Pagi itu, embun masih menggantung di ujung dedaunan. Udara terasa sejuk dengan aroma tanah basah yang samar, pertanda malam sebelumnya diguyur hujan ringan. Ziva baru saja membuka pagar rumahnya, siap berangkat ke kantor seperti biasa. Setelan kerjanya rapi, jilbabnya anggun dengan warna pastel yang lembut menyatu dengan pagi. Tapi langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sosok tua berdiri diam di seberang jalan, tepat di depan pagarnya.Rahma.Dengan keranjang rongsok yang besar tergantung di bahu, Rahma berdiri terpaku, menatap rumah itu seperti menatap bagian dari dirinya yang telah lama hilang. Wajahnya tampak lebih tua dari usia, kulitnya kusam terbakar matahari, dan tubuhnya kurus seperti ranting tua yang mudah patah.Namun tatapannya bukan hanya pada rumah itu.Rahma menatap Ziva.Dan dalam tatapan itu, kenangan demi kenangan meluncur deras di benaknya seperti film tua yang tak bisa ia hentikan.Rumah itu dulunya adala
Pertemuan pertama itu menjadi awal dari sebuah permainan berbahaya yang perlahan mulai menemukan bentuknya. Alma, yang awalnya hanya penasaran karena gaya bicara Athar yang penuh percaya diri, mulai memberi ruang komunikasi lebih luas. Athar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia terus merangkai pesan-pesan yang terdengar sopan namun cukup menggoda, menyisipkan pujian-pujian kecil yang membuat Alma merasa dihargai secara personal, bukan sekadar sebagai anggota keluarga besar Abigail.Selama beberapa hari setelah pertemuan mereka di The Elora Prime, Athar terus menjaga komunikasi dengan Alma melalui media sosial dan pesan pribadi. Ia selalu menggunakan ponsel Reza, dengan alasan ponselnya sedang rusak. Reza sempat bertanya, “Lo ngapain sih tiap hari mantengin hape gue? Jangan-jangan nyari cewek?”Athar hanya tertawa dan menjawab singkat, “Ada urusan penting aja, Rez. Santai.”Reza tidak bertanya lebih jauh.Hubungan Athar dan Alma pun perlahan berkemb
Setiap malam, setelah bengkel mulai sepi dan Reza sibuk dengan motornya sendiri, Athar menyendiri di sudut tembok belakang, di mana sinyal cukup kuat. Ponsel android milik Reza, yang sudah mulai retak di ujung layar, kini jadi alat utama Athar melancarkan rencananya.Ia membuat akun sosial media baru—dengan nama dan identitas palsu. Di akun itu, ia membentuk citra baru: pria sederhana, pekerja keras, spiritual, dan punya latar belakang keluarga terpandang yang merantau demi hidup mandiri. Ia memoles profilnya dengan foto-foto yang diambil dari internet—cukup meyakinkan untuk menarik perhatian seseorang seperti Alma.Setelah berhari-hari mengamati aktivitas Alma, akhirnya Athar mulai melancarkan langkahnya.Pesan pertamanya sederhana:“Assalamualaikum, Mbak Alma. Saya tahu ini mendadak dan mungkin tidak sopan, tapi saya tertarik dengan beberapa pemikiran Mbak soal dunia pendidikan dan sosial. Kalau Mbak berkenan, saya ingin banyak belajar dari Mbak
Di bengkel tua yang tersembunyi di belakang terminal kota, suara logam berdenting dan mesin tua meraung pelan. Bau oli dan bensin menyengat, bercampur dengan debu dan asap knalpot. Bengkel itu bukan tempat biasa untuk pertemuan, tapi justru itu yang membuatnya aman untuk pembicaraan kotor—tempat di mana tak ada yang peduli dan tak ada yang bertanya.Reza duduk di kursi kayu reyot sambil menghisap rokok, jaket kulitnya sudah penuh noda hitam oli. Ia tengah mengawasi seorang mekanik menyervis motor ketika suara motor tua berhenti mendadak di depan bengkel. Reza menoleh pelan.Athar turun dari motor, jaketnya kusut, wajahnya tegang dan keringat mengalir dari pelipis. Ia menatap Reza tanpa ekspresi, lalu berjalan mendekat tanpa sepatah kata.Reza berdiri menyambut, namun sorot matanya menyelidik. "Lo masih hidup ternyata."Athar mendengus. "Dan lo masih kayak dulu. Bau oli dan debu."Reza terkekeh, lalu duduk kembali. "Lo datang mau ngapain?"
SIANG HARI – JALANAN SEPI DI KAWASAN KOTA TUADeru mesin motor tua menggeram seperti binatang yang kelelahan. Athar menunduk sedikit, helm setengah terbuka, wajahnya gelap karena amarah yang belum tuntas. Hatinya masih membara sejak Ziva mengusirnya pagi tadi.“Dasar perempuan keras kepala!” umpatnya sambil menggebrak setang motor. “Udah dibujuk, masih aja sok suci!”Motor tuanya melaju di antara gang-gang sempit. Athar tidak peduli. Ia hanya ingin melampiaskan kekesalan. Pikirannya terus dipenuhi suara Ziva yang menolak, mata Ziva yang menatap dingin, dan semua kata-kata yang menghancurkan egonya.SRETTTT—!!Tiba-tiba, tubuhnya tersentak. Rem mendadak diinjak. Ban motor berdecit keras. Di hadapannya, sesosok tua dengan keranjang rongsokan hampir terseret roda depannya.Athar turun, masih dalam emosi, siap memaki. “Hei, lu buta apa! Jalan aja kayak–”Namun, kalimatnya terhenti. Pemulung itu perlahan menoleh. Rambut kusut
Siang itu – di depan rumah ZivaNathan turun dari mobil dengan tangan membawa kantong isi bubur ayam hangat—buatan ibunya, yang khusus ia minta untuk Ziva. Sejak menerima balasan singkat dari Ziva pagi tadi, hatinya tak tenang. Ia tahu, kalimat sesingkat itu menyimpan sesuatu.Saat berjalan ke arah pagar rumah Ziva, seorang tetangga yang tengah menyapu halaman menyapanya. Nathan membalas ramah.“Bu, Ziva lagi di rumah?” tanya Nathan sopan.Sang tetangga berhenti menyapu. “Mas Nathan, ya? Tadi pagi ada Mas Athar datang ke sini. Saya juga nggak tahu banyak, tapi tadi sempat dengar suara mereka agak tinggi.”Wajah Nathan langsung berubah. Ada hawa panas yang naik ke dadanya, tapi ia cepat mengendalikannya. Ia mengangguk singkat dan segera melangkah menuju pintu rumah Ziva. Ia ketuk pelan, lalu memanggil.“Ziva... Ini aku, Nathan.”Tidak ada jawaban. Nathan menunggu, mengetuk sekali lagi. Hatinya makin tak tenang.B
Malam hari – Rumah NathanNathan membuka pintu rumahnya perlahan. Lampu ruang tamu masih menyala, menandakan kedua orang tuanya belum tidur.Ibunya muncul dari dapur, membawa dua cangkir teh. “Kamu baru pulang?” tanyanya lembut.Nathan mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya. Maaf pulang malam.”Ayahnya yang duduk membaca di ruang tengah menoleh. “Kalian jadi ketemu?”Nathan menghela napas dan duduk di samping ayahnya. “Jadi. Kami ngobrol cukup lama.”Ibunya duduk di depannya, menyodorkan teh. “Lalu? Bagaimana Ziva?”Nathan mengangkat bahu. “Dia baik, tapi masih ragu. Aku kasih waktu. Aku nggak mau nyeret dia ke sesuatu yang belum dia siapin. Dia masih jalan pelan, dan aku... harus sabar.”“Lalu soal mengenalkan dia ke kami?” tanya ibunya dengan nada hati-hati.Nathan menatap ibunya sebentar. “Nggak sekarang. Aku takut dia merasa dipaksa. Kalau aku terus tekan
Nara Garden tampak hangat malam itu. Restoran bergaya semi terbuka dengan dekorasi kayu dan cahaya temaram lampu gantung kuning. Di sudut taman kecilnya, ada meja bundar yang dihiasi vas mungil berisi bunga lily.Nathan duduk di sana, mengenakan kemeja biru tua dan jam tangannya yang selalu tampak terlalu mahal untuk dipakai santai. Tapi wajahnya justru yang mencuri perhatian — gelisah, tapi tetap tenang. Ia menatap ke arah pintu masuk restoran setiap beberapa menit sekali, lalu kembali menunduk pada gelas air mineral yang tak disentuh.Sampai akhirnya ia melihat sosok yang dikenalnya berjalan masuk. Ziva melangkah pelan menuju pintu masuk Nara Garden. Ia mengenakan blouse putih panjang yang dipadukan dengan celana kain hitam longgar dan hijab berwarna abu-abu lembut. Riasan wajahnya nyaris tak terlihat, hanya polesan tipis yang menonjolkan keteduhan matanya. Penampilannya sederhana, tapi memancarkan keanggunan yang tulus.Ziva melangkah pel
Ziva menatap bayangannya di cermin. Pagi itu, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Entah karena semalaman ia tak bisa tidur, atau karena pikirannya terlalu kacau. Perkataan Nathan terus terngiang-ngiang dalam kepalanya. Sudah seminggu ia mengalami insomnia. "Aku serius cinta sama kamu." "Aku bakal kasih kamu waktu sampai kamu siap." Ziva menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia mengenakan jas kerjanya dan mengambil tas tangan dari sofa. Suasana rumahnya yang biasanya terasa nyaman, kini justru terasa sesak. Saat membuka pintu depan, sinar matahari pagi menyapa wajahnya. Di halaman kecil rumah itu, Bu Rina — tetangga sebelah rumah — sedang menyiram tanaman. "Ziva, kamu kelihatan capek, nak. Nggak apa-apa?" sapa Bu Rina sambil menoleh. Ziva berusaha membalas dengan senyum kecil. "Ng