Restoran The Elora Prime malam itu dipenuhi cahaya hangat yang memantul dari kristal lampu gantungnya. Aroma masakan mewah bercampur dengan iringan musik klasik menciptakan atmosfer yang elegan. Di salah satu meja sudut dengan pemandangan jendela kota, Alma duduk berdampingan dengan Athar. Di seberang mereka, duduk dua sosok terpandang yang membawa nama besar keluarga Abigail—Rahdian dan Melinda.
Alma tampak cerah, penuh antusiasme saat mengenalkan Athar dengan penuh kebanggaan. “Ma, Pa, ini Mas Athar yang sering Alma ceritakan. Dia kerja di bidang keuangan dan sering menangani proyek-proyek besar.”Athar sempat tercekat saat mengetahui bahwa Alma membawa orang tuanya dalam pertemuan ini. Ia tak menyangka akan bertemu langsung dengan tokoh penting seperti Rahdian Abigail—sosok yang ia tahu punya pengaruh besar di dunia bisnis dan politik. Namun, ia cepat menyesuaikan diri. Ia tersenyum lebar, bersalaman dengan mantap, lalu mulai melontarkan cerita-cerita yang dibumHari-hari setelah acara amal itu terasa lebih sunyi bagi Ziva. Meski dari luar ia tetap tersenyum dan bekerja seperti biasa, hatinya penuh dengan tanya yang belum menemukan jawaban. Surat yang ia terima dan tuduhan penyalahgunaan dana di tempat kerjanya dulu bukan kebetulan. Itu serangan terstruktur, dan ia tak ingin diam saja kali ini.Nathan menyadari perubahan Ziva. Ia mendekati Ziva di ruangannya, membawa dua gelas kopi dan selembar berkas.“Ini laporan internal dari yayasan tempat kamu bekerja,” katanya sambil meletakkan berkas itu di meja. “Aku punya teman di sana. Aku minta bantuannya.”Ziva menatap berkas itu dengan ragu, lalu membuka halaman demi halaman. Matanya membulat saat melihat cap yang tertempel di pojok kiri bawah.“Ini salinan palsu,” gumamnya. “Dokumen ini... ini bukan format yang biasa kami pakai. Dan... tanda tangan ketua yayasan, ini bukan tanda tangannya.”Nathan mengangguk. “Aku juga curig
Acara amal Yayasan Abigail malam itu digelar dengan kemewahan yang menyilaukan. Hotel Le Jardin Velour, tempat acara dilangsungkan, berdiri megah dengan balroom luas yang berhiaskan kristal dan cahaya keemasan. Para tamu berdatangan dalam balutan gaun dan jas formal, membawa serta nama besar masing-masing, termasuk Nathan dan Ziva.Ziva melangkah pelan di samping Nathan. Gaun navy yang membalut tubuhnya tampak elegan, dipadukan dengan hijab satin berwarna senada yang dililit rapi. Wajahnya terlihat sedikit gugup, tapi tetap memancarkan keanggunan yang sederhana. Nathan menggenggam tangannya, menyalurkan ketenangan."Tenang, kamu cantik malam ini," bisik Nathan sambil tersenyum kecil.Ziva membalas dengan anggukan pelan. "Aku takut, Nat... acara ini terlalu besar untukku."“Kamu nggak perlu takut. Aku di sini,” sahut Nathan. Ia memimpin langkah mereka masuk ke dalam ballroom.Di sisi lain ruangan, Alma berdiri deng
Di sudut kafe Ciel de Lumière, percakapan antara Alma dan Athar tak hanya membentuk aliansi, tetapi juga memulai babak baru dalam upaya menjatuhkan Ziva. Setelah ledakan kemarahan Alma reda, ia duduk lebih tenang, sementara Athar mulai memaparkan rencana liciknya dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian.“Aku sudah pikirkan ini semalaman,” ucap Athar sambil mengaduk kopinya. “Kalau kita menyerang Ziva dari luar, dia tidak akan goyah. Dia sudah cukup terbiasa disudutkan. Tapi kalau kita bisa menciptakan celah dari dalam dirinya sendiri, menciptakan rasa bersalah, bahkan rasa takut… dia akan mulai ragu. Dan dari situ, dia akan menarik diri.”Alma mengerutkan dahi. “Maksudmu?”“Aku tahu sesuatu yang tidak diketahui banyak orang, bahkan Nathan sekalipun,” kata Athar, sambil menyandarkan punggung dan melipat tangan di dada. “Ziva punya luka besar dari masa lalu. Dia mungkin terlihat kuat, tapi dia punya satu kelemahan—rasa bersalah. Aku ingin mem
Setelah pintu tertutup dan mobil para tamu melaju menjauh dari halaman, suasana rumah Nathan berubah menjadi lebih tenang, meskipun bayang-bayang ketegangan barusan masih terasa di udara.Ziva masih duduk di sofa, menunduk dalam diam. Tangan Nathan menggenggam tangannya erat, mencoba menyalurkan ketenangan lewat sentuhan. Leona dan Eric tetap duduk di kursinya masing-masing, saling berpandangan sejenak sebelum Leona akhirnya membuka suara.“Ziva,” ucapnya lembut, mendekat dan duduk di sebelah Ziva. “Aku ingin kamu tahu, apa pun yang barusan terjadi… itu bukanlah cerminan dari hati kami.”Ziva mengangkat wajahnya perlahan, menatap Leona dengan mata yang sedikit basah.“Kami tahu siapa kamu dari cara Nathan melihatmu,” lanjut Leona dengan senyum hangat. “Dari caramu bersikap, dari bagaimana kamu menjaga dirimu dan orang-orang di sekelilingmu. Statusmu, masa lalumu—itu semua bukan hal yang layak jadi bahan penilaian.”
Langit senja membalut cakrawala dengan semburat jingga ketika mobil Nathan meluncur perlahan memasuki halaman rumahnya. Di kursi sebelah kiri Nathan, Ziva duduk anggun mengenakan tunik krem panjang dan celana bahan hitam, dilengkapi hijab pashmina berwarna senada yang dibalut rapi. Hari rabu sore ini, Nathan berencana mengembalikan liontin yang selama ini disimpannya—sebuah simbol masa lalu dan sekaligus harapan masa depan.Namun langkah mereka terhenti seketika saat melihat sebuah sedan hitam mewah terparkir di halaman. Pelat nomor istimewa pada mobil itu langsung membuat Nathan menegang.“Mereka sudah datang duluan,” gumam Nathan dengan nada hambar, menatap Ziva dengan raut serius.Ziva hanya mengangguk, meski dadanya mulai dipenuhi firasat buruk. Ketika Nathan membuka pagar kecil dan mempersilakannya masuk, langkahnya terasa berat.Suasana rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasanya, namun bukan sunyi yang menenangkan—melain
Di dalam mobil mewah yang membawa mereka pulang dari acara keluarga, Alma duduk diam dengan wajah gelap. Jemarinya sibuk mengetik sesuatu di ponsel, sementara Melinda duduk di sampingnya dengan ekspresi tak kalah kesal. Sesekali, Rahdian yang duduk di kursi depan hanya menghela napas berat, seolah menyimpan kemarahan yang belum sempat diluapkan."Aku benar-benar nggak habis pikir, Ma," desis Alma, masih memandangi layar ponselnya. "Nathan bisa-bisanya bawa perempuan seperti itu ke acara keluarga. Di depan semua orang."Melinda menoleh, suaranya dingin. "Dia seperti tidak memikirkan reputasi keluarga sama sekali. Sudah tahu dia pewaris tunggal keluarga Abigail. Dan wanita itu… jelas bukan dari kalangan kita.""Dia janda, Ma. Janda," ulang Alma dengan penekanan tajam. "Dan wajah-wajah sok tabahnya itu benar-benar bikin aku muak."Melinda hanya mengangguk pelan. “Kita harus cari cara. Sebelum Nathan terlalu jauh.”Al
Suasana makan siang berlangsung di bawah tenda putih besar yang dihiasi bunga-bunga segar dan lampu gantung kristal. Meja panjang dengan taplak krem dan peralatan makan perak tertata rapi. Hidangan disajikan bergaya buffet, namun tetap mempertahankan kesan mewah.Ziva duduk di samping Nathan, sedikit tegang walau berusaha tersenyum dan tetap tenang. Di seberangnya, duduk Eric dan Leona, sementara beberapa anggota keluarga lain—sepupu, paman, bibi—mengisi kursi-kursi lain yang saling berdampingan.Percakapan awal berlangsung netral. Beberapa tamu menanyakan proyek-proyek Nathan, beberapa memuji Leona atas dekorasi acara. Namun, ketegangan mulai terasa ketika Alma, yang duduk tidak jauh dari ujung meja, meletakkan garpunya dengan sedikit keras dan berkata dengan nada datar,“Aku rasa Nathan punya selera yang… sangat unik, ya.”Beberapa kepala menoleh. Ziva yang sedang menyendok salad sempat berhenti sejenak. Nathan menatap Alma, namun tak berkata ap
Minggu pagi datang lebih cepat dari yang diperkirakan Nathan. Di kediaman besar keluarga Abigail yang dikelilingi taman luas dan gerbang besi tempa, persiapan acara tahunan keluarga tengah berlangsung dengan megah. Meja-meja panjang ditata rapi di halaman belakang, dihiasi bunga mawar putih dan anggrek ungu. Para pekerja sibuk menata peralatan jamuan, sementara anggota keluarga mulai berdatangan satu per satu.Di sisi lain kota, Nathan berdiri di depan cermin kamarnya, menatap pantulan dirinya dengan gelisah. Jas biru tua sudah membalut tubuhnya sempurna, namun ada sesuatu yang berat di dadanya.Leona masuk ke dalam ruangan dengan gaun elegan dan wajah tenang. Ia menghampiri Nathan yang sedang merapikan dasinya. “Ziva akan datang, kan?” tanyanya lembut.Nathan menghela napas. “Dia bilang akan datang. Tapi aku masih ragu.”Leona memiringkan kepalanya sedikit. “Ragu karena kamu khawatir dia tidak akan diterima?”Nathan menatap ibunya dari c
Restoran The Elora Prime malam itu dipenuhi cahaya hangat yang memantul dari kristal lampu gantungnya. Aroma masakan mewah bercampur dengan iringan musik klasik menciptakan atmosfer yang elegan. Di salah satu meja sudut dengan pemandangan jendela kota, Alma duduk berdampingan dengan Athar. Di seberang mereka, duduk dua sosok terpandang yang membawa nama besar keluarga Abigail—Rahdian dan Melinda.Alma tampak cerah, penuh antusiasme saat mengenalkan Athar dengan penuh kebanggaan. “Ma, Pa, ini Mas Athar yang sering Alma ceritakan. Dia kerja di bidang keuangan dan sering menangani proyek-proyek besar.”Athar sempat tercekat saat mengetahui bahwa Alma membawa orang tuanya dalam pertemuan ini. Ia tak menyangka akan bertemu langsung dengan tokoh penting seperti Rahdian Abigail—sosok yang ia tahu punya pengaruh besar di dunia bisnis dan politik. Namun, ia cepat menyesuaikan diri. Ia tersenyum lebar, bersalaman dengan mantap, lalu mulai melontarkan cerita-cerita yang dibum