[Mas Athar, ntar malem jadi kan ke rumah? Aku kangen nih. Jangan lupa bawa hadiah ya. Harus yang mewah loh. I love you, Mas Athar-ku sayang.]
Aku terkejut saat membaca pesan masuk dari W******p suamiku. Mas? Kangen? Apa maksud semua ini? Jadi, Mas Athar diam-diam selingkuh di belakangku?Kedua tanganku sudah gemetar, namun berusaha untuk bertahan demi membaca pesan sebelumnya. Ternyata benar. Mas Athar selingkuh dengan wanita lain. Aku pun segera melihat profil wanita itu, dan … rasanya aku ingin pingsan detik itu juga.Aku tidak menyangka, suamiku berselingkuh dengan mantan rekan kerjaku dulu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tanggaku adalah Lusi Candrika. Lusi yang kukenal sangat baik dan ramah, ternyata tega mengkhianatiku sebagai temannya sendiri.“Ziva!”Aku tersentak kaget sampai ponsel Mas Athar hampir terjatuh ke lantai. Ketika diriku mulai tersadar dari lamunan, aku menoleh ke belakang. Ternyata Mas Athar sudah berdiri di belakangku sambil menatapku dengan tajam. Dia bahkan merampas ponselnya dari tanganku sedikit kasar.“Kamu selingkuh sama Lusi, Mas? Sejak kapan? Barusan aku periksa chattingan mesra kamu sama Lusi, dan malam ini kamu mau ketemuan sama dia. Jawab Mas!”Aku mendesaknya untuk jujur. Namun, dia justru berucap, “Lancang kamu ya periksa handphone aku! Ini tuh privasi! Jangan mentang-mentang kamu istriku, terus kamu bisa berbuat seenaknya aja!”Mas Athar benar-benar berteriak keras sekali. Sampai mertua dan iparku masuk ke kamar kami. Kebetulan, kamar kami bersebelahan dengan kamar mertua dan juga iparku.Jika sudah seperti ini, aku pasti akan dipojokkan oleh keluarga Mas Athar. Di sini, tidak ada yang membelaku sama sekali. Suami yang selalu kuharapkan, justru diam-diam telah berselingkuh dengan Lusi.“Ada apa sih kok ribut-ribut? Ini udah mau maghrib loh.” Itu Ibu mertuaku yang bicara. Aku hanya menatapnya sekilas, dan kembali menatap Mas Athar.“Ini loh, Ma. Ziva lancang banget periksa handphone aku. Padahal ini privasi.”Ibu mertuaku langsung menatapku dengan tajam sambil menaikkan kacamatanya yang sedikit merosot. Matanya yang lebar pun melotot tajam, seakan bola mata itu akan keluar dari tempatnya.Tanpa berkata apapun, Ibu mertuaku langsung menoyor kepalaku dengan kasar, sampai aku hampir terjatuh. Untung saja aku masih bisa berdiri seimbang.Dasar mertua laknat!“Istri kurang ajar kamu ya! Bisa-bisanya ganggu privasi suami sendiri! Apa tujuan kamu periksa handphone Athar, hah?! Mau fitnah dia selingkuh, iya?! Terus, kalau dia selingkuh, kamu mau apa, hah?! Kamu tuh udah miskin dan nggak punya apa-apa! Makan kamu, biaya hidup kamu, semuanya ditanggung sama Athar!”“Tahu nih! Kok ada ya istri nggak tahu diri kayak kamu. Udah hidup numpang, malah buat ulah.” Iparku itu ikut menambahkan.Aku masih tetap diam. Berusaha menekan rasa amarah yang bergemuruh di dada. Aku harus tetap menunjukkan sikap wibawaku di depan orang-orang tidak waras itu. Meskipun sejujurnya aku ingin menangis. Tapi, aku tetap menahannya.“Kamu itu ngaca, Va! Masih mending si Athar mau nampung kamu di sini. Kalau nggak, udah jadi gelandangan kamu tuh,” lanjut Ibu mertuaku.Siapa yang mereka sebut tidak tahu diri? Aku? Mereka menganggapku menumpang hidup? Astaga. Ingin sekali kuremas mulut dua wanita jahanam itu dengan tanganku sendiri. Harusnya mereka yang berkaca diri. Mereka yang menumpang hidup denganku. Jelas-jelas rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah hasil jerih payahku sebelum menikah dengan Mas Athar. Lalu Mas Athar mendapatkan jabatan terbaik juga karena bantuanku. Kenapa mereka berkata seolah aku yang benalu?“Udah deh, Mas Athar, mending usir aja cewek benalu ini. Dia nggak cocok sama Mas,” ucap Rania, adik iparku.“Iya, Athar. Mending kamu cari cewek yang lebih kompeten dan bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi. Mama nggak cocok sama dia. Jijik juga. Mukanya dekil, nggak ada bagus-bagusnya,” sambung Rahma, ibu mertuaku.“Kalian tenang aja, bentar lagi juga bakal aku asingkan dia. Aku lagi proses nih cari calon istri baru. Aku juga udah muak sama dia. Bisanya cuma nyusahin.”Nah, itu suamiku sendiri yang berkata. Sungguh suami yang tidak tahu diri. Ibarat kacang, lupa pada kulitnya. Dia bukan siapa-siapa tanpa bantuanku. Aku jadi teringat, tahun pertama setelah menikah dengannya. Saat itu, dia memohon padaku agar aku memberikan jabatanku padanya. Jabatan sebagai Manajer Keuangan di salah satu perusahaan swasta milik Pak Cokro Atmadja, harus kualihkan pada Mas Athar.Kala itu, Mas Athar masih menjabat sebagai karyawan keuangan biasa dan aku merupakan atasannya di kantor. Kami sudah berhubungan selama kurang lebih satu tahun, saat itu. Dia selalu dicemooh oleh karyawan lain karena karirnya tidak menanjak sepertiku. Padahal Mas Athar sudah lebih dulu bekerja di perusahaan itu, daripada aku. Tapi, karirnya stuck di tempat.Itu sebabnya, setelah menikah, aku merelakan jabatanku diambil alih olehnya. Tentunya dengan bantuan dari Pak Cokro. Aku memohon pada Pak Cokro untuk memberikan kesempatan pada suamiku, dan pada akhirnya Pak Cokro pun setuju.Tapi, setelah berhasil mendapatkan jabatan itu dan aku sudah menjadi pengangguran, sikap Mas Athar dan keluarganya mulai berubah. Mereka mulai bersikap semena-mena, menganggapku sebagai benalu dan pembantu di rumahku sendiri. Aku sudah menahan rasa sakit ini selama hampir lima tahun. Bahkan aku hanya bisa meluapkan segala amarahku dengan menangis sendiri di kamar.Namun tidak untuk kali ini. Kesabaranku sudah habis dan kini berubah menjadi dendam. Hatiku sudah terlanjur sakit, apalagi Mas Athar mengakui sendiri bahwa dirinya akan mencari penggantiku. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membalas perbuatan mereka dengan cara yang elegan.“Beneran Mas mau cari calon istri baru?”“Iya, Rania. Mas udah nemu sih, namanya Lusi. Dia juga karyawan kantoran. Nggak pemalas kayak si Ziva.” Mas Athar berkata sambil melirikku dengan sinis.“Rasain kamu, Ziva. Bentar lagi kamu dibuang sama Athar.”Aku tersenyum sinis mendengar ucapan mertuaku. Sungguh, mereka terlalu percaya diri sekali. Sampai melupakan siapa yang berhak atas rumah ini.“Aku nggak takut soal itu. Justru yang harusnya waspada itu kalian. Ingat, ini rumahku, bukan rumah kalian.”POV: AUTHORSuara ponsel Ziva kembali bergetar. Kali ini dari nomor asing lain. Sudah yang keempat hari ini. Tangan Ziva gemetar saat membuka pesan singkat itu.‘Jangan pikir lo aman cuma karena tinggal di rumah orang tuanya Nathan. Gue bisa datang kapan aja, dan lo nggak akan tahu dari arah mana.’Napasnya memburu. Mata Ziva menatap ke arah jendela kamar tamu yang tertutup tirai rapat. Tapi perasaan tidak aman itu terus menyelusup ke seluruh tubuhnya. Seperti ada mata-mata yang mengawasinya dari balik kegelapan.Ziva buru-buru mengunci kembali pintu kamarnya, lalu menyandarkan tubuh ke tembok, berusaha menenangkan diri.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan di pintu membuat Ziva nyaris melompat. Tapi suara pelan dan lembut Nathan menyusul dari luar."Ziva... ini aku. Boleh masuk?"Butuh beberapa detik sampai akhirnya Ziva membuka pintu. Wajahnya pucat, dan matanya masih menyimpan
POV: ZIVAAmplop itu ada di atas meja ruang tamu. Masih utuh. Masih tertutup. Tapi rasanya seisi rumah ini sudah ikut tercekik olehnya.Aku berdiri beberapa langkah dari meja, sementara Nathan berdiri di sisi lain—antara ingin membuka atau membiarkannya tetap tersegel. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Dia belum menyentuhnya lagi sejak tadi."Aku bukain aja," gumam Nathan, seperti bicara pada dirinya sendiri."Nggak usah," ucapku cepat.Dia menatapku. “Kita harus tahu isinya, Ziva.”Aku tahu. Tapi seluruh tubuhku bereaksi seolah ada bom di dalam amplop itu. Napasku memburu. Tangan gemetar. Aku bahkan merasa ruangan ini mendadak sempit.Tante Leona berdiri di dekatku, memegang bahuku perlahan. “Ziva, kamu mau Tante yang buka?”Aku hanya menggeleng, masih belum bisa bicara. Sementara Om Eric sudah menelepon polisi. Suaranya kedengaran di balik pintu dapur—tegas dan pen
POV: ZIVAJam di dinding menunjukkan pukul empat lewat dua puluh. Tapi mataku tetap enggan terpejam. Aku duduk bersandar di kepala ranjang, selimut membungkus tubuhku.Walaupun begitu, tubuhku masih saja gemetar. Padahal suhu ruangan tidak terlalu dingin. Ini semua terjadi karena mimpi buruk yang kualami tadi.Mimpi buruk itu masih membekas sampai detik ini. Hingga akhirnya, aku dikejutkan oleh suara pintu kamar yang diketuk pelan.Tok. Tok. Tok.“Ziva,” suara Nathan dari luar terdengar. “Kamu masih tidur?”Aku terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Aku udah bangun, Nat.”“Oh, kalau gitu… boleh kita bicara sebentar?”Aku ragu sejenak, tapi akhirnya bangkit dan membukakan pintu. Nathan berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sama lelahnya seperti yang kulihat semalam. Matanya merah, mungkin juga karena tak tidur.“Ada apa?” tanyaku.“Boleh aku
POV: ZIVAAku duduk meringkuk di atas ranjang. Malam ini, aku terpaksa menginap di rumah Om Eric dan Tante Leona. Semua ini terjadi setelah aku dan Nathan membuka isi paket dari Gina. Boneka berdarah, pisau, boneka voodoo, bahkan fotoku yang dicoret menggunakan darah.Jujur, aku takut. Gina tidak main-main. Obsesinya terhadap Nathan membuatnya bertingkah seperti psikopat mengerikan. Dan sikap Gina itu cocok dengan hasil tes kejiwaannya dulu.“Gina pernah depresi karena ditolak sama Ryan. Berulang kali dia datang ke psikiater untuk cek kesehatan mental.”Begitulah kata teman lama Nathan yang pernah menjadi saksi kisah cinta segitiga itu—Julian Baskara. Julian juga memberikan bukti yang konkrit untuk memperkuat ucapannya.Dan setelah bertemu dengan Julian, Nathan menghubungi Ryan—di depanku. Dia meloudspeaker panggilan itu hingga aku mendengar dengan jelas percakapan mereka.“Ryan, gue mau tahu soal Gina,” ucap Nathan.‘Kalau lo nelpon cuma mau bahas dia, gue matiin sekarang telponnya.
POV: ZIVASuara hujan masih terdengar samar di luar jendela kamar apartemen Nathan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecil berisi beberapa baju dan berkas kerja yang sengaja kubawa. Rasanya aneh. Rasanya canggung. Tapi yang paling mendominasi sekarang adalah rasa takut.Nathan baru saja keluar kamar, menelpon seseorang dengan suara berbisik. Aku tahu dia sedang menghubungi orang kepercayaannya—bahkan mungkin juga pengacaranya—untuk berjaga-jaga. Aku hanya bisa menebak dari potongan kalimat yang terdengar samar lewat pintu setengah terbuka.Aku menarik selimut, memeluk lutut. Di sudut ruangan, ponselku tergeletak di atas meja. Mati. Nathan mematikan ponselku. Katanya, lebih baik begitu daripada si pengirim teror itu terus memancing kepanikan.Aku menutup mata sejenak. Semua ini terasa berlebihan, tapi aku sadar ini perlu. Gina bukan cuma perempuan licik—dia sudah berubah menjadi bayangan menakutkan yang mengintai kami di mana-mana.Pintu kamar berderit pelan. Nathan masuk, m
POV: ZIVATubuhku gemetar. Aku memandangi layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari nomor anonim itu: ‘Lo bakal mati!’Tanganku meremas sisi meja kerja. Mataku beralih ke pintu ruangan yang tertutup rapat, seolah berharap Nathan akan segera menendang pintu dan memelukku, membawaku pergi dari semua ini.Aku mencoba bernapas. Pelan. Tapi rasanya dada ini begitu sesak. Tak ada satupun suara di ruanganku, kecuali detak jantungku yang berdentum semakin keras.Aku tahu, ini pasti ulah Gina. Atau orang suruhannya. Siapa lagi yang punya motif sebesar ini kalau bukan dia? Kenapa perempuan itu begitu terobsesi pada Nathan? Kenapa harus aku yang jadi korbannya?Suara pintu diketuk pelan, membuatku sedikit tersentak. “Masuk,” sahutku dengan suara bergetar.Dan benar saja. Nathan muncul dengan wajah tegang. Dia langsung berjalan cepat ke arahku. Tanpa basa-basi, tangannya meraih bahuku, menunduk untuk memastikan aku baik-baik saja.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya parau.Aku mengg