Naira tersentak. Kelopak matanya terbuka perlahan, mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya temaram yang menembus celah gorden. Otaknya masih berkabut, namun sensasi berat di pinggangnya menariknya kembali pada kenyataan yang paling mengerikan.
Sebuah lengan kekar melingkar erat di sana, membelitnya seperti belenggu. Aroma maskulin yang tajam, bercampur bau alkohol, menyeruak ke indra penciumannya, memicu gelombang mual yang tak tertahankan. Dengan ketakutan yang merayapi setiap inci tubuhnya, Naira menoleh. Dan di sanalah, di sampingnya, terbaring sosok yang paling tidak ingin ia lihat, wajah yang paling ingin ia lupakan, Alex. Wajah tampan itu kini terlihat damai dalam tidurnya, kontras dengan kengerian yang membuncah di dada Naira. Setiap garis wajahnya, setiap helaan napasnya, adalah siksaan. Sebuah pengingat akan malam yang telah merenggut segalanya dari dirinya. "Kenapa ini terjadi padaku...?" batin Naira menjerit. Jantung Naira berdebar kencang. Rasa jijik dan amarah bercampur, menciptakan badai di dalam dirinya. Ia ingin berteriak, ingin mendorong tubuh besar itu menjauh, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tubuh Naira kaku, seolah lumpuh oleh trauma. Tangannya gemetar saat ia mencoba melepaskan belitan lengan Alex. Namun, cengkeraman itu terlalu kuat, atau mungkin tenaganya yang telah terkuras habis. Semakin ia mencoba, justru terasa semakin erat lengan itu membelit. Kepanikan Naira memuncak, membuatnya semakin sulit bergerak, semakin terperangkap. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan abadi, memaksanya menatap wajah pria yang telah menodainya, wajah yang akan menghantuinya seumur hidup. Air mata kembali mengalir, membasahi bantal di bawah kepalanya, namun ia tak sanggup mengeluarkan suara. Hanya isak tertahan yang mengguncang dadanya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Naira akhirnya berhasil melepaskan diri dari belitan Alex. Ia melompat dari ranjang, kakinya terasa lemas, nyaris ambruk. Tanpa mempedulikan apa pun, ia meraih pakaiannya yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan terburu-buru, asal menutupi tubuhnya yang terasa kotor. Rambutnya acak-acakan, wajahnya sembab, namun ia tak peduli. Yang ada di benaknya hanyalah satu, pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk ini. Naira berlari keluar dari kamar, melewati lorong apartemen yang terasa asing dan menakutkan. Langkahnya terhuyung, pandangannya kabur oleh air mata dan kepanikan. Naira mengabaikan tatapan aneh dari beberapa penghuni apartemen yang berpapasan dengannya. Apa pun yang mereka pikirkan, tidak ada yang lebih buruk dari apa yang telah ia alami. Ia hanya ingin menghilang, lenyap ditelan bumi. Saat tiba di lobi, Naira tidak melihat apa-apa selain pintu keluar. Ia mendorongnya dengan sekuat tenaga, melesat ke jalanan yang ramai. Pikirannya kosong, hanya dipenuhi keinginan untuk melarikan diri. Naira tidak mempedulikan apa yang ada di sekitarnya, tidak mendengar deru mesin yang mendekat. Dengan langkah terburu-buru dan pandangan yang tidak fokus, ia menerobos keramaian, tanpa menyadari ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Sebuah decitan rem yang memekakkan telinga, mengakhiri pelarian Naira, kala tubuhnya menghantam aspal. Kegelapan menyelimuti dirinya, lebih pekat dari malam yang baru saja ia lalui. Dan kali ini, tidak ada lagi rasa sakit. Hanya kehampaan yang sempurna. *** Di sisi lain kota, Aditya terbangun dengan senyum puas di bibirnya. Kirana, yang masih bergelung manja di sampingnya, menggeliat pelan. "Selamat pagi, Sayang," bisiknya manja, mengecup dada Aditya. "Bagaimana hadiah ulang tahunmu semalam? Puas?" Aditya terkekeh, membelai rambut Kirana. "Sangat puas, Ki. Kamu memang yang terbaik." Malam yang baru saja berlalu terasa begitu memuaskan, mampu membuat Aditya melupakan sejenak beban pekerjaan dan hubungan jarak jauh yang seringkali terasa menjemukan. Ia meregangkan tubuh, lalu bangkit dari ranjang, berniat mengambil minum. Langkahnya membawanya ke ruang tengah, dan di sanalah, matanya menangkap sesuatu yang asing di atas meja. Sebuah kotak kue cokelat dengan lilin yang sudah meleleh. Kening Aditya berkerut. Kue ulang tahun? Ia dan Kirana tidak membeli kue. Sebuah firasat buruk merayapi hatinya. Apakah Naira datang? Tapi mengapa tidak memberi kabar? Mengapa ia tidak melihat Naira semalam? Pikiran Aditya dipenuhi pertanyaan, kebingungan bercampur dengan sedikit rasa tidak nyaman. Ia mendekati kue ulang tahunnya, yang kini meninggalkan misteri baginya. Belum sempat Aditya mencerna semua itu, ponselnya berdering nyaring. Nomor yang tidak dikenal. Awalnya Aditya ingin mengabaikannya, tetapi karena terus meraung-raung membuat Aditya dengan terpaksa mengangkatnya. Suara lembut dan santun seorang perempuan di seberang sana terdengar tenang, "Mohon maaf, dengan Bapak Aditya Pramudito?" Suara itu mengalun, diikuti keheningan sesaat. "Benar, saya sendiri. Maaf, dengan siapa, ya?" jawab Aditya, mencoba menstabilkan napasnya. Firasat buruk mulai merayap. "Kami dari Global Health Centre, ingin menginformasikan bahwa istri Bapak, Ibu Naira Ayu Lestari, baru saja mengalami kecelakaan dan kini dirawat di sini." Kata-kata itu menghantam Aditya seperti palu godam. Istrinya mengalami kecelakaan. Kepala Aditya mendadak pusing, dan yang lebih mengejutkan, Naira berada di kota yang sama dengannya, dirawat di rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari apartemennya. "Naira? Kecelakaan? Di Jakarta?" Aditya tercekat, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Bagaimana bisa dia ada di Jakarta? Kondisinya bagaimana sekarang?" Suara itu kembali dengan nada prihatin. "Beliau saat ini masih dalam penanganan intensif, Bapak. Kami sarankan Bapak segera datang." Ponselnya terasa licin di genggaman Aditya. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri benaknya, namun hanya satu yang paling mengganggu, mengapa Naira ada di kota ini? “Naura... datang semalam,” bisik Aditya sendiri. “Dia... melihat semuanya...” Kepalanya berdenyut hebat. Telapak tangannya dingin. Semua rasa bersalah yang selama ini coba ia pendam, terasa seperti boomerang yang balik menghantamnya. Tiba-tiba, dari balik kamar, langkah kaki terdengar. Kirana muncul dengan jubah tidur satin pendek yang nyaris transparan. Rambutnya tergerai berantakan, wajahnya masih semu merah karena tidur, dan ekspresinya manja seperti biasa. “Eh, ada kue ulang tahun?” Aditya menatap Kirana dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya, mata yang dipenuhi panik, ketakutan, dan kesadaran bahwa dosa yang ia tutupi selama ini kemungkinan sudah terbongkat. “Naira datang...” Suara Aditya pelan, nyaris berbisik. Kirana terdiam, senyumnya menghilang. “Aku harus ke rumah sakit.” Aditya melangkah cepat ke kamar, mengambil dompet dan kunci mobil. “Apa yang terjadi?” “Naira sekarang di Global Health Centre! Dia… kecelakaan.” Aditya tidak bisa menutupi kesedihannya. “Lalu bagaimana dengan kita? Bagaimana jika dia tahu segalanya?” tanya Kirana sambil mengusap perutnya, seolah ingin mengingatkan Aditya akan tanggung jawab besar pada janin yang dikandungnya. Tidak ada jawaban, Aditya mengabaikan Kirana. Melangkah cepat sambil merapikan pakaian sekenanya. Bahkan tanpa sengaja dia menutup pintu dengan keras. Dan untuk pertama kalinya, Kirana sadar dosa yang mereka tumpuk mulai menuntut konsekuensi.Seperti malam-malam sebelumnya, Naira akan menemani Aditya di rumah sakit. Harus siap bangun kapan saja, saat suaminya membutuhkan sesuatu. Meski d rumah sakit ada perawat yang siap membantu dua puluh empat jam, tapi untuk beberapa hal Aditya merasa tidak nyaman jika harus diurus selain keluarga sendiri.Naira mempersiapkan tempat tidurnya, ingin segera istirahat setelah menjalani hari yang sangat melelahkan, bukan hanya fisik, tapi juga jiwanya. Terus bersandiwara seolah pernikahannya baik-baik saja, dan tentang Alex yang pamit akan pergi, saat dirinya mulai merasa nyaman dan bergantung kepadanya.“Tidurlah di sampingku, Nai…” Suara Aditya yang lirih dan nelangsa, membuyarkan lamunan Naira. “Aku kangen.”Naira terdiam. Kata kangen yang keluar dari mulut Aditya justru seperti pisau yang menggores hatinya. Kangen? Bukankah kata itu seharusnya lahir dari ketulusan, bukan sekadar pengikat agar dirinya tetap bertahan? Air matanya menetes deras tanpa bisa ditahan.Aditya menatapnya heran.
Ponsel Alex tiba-tiba berdering, getarannya memecah detik yang terasa begitu panjang. Nama Revan muncul di layar. Dengan enggan, Alex perlahan melepaskan ciumannya dari bibir Naira. Ada jeda hampa di antara mereka, seolah udara pun menahan napas.Dengan gerakan lembut, Alex merapikan rambut Naira yang kusut karena ulahnya, juga merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan. Jemarinya menahan lebih lama dari seharusnya, seakan tak rela kehilangan momen intim itu.“Bersihkan air matamu,” ucap Alex lirih, nada suaranya penuh perintah tapi juga terselubung kehangatan. Naira buru-buru menunduk, mengusap wajahnya, berusaha kembali tenang.Alex melangkah menuju kursinya, meraih ponsel, lalu menekan tombol merah. Dia menolak panggilan yang hanya merupakan kode jika sebantar lagi Revan akan kembali bersama Ardi.Sandiwara dimulai.Alex harus kembali bersikap professional dan penuh wibawa. Dan pembicaraan dengan Naira hanya sebatas masalah desain interior kantornya saja.Tak lama, pintu ruan
Setelah mendengar suara gebrakan meja yang begitu keras, Naira mulai memasang mode waspada. Apalagi saat ini Alex sudah berdiri dan mulai melangkah mendekatinya.Naira menatap kea rah pintu, berharap Ardi segera datang dan menolongnya. Menyadari sepupunya yang sejak tadi belum juga kembali, bukan kesal, tapi Naira justru khawatir, Alex telah melakukan hal buruk agar kepadanya.Padahal jika Naira tahu apa yang sedang dilakukan Ardi saat ini, bukan hanya kesal, mungkin dia akan memutuskan hubungan persaudaraan. Bagaimana tidak, saat Naira terbelenggu rasa takut berdua dengan Alex, Ardi sedang asik ngopi bareng Revan dan menikmati lintingan tembakau sambil ngobrol ngalur ngidul.“Apa yang akan kau lakukan?” Naira terjingkat kaget saat Alex sudah mengangkat tubuhnya.“Agar kita sejajar, jadi ngobrolnya enak.” Alex sudah mendudukkan Naira di atas meja.Naira tidak bisa melawan, dan hanya meneteskan air mata saat Alex membuka kedua kakinya dan berdiri di antaranya.“Jangan lakukan…”Belum s
Ardi baru saja memasukkan ponselnya ke dalam saku usai menutup panggilan dengan salah satu pemasok material. Wajahnya tampak lega, masalah yang tadi sempat mengganjal sudah mendapat solusi. Ia melangkah ringan menuju ruang private tempat Naira dan Alex menunggu.Namun, baru saja Ardi membalikkan tubuhnya, Revan muncul dari arah berlawanan dengan senyum ramah. Salah satu orang kepercayaan Alex itu langsung menghampirinya dengan sikap yang sangat akrab.“Pak Ardi, ayo kita pesan makanan dulu. Dari tadi kita bicara serius, perut pasti sudah protes.”Ardi menoleh sekilas ke pintu ruang private, ragu. “Naira… dia sendirian di dalam.”Revan langsung menyambung, cepat dan meyakinkan. “Itu justru kesempatan baik, Pak. Nanti Tuan Alex bisa membicarakan teknis detail dengan Bu Naira, toh beliau yang pegang desain. Sementara kita pesan makanan. Lagi pula, kami tidak tahu selera Pak Ardi dan Bu Naira. Katanya kalau orang Semarang cenderung suka yang manis-manis.”Ardi mengernyit, tapi akhirnya me
Ternyata semua lelaki sama saja. Wanita adalah salah satu ujian berat di dunia yang sulit untuk mereka takhlukkan. Bagi Naira, baik Alex maupun Aditya, tak ada bedanya.Tatap mata Naira tetap dingin, seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi di hadapannya. Namun jauh di relung hatinya, ada sesak yang makin menekan.Seketika Naira makin yakin, semua perhatian Alex selama ini bukanlah karena dirinya, melainkan hanya karena anak yang dikandungnya. Alex peduli pada bayinya, bukan pada perempuan yang mengandungnya. Dan jika Alex menginginkannya, mungkin hanya sebagai pelampiasan nafsu semata.Alex, yang biasanya tenang dan penuh kendali, kini tampak salah tingkah. Tatapannya menyapu cepat ke arah Naira, lalu beralih ke Ardi yang masih bingung. Wajah Alex menegang, jelas ia sadar apa yang baru saja diperlihatkan Regina, bisa menimbulkan salah paham besar.Tidak ingin kehadiran Regina merusak semua rencananya, dengan suara tegas, penuh nada perintah yang jarang ia keluarkan di depan umum,
Aditya terdiam sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Setelah menghela napas dalam-dalam dan merasa lebih tenang, Aditya kembali menatap istrinya dengan seulas senyum di bibirnya.“Tidak semua ingatanku hilang, Nai. Aku memang lupa banyak hal… tapi aku masih ingat kenangan indah kita berdua.” Aditya meraih tangan Naira, lalu menggenggamnya dengan erat. Dia ingin istrinya percaya dengan semua yang keluar dari mulutnya.Naira menahan napas, hatinya berdegup. Ada getir yang menyesak di dadanya, mengingat ucapan suaminya bukan sekadar ambisi, tapi juga rayuan yang bisa saja membuatnya luluh dan kehilangan arah.“Sebelum kecelakaan itu terjadi… aku dan bapak memiliki rencana besar. Waktu itu aku sedang memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan tender dari V-Inno. Perusahaan global, reputasi dunia… kalau perusahaan kita berhasil mendapatkannya, itu akan jadi lompatan terbesar.”Retno yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama percakapan itu tiba-tiba tersenyum lebar.