เข้าสู่ระบบ
Setiap detik dalam enam bulan terakhir terasa seperti penantian tak berujung bagi Naira. Setelah enam bulan tanpa sentuhan hangat Aditya, malam ini, semua penantian itu akan terbayar. Naira menyiapkan sebuah kejutan, pelukan hangat sambil membisikkan kata mesra.
“Selamat ulang tahun, Mas.” Mendengar derit pintu dibuka, jantungnya berdebar kencang, bukan karena lelah setelah perjalanan panjang, tapi karena rasa gugup yang membuncah di dadanya. Dengan senyum tipis di bibirnya, Naira segera menyalakan lilin yang berdiri tegak di atas kue ulang tahun. Di tangannya, kotak kue cokelat favorit Aditya, ia membayangkan senyum terkejut Aditya, pelukan erat yang akan menyambutnya, dan bagaimana semua kerinduan ini akan terobati dalam satu malam. Namun, belum sempat Naira melangkah keluar dari dapur, telinganya menangkap suara kecapan basah yang menjijikkan, disusul lenguhan manja yang membuat bulu kuduk Naira meremang. Itu bukan suara yang seharusnya ia dengar di apartemennya sendiri, bukan suara yang seharusnya keluar dari bibir suaminya. “Mainnya jangan kasar seperti biasanya, kasihan anak kita.” Sebuah kalimat yang mengoyak gendang telinga Naira, merobek kebahagiaan yang baru saja ia rasakan. Hingga membuat perutnya bergejolak, mual yang tak tertahankan, seolah ingin memuntahkan semua harapan yang telah ia telan. “Perutku sudah makin gede.” “Tenang saja, anak kita kuat, meski tiap malam ditengok bapaknya.” Aditya membalas dengan tawa renyahnya, tawa yang dulu selalu Naira rindukan, kini terdengar asing dan keji. Naira membeku, seolah seluruh darah dalam tubuhnya berhenti mengalir. Nampan di tangannya bergetar hebat, lilin di atas kue bergoyang-goyangan, nyaris padam, seperti harapan yang kini di ambang kematian. Dengan langkah gontai, Naira menyeret tubuhnya menuju ruang tengah. Dan di sanalah, di tengah cahaya temaram lampu ruang tamu, dunia Naira runtuh. Aditya berdiri memeluk seorang perempuan dari belakang. Tangan laki-laki itu, tangan yang dulu selalu membelainya dengan lembut, kini membelai perut yang membuncit. Suara-suara manja dan tawa renyah mereka mengoyak hati Naira. Yang lebih mengejutkan dan menyakitkan, saat perempuan itu menoleh, wajah Kirana, sepupunya sendiri, tersenyum penuh kemenangan, seolah menertawakan kebodohan Naira. Kirana menyandarkan kepalanya di dada Aditya, manja, seolah itu adalah tempatnya yang sah. Tangannya menggenggam tangan laki-laki itu yang masih mengusap perutnya. “Mau hadiah ulang tahun apa?” “Aku sudah pengen, Ki,” bisik Aditya dengan suara serak, mengecup bahu Kirana. Di sana, di tempat yang dulu sering Aditya kecup juga. Naira menggigit bibirnya hingga terasa anyir, berusaha menahan isak yang mendesak keluar dari tenggorokannya. Tawa Aditya dan Kirana bersatu, menggema di antara dinding apartemen yang dulu dibangun dengan cinta. Tapi kini, ruangan itu menjadi tempat yang mengubur semua impian dan masa depan Naira. Naira tak sanggup lagi. Air matanya jatuh tanpa suara. Satu demi satu, jatuh ke atas kue cokelat yang kini hancur bersama hatinya. Ia tidak bisa berteriak, tidak bisa marah. Lidahnya kelu, tenggorokannya panas, seolah semua kemarahannya lenyap, digantikan kehampaan yang mematikan. Dan saat Aditya dengan santainya menggendong Kirana, membawanya ke kamar tanpa menutup pintu, Naira merasa tubuhnya mati seketika. Ia menyaksikan suami dan sepupunya bergumul panas penuh gairah. Kedua tumit Kirana bergantung di bahu Aditya. Jeritan-jeritan manja mengiringi tubuh Aditya yang terus bergerak mengisi tubuhnya. Naira tidak tahan, kamar yang dulu tempat ia dan Aditya berbagi tawa, berbagi mimpi, kini jadi tempat perselingkuhan yang terang-terangan. Tanpa rasa berdosa, tanpa rasa bersalah. Dengan tangan gemetar, Naira menaruh kue di meja. Ia mengambil kopernya, menyeret pelan sambil menyeka wajahnya yang basah. Tak ada teriakan, hanya kehancuran yang membungkam segalanya. Beberapa jam lalu, ia datang ke kota ini dengan harapan. Kini, ia ingin pergi secepatnya, sebelum seluruh dirinya runtuh di tempat yang sama. Lorong apartemen itu sepi. Lampu-lampunya redup. Hanya suara roda koper yang berdecit kecil di antara langkah cepat Naira yang nyaris berlari. Dadanya sesak, napasnya tercekat, luka seperti mengepungnya dari segala arah. Mata Naira masih basah. Langkahnya terhuyung, hampir jatuh. Luka di hatinya terlalu dalam, membuatnya ingin pergi, segera dan tak ingin melihat ke belakang. Namun, saat Naira berbelok ke ujung lorong menuju lift, tubuhnya justru membentur seseorang. Tubuh laki-laki tinggi, beraroma alkohol dan parfum maskulin yang menyengat. Naira tersentak, terhuyung mundur. “Maaf...” lirih Naira, suaranya nyaris tak terdengar, tak sempat menatap siapa yang ia tabrak. Pikirannya masih dipenuhi kehancuran. Tapi langkahnya terhenti saat suara berat itu membalas, bukan dengan kata, tapi dengan geraman rendah penuh emosi, seperti binatang buas yang terluka. “Maaf?” Suara pria itu parau dan serak. Pria itu terkekeh pendek, bukan tawa kegembiraan, melainkan sebuah keputusasaan yang sangat, yang membuat bulu kuduk Naira meremang. Naira menoleh pelan. Pria itu berdiri sambil mencengkeram dinding, tubuhnya bergetar ringan seolah ada energi berlebih yang tak terkendali di dalam dirinya. Keringat dingin membasahi pelipis dan lehernya, sementara pupil matanya membesar tidak wajar menutupi hampir seluruh iris. Wajah tampan itu terlihat kacau, rahang mengeras, urat lehernya menonjol, dan matanya merah, seperti sedang berjuang melawan tubuhnya sendiri. Alex, lelaki asing dengan jas mahal dan rambut acak-acakan. Dadanya naik turun tak karuan, napasnya terdengar berat dan terengah-engah, diselingi desahan tertahan yang aneh. Alex terlihat seperti binatang buas yang terpojok dan kehilangan akal. Aura gelap dan mengancam memancar darinya, membuat Naira yang sudah rapuh semakin ketakutan. Naira melangkah mundur, berusaha menjauh. Tapi sebelum sempat menjauh, tangan laki-laki itu menarik pergelangan tangannya mengejutkan. Cengkeramannya terasa dingin dan kuat, seolah belenggu yang tak bisa dilepaskan. “Kenapa... semua perempuan seperti ini?” desis Alex, suaranya kini lebih dalam, hampir seperti gumaman, penuh kepahitan. “Datang menggoda, lalu pergi minta maaf tanpa rasa bersalah.” Naira menegang. Ketakutan merayapi setiap inci kulitnya. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, mengapa pria ini begitu marah padanya. Ia hanya ingin pergi. “Maaf, saya tidak tahu, saya harus segera pergi.” Naira mencoba menarik tangannya, tapi Alex mencengkeramnya makin erat. Rasa sakit menjalar di pergelangan tangannya, namun rasa takut jauh lebih besar. “Lepas!” teriak Naira panik, suaranya bergetar. Refleks, tangan Naira yang bebas melayang, menampar wajah Alex. Plak! Hening. Hanya suara napas Naira yang terengah-engah dan detak jantungnya yang bergemuruh di telinganya. Alex menoleh perlahan, kepala miring. Napasnya mengembus keras, seperti hembusan panas dari binatang yang terluka dan kehilangan akal, matanya yang merah menatap Naira dengan tatapan kosong namun penuh amarah. “Jangan bikin aku tambah gila malam ini…” suaranya terdengar semakin berat, mengancam. Sebelum Naira bisa lari, tubuhnya terangkat begitu saja. Ia meronta, memukul-mukul punggung Alex, menendang-nendang kakinya, namun tenaga Alex terlalu besar. “Lepas! Lepaskan aku!” teriak Naira, suaranya serak karena ketakutan dan keputusasaan. Air mata kembali mengalir deras, membasahi pipinya. Alex tidak menghiraukan teriakan Naira, terus melangkah menuju kamarnya. Pintu apartemen terbuka, gelap, seperti mulut gua yang siap menelan. Tak lama kemudian suara pintu tertutup mengunci tak hanya dirinya, tapi juga segala harapan dan masa depan Naira. Di kamar mewah yang temaram itu, di tengah keheningan yang memekakkan, tak ada yang mendengar, tak ada yang peduli dengan teriakan dan isak tangis Naira yang tertelan. Alex menyentuh Naira dengan paksa, melakukan penyatuan dan menghentakkan tubuhnya dengan beringas. Bukan hanya menghancurkan raganya, tapi juga mengoyak-ngoyak jiwanya, mencabik-cabik sisa-sisa harga dirinya. Malam ini, bukan hanya penuh kejutan yang menghancurkan, tapi juga penuh luka yang tak akan pernah terhapus dari ingatan seorang wanita bernama Naira. Pada saat suaminya sedang berbagi peluh penuh gairah dengan sepupunya, Naira harus kehilangan kehormatannya di bawah keberingasan pria asing yang menggagahinya dengan brutal“Kenapa harus jenguk sekarang sih, Bu? Besok masih bisa.” Ardi dengan wajah kuyu pulang kerja tampak kesal karena ibunya memaksa untuk menjenguk Vita sekarang juga.“Niat baik itu harus disegerakan, Ar. Jangan ditunda-tunda.”Ardi hanya menghembuskan napas kasar mendengar alasan ibunya yang terdengar bijaksana.Di koridor rumah sakit yang dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu-lampu panjang di langit-langit memantulkan cahaya putih yang terlalu terang, membuat bayangan di lantai tampak memanjang.Ardi berjalan sejajar dengan ibunya, dalam benaknya hanya ingin segera sampai lalu segera pulang. Malas rasanya jika harus berbasa-basi di hadapan Kirana, karena sebenarnya mulutnya sudah gatal untuk membuka kedok Kirana di hadapan kedua orang tuanya.Sementara Ambar berusaha menyeimbangkan dengan langkah kecil yang cepat. Sesekali ia merapikan kerudungnya, wajahnya tegang menahan campuran gugup dan penasaran.“Bagaimana pun, Vita itu cucuku,” gumam Ambar seolah ingin mengingatk
Kata demi kata yang terlontar dari bibir Danang membat Aditya terpaku di tempat. Ia menunduk, bahunya jatuh, tidak ada pembelaan, tidak ada dalih. Hanya kesadaran telanjang tentang betapa besar luka yang sudah ia timbulkan.Dengan suara hampir tak terdengar, Aditya berkata, “Saya akan bertanggung jawab atas semua yang telah saya lakukan, Pak. Tapi izinkan saya untuk mendampingi Vita.”Danang menatapnya lama, pandangan yang penuh benci, sekaligus sesuatu yang lebih tua dari itu. rasa kecewa yang mendalam.“Kau mau ikut atau tidak, itu urusanmu,” ucap Danang akhirnya, dengan nada dingin. “Tapi semua tentang Vita… bukan di tanganmu, kau tidak punya hak apa pun atas cucuku.”Kirana kembali dengan selimut, memeluk Vita erat. Dia tampak bingung di hadapannya ada Aditya dan ayahnya yang tampaknya belum bisa berdamai dengan pria yang dia cintai.“Ayo...” Kirana tidak tahu pasti siapa yang dia ajak. “Kita ke rumah sakit sekarang,” sambungnya lirih, dengan suara yang patah-patah karena gugup.D
Aditya terdiam membeku, tidak langsung memberi reaksi atas kabar yang baru saja disampaikan Kirana.Tatap mata Aditya terlihat kosong, seolah semua dinding di sekelilingnya mendadak bergerak menghimpit.Sementara itu, Revan tetap tenang, menunggu reaksi Aditya berikutnya.Lalu Aditya meletakkan tangannya di dahi, tubuhnya sedikit membungkuk, suara yang keluar dari bibirnya begitu lirih. Pria yang selama ini penuh wibawa dan matang kini terlihat lelah, kacau, dan dipenuhi rasa kalah yang selama ini ia sembunyikan.“Ya Tuhan… ujian apa lagi ini…?”Aditya bangkit dari kursi dengan gerakan kaku, seolah lututnya tidak lagi mau bekerja sama. Dengan kalimat seadanya, nyaris tidak beraturan dan sama sekali tidak menunjukkan kelas seorang Aditya Pramudito.“Aku… aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting yang harus segera aku selesaikan. Nanti kita… kita bicarakan lagi.”Tanpa menunggu jawaban, Aditya berjalan terburu-buru menuju pintu bar. Langkahnya goyah, napasnya sesak, seperti seseorang
Sementara itu di tempat yang berbeda, di sebuah bar yang temaram, lampu-lampu kuning menggantung seperti bintang kuno yang setengah padam. Musik jazz mengalun pelan, namun tidak cukup untuk mengikis ketegangan yang tercipta di antara dua laki-laki di sudut ruangan.Aditya menggenggam gelasnya terlalu kuat, seolah ingin memecahkannya hanya dengan amarah. “Ternyata selama ini kau hanya mempermainkan aku, Van,” ucap Aditya dengan suara rendah, tapi penuh bara.Di tempat dan situasi seperti ini, sikap formal penuh ramah tamah tidak lagi ditunjukkan oleh Aditya. Panggilan dengan embel-embel ‘Pak’ atau sebutan ‘Anda’ sudah ditanggalkan.Pikiran Aditya begitu kacau. Semua rencananya tidak berhasil, semua harapannya tidak terwujud. Rumah tangganya hancur, dan bisnisnya berantakan. Aditya merasakan hidupnya sedang dirundung kesialan.“Kau bilang Tuan Vancroft tinggal menunggu finalisasi. Kau bilang peluangnya besar.”Revan menarik napas panjang, tidak menyentuh minumannya. “Aku tidak pernah bi
Tyas tertegun, senyum yang sempat menghiasi bibirnya runtuh sebelum sempat benar-benar mengembang.“A… apa maksud, Bu Retno?”Retno meletakkan cek itu di meja, menggesernya pelan ke arah Kirana. Dan setiap sentuhan kertas itu ke permukaan meja terasa seperti tamparan keras bagi Kirana. Apa yang dilakukan Retno bukan hanya penolakan, tapi juga penghinaan baginya.“Jauhi Aditya,” lanjutnya tanpa jeda. “Setelah ini, jangan pernah ganggu kehidupan anak kami lagi. Aku rasa uang ini cukup sebagai kompensasi.”Tyas mengerjap cepat, wajahnya berubah kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicaraka oleh Retno. Yang pasti Tyan tahu, apa yang sedang dibicarakan bukan soal bantuan untuk biaya pengobatan cucunya, tapi sesuatu yang begitu asing dan kasar.“Lho… apa maksud Bu Retno meminta Vita? Vita adalah cucu saya. Meski dia lahir tanpa…”Tyas tidak melanjutkan kalimatnya, suaranya tiba-tiba hilang kala ia menoleh pada Kirana.Kirana menunduk, kedua tangannya saling menggenggam era
“Pak Arya… Bu Retno,” ucap Kirana lirih, terlihat gugup dan penuh ketakutan.Arya berdiri di depan pintu, tubuhnya tetap terlihat tegap di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi sorot matanya menyiratkan lelah yang sangat. Di sebelahnya berdiri Retno, sang istri tercinta. Perempuan paruuh baya itu sama anggunnya seperti biasa, tapi wajahnya lebih datar, atau mungkin lebih ragu.Kirana menelan ludah. Ingatan tentang penolakan Retno di hotel, dingin, tajam, menusuk, langsung menyentak kembali. Untuk sesaat ia hanya terpaku, tak tahu harus mempersilakan atau tetap berdiri layaknya patung penjaga.Dari dalam, suara Tyas menggema. “Siapa tamunya, Ki?”Kirana baru membuka mulut untuk menjawab ketika Tyas muncul di sampingnya sambil menggendong Vita yang masih tertidur. Begitu melihat siapa yang bertamu, Tyas ikut terkejut. Alisnya naik tinggi, namun nalurinya sebagai tuan rumah muncul lebih cepat dari keterkejutannya.“Oh… Pak Arya… Bu Retno…” Tyas memaksa senyum ringan. “Silahkan masuk P







