Share

Bab 7 : Berkuasa

Aku duduk di kursi kerjaku, setelah lelah berkeliling kantor bersama Pak Cokro. Aku memandangi meja kerja yang sudah terisi peralatan kerja. Mulai dari laptop, sampai beberapa peralatan kerja lainnya. Tak hanya itu saja fasilitas yang kudapat. Di sisi kiri ruangan, ada sebuah toilet khusus agar aku tidak perlu lagi ke toilet bawah untuk buang air. Ruanganku juga terbilang besar dan lebar. Ada beberapa sofa dan meja di sudut kanan untuk menerima tamu yang datang.

Selain itu, aku juga diberi kartu akses untuk masuk ke dalam beberapa ruangan penting—yang memang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan saja.

Aku sungguh menikmati semua ini. Bahkan senyumku tak pudar sedikitpun sejak tadi. Tuhan memang sangat baik padaku. Aku bersyukur karena bisa bangkit kembali setelah hampir lima tahun terkurung bersama orang-orang licik itu.

Brak! Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, namun masih bisa mengendalikan diri. Apalagi yang masuk ke dalam ruanganku adalah Mas Athar. Senyum seringai pun terbit di sudut bibirku. Dialah orang yang memang menjadi target utamaku mulai detik ini.

“Ngapain kamu jadi CEO di sini, hah?! Sengaja mau bikin aku malu, iya?!” Dia berteriak seolah akulah orang yang paling bersalah.

Aku berdiri dengan gerakan santai sambil melipat kedua tangan di dada. Aku berkata, “Ini kantor, bukan tempat dugem. Nggak perlu teriak-teriak kalau mau bicara sama saya. Saya ini atasan kamu. Kamu bisa saya pecat atas sikap kamu hari ini. Paham?”

“Oh, sementang udah jadi bos, terus kamu semena-mena sama suami. Dimana otak kamu, hah?! Harusnya yang jadi bos itu aku, bukan kamu! Kamu lebih cocok jadi babu!”

“Satu kesalahan udah saya catat. Saya masih kasih dua kesempatan lagi sama kamu. Lebih baik kamu diam dan kembali bekerja, sebelum surat pemecatan untuk kamu benar-benar keluar,” ucapku sambil mencatat satu kesalahannya di sebuah note kecil.

Suasana mendadak hening, dan aku pun kembali menatap Mas Athar. Wajahnya tampak marah, namun terselip juga rasa takut di dirinya karena ancamanku tadi. Ya, mungkin saja seperti itu. Aku hanya menebak. Tidak tahu pasti apa yang dia takutkan.

“Masih mau membuat kesalahan lagi?” tanyaku karena dia tak kunjung pergi dari hadapanku. “Kalau masih mau, saya persilahkan.”

“Oke, aku bakal keluar. Tapi, jangan sampai kamu sentuh Lusi. Aku nggak akan segan nyakitin kamu kalau sampai Lusi kenapa-napa,” ancamnya lalu pergi dari ruanganku.

Aku tersenyum tipis. Miris sekali hidupku. Tidak dihargai oleh suami sendiri. Sementara wanita lain mendapatkan tempat spesial di hati Mas Athar. Aku yang berjuang dan berkorban demi dia, tapi wanita lain yang menikmati hasilnya.

Sejujurnya, hatiku sakit saat mendengar ucapan Mas Athar yang memang jelas-jelas melindungi Lusi. Hal itu tak kudapatkan selama menikah dengannya. Bahkan Mas Athar cenderung membantu keluarganya untuk terus menyakitiku.

Apa yang salah denganku? Aku sudah bersikap baik pada mereka. Aku sudah banyak membantu mereka. Tapi, kenapa mereka jahat padaku?

Air mataku menetes ke pipi. Aku pun terduduk di kursi sambil menangis dan memegangi dadaku yang terasa sesak.

“Kenapa harus nangis, Bu?”

Aku tersentak dan langsung menghapus air mataku. Yang barusan berbicara adalah asisten pribadiku, namanya Zahya. Dia termasuk orang lama di perusahaan ini dan aku sangat mengenalnya dengan baik.

“Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi, saya tadi nggak sengaja dengar percakapan Ibu sama Pak Athar. Sejujurnya, saya juga tahu tentang perselingkuhan Pak Athar dan Lusi,” ucapnya sambil menyodorkan segelas air putih untukku. “Ibu harus kuat. Ibu nggak boleh nangis karena Pak Athar. Saya dukung Ibu.”

Aku menerima pemberiannya dan meneguknya sedikit. Setelah itu, aku berkata, “Makasih ya, Zahya. Oh iya, udah berapa lama mereka saling berhubungan?”

“Sekitar dua tahunan, Bu. Tapi, itu berdasarkan informasi dari anak-anak lainnya. Saya juga sempat menasehati Lusi untuk berhenti, tapi dia justru marah dan dia laporkan semuanya sama Pak Athar. Saya sampai ditampar Pak Athar,” jawabnya.

“Kamu ditampar?”

“Iya, Bu. Saya ditampar di ruang keuangan. Di depan para staf keuangan. Mereka saksinya, Bu. Tapi, nggak ada yang berani laporan karena diancam sama Pak Athar. Mereka nggak berani ngelawan Pak Athar, Bu.”

“Kenapa kalian nggak berani sama dia? Memangnya dia ngancam apa?” tanyaku geram.

“Karena dia ancam bakal pecat kami kalau sampai lapor ke Pak Cokro. Udah ada satu orang yang dipecat karena ketahuan nulis surat buat dikasih ke Pak Cokro,” jawabnya sambil menunduk.

Kedua tanganku terkepal sempurna di atas meja. Ternyata Mas Athar sudah bertindak keterlaluan dengan karyawannya sendiri. Dia manfaatkan jabatannya untuk mengancam karyawannya. Keterlaluan.

“Kalian tenang aja. Mulai sekarang, saya yang akan handle semuanya. Kalau dia bertingkah macam-macam, langsung lapor ke saya. Saya yang berkuasa di sini sekarang. Kalian ada dalam lindungan saya,” ucapku tegas.

“Baik, Bu.”

“Kumpulkan para karyawan dan staf di ruang rapat. Nanti saya sendiri yang akan tegaskan ke mereka mengenai hal ini,” perintahku pada Zahya.

“Baik, Bu. Saya akan kumpulkan mereka sekarang. Permisi.”

Aku hanya mengangguk dan membiarkan Zahya pergi. Sungguh, aku kesal sekali mendengar pengakuan Zahya tentang Mas Athar. Selama aku menjabat sebagai Manajer Keuangan, aku tidak pernah sekalipun bersikap buruk pada karyawan dan staf yang lain. Tapi, dia justru bersikap sebaliknya.

“Dasar manusia yang nggak bersyukur kamu, Mas. Mulai sekarang, aku bakal kasih kamu pelajaran supaya berhenti jadi orang yang angkuh,” gumamku kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status