Share

Bab 2 : Siasat

Aku menatap tajam ke arah Ibu mertuaku, Rania, dan Mas Athar secara bergantian. Masing-masing dari mereka masih belum menanggapi ucapanku. Mereka terdiam beberapa saat, hingga akhirnya aku melanjutkan ucapanku. Segala uneg-uneg yang kutahan selama ini, harus kukeluarkan saat ini juga. Agar mereka paham, bahwa aku bukanlah wanita lemah yang bisa selamanya mereka tindas. Aku juga berhak membela diri demi kebahagiaanku sendiri.

Kedua tanganku sudah terlipat di dada. Masih menatap mereka secara bergantian. “Dari awal, rumah ini aku beli dari hasil kerja kerasku sendiri, bukan dari hasil ngemis. Justru yang mengemis jabatan itu kamu, Mas Athar. Kamu yang cocok disebut benalu dalam rumah ini. Begitu juga dengan Mama dan Rania. Selama hampir lima tahun, kalian memperlakukanku bukan sebagai menantu, istri, ataupun kakak ipar. Kalian menganggapku hanya sebagai pembantu di rumahku sendiri.”

“Apa pantas orang yang menumpang, bertingkah layaknya seorang majikan di rumah yang dia tumpangi? Harusnya kalian yang berkaca diri, bukan aku. Kalian bisa aja aku usir dari rumah ini, detik ini juga. Tapi, aku masih punya nurani. Nggak kayak kalian yang bisanya cuma menghina, tapi nggak sadar diri,” lanjutku lalu intens menatap Mas Athar. “Dan buat kamu, Mas. Silahkan lanjutkan hubunganmu dengan Lusi. Aku nggak peduli.”

“Alah! Baru punya rumah kayak gini aja udah belagu! Masih banyak orang kaya lain yang rumahnya lebih bagus dari ini!”

Seruan Rania itu langsung menarik perhatianku. Aku menatapnya dan memperhatikan wajah sinisnya. Dia membalas tatapanku. Tidak ada rasa takut sedikitpun di matanya. Aku menyeringai. Ternyata, lawanku itu masih belum sadar juga.

Aku melangkah pelan, mendekati Rania. Dengan santai aku berkata, “Oh, iya ya. Ehm, rumahku memang nggak besar sih. Cuma tiga tingkat. Tapi, aku bangga karena ini rumahku sendiri. Kamu sama suamimu, punya rumah nggak?”

Saat dia hendak membalas perkataanku, Ibu mertuaku sudah lebih dulu berbicara dengan nada yang keras. Lagi-lagi, atensiku teralihkan.

“Jaga omongan kamu, Ziva! Kamu itu nggak bisa semena-mena walaupun ini rumahmu! Kamu lupa, hidup kamu itu masih dibiayai sama Athar! Jadi, selama kamu masih numpang hidup, kamu harus bersikap sopan sama kami!”

“Iya, Ziva. Kamu itu masih numpang biaya hidup sama aku. Nggak usah sok berlagak paling kaya, kalau kamu sendiri masih jadi pengangguran.” Mas Athar ikut menyambung ucapan Ibunya. “Kalau kamu marah karena aku selingkuh, itu urusan kamu. Lagian, suami itu boleh punya istri lebih dari satu. Jadi, wajar dong kalau aku mau nikah lagi. Nanti tugas kamu layani calon istri aku yang baru. Biar kamu ada kerjaan di rumah. Jangan jadi pemalas.”

Tak lama kemudian, mereka tertawa. Mereka tertawa sangat kencang sekali. Aku tidak menyangka, suamiku sendiri tidak membelaku sama sekali. Dia justru ikut-ikutan seperti mertua dan iparku.

Bodohnya aku yang terlalu percaya pada mulut manisnya itu. Harusnya sejak awal bertemu dengannya, aku tidak langsung tergoda. Harusnya aku mendengarkan nasehat dari Pak Cokro saat itu.

“Makanya, jadi istri itu jangan kebanyakan protes. Terima aja kenyataannya. Kamu itu masih benalu, walaupun ini rumahmu. Nggak usah lancang buka-buka handphone suami. Inilah akibatnya kalau kamu ganggu privasi suami,” lanjut Mas Athar. “Cuci piring sana! Habis itu masak untuk makan malam kami. Nggak usah manja kamu.”

Mas Athar meninggalkanku. Aku berusaha untuk menahan tangisanku saat mendengar ucapan menyakitkannya itu. Kedua tanganku perlahan mulai turun ke bawah dan mengepal erat di samping kanan dan kiri tubuhku.

Ibu mertuaku dan Rania masih berdiri di hadapanku dengan tatapan meremehkan. Rania pun berkata, “Kok bisa ya Mas Athar pilih kamu? Udah jelek, sok kaya lagi. Dih, malu-maluin aja.”

“Mas kamu itu cuma manfaatin dia aja. Mana mungkin Athar punya selera rendahan kayak dia ini. Ibu aja nggak selera lihatnya,” sahut Ibu mertuaku. “Ayo kita keluar, Rania. Eneg juga lihat dia lama-lama.”

“Iya. Ayo, Ma.”

Setelah mereka pergi, tubuhku langsung lemas dan terduduk di lantai. Air mataku mulai menetes di pipi. Aku menangis. Wanita mana yang sanggup menghadapi sikap suami, mertua dan ipar yang seperti itu? Jujur, aku tidak sanggup.

Aku memang berusaha kuat di depan mereka. Tapi, saat sedang sendiri, aku akan menangis dan menumpahkan segala kesedihanku sendirian. Karena aku tidak mungkin mengatakan semua perlakuan suamiku itu pada orang lain, ataupun keluargaku sendiri.

“Ya Allah, bantu aku untuk menyelesaikan semua kerumitan ini. Aku ingin terbebas dari mereka.” Setelah berdoa, aku pun bergegas ke kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat tiga rakaat.

Sepanjang salat, air mataku tak berhenti menetes. Hingga aku selesai salat pun, air mataku masih saja mengalir di pipi, dan bahkan semakin deras. Kedua tanganku terangkat untuk kembali berdoa. Meminta petunjuk pada Sang Pencipta agar aku terbebas dari penindasan ini.

Dan setelah selesai berdoa, ingatanku mulai tertuju pada Pak Cokro. Aku bergegas meraih ponselku yang ada di atas nakas, lalu mengirimkan pesan singkat padanya.

[Assalamualaikum, Pak. Maaf ganggu waktunya. Bisa saya ketemuan sama Bapak?]

Aku sedikit cemas saat menunggu balasan dari Pak Cokro. Saat ini, aku masih memakai mukenah berwarna biru langit. Aku duduk di tepi kasur sambil terus menatap layar ponsel.

Ting! Notifikasi pesan W******p pun muncul. Aku segera membukanya dan membaca pesan dari Pak Cokro. [Waalaikumsalam. Bisa. Besok kita ketemuan ya. Kebetulan kita udah lama nggak ngobrol.]

[Siap, Pak. Jam berapa ketemuannya, Pak?] Itu balasan pesanku untuk Pak Cokro.

[Jam satu siang ya. Soalnya besok pagi sampai jam dua belas jadwal saya padat. Nanti kamu tunggu aja di kafe dekat kantor. Saya pasti datang.]

[Iya, Pak. Kalau gitu, sampai ketemu besok, Pak. Assalamualaikum.]

[Waalaikumsalam.]

Aku mengunci layar ponselku dan tersenyum lebar. “Mungkin saat ini, kamu bisa bertingkah seenaknya, Mas. Tapi, lihat apa yang bakal aku lakuin ke kamu setelah ini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status