuk hal lainnya lagi. Pun begitu, matanya tidak bisa berbohong. Air mata menjadi saksi betapa hatinya sudah sangat rapuh sekarang.
Alya duduk di kursi kayu kecil, hanya cukup untuknya sendiri. Dia mulai menuangkan deterjen dan mengucek beberapa baju. Matanya yang berair membuat pandangan Alya sedikit buram, tapi tidak saat melihat noda merah menempel di dekat kerah baju Hendra.
“Apa ini?” Alya mencuci muka dan memperhatikan dengan seksama noda tersebut. “Kenapa bisa ada bekas lipstik di sini? Mas Hendra nggak mungkin—”
Alya menggelengkan kepala cepat. Dia menepis segala prasangka buruk tentang Hendra dengan melanjutkan pekerjaannya agar cepat selesai. Begitu seluruh baju telah dijemur, Alya masuk ke kamar dan mendapati suaminya sudah tertidur pulas.
Rasa curiga yang menguasai pikiran Alya kian besar, apalagi suaminya lagi-lagi tak mau lepas dari ponsel dengan terus menggenggamnya. Berawal dari rambut panjang pirang, aroma parfum, lalu sekarang bekas lipstik. Siapa yang bisa berpikir positif terus menerus?
Langkahnya menuju ke tas kerja Hendra yang ada di atas meja kayu setinggi perut. Perlahan dibukanya tas tersebut agar tidak menimbulkan suara berisik. Harapan Alya adalah menemukan sesuatu dari tas tersebut karena tidak mungkin mengecek ponsel Hendra yang digenggam erat.
Sayangnya, Alya tak menemukan apa-apa di sana selain dokumen kantor yang sering dibawa pulang. Tak menyerah sampai di situ, Alya mengecek celana panjang yang dibiarkan begitu saja di atas kursi. Tangannya merogoh setiap saku dan menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan berwarna hitam.
“Lipstik? Bedak?” Kening Alya mengerut membaca rentetan barang belanjaan dengan nominal tidak sedikit. Tak puas hanya di situ, Alya merogoh saku yang lain dan menemukan kertas dengan ukuran lebih besar.
“Kalung?” Alya melihat gambar kalung dengan liontin berinisial A di sana. “Astagaaa … apa Mas Hendra mau kasih aku hadiah pas anniversary kami nanti?”
Alya memandang suaminya yang tertidur pulas sambil tersenyum. “Maafin aku udah curiga, Mas.”
***
Matahari sudah terbit saat Alya selesai memasak. Dia merasa lebih semangat dari sebelumnya. Senyum tidak pernah hilang dari wajah cantiknya.
“Aku udah masakin nasi goreng telur bebek kesukaanmu, Bu,” kata Alya begitu Bu Lastri duduk di kursi.
Bu Lastri melirik menantunya ketus. Meskipun semua kebutuhannya disiapkan oleh Alya, pandanganku Lastri tetap saja tidak berubah lembut. Di mata wanita tua tersebut, apa yang dilakukan Alya adalah hal yang seharusnya.
“Aku panggil Naya sama Mas Hendra dulu ya, Bu,” kata Alya seraya melangkah pergi ke kamarnya. Tidak ada orang di sana, tas kerja suaminya pun tak ada membuat Alya berpikir bahwa Hendra ada di kamar Naya.
Benar saja, Alya bisa mendengar percakapan antara Hendra dan Naya begitu langkah kakinya semakin dekat dengan kamar putri mereka. Senyumnya masih menghias begitu indah hingga perlahan menghilang ketika mendengar pertanyaan dari Naya.
“Nanti kita ketemu Tante Andin lagi, Yah?” tanya Naya.
“Iya, dong! Hari ini Tante Andin ulang tahun, kamu mau ‘kan bantu kasih kejutan?” tanya Hendra.
“Emmmm! Aku mau, Yahhh!” jawab Naya.
Tangan Alya mengepal sempurna. Dia teringat dengan alat make up beserta perhiasan dengan inisial A yang dia pikir untuknya. Tanpa menunggu lama, Alya masuk ke kamar Naya dan bertanya dengan lantang, “Siapa Andin?!”
Seorang wanita asing tiba-tiba menyelinap masuk di antara kerumunan. Gerak-geriknya mencurigakan. Di tangannya berkilat sesuatu — sebilah pisau.Semua terjadi begitu cepat. Wanita itu menyerbu ke arah Alya dengan ekspresi penuh kebencian.Sebelum Alya sempat bergerak, seseorang lebih dulu menerjangnya.Seorang lelaki memakai baju serba hitam berdiri di depan Alya, menjadikan tubuhnya sebagai pelindung. Membiarkan pisau tajam bersarang di perutnya. Tak lama, lelaki itu jatuh. Teriakan panik menggema di udara.Alya membalik tubuhnya dan mendapati sosok itu — Hendra.Pisau itu masih menancap di tubuh Hendra, darah mengalir deras dari lukanya. Matanya menatap Alya dengan ekspresi lega, meski tubuhnya mulai melemah.“Kamu wanita nggak tahu diri! Kamu harus mat–!” Wanita tadi menarik rambut Alya, tapi segera diatasi Alex.“Amankan wanita ini! Laporkan pada pihak berwajib!” seru Alex pada bagian keamanan setelah berhasil melumpuhkan wanita tadi.Pesta berubah menjadi kekacauan. Orang-orang
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Naya dinyatakan cukup stabil oleh dokter, Alya mengurus proses pemulangan putrinya. Bu Titik yang selalu menunjukkan perhatian tulus, mengusulkan sesuatu."Naya tinggal di rumah kami dulu, ya? Biar kami bisa bantu jagain juga. Kamu pasti capek," ujar Bu Titik sambil membelai pipi Naya dengan sayang.Alex yang berdiri di sampingnya turut membujuk dengan senyuman lembut. "Anggap aja kayak rumah sendiri. Kita ini udah kayak keluarga."Alya tersenyum kecil, sungkan menolak kebaikan mereka. Dan untuk sementara dia setuju.Rumah Alex memang cukup besar, hangat dan juga nyaman. Ditambah dengan segala sesuatu yang serba ada, membuat rumah tersebut bak istana dengan berbagai fasilitas tersedia. Belum lagi Bu Titik memperlakukan Naya seperti cucunya sendiri, membelikan mainan, pakaian baru, bahkan menyiapkan makanan kesukaan.Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan karena perlakuan buruk — justru sebalik
Hendra diam saja saat tangan Alya mendarat di pipi. Dia menerima apa pun yang akan dilakukan Alya–sadar kalau semua ini terjadi karena kesalahannya."Naya–anak sekecil itu … harusnya dilindungi! Bukan disiksa!" teriak Alya, telunjuknya nyaris menyentuh dada Hendra. "Tapi kamu malah sibuk dengan duniamu sendiri! Kamu … kamu udah milih perempuan itu buat jadi ibu Naya, tapi apa?! Dia malah nyiksa Naya!"Tubuh Hendra sedikit bergetar. Suaranya nyaris tak terdengar saat berusaha bicara, "Maaf, a-aku nggak tahu, Al.”"Kamu nggak tahu?!" Alya nyaris tertawa karena marah. "Kamu menutup mata! Kamu membiarkan Naya terluka! Dan sekarang? Sekarang kamu mau apa? Minta maaf? Kamu pikir dengan minta maaf semua selesai? Kamu pikir luka di tubuh Naya bisa hilang gitu aja dengan permintaan maafmu yang konyol itu?”Hendra tidak menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, seolah menerima semua tuduhan itu tanpa perlawanan. Diam-diam, dalam hati kecilnya, dia tahu semua kata-kata Alya benar. Dia telah gaga
Di sisi lain, Alya merasakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi, tapi tidak tahu apa. Moodnya jadi gampang berubah membuat Bu Titik merasa khawatir.“Kamu kenapa, Alya?”“Aku nggak tau, Bu. Feelingku nggak enak aja,” jawab Alya.Bu Titik menghela napas panjang. Dia berjalan mendekat dan mengusap rambut Alya penuh sayang. Tentu bukan tanpa alasan dia berlaku demikian. Sejak awal dia ingin Alya menjadi menantunya dan berharap itu akan menjadi kenyataan.Kini, jalan sudah terbuka lebar. Status Alya sudah jelas dan seharusnya bukan masalah jika Alya mulai membuka hati untuk orang lain, khususnya untuk Alex. Hanya saja, dia tidak yakin putranya yang pernah patah hati itu bisa diandalkan atau tidak, terlebih Bu Titik belum memastikan apakah Alex tertarik pada Alya atau tidak. “Mungkin kamu cuma kecapekan aja karena belakangan ini sibuk terus,” kata Bu Titik. “Gimana kalau besok kita pergi ke luar kota untuk refreshing?”“Itu–” Alya tampak ragu, terlebih di pikirannya ada Naya.“Kamu berh
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah. *** Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya. Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja? Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu. “Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.” Alya mengerutkan kening. "Siapa?" “Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama di
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop
“Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre
“Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas
Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se