Home / Romansa / Istri yang Tak Dihargai / Bab 6 : Kejutan Dimulai

Share

Bab 6 : Kejutan Dimulai

Author: Wii
last update Last Updated: 2023-07-08 18:17:13

“Ziva!”

Aku yang sedang merapikan hijab pun langsung memejamkan mata ketika teriakan Ibu mertuaku mulai terdengar. Kuhembuskan napas panjang, lalu bergegas keluar kamar sambil membawa tas yang selalu kugunakan saat bekerja dulu. Pakaianku juga sudah rapi, layaknya seorang CEO.

Ketika aku sampai di bawah, semua orang yang ada di meja makan terkejut melihat penampilanku. Mereka melongo sambil mengamati penampilanku dari atas hingga ke bawah, termasuk Mas Athar. Dia bahkan sampai berdiri dan mendekatiku.

Kemudian, dia bertanya, “Mau kemana kamu? Kok rapi banget.”

“Mau kerja,” jawabku santai.

“Apa? Kerja?” Rahma, si Ibu mertua menyebalkan itu tiba-tiba mendekatiku dan mendecih saat menatapku. “Mau kerja apa kamu, hah? Kamu itu cocoknya jadi babu. Nggak usah mimpi deh kerja kantoran. Pakai jas segala lagi,” cibirnya.

“Iya bener tuh, Ma. Paling cuma kerja jadi kasir, tapi sengaja pakai pakaian kayak gini. Biar kelihatan keren.” Rania menimpali.

Mas Athar langsung menyambar tas yang kupegang sambil berkata, “Udah deh, Ziva. Nggak usah banyak gaya kamu. Tugas kamu itu di rumah. Masak, nyapu, pel lantai, cuci baju, cuci piring. Nggak usah sok mau kerja kantoran.”

Astaga. Mereka semua benar-benar menyebalkan. Aku ingin sekali merobek mulut mereka satu per satu. Namun, itu tidak elegan menurutku. Membalas orang-orang seperti mereka harus dengan sikap tenang, tidak boleh terpancing emosi.

Tin! Bunyi klakson mobil dari arah luar rumah pun terdengar. Senyum seringai terbit di sudut bibirku. Kuraih tas yang masih dipegang Mas Athar secara paksa. Sempat kulirik ke arah meja makan yang masih kosong. Setelah itu, aku menatap sinis Mas Athar beserta ibu dan adiknya itu.

Aku berdeham pelan. “Silahkan kalian menghina aku sepuas-puasnya, sebelum kalian jatuh miskin. Aku diam bukan berarti nggak bisa balas perbuatan kalian. Aku cuma mau tahu, seberapa hebat kalian dibanding aku yang kalian anggap miskin ini.”

“Nggak usah belagu kamu! Buruan siapin sarapan! Aku mau berangkat ke kantor!” Mas Athar membentakku.

“Maaf, Mas. Aku juga sibuk dan harus berangkat ke kantor. Jadi, silahkan siapin sendiri. Assalamualaikum,” pamitku dan berlalu.

“Ziva! Durhaka kamu sama suami sendiri!”

Teriakan Ibu mertua tak lagi kudengarkan. Mereka mengejarku sampai ke depan, dan terkejut saat aku masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang memang dikirimkan Pak Cokro untukku, lengkap dengan seorang sopir.

Aku memperhatikan ekspresi mereka yang terus melongo saat menatap mobil tersebut, terutama Mas Athar. Aku mendecih sambil mengalihkan pandanganku ke depan.

“Ini belum seberapa, Mas Athar. Nanti kamu bakal lebih syok lagi, setelah sampai di kantor,” gumamku pelan.

***

Aku tiba di kantor tepat sebelum Mas Athar datang. Aku langsung menemui Pak Cokro yang ternyata sudah menungguku di lobi. Dia duduk di sofa sambil berbincang hangat dengan beberapa petinggi perusahaan yang bekerja sama dengan Pak Cokro.

“Selamat pagi, Pak.” Aku menyapa mereka dengan sangat ramah.

Pak Cokro berdiri dan menyambut kedatanganku dengan sangat baik. Dia berkata, “Selamat pagi, Ziva. Akhirnya kamu datang tepat waktu. Mari, saya kenalkan kamu sebagai CEO baru di perusahaan ini dengan rekan-rekan yang lain.”

“Baik, Pak.”

“Oh, jadi ini CEO baru kita, Pak Cokro?” Itu Pak Andi. Aku memang sudah mengenalnya sejak bekerja di perusahaan ini. Dia terkenal ramah dan dermawan, sama seperti Pak Cokro. Usia mereka pun tak beda jauh.

“Iya, Pak Andi. Dia CEO baru kita.” Pak Cokro menjawab. “Ayo, kita kenalkan Ziva ke karyawan lain.”

“Ayo, Pak.”

Aku, Pak Cokro, Pak Andi, dan beberapa petinggi lainnya bergegas menuju area tengah lobi. Pak Cokro meminta semua karyawan untuk berkumpul di sana. Aku sedikit deg-degan ketika berhadapan dengan seluruh karyawan Pak Cokro. Aku masih tidak menyangka diangkat sebagai seorang CEO di perusahaan bonafit ini.

Dan tanpa sengaja, aku melihat Mas Athar baru saja masuk ke lobi dengan tergesa-gesa dan langsung bergabung dengan karyawan yang lain. Aku segera melirik Pak Cokro yang ada di samping kananku. Ternyata dia juga melirikku dan tersenyum. Sepertinya, dia juga menyadari kehadiran Mas Athar yang berdiri di dekat Lusi.

“Dengarkan semuanya. Saya kumpulkan kalian di sini karena ingin memperkenalkan CEO baru di perusahaan kita. Sebagian dari kalian juga pasti udah kenal sama dia. CEO baru kita Zivanna Almaira,” ucap Pak Cokro dengan suara lantang.

Aku segera menatap Mas Athar dan Lusi secara bergantian. Tatapanku hanya fokus pada ekspresi mereka berdua. Jelas terlihat mereka syok berat setelah Pak Cokro mengumumkan berita menggemparkan ini. Wajah Mas Athar mendadak pucat, sama halnya dengan Lusi.

Senyum sinis pun kutujukan pada mereka ketika tatapan kami saling beradu. Aku juga mendengar beberapa karyawan yang saling berbisik karena mereka juga tidak menyangka aku akan kembali ke perusahaan dengan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Wah, nggak nyangka loh saya, Bu Ziva. Lama nggak ketemu, tiba-tiba udah jadi CEO aja,” ucap salah satu karyawan. “Selamat ya, Bu.”

Aku menatapnya dan berkata, “Makasih, Bella.”

Tak hanya Bella, karyawan yang lain juga turut memberi selamat padaku. Sampai tiba giliran Mas Athar dan Lusi yang mungkin terpaksa mengucapkan selamat padaku untuk menghilangkan rasa syok mereka.

Cibiran lain pun mulai terdengar saat aku menjabat tangan Mas Athar. Salah satu karyawan berkata, “Bangga deh sama Bu Ziva. Memang lebih bagus Bu Ziva yang memimpin. Biar nggak ada kecurangan lagi di sini.”

“Iya. Jabatan Pak Athar jomplang banget sama Bu Ziva,” sahut yang lain.

“Wajar dong. Bu Ziva itu lebih kompeten dibanding suaminya. Pak Cokro memang nggak pernah salah pilih. Harusnya Manajer Keuangan juga diganti ya kan.”

“Setuju.”

Aku tersenyum mendengar cibiran itu. Meskipun berbisik, aku masih bisa mendengar ucapan mereka karena jarak mereka tidak terlalu jauh denganku. Aku yakin, Mas Athar juga mendengar mereka. Bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang merah padam karena menahan emosi.

“Selamat ya, Ziva,” ucap Mas Athar dengan nada terpaksa.

“Iya, makasih ya, Pak Athar Darmansyah. Mudah-mudahan kita bisa saling kerjasama ya.” Aku berucap dengan santai, namun dia tampak tidak senang dengan ucapanku. Bahkan dia langsung menarik tangannya dengan kasar.

“Ziva, saya akan tunjukkan ruangan kamu. Ayo,” ajak Pak Cokro.

Aku hanya mengangguk dan mulai mengikuti langkahnya. Sedangkan Mas Athar mendecak kesal ketika aku melewatinya begitu saja tanpa permisi.

Hhh! Senang sekali rasanya membuat kesal suamiku sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Tak Dihargai   BONUS SCENE

    AFTERMATH PERNIKAHAN NATHAN DAN ZIVAPOV: ZIVAMalam itu, hujan turun pelan. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat udara terasa dingin. Namun, di kamar yang kini resmi menjadi milik kami—aku dan Nathan—hangat terasa tak hanya dari selimut, tapi dari tatapan matanya yang tak berpaling sedetik pun dariku.Aku duduk di tepi ranjang, mengenakan balutan satin lembut berwarna gading yang baru saja diberikan oleh Mama tadi sore. Sederhana. Tapi Nathan menatapku seperti aku adalah bintang jatuh yang ia minta dalam doa panjangnya.Dia mendekat pelan, seakan waktu di antara kami melambat. Hanya ada detak jantungku yang tak terkendali, dan langkah Nathan yang makin dekat... dan makin dekat.Aku menunduk, malu-malu. Ini memang bukan malam pertamaku sebagai seorang istri. Malam pertamaku dulu adalah saat bersama Athar. Tapi entah kenapa, malam ini, di hadapan Nathan, aku merasa seperti daun yang baru gugur—rentan, ringan, dan siap

  • Istri yang Tak Dihargai   EPILOG

    POV: ZIVASudah satu tahun sejak aku mendengar para saksi mengucapkan kata “sah” di depan penghulu—satu kata sederhana, tapi beratnya menembus seluruh pori-pori tubuhku. Saat itu, tanganku gemetar. Hatiku belum sepenuhnya tenang. Ada perasaan ganjil yang tak bisa kujelaskan, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di balik hari sakral itu.Dan ternyata memang benar. Ada rencana besar yang disembunyikan dari mataku. Sebuah perangkap yang diam-diam dipasang oleh Nathan dan Ryan, demi melindungiku dari masa lalu yang masih berkeliaran di sekitar kami. Hari itu bukan hanya hari pernikahan kami. Tapi juga hari perhitungan—dan Nathan... memasang tubuhnya sendiri sebagai tameng.Ia menyembunyikan semuanya dariku bukan karena tak percaya. Tapi justru karena terlalu percaya bahwa aku berhak mendapatkan hari yang damai, tanpa rasa takut, tanpa teror. Ia menanggung semuanya sendiri. Menghalau gelap, agar aku bisa menyambut cahaya.

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 56 Akad dan Perangkap

    POV: AUTHORLangit Jakarta siang itu nyaris pecah. Mendung pekat menggantung seolah bersiap menumpahkan segalanya—hujan, dan mungkin takdir.Di dalam ruangan akad yang telah disiapkan sederhana namun khidmat, Ziva duduk anggun di sisi kanan ruangan, mengenakan gamis putih dengan kerudung satin lembut yang jatuh ke bahunya. Wajahnya tenang, tapi jantungnya berdetak tak karuan. Hari ini, ia akan menjadi istri Nathan. Resmi. Sah. Tapi entah kenapa, perasaannya bercampur. Bukan ragu. Tapi seakan... ada yang belum selesai.Sementara Nathan duduk tak jauh darinya, bersama Eric, para saksi, dan petugas KUA. Dan di balik jubah putih Nathan, ada rompi hitam kecil tersembunyi—rompi pelindung. Di telinganya, terpasang earpiece kecil. Sedangkan Ryan sudah siaga, bersama dua orang lain yang menyamar sebagai tamu undangan di sisi pintu masuk.Waktu menunjukkan pukul 14.07 saat suara penghulu memulai akad.“Aku nikahkan dan kawi

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 55 Ada Rencana Dibalik Akad

    POV: AUTHORLangkah Nathan terhenti sejenak di teras rumah keluarganya—rumah tempat ia tumbuh, dan kini akan menjadi saksi langkah barunya bersama Ziva. Dari balik jendela ruang tamu, ia melihat orang tuanya sedang sibuk berbincang dengan seorang petugas dari KUA. Pembicaraan serius tampak berlangsung, namun sorot wajah mereka jauh lebih tenang dari sebelumnya.Tapi ada hal lain yang jauh lebih penting dari sekadar akad.“Jadi semuanya udah lo atur?” suara Nathan merendah, berbicara melalui ponsel yang ditempelkan ke telinganya. Ia melangkah ke sudut halaman, memastikan tidak ada yang mendengar.‘Udah, Nat. Semuanya udah beres. Kemarin, gue udah siapin dua orang dari tim gue buat ngikutin Gina. Kamera pengawas di sekitar lokasi akad juga udah dipantau. Kalau dia muncul, gue sama tim gue bakal langsung amanin dia. Dan lo yakin Ziva nggak tahu sama sekali soal rencana ini, kan?’ jawab Ryan di seberang, nadanya tegas.Nathan mengangguk kecil, meski Ryan tak bisa melihat. “Dia nggak tahu.

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 54 Langkah di Tengah Badai

    POV: NATHANTiga hari. Itu waktu yang kupunya untuk mengubah hidupku dan hidup Ziva. Kami akan menikah dan tak akan ada batasan untuk melindungnya. Aku tak sanggup melihat Ziva terus menderita. Dulu, dia menderita karena mantan suaminya, dan sekarang tak akan kubiarkan dia menderita karena mantan tunanganku.Aku meminta Papa untuk mengurus semuanya, dan sudah mulai dilakukan olehnya dengan mengurus dokumen pelengkap. Mama juga menghubungi penghulu dan beberapa orang penting untuk memastikan kami bisa menikah secepat itu—tanpa hambatan birokrasi. Semuanya bergerak cepat. Hampir terlalu cepat.Tapi aku tidak menyesal. Karena sementara Papa dan Mama sibuk mempersiapkan pernikahan kami, aku sibuk memikirkan satu hal lain: tentang Gina.Aku tahu dia tidak akan terima dengan pernikahan ini. Dan aku memang sengaja mengambil keputusan ini bertujuan untuk memancing Gina agar semakin berbuat nekat.‘Lo harus bisa tangkap Gina, Nat,’ ucap Ryan di ujung telepon. ‘Jangan sampai Ziva ngalamin hal y

  • Istri yang Tak Dihargai   Bab 53 Percepat Pernikahan

    POV: AUTHORSuara ponsel Ziva kembali bergetar. Kali ini dari nomor asing lain. Sudah yang keempat hari ini. Tangan Ziva gemetar saat membuka pesan singkat itu.‘Jangan pikir lo aman cuma karena tinggal di rumah orang tuanya Nathan. Gue bisa datang kapan aja, dan lo nggak akan tahu dari arah mana.’Napasnya memburu. Mata Ziva menatap ke arah jendela kamar tamu yang tertutup tirai rapat. Tapi perasaan tidak aman itu terus menyelusup ke seluruh tubuhnya. Seperti ada mata-mata yang mengawasinya dari balik kegelapan.Ziva buru-buru mengunci kembali pintu kamarnya, lalu menyandarkan tubuh ke tembok, berusaha menenangkan diri.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan di pintu membuat Ziva nyaris melompat. Tapi suara pelan dan lembut Nathan menyusul dari luar."Ziva... ini aku. Boleh masuk?"Butuh beberapa detik sampai akhirnya Ziva membuka pintu. Wajahnya pucat, dan matanya masih menyimpan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status