Prang! Tanpa disengaja, aku menjatuhkan gelas ketika sedang mencuci piring. Tanganku memang gemetar sejak tadi karena belum makan. Aku lapar, namun aku tidak diizinkan makan oleh suami dan mertuaku, sebelum aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Ditambah lagi masalah tadi saat aku memergoki chat mesra Mas Athar dengan Lusi. Mereka malah melarangku untuk makan sampai besok.
Tentu saja aku tidak kuat jika harus menunggu sampai besok. Aku butuh makan sekarang, namun mereka selalu mengawasiku di dapur. Sampai akhirnya, aku memecahkan gelas karena tanganku yang sudah gemetar.Kurasakan tarikan kuat di rambutku dari arah belakang. Aku memekik kesakitan dan melihat ternyata itu Ibu mertuaku. Kurang ajar sekali dia menarik rambutku seperti ini.“Kamu itu kalau kerja yang bener! Jangan bisanya cuma ngerusakin barang!” teriaknya tepat di dekat telingaku. “Kamu sengaja kan pecahin gelas supaya dapat perhatian dari Athar?! Cih! Menjijikkan. Kamu itu cuma gembel, dan burik! Nggak usah sok cari perhatian segala! Sadar diri kamu!”Aku berusaha untuk menahan air mata dan bersabar sampai besok. Tapi rasanya, aku sudah tidak kuat lagi untuk bersabar. Semakin didiamkan, mereka semakin berbuat seenaknya padaku. Haruskah kubalas mereka sekarang juga? Tapi, aku belum punya tenaga untuk membalas mereka. Aku perlu asupan nasi agar tubuhku kuat.“Beresin pecahan gelas ini sekarang juga! Dan kamu harus ganti rugi karena harga gelas ini mahal!”Sontak aku mendecih mendengar penuturannya. Semua perabotan di rumah ini milikku. Aku membelinya dari hasil kerja kerasku. Jika aku memecahkan gelas itu, kenapa harus ganti rugi? Toh gelas itu aku yang membelinya dan harganya juga biasa saja. Tidak mahal seperti yang Ibu mertuaku katakan. Terlalu berlebihan sekali orang tua satu ini.Dengan posisi kepala yang masih mendongak karena tarikan di rambutku belum dilepas, aku pun berkata, “Maaf ya, Ma. Semua perabotan di rumah ini aku yang beli. Bukan kalian. Jadi, kalau aku pecahkan gelas, bukan berarti aku harus ganti rugi atas barang yang kubeli sendiri. Toh gelas ini harganya nggak mahal. Nggak usah terlalu lebay deh, Ma.”Bruk! Ibu mertuaku geram dan menghantamkan kepalaku ke atas tempat cucian piring, hingga aku merasakan sakit yang luar biasa. Kurasakan aliran darah mengalir di keningku.“Berani banget kamu lawan perintahku ya! Di sini yang berkuasa itu aku! Jadi, kamu harus nurut!”Aku masih bisa mendengar dengan jelas teriakannya. Aku tidak pingsan. Hanya saja, aku sedikit pusing karena benturan di kepalaku.Aku melepas paksa tangan Ibu mertuaku dari rambutku, lalu mencengkramnya dengan erat. Entah dapat kekuatan dari mana. Yang jelas, aku sudah tidak tahan dengan perlakuan buruknya. Dia meronta sambil berteriak memanggil Mas Athar. Aku tahu dia sedang akting agar Mas Athar memarahiku. Tapi, aku tidak peduli.“Athar, tolong Mama!”“Ada apa, Ma?” Mas Athar dengan ekspresi panik. Kemudian, ia melotot saat melihat tanganku sedang mencengkram tangan Ibunya. “Lepasin tangan Mama!” teriaknya.Aku menyeringai, lalu melepaskannya dengan kasar. Setelah itu, aku berkata, “Itu masih belum seberapa sakitnya dibanding sakit yang ada di kepalaku ini, Ma. Mama yang memulai pertengkaran. Mama juga yang memulai penganiayaan. Bisa aja aku ke kantor polisi sekarang untuk buat aduan kekerasan di rumah ini karena ada buktinya.”“Oh, harusnya aku pergi sekarang aja, sebelum pelakunya bener-bener kabur,” sindirku lagi.Seketika wajah Ibu mertuaku berubah menjadi pucat. Dia memang tidak bisa mengelak jika aku melaporkan kekerasan ini ke kantor polisi. Jika polisi butuh bukti, aku bisa mengambil rekaman cctv rahasia yang memang tidak diketahui oleh mereka. Aku siap untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.“Kamu jangan nuduh sembarangan ya, Ziva! Mama nggak mungkin ngelakuin itu sama kamu!” Mas Athar membentakku.“Iya, bener tuh. Mama nggak mungkin ngelakuin itu.”Ah, ternyata Ibu mertuaku ini pandai bersilat lidah juga. Aku pun lantas tersenyum sinis dan berkata, “Maling kalau ngaku, penjara bakal penuh, Mas. Sama halnya kayak yang dilakukan Mama kamu sama aku. Aku nggak takut bawa kasus ini ke jalur hukum. Aku bisa tunjukin buktinya di pengadilan. Siap-siap aja dapat hukuman yang pantas atas tindakan kekerasan yang jelas-jelas disengaja.”Kulihat Mas Athar langsung menatap Ibunya. Bisa kupastikan Mas Athar mulai mempercayai ucapanku. Sementara ekspresi Ibunya sudah menggambarkan bahwa dia sedang ketakutan dengan ancamanku.“Ma, jawab yang jujur. Beneran Mama yang bikin dia luka?” tanya Mas Athar dengan nada serius.“Iya, Athar. Tapi Mama ngelakuin itu karena omongan dia nyakitin hati Mama. Makanya refleks Mama hantamkan kepalanya ke tempat cucian piring sampai luka.”Mas Athar tampak frustrasi. Dia menyugar rambutnya ke belakang, lalu berkata padaku, “Ziva, tolong maafin Mama. Jangan buat laporan ke polisi. Ini masih bisa dibicarain baik-baik.”“Oh, sorry, Mas. Kejahatan tetap kejahatan. Mama harus tanggung akibatnya supaya nggak semena-mena sama aku. Permisi.”Aku melenggang pergi begitu saja. Sementara Mas Athar terus memanggilku. Namun, aku mengabaikannya. Aku harus segera mengobati lukaku. Mungkin besok aku akan ke rumah sakit untuk memeriksa lukaku ini.“Itu cuma gertakan sementara, dan nyali kalian langsung ciut. Gimana kalau aku beneran laporin kalian? Mungkin kalian bakal kena serangan jantung,” gumamku pelan ketika masuk ke dalam kamar, dengan sudut bibir yang menyeringai.Aku berjalan memasuki sebuah kafe, dimana aku dan Pak Cokro sudah membuat janji untuk bertemu. Keningku masih terasa berdenyut karena kejadian semalam. Tapi, aku sudah memeriksakan kondisiku ke rumah sakit, sebelum tiba di kafe. Aku duduk di kursi yang letaknya di sudut dan bisa melihat pemandangan luar melalui dinding yang terbuat dari kaca bening.Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang dan mungkin sebentar lagi Pak Cokro akan datang.“Permisi, Mbak. Mau pesan apa?” Seorang pelayan datang menghampiriku sambil menyodorkan menu makanan dan minuman kafe tersebut.“Saya pesan teh lemon aja, Mas,” ucapku pada pelayan itu.“Baik. Itu saja, Mbak? Ada tambahan lain?”“Untuk sementara itu aja, Mas,” jawabku sambil tersenyum.“Baik. Ditunggu pesanannya ya, Mbak.”Aku hanya menganggukkan kepala. Pelayan itu pun berlalu dari hadapanku. Dan tak lama setelah itu, orang yang ditunggu tiba. Pak Cokro datang dengan pakaian yang rapi, khas orang ka
Menjelang maghrib, aku baru tiba di rumah karena aku memilih menyendiri di taman untuk waktu yang cukup lama, setelah pertemuanku dengan Pak Cokro tadi. Hal itu pula yang menyebabkan aku pulang terlambat. Aku tahu, suamiku dan keluarganya pasti kesal atas keterlambatanku ini. Bisa dilihat berapa banyak panggilan masuk dan pesan singkat di ponselku.Aku mendecih saat memeriksa ponsel di perjalanan tadi. Tanpa adanya aku di rumah, mereka semua akan kelaparan. Rumah pasti sudah sangat berantakan. Rania dan Ibu mertuaku tidak tahu bersih-bersih sama sekali. Padahal sebelumnya mereka bukan dari keluarga kaya.“ZIVA, DARI MANA AJA KAMU?!”Hhh! Sungguh, teriakan Mas Athar sangat memekakan telinga. Aku mendengus pelan sambil menatapnya dengan datar. Kuperhatikan penampilannya kali ini yang tampak acak-acakan. Tidak terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya juga kelihatan stres dan tertekan. Mungkinkah Pak Cokro sempat menegurnya tadi?“KALAU SUAMI NANYA ITU DIJAWAB!”Aku mendecak kesal. “Aku h
“Ziva!”Aku yang sedang merapikan hijab pun langsung memejamkan mata ketika teriakan Ibu mertuaku mulai terdengar. Kuhembuskan napas panjang, lalu bergegas keluar kamar sambil membawa tas yang selalu kugunakan saat bekerja dulu. Pakaianku juga sudah rapi, layaknya seorang CEO.Ketika aku sampai di bawah, semua orang yang ada di meja makan terkejut melihat penampilanku. Mereka melongo sambil mengamati penampilanku dari atas hingga ke bawah, termasuk Mas Athar. Dia bahkan sampai berdiri dan mendekatiku.Kemudian, dia bertanya, “Mau kemana kamu? Kok rapi banget.”“Mau kerja,” jawabku santai.“Apa? Kerja?” Rahma, si Ibu mertua menyebalkan itu tiba-tiba mendekatiku dan mendecih saat menatapku. “Mau kerja apa kamu, hah? Kamu itu cocoknya jadi babu. Nggak usah mimpi deh kerja kantoran. Pakai jas segala lagi,” cibirnya.“Iya bener tuh, Ma. Paling cuma kerja jadi kasir, tapi sengaja pakai pakaian kayak gini. Biar kelihatan keren.” Rania menimpali.Mas Athar langsung menyambar tas yang kupegang
Aku duduk di kursi kerjaku, setelah lelah berkeliling kantor bersama Pak Cokro. Aku memandangi meja kerja yang sudah terisi peralatan kerja. Mulai dari laptop, sampai beberapa peralatan kerja lainnya. Tak hanya itu saja fasilitas yang kudapat. Di sisi kiri ruangan, ada sebuah toilet khusus agar aku tidak perlu lagi ke toilet bawah untuk buang air. Ruanganku juga terbilang besar dan lebar. Ada beberapa sofa dan meja di sudut kanan untuk menerima tamu yang datang.Selain itu, aku juga diberi kartu akses untuk masuk ke dalam beberapa ruangan penting—yang memang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan saja.Aku sungguh menikmati semua ini. Bahkan senyumku tak pudar sedikitpun sejak tadi. Tuhan memang sangat baik padaku. Aku bersyukur karena bisa bangkit kembali setelah hampir lima tahun terkurung bersama orang-orang licik itu.Brak! Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, namun masih bisa mengendalikan diri. Apalagi yang masuk ke dalam ruanganku adalah Mas Athar. Senyum s
Pukul 12.00 siang aku makan di kantin bersama Pak Cokro dan Pak Andi. Kami bertiga sedang membahas masalah pengiriman barang tekstil ke konsumen. Beberapa waktu yang lalu, pengiriman barang sengaja ditunda oleh Pak Cokro karena adanya kecurangan. Belakangan diketahui, pendapatan perusahaan mendadak turun, dan Pak Cokro menduga, pihak konsumen yang melakukan kecurangan. Namun, aku memberi saran padanya agar tidak menuduh satu pihak saja.Pak Cokro sempat kesal saat aku berkata demikian. Dia mengira aku menuduh orang dalam perusahaan ikut terlibat. Tapi, aku langsung menegaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi. Dalam dunia bisnis, sudah pasti ada yang jujur, ada juga yang licik. Tidak menutup kemungkinan, ada orang dalam yang melakukan kecurangan itu.“Pihak-pihak terkait di perusahaan ini harus diperiksa, Pak. Kita jangan menyalahkan satu pihak. Mungkin aja pihak konsumen udah kasih pembayaran yang jelas dan tepat. Selama saya menjabat sebagai manajer keuangan, masalah kayak gini nggak
Menjelang Maghrib, aku dikejutkan oleh kehadiran Mas Athar di dalam kamar. Dia sengaja membuka pintu dengan kasar. Aku menatapnya dengan tajam. Kudekati dia tanpa rasa takut sedikitpun.Namun, baru saja aku berhenti tepat di depannya, satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sial! Aku tidak bisa menghindari tamparannya. Alhasil, pipiku memerah dan terasa perih.“Dasar istri nggak tahu diri kamu!” teriaknya. “Sementang kamu jadi CEO di perusahaan Pak Cokro, terus kamu bisa seenaknya aja sama aku! Kamu sengaja mau bikin malu aku, hah?!”“Iya. Aku emang sengaja mau bikin kamu malu. Terus, mau kamu apa, hah?!” Aku membalas perkataannya dengan lantang. Aku sudah tidak takut lagi pada suami yang tidak pernah menghargaiku. “Itu masih belum parah, Mas. Aku bisa aja bikin kamu lebih malu lagi,” lanjutku.Kulihat tangannya terkepal di samping kanan dan kiri. Dia menatapku dengan garang. Wajahnya merah padam karena amarah. Akan tetapi, itu tak membuatku takut. Justru aku membalas tatapannya dan b
Tiga hari telah berlalu. Aku mulai disibukkan dengan pekerjaanku. Sedangkan Mas Athar sudah di proses oleh pihak kepolisian. Lalu mertuaku? Dia terus menangis dan memohon agar aku membebaskan Mas Athar dari tuntutan. Jelas saja aku menunda pencabutan tuntutan. Hal itu sengaja kulakukan untuk memberi efek jera pada suami kurang ajar seperti Mas Athar.Sudah diberi jabatan yang layak, malah merendahkanku, menduakanku, dan sekarang dia juga sudah berani melakukan kekerasan padaku. Inilah akibat yang harus dia tanggung.“Ziva, tolong cabut laporan kamu. Mama mohon.”Aku menatap ibu mertuaku dengan sinis. “Maaf, Ma. Laporan nggak bisa aku cabut. Silahkan nikmati aja prosesnya. Toh ini juga kesalahan dari anak Mama sendiri.”“Ziva, jangan egois. Dia suamimu. Nggak pantas kamu laporkan dia. Dia ngelakuin itu juga ada sebabnya. Pasti kamu yang cari masalah duluan.”“Siapa yang egois?” tanyaku sinis.“Ya kamulah!”Aku tertawa sambil tetap menatapnya sinis. Masih pagi, tapi aku sudah mendengark
Athar POV“Mas, kok bisa sih kamu cekik dia? Kan jadi berabe urusannya. Gara-gara belain kamu, aku jadi dapat SP2. Kesel banget aku.”Lusi datang ke kantor polisi untuk menjengukku. Tapi, bukannya menghibur, dia justru membawa kabar buruk. Hal itu jelas membuatku semakin stres. Kekesalanku semakin bertambah sekarang.Brak! Aku menggebrak meja dan menatap Lusi dengan kesal. “Kamu tuh ya, datang ke sini bukannya kasih solusi malah ngasih kabar buruk! Harusnya kamu mikirin gimana caranya aku keluar dari penjara! Bukan ngadu soal SP2 kamu itu!”“Loh, kok kamu jadi marah sama aku, Mas?! Yang salah itu istri kamu! Masa aku lagi yang mikirin solusinya!”“Ah, kamu tuh emang cuma mau enaknya aja! Nggak pernah bisa kasih solusi!” gerutuku kesal. Dia memang tidak pernah bisa diandalkan dalam situasi genting.“Eh, Mas! Kamu tuh harusnya bilang makasih ke aku karena aku udah belain kamu di depan Ziva! Gara-gara belain kamu, aku jadi kena SP2!” balasnya tidak terima.“Aku nggak butuh pembelaan kamu