“Ziva!”
Aku yang sedang merapikan hijab pun langsung memejamkan mata ketika teriakan Ibu mertuaku mulai terdengar. Kuhembuskan napas panjang, lalu bergegas keluar kamar sambil membawa tas yang selalu kugunakan saat bekerja dulu. Pakaianku juga sudah rapi, layaknya seorang CEO.Ketika aku sampai di bawah, semua orang yang ada di meja makan terkejut melihat penampilanku. Mereka melongo sambil mengamati penampilanku dari atas hingga ke bawah, termasuk Mas Athar. Dia bahkan sampai berdiri dan mendekatiku.Kemudian, dia bertanya, “Mau kemana kamu? Kok rapi banget.”“Mau kerja,” jawabku santai.“Apa? Kerja?” Rahma, si Ibu mertua menyebalkan itu tiba-tiba mendekatiku dan mendecih saat menatapku. “Mau kerja apa kamu, hah? Kamu itu cocoknya jadi babu. Nggak usah mimpi deh kerja kantoran. Pakai jas segala lagi,” cibirnya.“Iya bener tuh, Ma. Paling cuma kerja jadi kasir, tapi sengaja pakai pakaian kayak gini. Biar kelihatan keren.” Rania menimpali.Mas Athar langsung menyambar tas yang kupegang sambil berkata, “Udah deh, Ziva. Nggak usah banyak gaya kamu. Tugas kamu itu di rumah. Masak, nyapu, pel lantai, cuci baju, cuci piring. Nggak usah sok mau kerja kantoran.”Astaga. Mereka semua benar-benar menyebalkan. Aku ingin sekali merobek mulut mereka satu per satu. Namun, itu tidak elegan menurutku. Membalas orang-orang seperti mereka harus dengan sikap tenang, tidak boleh terpancing emosi.Tin! Bunyi klakson mobil dari arah luar rumah pun terdengar. Senyum seringai terbit di sudut bibirku. Kuraih tas yang masih dipegang Mas Athar secara paksa. Sempat kulirik ke arah meja makan yang masih kosong. Setelah itu, aku menatap sinis Mas Athar beserta ibu dan adiknya itu.Aku berdeham pelan. “Silahkan kalian menghina aku sepuas-puasnya, sebelum kalian jatuh miskin. Aku diam bukan berarti nggak bisa balas perbuatan kalian. Aku cuma mau tahu, seberapa hebat kalian dibanding aku yang kalian anggap miskin ini.”“Nggak usah belagu kamu! Buruan siapin sarapan! Aku mau berangkat ke kantor!” Mas Athar membentakku.“Maaf, Mas. Aku juga sibuk dan harus berangkat ke kantor. Jadi, silahkan siapin sendiri. Assalamualaikum,” pamitku dan berlalu.“Ziva! Durhaka kamu sama suami sendiri!”Teriakan Ibu mertua tak lagi kudengarkan. Mereka mengejarku sampai ke depan, dan terkejut saat aku masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang memang dikirimkan Pak Cokro untukku, lengkap dengan seorang sopir.Aku memperhatikan ekspresi mereka yang terus melongo saat menatap mobil tersebut, terutama Mas Athar. Aku mendecih sambil mengalihkan pandanganku ke depan.“Ini belum seberapa, Mas Athar. Nanti kamu bakal lebih syok lagi, setelah sampai di kantor,” gumamku pelan.***Aku tiba di kantor tepat sebelum Mas Athar datang. Aku langsung menemui Pak Cokro yang ternyata sudah menungguku di lobi. Dia duduk di sofa sambil berbincang hangat dengan beberapa petinggi perusahaan yang bekerja sama dengan Pak Cokro.“Selamat pagi, Pak.” Aku menyapa mereka dengan sangat ramah.Pak Cokro berdiri dan menyambut kedatanganku dengan sangat baik. Dia berkata, “Selamat pagi, Ziva. Akhirnya kamu datang tepat waktu. Mari, saya kenalkan kamu sebagai CEO baru di perusahaan ini dengan rekan-rekan yang lain.”“Baik, Pak.”“Oh, jadi ini CEO baru kita, Pak Cokro?” Itu Pak Andi. Aku memang sudah mengenalnya sejak bekerja di perusahaan ini. Dia terkenal ramah dan dermawan, sama seperti Pak Cokro. Usia mereka pun tak beda jauh.“Iya, Pak Andi. Dia CEO baru kita.” Pak Cokro menjawab. “Ayo, kita kenalkan Ziva ke karyawan lain.”“Ayo, Pak.”Aku, Pak Cokro, Pak Andi, dan beberapa petinggi lainnya bergegas menuju area tengah lobi. Pak Cokro meminta semua karyawan untuk berkumpul di sana. Aku sedikit deg-degan ketika berhadapan dengan seluruh karyawan Pak Cokro. Aku masih tidak menyangka diangkat sebagai seorang CEO di perusahaan bonafit ini.Dan tanpa sengaja, aku melihat Mas Athar baru saja masuk ke lobi dengan tergesa-gesa dan langsung bergabung dengan karyawan yang lain. Aku segera melirik Pak Cokro yang ada di samping kananku. Ternyata dia juga melirikku dan tersenyum. Sepertinya, dia juga menyadari kehadiran Mas Athar yang berdiri di dekat Lusi.“Dengarkan semuanya. Saya kumpulkan kalian di sini karena ingin memperkenalkan CEO baru di perusahaan kita. Sebagian dari kalian juga pasti udah kenal sama dia. CEO baru kita Zivanna Almaira,” ucap Pak Cokro dengan suara lantang.Aku segera menatap Mas Athar dan Lusi secara bergantian. Tatapanku hanya fokus pada ekspresi mereka berdua. Jelas terlihat mereka syok berat setelah Pak Cokro mengumumkan berita menggemparkan ini. Wajah Mas Athar mendadak pucat, sama halnya dengan Lusi.Senyum sinis pun kutujukan pada mereka ketika tatapan kami saling beradu. Aku juga mendengar beberapa karyawan yang saling berbisik karena mereka juga tidak menyangka aku akan kembali ke perusahaan dengan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.“Wah, nggak nyangka loh saya, Bu Ziva. Lama nggak ketemu, tiba-tiba udah jadi CEO aja,” ucap salah satu karyawan. “Selamat ya, Bu.”Aku menatapnya dan berkata, “Makasih, Bella.”Tak hanya Bella, karyawan yang lain juga turut memberi selamat padaku. Sampai tiba giliran Mas Athar dan Lusi yang mungkin terpaksa mengucapkan selamat padaku untuk menghilangkan rasa syok mereka.Cibiran lain pun mulai terdengar saat aku menjabat tangan Mas Athar. Salah satu karyawan berkata, “Bangga deh sama Bu Ziva. Memang lebih bagus Bu Ziva yang memimpin. Biar nggak ada kecurangan lagi di sini.”“Iya. Jabatan Pak Athar jomplang banget sama Bu Ziva,” sahut yang lain.“Wajar dong. Bu Ziva itu lebih kompeten dibanding suaminya. Pak Cokro memang nggak pernah salah pilih. Harusnya Manajer Keuangan juga diganti ya kan.”“Setuju.”Aku tersenyum mendengar cibiran itu. Meskipun berbisik, aku masih bisa mendengar ucapan mereka karena jarak mereka tidak terlalu jauh denganku. Aku yakin, Mas Athar juga mendengar mereka. Bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang merah padam karena menahan emosi.“Selamat ya, Ziva,” ucap Mas Athar dengan nada terpaksa.“Iya, makasih ya, Pak Athar Darmansyah. Mudah-mudahan kita bisa saling kerjasama ya.” Aku berucap dengan santai, namun dia tampak tidak senang dengan ucapanku. Bahkan dia langsung menarik tangannya dengan kasar.“Ziva, saya akan tunjukkan ruangan kamu. Ayo,” ajak Pak Cokro.Aku hanya mengangguk dan mulai mengikuti langkahnya. Sedangkan Mas Athar mendecak kesal ketika aku melewatinya begitu saja tanpa permisi.Hhh! Senang sekali rasanya membuat kesal suamiku sendiri.POV: ZIVASuara hujan masih terdengar samar di luar jendela kamar apartemen Nathan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi koper kecil berisi beberapa baju dan berkas kerja yang sengaja kubawa. Rasanya aneh. Rasanya canggung. Tapi yang paling mendominasi sekarang adalah rasa takut.Nathan baru saja keluar kamar, menelpon seseorang dengan suara berbisik. Aku tahu dia sedang menghubungi orang kepercayaannya—bahkan mungkin juga pengacaranya—untuk berjaga-jaga. Aku hanya bisa menebak dari potongan kalimat yang terdengar samar lewat pintu setengah terbuka.Aku menarik selimut, memeluk lutut. Di sudut ruangan, ponselku tergeletak di atas meja. Mati. Nathan mematikan ponselku. Katanya, lebih baik begitu daripada si pengirim teror itu terus memancing kepanikan.Aku menutup mata sejenak. Semua ini terasa berlebihan, tapi aku sadar ini perlu. Gina bukan cuma perempuan licik—dia sudah berubah menjadi bayangan menakutkan yang mengintai kami di mana-mana.Pintu kamar berderit pelan. Nathan masuk, m
POV: ZIVATubuhku gemetar. Aku memandangi layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari nomor anonim itu: ‘Lo bakal mati!’Tanganku meremas sisi meja kerja. Mataku beralih ke pintu ruangan yang tertutup rapat, seolah berharap Nathan akan segera menendang pintu dan memelukku, membawaku pergi dari semua ini.Aku mencoba bernapas. Pelan. Tapi rasanya dada ini begitu sesak. Tak ada satupun suara di ruanganku, kecuali detak jantungku yang berdentum semakin keras.Aku tahu, ini pasti ulah Gina. Atau orang suruhannya. Siapa lagi yang punya motif sebesar ini kalau bukan dia? Kenapa perempuan itu begitu terobsesi pada Nathan? Kenapa harus aku yang jadi korbannya?Suara pintu diketuk pelan, membuatku sedikit tersentak. “Masuk,” sahutku dengan suara bergetar.Dan benar saja. Nathan muncul dengan wajah tegang. Dia langsung berjalan cepat ke arahku. Tanpa basa-basi, tangannya meraih bahuku, menunduk untuk memastikan aku baik-baik saja.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya parau.Aku mengg
POV: ZIVA“Kenapa nggak cerita?” Aku bertanya penuh dengan rasa penasaran.Selesai dengan drama kehadiran Gina, Nathan membawaku pergi—meninggalkan acara begitu saja. Dan dia membawaku ke taman kota. Untungnya Alma ada di sana dan dia yang menghandle semuanya. Alma juga mengirimkan pesan singkat bahwa Gina sudah pergi dari acara itu.Namun, masalah belum benar-benar selesai. Aku marah. Kali ini pada Nathan. Pria itu pandai sekali menutup masa lalunya. Bahkan aku sampai tidak pernah berpikir tentang mantan kekasihnya sebelum aku.Dan malam ini, aku menuntut jawaban darinya.“Kita janji untuk saling terbuka, tapi kamu malah nyembunyiin hal besar ini dari aku. Sementara aku… terbuka soal masa lalu aku sama Athar,” ucapku penuh penekanan. “Apa menurutmu ini adil buatku?”“Maaf.”“Untuk apa minta maaf?” tanyaku dengan nada sinis.Tangan hangatnya menggenggam erat tanganku—sangat erat—seolah menyalurkan rasa maaf itu padaku. Aku tahu, dia pasti memiliki alasan kenapa tidak menceritakan tent
POV: ZIVAHari ini adalah hari terpenting dalam hidupku. Aku akan bertunangan dengan Nathan—pria yang tak pernah kuharapkan untuk datang dalam kehidupanku. Pria yang tak pernah bertemu denganku sebelumnya, tapi selalu mengerti bagaimana kondisiku. Selalu mempunyai cara bagaimana membuatku tersenyum bahagia.Dan ini adalah hari ke-tujuh setelah Athar ditahan. Sesekali, aku masih merasa takut—takut dia hadir kembali disaat aku sudah memulai hidup bahagia bersama Nathan. Namun, rasa takut itu selalu disingkirkan oleh rasa bahagia yang diciptakan Nathan.Hingga akhirnya, aku mampu untuk berdiri kembali—di depan cermin sambil memutar tubuhku yang terbalut dress berwarna pastel—senada dengan hijabku.“Kamu cantik banget.” Ucapan itu datang dari seseorang yang tadinya sangat membenciku—Alma.“Kamu juga cantik,” balasku sambil tersenyum menatap pantulan dirinya di cerminku. “Kapan kamu nyusul?”“Ntar aja deh
Seminggu setelah acara tahunan itu, Athar mendadak hilang. Tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Ia kabur disaat semua tamu menghujatnya tanpa henti. Bahkan ia tega mendorong Rahma hingga kepalanya membentur lantai podium.Ziva segera membawa Rahma ke rumah sakit karena mengalami pendarahan hebat. Sementara Nathan berusaha mengejar Athar, namun tak berhasil.Kini, Nathan menemani Ziva menjaga Rahma di rumah sakit. Rahma masih dalam kondisi kritis—sudah seminggu tak sadarkan diri.“Aku takut, Nat,” ucap Ziva pelan.Nathan menggenggam tangan Ziva—lembut. “Takut kenapa, Zi?”“Aku takut, Athar bakal ngelakuin hal lain lagi. Aku tahu gimana sifat dia. Dia nggak bakal nyerah sampai semua keinginannya tercapai.”“Kamu tenang aja ya. Masalah itu biar Alma yang urus. Dia lagi cari tuh orang,” ujar Nathan—berusaha menenangkan.Ziva menatap mata Nathan—sayu dan penuh ketakutan. “Semoga Alma bisa
“Kita mau kemana, Al?”“Udah ngikut aja,” jawab Alma.Sore ini, Alma mengajak Athar untuk bertemu. Awalnya mereka bertemu di kafe, namun di tengah pembicaraan, Alma mengatakan bahwa dirinya mempunyai sebuah kejutan untuk Athar. Tentu hal itu membuat Athar senang—apalagi Alma sampai menutup matanya dengan kain.Athar berjalan pelan—dituntun oleh Alma. Mereka memasuki sebuah gedung megah, menjulang tinggi—bak istana. Di sana sudah sangat ramai. Ternyata ini adalah acara tahunan yang selalu diadakan oleh Alma dan orang tuanya, dan di tahun ini, Athar diajak untuk pertama kalinya.“Oke, kita udah sampai,” ucap Alma—cukup antusias.Semua mata memandang ke arah mereka. Dengan cepat Alma membuka penutup mata Athar. Mata itu mengerjap beberapa kali untuk menetralkan penglihatannya. Setelah itu, ia tampak terkejut.Athar menatap Alma yang berdiri di sampingnya. “Ini acara apa, Al?”“Ini acara tahunan sekaligus acara… pertunangan kita,” jawab Alma dengan senyum misterius. “Aku sengaja adain pes