Share

Bab 3 : Ribut dengan Ibu Mertua

Prang! Tanpa disengaja, aku menjatuhkan gelas ketika sedang mencuci piring. Tanganku memang gemetar sejak tadi karena belum makan. Aku lapar, namun aku tidak diizinkan makan oleh suami dan mertuaku, sebelum aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Ditambah lagi masalah tadi saat aku memergoki chat mesra Mas Athar dengan Lusi. Mereka malah melarangku untuk makan sampai besok.

Tentu saja aku tidak kuat jika harus menunggu sampai besok. Aku butuh makan sekarang, namun mereka selalu mengawasiku di dapur. Sampai akhirnya, aku memecahkan gelas karena tanganku yang sudah gemetar.

Kurasakan tarikan kuat di rambutku dari arah belakang. Aku memekik kesakitan dan melihat ternyata itu Ibu mertuaku. Kurang ajar sekali dia menarik rambutku seperti ini.

“Kamu itu kalau kerja yang bener! Jangan bisanya cuma ngerusakin barang!” teriaknya tepat di dekat telingaku. “Kamu sengaja kan pecahin gelas supaya dapat perhatian dari Athar?! Cih! Menjijikkan. Kamu itu cuma gembel, dan burik! Nggak usah sok cari perhatian segala! Sadar diri kamu!”

Aku berusaha untuk menahan air mata dan bersabar sampai besok. Tapi rasanya, aku sudah tidak kuat lagi untuk bersabar. Semakin didiamkan, mereka semakin berbuat seenaknya padaku. Haruskah kubalas mereka sekarang juga? Tapi, aku belum punya tenaga untuk membalas mereka. Aku perlu asupan nasi agar tubuhku kuat.

“Beresin pecahan gelas ini sekarang juga! Dan kamu harus ganti rugi karena harga gelas ini mahal!”

Sontak aku mendecih mendengar penuturannya. Semua perabotan di rumah ini milikku. Aku membelinya dari hasil kerja kerasku. Jika aku memecahkan gelas itu, kenapa harus ganti rugi? Toh gelas itu aku yang membelinya dan harganya juga biasa saja. Tidak mahal seperti yang Ibu mertuaku katakan. Terlalu berlebihan sekali orang tua satu ini.

Dengan posisi kepala yang masih mendongak karena tarikan di rambutku belum dilepas, aku pun berkata, “Maaf ya, Ma. Semua perabotan di rumah ini aku yang beli. Bukan kalian. Jadi, kalau aku pecahkan gelas, bukan berarti aku harus ganti rugi atas barang yang kubeli sendiri. Toh gelas ini harganya nggak mahal. Nggak usah terlalu lebay deh, Ma.”

Bruk! Ibu mertuaku geram dan menghantamkan kepalaku ke atas tempat cucian piring, hingga aku merasakan sakit yang luar biasa. Kurasakan aliran darah mengalir di keningku.

“Berani banget kamu lawan perintahku ya! Di sini yang berkuasa itu aku! Jadi, kamu harus nurut!”

Aku masih bisa mendengar dengan jelas teriakannya. Aku tidak pingsan. Hanya saja, aku sedikit pusing karena benturan di kepalaku.

Aku melepas paksa tangan Ibu mertuaku dari rambutku, lalu mencengkramnya dengan erat. Entah dapat kekuatan dari mana. Yang jelas, aku sudah tidak tahan dengan perlakuan buruknya. Dia meronta sambil berteriak memanggil Mas Athar. Aku tahu dia sedang akting agar Mas Athar memarahiku. Tapi, aku tidak peduli.

“Athar, tolong Mama!”

“Ada apa, Ma?” Mas Athar dengan ekspresi panik. Kemudian, ia melotot saat melihat tanganku sedang mencengkram tangan Ibunya. “Lepasin tangan Mama!” teriaknya.

Aku menyeringai, lalu melepaskannya dengan kasar. Setelah itu, aku berkata, “Itu masih belum seberapa sakitnya dibanding sakit yang ada di kepalaku ini, Ma. Mama yang memulai pertengkaran. Mama juga yang memulai penganiayaan. Bisa aja aku ke kantor polisi sekarang untuk buat aduan kekerasan di rumah ini karena ada buktinya.”

“Oh, harusnya aku pergi sekarang aja, sebelum pelakunya bener-bener kabur,” sindirku lagi.

Seketika wajah Ibu mertuaku berubah menjadi pucat. Dia memang tidak bisa mengelak jika aku melaporkan kekerasan ini ke kantor polisi. Jika polisi butuh bukti, aku bisa mengambil rekaman cctv rahasia yang memang tidak diketahui oleh mereka. Aku siap untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.

“Kamu jangan nuduh sembarangan ya, Ziva! Mama nggak mungkin ngelakuin itu sama kamu!” Mas Athar membentakku.

“Iya, bener tuh. Mama nggak mungkin ngelakuin itu.”

Ah, ternyata Ibu mertuaku ini pandai bersilat lidah juga. Aku pun lantas tersenyum sinis dan berkata, “Maling kalau ngaku, penjara bakal penuh, Mas. Sama halnya kayak yang dilakukan Mama kamu sama aku. Aku nggak takut bawa kasus ini ke jalur hukum. Aku bisa tunjukin buktinya di pengadilan. Siap-siap aja dapat hukuman yang pantas atas tindakan kekerasan yang jelas-jelas disengaja.”

Kulihat Mas Athar langsung menatap Ibunya. Bisa kupastikan Mas Athar mulai mempercayai ucapanku. Sementara ekspresi Ibunya sudah menggambarkan bahwa dia sedang ketakutan dengan ancamanku.

“Ma, jawab yang jujur. Beneran Mama yang bikin dia luka?” tanya Mas Athar dengan nada serius.

“Iya, Athar. Tapi Mama ngelakuin itu karena omongan dia nyakitin hati Mama. Makanya refleks Mama hantamkan kepalanya ke tempat cucian piring sampai luka.”

Mas Athar tampak frustrasi. Dia menyugar rambutnya ke belakang, lalu berkata padaku, “Ziva, tolong maafin Mama. Jangan buat laporan ke polisi. Ini masih bisa dibicarain baik-baik.”

“Oh, sorry, Mas. Kejahatan tetap kejahatan. Mama harus tanggung akibatnya supaya nggak semena-mena sama aku. Permisi.”

Aku melenggang pergi begitu saja. Sementara Mas Athar terus memanggilku. Namun, aku mengabaikannya. Aku harus segera mengobati lukaku. Mungkin besok aku akan ke rumah sakit untuk memeriksa lukaku ini.

“Itu cuma gertakan sementara, dan nyali kalian langsung ciut. Gimana kalau aku beneran laporin kalian? Mungkin kalian bakal kena serangan jantung,” gumamku pelan ketika masuk ke dalam kamar, dengan sudut bibir yang menyeringai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status