MasukIndah meremas tangannya yang dingin. Aura marah Gavin membuatnya gemetar. Perasaan itu terlalu familiar. Persis seperti saat ia berhadapan dengan Eyang Mandala.“Kalau begitu,” potong Gavin dingin, “berhenti menyuruh-nyuruhnya mulai sekarang. Karena Aira adalah istriku.”Nada suaranya tegas. Bukan permintaan. Itu perintah.Seketika Aira mendongak. Matanya membesar. Ia tidak menyangka Gavin akan mengatakannya seterang itu, di hadapan semua orang.Ahmad yang mendengar justru tersenyum kecil dalam hati. Ia gagal memberi Aira kebahagiaan dan perlindungan. Namun setidaknya sekarang, ia tidak lagi cemas. Ada seseorang yang berdiri penuh untuk putrinya.Ahmad yakin, kali ini Indah tidak akan berani memperlakukan Aira sembarangan setelah mendapat teguran langsung dari Gavin.“Maafkan Mama kalau menurut kamu Mama memperlakukan Aira dengan buruk,” ucap Indah akhirnya, wajahnya pucat dan cemas.“Bukan hanya minta maaf,” balas Gavin. “Aku mau kalian memperlakukan Aira sebagaimana mestinya anak ka
Aira menyentuh lehernya yang terasa perih, lalu menatap Mamanya yang membalas dengan sorot mata mengancam, seolah satu kesalahan saja cukup untuk menghukumnya di tempat.“Mungkin… jatuh,” jawab Aira pelan. N jelas tak ingin memperpanjang masalah.Namun Gavin tidak percaya.“Jatuh di mana?” tanyanya menyelidik. Matanya mengarah tajam ke leher Aira yang memerah. “Di mobil tadi masih ada.”Ini bukan soal harga kalung itu. Gavin sama sekali tidak peduli pada nominalnya. Tapi bekas kemerahan di leher Aira tak mungkin muncul hanya karena kalung terjatuh. Nalurinya berteriak, kalung itu ditarik paksa.Gavin yang baru saja mengambil sepotong ayam meletakkannya kembali ke piring dengan bunyi pelan namun sarat tekanan.Cukup. Kesabarannya benar-benar sudah di ujung batas.Ia berdiri, lalu meraih tangan Aira dan menariknya agar ikut bangkit. “Ayo. Kita pulang.”“Ke-kenapa?” Aira tergagap. Tatapannya naik perlahan ke wajah Gavin yang kini terlihat dingin dan asing. Jantungnya berdegup kencang.
“Jadi kamu menyalahkan Mama?” suara Indah meninggi, sarat kejengkelan. “Harusnya kamu bersyukur! Karena semua ini kamu bisa tinggal di rumah orang kaya, makan dengan nyaman tanpa perlu bekerja keras, dan mendapatkan suami tampan, meski dia mantan tunangan dari kembaranmu sendiri.”Nada itu menusuk.Jujur, hingga kini Indah belum bisa melepaskan amarahnya pada Aira atas tragedi yang menimpa anak kesayangannya.Menurutnya, Aira seharusnya menerima karma, bukan justru hidup nyaman, bergelimang harta, dan mendapatkan perhatian penuh dari Gavin.Aira tidak membutuhkan semua itu jika pada akhirnya hanya terus terluka, batin Aira lirih menyahut.Lagipula, Aira masih bekerja. Dan kata hidup nyaman sama sekali tak pernah singgah dalam pikirannya. Yang ada justru rasa takut. Takut menjalani hari, takut membuat kesalahan, takut bernapas terlalu lega.Hidup tanpa dukungan orang tua membuat Aira tak punya tempat bersandar, tak punya bahu untuk berbagi. Semua ia telan sendiri, sendirian.Seandainy
“Ayah! Keluar! Ada Gavin dan Aira!” teriak Indah dengan heboh.Wanita itu kemudian melangkah menuju kamar untuk memanggil suaminya.Beginilah kehidupan mereka. Makan dan tidur tanpa memiliki aktivitas lain. Apalagi bekerja. Mereka hanya mengandalkan Aira untuk mengirimkan uang pada mereka.“Aira!” seru sang Ayah yang baru datang, lalu langsung memeluk putrinya. Ia menyalurkan betapa rindunya pada anak perempuan satu-satunya itu. “Kenapa baru datang? Ayah merindukanmu,” kata Ahmad dengan tulus.Sekejap, tangis yang Aira tahan sejak tadi tumpah di pelukan sang Ayah. Ia menangis tanpa suara, bukan karena pelukan itu, melainkan karena sesak di hatinya yang sedari tadi ia pendam.Ahmad yang menyadari putrinya menangis segera melepaskan pelukan mereka. “Kenapa menangis? Kamu baik-baik saja? Kenapa makin kurusan?” tanyanya khawatir saat melihat Aira yang tampak lebih kurus dari biasanya.Pasti sangat berat berada di posisi Aira, dan semua ini karena kesalahannya sendiri yang tidak becus menj
Hati Aira yang semula berharap seakan kembali dihempaskan lagi. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Buru-buru ia menghapusnya saat melihat Gavin baru saja keluar dari pintu restoran.Apa Aira cemburu? Iya! Dia cemburu. Namun Aira tidak berani mengakuinya dan berusaha menghapus rasa sukanya sendiri.Gavin tidak boleh tahu bahwa Aira membuka kotak dasi tersebut.Apa jadinya nanti? Mungkin Gavin akan marah karena dengan lancangnya Aira membuka benda pribadi miliknya.Aira ingat betul bahwa Gavin adalah seseorang yang membenci jika barang-barangnya disentuh. Karena itu, dengan rapi Aira kembali menutup kotak tersebut dan meletakkannya sama persis seperti saat pertama kali ia mengambilnya.Aira masih sangat ingat kejadian saat ia menyentuh pigura kecil foto Lyra di dalam mobil ini. Bahkan, Gavin sampai menyuruhnya keluar tanpa baju karena amarahnya kala itu.Benar, bukan, apa yang Aira pikirkan? Ia seharusnya memang tidak boleh terbuai oleh kebaikan Gavin.Lagi-lagi, dia harus terluk
Beruntung jarak mobilnya tak jauh dari sebuah restoran cepat saji di depan sana. Namun kemacetan yang parah membuat jarak dekat itu harus ditempuh hampir sepuluh menit sebelum akhirnya Gavin bisa memarkir mobil.Ia kembali melirik Aira. Rasanya tak tega membangunkannya. Namun perut yang sudah sangat lapar memaksanya turun, meninggalkan Aira sendirian di dalam mobil.Gavin memesan dua kotak besar makanan di restauran lengkap denga minuman.Tak butuh waktu lama, pramusaji hanya memerlukan sekitar lima menit untuk menyelesaikan pesanannya.Selesai membayar, Gavin kembali ke mobil dan mendapati Aira sudah terbangun.“Sejak kapan kamu bangun?” tanya Gavin sambil meletakkan kotak makanan bagian belakang kursi, di sela tumpukan baju dan tas. Kursi itu kini penuh oleh belanjaan.“Sejak kamu masuk restoran itu,” jawab Aira pelan. Tatapannya tertuju ke luar jendela.Alis Gavin bertaut bingung. Ada sesuatu pada ekspresi Aira terlihat sedikit murung.Mungkin masih setengah sadar karena baru bangu







