POV: ZIVASuara hujan masih terdengar samar di luar jendela kamar apartemen Nathan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecil berisi beberapa baju dan berkas kerja yang sengaja kubawa. Rasanya aneh. Rasanya canggung. Tapi yang paling mendominasi sekarang adalah rasa takut.Nathan baru saja keluar kamar, menelpon seseorang dengan suara berbisik. Aku tahu dia sedang menghubungi orang kepercayaannya—bahkan mungkin juga pengacaranya—untuk berjaga-jaga. Aku hanya bisa menebak dari potongan kalimat yang terdengar samar lewat pintu setengah terbuka.Aku menarik selimut, memeluk lutut. Di sudut ruangan, ponselku tergeletak di atas meja. Mati. Nathan mematikan ponselku. Katanya, lebih baik begitu daripada si pengirim teror itu terus memancing kepanikan.Aku menutup mata sejenak. Semua ini terasa berlebihan, tapi aku sadar ini perlu. Gina bukan cuma perempuan licik—dia sudah berubah menjadi bayangan menakutkan yang mengintai kami di mana-mana.Pintu kamar berderit pelan. Nathan masuk, m
POV: ZIVATubuhku gemetar. Aku memandangi layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari nomor anonim itu: ‘Lo bakal mati!’Tanganku meremas sisi meja kerja. Mataku beralih ke pintu ruangan yang tertutup rapat, seolah berharap Nathan akan segera menendang pintu dan memelukku, membawaku pergi dari semua ini.Aku mencoba bernapas. Pelan. Tapi rasanya dada ini begitu sesak. Tak ada satupun suara di ruanganku, kecuali detak jantungku yang berdentum semakin keras.Aku tahu, ini pasti ulah Gina. Atau orang suruhannya. Siapa lagi yang punya motif sebesar ini kalau bukan dia? Kenapa perempuan itu begitu terobsesi pada Nathan? Kenapa harus aku yang jadi korbannya?Suara pintu diketuk pelan, membuatku sedikit tersentak. “Masuk,” sahutku dengan suara bergetar.Dan benar saja. Nathan muncul dengan wajah tegang. Dia langsung berjalan cepat ke arahku. Tanpa basa-basi, tangannya meraih bahuku, menunduk untuk memastikan aku baik-baik saja.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya parau.Aku mengg
POV: ZIVA“Kenapa nggak cerita?” Aku bertanya penuh dengan rasa penasaran.Selesai dengan drama kehadiran Gina, Nathan membawaku pergi—meninggalkan acara begitu saja. Dan dia membawaku ke taman kota. Untungnya Alma ada di sana dan dia yang menghandle semuanya. Alma juga mengirimkan pesan singkat bahwa Gina sudah pergi dari acara itu.Namun, masalah belum benar-benar selesai. Aku marah. Kali ini pada Nathan. Pria itu pandai sekali menutup masa lalunya. Bahkan aku sampai tidak pernah berpikir tentang mantan kekasihnya sebelum aku.Dan malam ini, aku menuntut jawaban darinya.“Kita janji untuk saling terbuka, tapi kamu malah nyembunyiin hal besar ini dari aku. Sementara aku… terbuka soal masa lalu aku sama Athar,” ucapku penuh penekanan. “Apa menurutmu ini adil buatku?”“Maaf.”“Untuk apa minta maaf?” tanyaku dengan nada sinis.Tangan hangatnya menggenggam erat tanganku—sangat erat—seolah menyalurkan rasa maaf itu padaku. Aku tahu, dia pasti memiliki alasan kenapa tidak menceritakan tent
POV: ZIVAHari ini adalah hari terpenting dalam hidupku. Aku akan bertunangan dengan Nathan—pria yang tak pernah kuharapkan untuk datang dalam kehidupanku. Pria yang tak pernah bertemu denganku sebelumnya, tapi selalu mengerti bagaimana kondisiku. Selalu mempunyai cara bagaimana membuatku tersenyum bahagia.Dan ini adalah hari ke-tujuh setelah Athar ditahan. Sesekali, aku masih merasa takut—takut dia hadir kembali disaat aku sudah memulai hidup bahagia bersama Nathan. Namun, rasa takut itu selalu disingkirkan oleh rasa bahagia yang diciptakan Nathan.Hingga akhirnya, aku mampu untuk berdiri kembali—di depan cermin sambil memutar tubuhku yang terbalut dress berwarna pastel—senada dengan hijabku.“Kamu cantik banget.” Ucapan itu datang dari seseorang yang tadinya sangat membenciku—Alma.“Kamu juga cantik,” balasku sambil tersenyum menatap pantulan dirinya di cerminku. “Kapan kamu nyusul?”“Ntar aja deh
Seminggu setelah acara tahunan itu, Athar mendadak hilang. Tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Ia kabur disaat semua tamu menghujatnya tanpa henti. Bahkan ia tega mendorong Rahma hingga kepalanya membentur lantai podium.Ziva segera membawa Rahma ke rumah sakit karena mengalami pendarahan hebat. Sementara Nathan berusaha mengejar Athar, namun tak berhasil.Kini, Nathan menemani Ziva menjaga Rahma di rumah sakit. Rahma masih dalam kondisi kritis—sudah seminggu tak sadarkan diri.“Aku takut, Nat,” ucap Ziva pelan.Nathan menggenggam tangan Ziva—lembut. “Takut kenapa, Zi?”“Aku takut, Athar bakal ngelakuin hal lain lagi. Aku tahu gimana sifat dia. Dia nggak bakal nyerah sampai semua keinginannya tercapai.”“Kamu tenang aja ya. Masalah itu biar Alma yang urus. Dia lagi cari tuh orang,” ujar Nathan—berusaha menenangkan.Ziva menatap mata Nathan—sayu dan penuh ketakutan. “Semoga Alma bisa
“Kita mau kemana, Al?”“Udah ngikut aja,” jawab Alma.Sore ini, Alma mengajak Athar untuk bertemu. Awalnya mereka bertemu di kafe, namun di tengah pembicaraan, Alma mengatakan bahwa dirinya mempunyai sebuah kejutan untuk Athar. Tentu hal itu membuat Athar senang—apalagi Alma sampai menutup matanya dengan kain.Athar berjalan pelan—dituntun oleh Alma. Mereka memasuki sebuah gedung megah, menjulang tinggi—bak istana. Di sana sudah sangat ramai. Ternyata ini adalah acara tahunan yang selalu diadakan oleh Alma dan orang tuanya, dan di tahun ini, Athar diajak untuk pertama kalinya.“Oke, kita udah sampai,” ucap Alma—cukup antusias.Semua mata memandang ke arah mereka. Dengan cepat Alma membuka penutup mata Athar. Mata itu mengerjap beberapa kali untuk menetralkan penglihatannya. Setelah itu, ia tampak terkejut.Athar menatap Alma yang berdiri di sampingnya. “Ini acara apa, Al?”“Ini acara tahunan sekaligus acara… pertunangan kita,” jawab Alma dengan senyum misterius. “Aku sengaja adain pes