Aku menatap tajam ke arah Ibu mertuaku, Rania, dan Mas Athar secara bergantian. Masing-masing dari mereka masih belum menanggapi ucapanku. Mereka terdiam beberapa saat, hingga akhirnya aku melanjutkan ucapanku. Segala uneg-uneg yang kutahan selama ini, harus kukeluarkan saat ini juga. Agar mereka paham, bahwa aku bukanlah wanita lemah yang bisa selamanya mereka tindas. Aku juga berhak membela diri demi kebahagiaanku sendiri.
Kedua tanganku sudah terlipat di dada. Masih menatap mereka secara bergantian. “Dari awal, rumah ini aku beli dari hasil kerja kerasku sendiri, bukan dari hasil ngemis. Justru yang mengemis jabatan itu kamu, Mas Athar. Kamu yang cocok disebut benalu dalam rumah ini. Begitu juga dengan Mama dan Rania. Selama hampir lima tahun, kalian memperlakukanku bukan sebagai menantu, istri, ataupun kakak ipar. Kalian menganggapku hanya sebagai pembantu di rumahku sendiri.”“Apa pantas orang yang menumpang, bertingkah layaknya seorang majikan di rumah yang dia tumpangi? Harusnya kalian yang berkaca diri, bukan aku. Kalian bisa aja aku usir dari rumah ini, detik ini juga. Tapi, aku masih punya nurani. Nggak kayak kalian yang bisanya cuma menghina, tapi nggak sadar diri,” lanjutku lalu intens menatap Mas Athar. “Dan buat kamu, Mas. Silahkan lanjutkan hubunganmu dengan Lusi. Aku nggak peduli.”“Alah! Baru punya rumah kayak gini aja udah belagu! Masih banyak orang kaya lain yang rumahnya lebih bagus dari ini!”Seruan Rania itu langsung menarik perhatianku. Aku menatapnya dan memperhatikan wajah sinisnya. Dia membalas tatapanku. Tidak ada rasa takut sedikitpun di matanya. Aku menyeringai. Ternyata, lawanku itu masih belum sadar juga.Aku melangkah pelan, mendekati Rania. Dengan santai aku berkata, “Oh, iya ya. Ehm, rumahku memang nggak besar sih. Cuma tiga tingkat. Tapi, aku bangga karena ini rumahku sendiri. Kamu sama suamimu, punya rumah nggak?”Saat dia hendak membalas perkataanku, Ibu mertuaku sudah lebih dulu berbicara dengan nada yang keras. Lagi-lagi, atensiku teralihkan.“Jaga omongan kamu, Ziva! Kamu itu nggak bisa semena-mena walaupun ini rumahmu! Kamu lupa, hidup kamu itu masih dibiayai sama Athar! Jadi, selama kamu masih numpang hidup, kamu harus bersikap sopan sama kami!”“Iya, Ziva. Kamu itu masih numpang biaya hidup sama aku. Nggak usah sok berlagak paling kaya, kalau kamu sendiri masih jadi pengangguran.” Mas Athar ikut menyambung ucapan Ibunya. “Kalau kamu marah karena aku selingkuh, itu urusan kamu. Lagian, suami itu boleh punya istri lebih dari satu. Jadi, wajar dong kalau aku mau nikah lagi. Nanti tugas kamu layani calon istri aku yang baru. Biar kamu ada kerjaan di rumah. Jangan jadi pemalas.”Tak lama kemudian, mereka tertawa. Mereka tertawa sangat kencang sekali. Aku tidak menyangka, suamiku sendiri tidak membelaku sama sekali. Dia justru ikut-ikutan seperti mertua dan iparku.Bodohnya aku yang terlalu percaya pada mulut manisnya itu. Harusnya sejak awal bertemu dengannya, aku tidak langsung tergoda. Harusnya aku mendengarkan nasehat dari Pak Cokro saat itu.“Makanya, jadi istri itu jangan kebanyakan protes. Terima aja kenyataannya. Kamu itu masih benalu, walaupun ini rumahmu. Nggak usah lancang buka-buka handphone suami. Inilah akibatnya kalau kamu ganggu privasi suami,” lanjut Mas Athar. “Cuci piring sana! Habis itu masak untuk makan malam kami. Nggak usah manja kamu.”Mas Athar meninggalkanku. Aku berusaha untuk menahan tangisanku saat mendengar ucapan menyakitkannya itu. Kedua tanganku perlahan mulai turun ke bawah dan mengepal erat di samping kanan dan kiri tubuhku.Ibu mertuaku dan Rania masih berdiri di hadapanku dengan tatapan meremehkan. Rania pun berkata, “Kok bisa ya Mas Athar pilih kamu? Udah jelek, sok kaya lagi. Dih, malu-maluin aja.”“Mas kamu itu cuma manfaatin dia aja. Mana mungkin Athar punya selera rendahan kayak dia ini. Ibu aja nggak selera lihatnya,” sahut Ibu mertuaku. “Ayo kita keluar, Rania. Eneg juga lihat dia lama-lama.”“Iya. Ayo, Ma.”Setelah mereka pergi, tubuhku langsung lemas dan terduduk di lantai. Air mataku mulai menetes di pipi. Aku menangis. Wanita mana yang sanggup menghadapi sikap suami, mertua dan ipar yang seperti itu? Jujur, aku tidak sanggup.Aku memang berusaha kuat di depan mereka. Tapi, saat sedang sendiri, aku akan menangis dan menumpahkan segala kesedihanku sendirian. Karena aku tidak mungkin mengatakan semua perlakuan suamiku itu pada orang lain, ataupun keluargaku sendiri.“Ya Allah, bantu aku untuk menyelesaikan semua kerumitan ini. Aku ingin terbebas dari mereka.” Setelah berdoa, aku pun bergegas ke kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat tiga rakaat.Sepanjang salat, air mataku tak berhenti menetes. Hingga aku selesai salat pun, air mataku masih saja mengalir di pipi, dan bahkan semakin deras. Kedua tanganku terangkat untuk kembali berdoa. Meminta petunjuk pada Sang Pencipta agar aku terbebas dari penindasan ini.Dan setelah selesai berdoa, ingatanku mulai tertuju pada Pak Cokro. Aku bergegas meraih ponselku yang ada di atas nakas, lalu mengirimkan pesan singkat padanya.[Assalamualaikum, Pak. Maaf ganggu waktunya. Bisa saya ketemuan sama Bapak?]Aku sedikit cemas saat menunggu balasan dari Pak Cokro. Saat ini, aku masih memakai mukenah berwarna biru langit. Aku duduk di tepi kasur sambil terus menatap layar ponsel.Ting! Notifikasi pesan W******p pun muncul. Aku segera membukanya dan membaca pesan dari Pak Cokro. [Waalaikumsalam. Bisa. Besok kita ketemuan ya. Kebetulan kita udah lama nggak ngobrol.][Siap, Pak. Jam berapa ketemuannya, Pak?] Itu balasan pesanku untuk Pak Cokro.[Jam satu siang ya. Soalnya besok pagi sampai jam dua belas jadwal saya padat. Nanti kamu tunggu aja di kafe dekat kantor. Saya pasti datang.][Iya, Pak. Kalau gitu, sampai ketemu besok, Pak. Assalamualaikum.][Waalaikumsalam.]Aku mengunci layar ponselku dan tersenyum lebar. “Mungkin saat ini, kamu bisa bertingkah seenaknya, Mas. Tapi, lihat apa yang bakal aku lakuin ke kamu setelah ini.”POV: ZIVASuara hujan masih terdengar samar di luar jendela kamar apartemen Nathan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecil berisi beberapa baju dan berkas kerja yang sengaja kubawa. Rasanya aneh. Rasanya canggung. Tapi yang paling mendominasi sekarang adalah rasa takut.Nathan baru saja keluar kamar, menelpon seseorang dengan suara berbisik. Aku tahu dia sedang menghubungi orang kepercayaannya—bahkan mungkin juga pengacaranya—untuk berjaga-jaga. Aku hanya bisa menebak dari potongan kalimat yang terdengar samar lewat pintu setengah terbuka.Aku menarik selimut, memeluk lutut. Di sudut ruangan, ponselku tergeletak di atas meja. Mati. Nathan mematikan ponselku. Katanya, lebih baik begitu daripada si pengirim teror itu terus memancing kepanikan.Aku menutup mata sejenak. Semua ini terasa berlebihan, tapi aku sadar ini perlu. Gina bukan cuma perempuan licik—dia sudah berubah menjadi bayangan menakutkan yang mengintai kami di mana-mana.Pintu kamar berderit pelan. Nathan masuk, m
POV: ZIVATubuhku gemetar. Aku memandangi layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari nomor anonim itu: ‘Lo bakal mati!’Tanganku meremas sisi meja kerja. Mataku beralih ke pintu ruangan yang tertutup rapat, seolah berharap Nathan akan segera menendang pintu dan memelukku, membawaku pergi dari semua ini.Aku mencoba bernapas. Pelan. Tapi rasanya dada ini begitu sesak. Tak ada satupun suara di ruanganku, kecuali detak jantungku yang berdentum semakin keras.Aku tahu, ini pasti ulah Gina. Atau orang suruhannya. Siapa lagi yang punya motif sebesar ini kalau bukan dia? Kenapa perempuan itu begitu terobsesi pada Nathan? Kenapa harus aku yang jadi korbannya?Suara pintu diketuk pelan, membuatku sedikit tersentak. “Masuk,” sahutku dengan suara bergetar.Dan benar saja. Nathan muncul dengan wajah tegang. Dia langsung berjalan cepat ke arahku. Tanpa basa-basi, tangannya meraih bahuku, menunduk untuk memastikan aku baik-baik saja.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya parau.Aku mengg
POV: ZIVA“Kenapa nggak cerita?” Aku bertanya penuh dengan rasa penasaran.Selesai dengan drama kehadiran Gina, Nathan membawaku pergi—meninggalkan acara begitu saja. Dan dia membawaku ke taman kota. Untungnya Alma ada di sana dan dia yang menghandle semuanya. Alma juga mengirimkan pesan singkat bahwa Gina sudah pergi dari acara itu.Namun, masalah belum benar-benar selesai. Aku marah. Kali ini pada Nathan. Pria itu pandai sekali menutup masa lalunya. Bahkan aku sampai tidak pernah berpikir tentang mantan kekasihnya sebelum aku.Dan malam ini, aku menuntut jawaban darinya.“Kita janji untuk saling terbuka, tapi kamu malah nyembunyiin hal besar ini dari aku. Sementara aku… terbuka soal masa lalu aku sama Athar,” ucapku penuh penekanan. “Apa menurutmu ini adil buatku?”“Maaf.”“Untuk apa minta maaf?” tanyaku dengan nada sinis.Tangan hangatnya menggenggam erat tanganku—sangat erat—seolah menyalurkan rasa maaf itu padaku. Aku tahu, dia pasti memiliki alasan kenapa tidak menceritakan tent
POV: ZIVAHari ini adalah hari terpenting dalam hidupku. Aku akan bertunangan dengan Nathan—pria yang tak pernah kuharapkan untuk datang dalam kehidupanku. Pria yang tak pernah bertemu denganku sebelumnya, tapi selalu mengerti bagaimana kondisiku. Selalu mempunyai cara bagaimana membuatku tersenyum bahagia.Dan ini adalah hari ke-tujuh setelah Athar ditahan. Sesekali, aku masih merasa takut—takut dia hadir kembali disaat aku sudah memulai hidup bahagia bersama Nathan. Namun, rasa takut itu selalu disingkirkan oleh rasa bahagia yang diciptakan Nathan.Hingga akhirnya, aku mampu untuk berdiri kembali—di depan cermin sambil memutar tubuhku yang terbalut dress berwarna pastel—senada dengan hijabku.“Kamu cantik banget.” Ucapan itu datang dari seseorang yang tadinya sangat membenciku—Alma.“Kamu juga cantik,” balasku sambil tersenyum menatap pantulan dirinya di cerminku. “Kapan kamu nyusul?”“Ntar aja deh
Seminggu setelah acara tahunan itu, Athar mendadak hilang. Tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Ia kabur disaat semua tamu menghujatnya tanpa henti. Bahkan ia tega mendorong Rahma hingga kepalanya membentur lantai podium.Ziva segera membawa Rahma ke rumah sakit karena mengalami pendarahan hebat. Sementara Nathan berusaha mengejar Athar, namun tak berhasil.Kini, Nathan menemani Ziva menjaga Rahma di rumah sakit. Rahma masih dalam kondisi kritis—sudah seminggu tak sadarkan diri.“Aku takut, Nat,” ucap Ziva pelan.Nathan menggenggam tangan Ziva—lembut. “Takut kenapa, Zi?”“Aku takut, Athar bakal ngelakuin hal lain lagi. Aku tahu gimana sifat dia. Dia nggak bakal nyerah sampai semua keinginannya tercapai.”“Kamu tenang aja ya. Masalah itu biar Alma yang urus. Dia lagi cari tuh orang,” ujar Nathan—berusaha menenangkan.Ziva menatap mata Nathan—sayu dan penuh ketakutan. “Semoga Alma bisa
“Kita mau kemana, Al?”“Udah ngikut aja,” jawab Alma.Sore ini, Alma mengajak Athar untuk bertemu. Awalnya mereka bertemu di kafe, namun di tengah pembicaraan, Alma mengatakan bahwa dirinya mempunyai sebuah kejutan untuk Athar. Tentu hal itu membuat Athar senang—apalagi Alma sampai menutup matanya dengan kain.Athar berjalan pelan—dituntun oleh Alma. Mereka memasuki sebuah gedung megah, menjulang tinggi—bak istana. Di sana sudah sangat ramai. Ternyata ini adalah acara tahunan yang selalu diadakan oleh Alma dan orang tuanya, dan di tahun ini, Athar diajak untuk pertama kalinya.“Oke, kita udah sampai,” ucap Alma—cukup antusias.Semua mata memandang ke arah mereka. Dengan cepat Alma membuka penutup mata Athar. Mata itu mengerjap beberapa kali untuk menetralkan penglihatannya. Setelah itu, ia tampak terkejut.Athar menatap Alma yang berdiri di sampingnya. “Ini acara apa, Al?”“Ini acara tahunan sekaligus acara… pertunangan kita,” jawab Alma dengan senyum misterius. “Aku sengaja adain pes