Share

2. Kecelakaan

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-23 16:02:49

Naira tersentak. Kelopak matanya terbuka perlahan, mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya temaram yang menembus celah gorden. Otaknya masih berkabut, namun sensasi berat di pinggangnya menariknya kembali pada kenyataan yang paling mengerikan.

Sebuah lengan kekar melingkar erat di sana, membelitnya seperti belenggu. Aroma maskulin yang tajam, bercampur bau alkohol, menyeruak ke indra penciumannya, memicu gelombang mual yang tak tertahankan.

Dengan ketakutan yang merayapi setiap inci tubuhnya, Naira menoleh. Dan di sanalah, di sampingnya, terbaring sosok yang paling tidak ingin ia lihat, wajah yang paling ingin ia lupakan, Alex.

Wajah tampan itu kini terlihat damai dalam tidurnya, kontras dengan kengerian yang membuncah di dada Naira. Setiap garis wajahnya, setiap helaan napasnya, adalah siksaan. Sebuah pengingat akan malam yang telah merenggut segalanya dari dirinya.

"Kenapa ini terjadi padaku...?" batin Naira menjerit.

Jantung Naira berdebar kencang. Rasa jijik dan amarah bercampur, menciptakan badai di dalam dirinya. Ia ingin berteriak, ingin mendorong tubuh besar itu menjauh, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Tubuh Naira kaku, seolah lumpuh oleh trauma. Tangannya gemetar saat ia mencoba melepaskan belitan lengan Alex. Namun, cengkeraman itu terlalu kuat, atau mungkin tenaganya yang telah terkuras habis.

Semakin ia mencoba, justru terasa semakin erat lengan itu membelit. Kepanikan Naira memuncak, membuatnya semakin sulit bergerak, semakin terperangkap.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan abadi, memaksanya menatap wajah pria yang telah menodainya, wajah yang akan menghantuinya seumur hidup.

Air mata kembali mengalir, membasahi bantal di bawah kepalanya, namun ia tak sanggup mengeluarkan suara. Hanya isak tertahan yang mengguncang dadanya.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Naira akhirnya berhasil melepaskan diri dari belitan Alex. Ia melompat dari ranjang, kakinya terasa lemas, nyaris ambruk.

Tanpa mempedulikan apa pun, ia meraih pakaiannya yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan terburu-buru, asal menutupi tubuhnya yang terasa kotor. Rambutnya acak-acakan, wajahnya sembab, namun ia tak peduli. Yang ada di benaknya hanyalah satu, pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk ini.

Naira berlari keluar dari kamar, melewati lorong apartemen yang terasa asing dan menakutkan. Langkahnya terhuyung, pandangannya kabur oleh air mata dan kepanikan.

Naira mengabaikan tatapan aneh dari beberapa penghuni apartemen yang berpapasan dengannya. Apa pun yang mereka pikirkan, tidak ada yang lebih buruk dari apa yang telah ia alami. Ia hanya ingin menghilang, lenyap ditelan bumi.

Saat tiba di lobi, Naira tidak melihat apa-apa selain pintu keluar. Ia mendorongnya dengan sekuat tenaga, melesat ke jalanan yang ramai. Pikirannya kosong, hanya dipenuhi keinginan untuk melarikan diri.

Naira tidak mempedulikan apa yang ada di sekitarnya, tidak mendengar deru mesin yang mendekat. Dengan langkah terburu-buru dan pandangan yang tidak fokus, ia menerobos keramaian, tanpa menyadari ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.

Sebuah decitan rem yang memekakkan telinga, mengakhiri pelarian Naira, kala tubuhnya menghantam aspal. Kegelapan menyelimuti dirinya, lebih pekat dari malam yang baru saja ia lalui. Dan kali ini, tidak ada lagi rasa sakit. Hanya kehampaan yang sempurna.

***

Di sisi lain kota, Aditya terbangun dengan senyum puas di bibirnya. Kirana, yang masih bergelung manja di sampingnya, menggeliat pelan.

"Selamat pagi, Sayang," bisiknya manja, mengecup dada Aditya. "Bagaimana hadiah ulang tahunmu semalam? Puas?"

Aditya terkekeh, membelai rambut Kirana. "Sangat puas, Ki. Kamu memang yang terbaik."

Malam yang baru saja berlalu terasa begitu memuaskan, mampu membuat Aditya melupakan sejenak beban pekerjaan dan hubungan jarak jauh yang seringkali terasa menjemukan. Ia meregangkan tubuh, lalu bangkit dari ranjang, berniat mengambil minum.

Langkahnya membawanya ke ruang tengah, dan di sanalah, matanya menangkap sesuatu yang asing di atas meja. Sebuah kotak kue cokelat dengan lilin yang sudah meleleh.

Kening Aditya berkerut. Kue ulang tahun? Ia dan Kirana tidak membeli kue.

Sebuah firasat buruk merayapi hatinya. Apakah Naira datang? Tapi mengapa tidak memberi kabar? Mengapa ia tidak melihat Naira semalam? Pikiran Aditya dipenuhi pertanyaan, kebingungan bercampur dengan sedikit rasa tidak nyaman. Ia mendekati kue ulang tahunnya, yang kini meninggalkan misteri baginya.

Belum sempat Aditya mencerna semua itu, ponselnya berdering nyaring. Nomor yang tidak dikenal. Awalnya Aditya ingin mengabaikannya, tetapi karena terus meraung-raung membuat Aditya dengan terpaksa mengangkatnya.

Suara lembut dan santun seorang perempuan di seberang sana terdengar tenang,

"Mohon maaf, dengan Bapak Aditya Pramudito?" Suara itu mengalun, diikuti keheningan sesaat.

"Benar, saya sendiri. Maaf, dengan siapa, ya?" jawab Aditya, mencoba menstabilkan napasnya. Firasat buruk mulai merayap.

"Kami dari Global Health Centre, ingin menginformasikan bahwa istri Bapak, Ibu Naira Ayu Lestari, baru saja mengalami kecelakaan dan kini dirawat di sini."

Kata-kata itu menghantam Aditya seperti palu godam. Istrinya mengalami kecelakaan. Kepala Aditya mendadak pusing, dan yang lebih mengejutkan, Naira berada di kota yang sama dengannya, dirawat di rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari apartemennya.

"Naira? Kecelakaan? Di Jakarta?" Aditya tercekat, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Bagaimana bisa dia ada di Jakarta? Kondisinya bagaimana sekarang?"

Suara itu kembali dengan nada prihatin. "Beliau saat ini masih dalam penanganan intensif, Bapak. Kami sarankan Bapak segera datang."

Ponselnya terasa licin di genggaman Aditya. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri benaknya, namun hanya satu yang paling mengganggu, mengapa Naira ada di kota ini?

“Naura... datang semalam,” bisik Aditya sendiri. “Dia... melihat semuanya...”

Kepalanya berdenyut hebat. Telapak tangannya dingin. Semua rasa bersalah yang selama ini coba ia pendam, terasa seperti boomerang yang balik menghantamnya.

Tiba-tiba, dari balik kamar, langkah kaki terdengar. Kirana muncul dengan jubah tidur satin pendek yang nyaris transparan. Rambutnya tergerai berantakan, wajahnya masih semu merah karena tidur, dan ekspresinya manja seperti biasa.

“Eh, ada kue ulang tahun?”

Aditya menatap Kirana dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya, mata yang dipenuhi panik, ketakutan, dan kesadaran bahwa dosa yang ia tutupi selama ini kemungkinan sudah terbongkat.

“Naira datang...” Suara Aditya pelan, nyaris berbisik.

Kirana terdiam, senyumnya menghilang.

“Aku harus ke rumah sakit.” Aditya melangkah cepat ke kamar, mengambil dompet dan kunci mobil.

“Apa yang terjadi?”

“Naira sekarang di Global Health Centre! Dia… kecelakaan.” Aditya tidak bisa menutupi kesedihannya.

“Lalu bagaimana dengan kita? Bagaimana jika dia tahu segalanya?” tanya Kirana sambil mengusap perutnya, seolah ingin mengingatkan Aditya akan tanggung jawab besar pada janin yang dikandungnya.

Tidak ada jawaban, Aditya mengabaikan Kirana. Melangkah cepat sambil merapikan pakaian sekenanya. Bahkan tanpa sengaja dia menutup pintu dengan keras.

Dan untuk pertama kalinya, Kirana sadar dosa yang mereka tumpuk mulai menuntut konsekuensi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erpina Siagian
masih sempat merayakan ulang tahun ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   238. Mulut Ambar Sudah Gatal

    “Kenapa harus jenguk sekarang sih, Bu? Besok masih bisa.” Ardi dengan wajah kuyu pulang kerja tampak kesal karena ibunya memaksa untuk menjenguk Vita sekarang juga.“Niat baik itu harus disegerakan, Ar. Jangan ditunda-tunda.”Ardi hanya menghembuskan napas kasar mendengar alasan ibunya yang terdengar bijaksana.Di koridor rumah sakit yang dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu-lampu panjang di langit-langit memantulkan cahaya putih yang terlalu terang, membuat bayangan di lantai tampak memanjang.Ardi berjalan sejajar dengan ibunya, dalam benaknya hanya ingin segera sampai lalu segera pulang. Malas rasanya jika harus berbasa-basi di hadapan Kirana, karena sebenarnya mulutnya sudah gatal untuk membuka kedok Kirana di hadapan kedua orang tuanya.Sementara Ambar berusaha menyeimbangkan dengan langkah kecil yang cepat. Sesekali ia merapikan kerudungnya, wajahnya tegang menahan campuran gugup dan penasaran.“Bagaimana pun, Vita itu cucuku,” gumam Ambar seolah ingin mengingatk

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   237. Sisi Hati Naira

    Kata demi kata yang terlontar dari bibir Danang membat Aditya terpaku di tempat. Ia menunduk, bahunya jatuh, tidak ada pembelaan, tidak ada dalih. Hanya kesadaran telanjang tentang betapa besar luka yang sudah ia timbulkan.Dengan suara hampir tak terdengar, Aditya berkata, “Saya akan bertanggung jawab atas semua yang telah saya lakukan, Pak. Tapi izinkan saya untuk mendampingi Vita.”Danang menatapnya lama, pandangan yang penuh benci, sekaligus sesuatu yang lebih tua dari itu. rasa kecewa yang mendalam.“Kau mau ikut atau tidak, itu urusanmu,” ucap Danang akhirnya, dengan nada dingin. “Tapi semua tentang Vita… bukan di tanganmu, kau tidak punya hak apa pun atas cucuku.”Kirana kembali dengan selimut, memeluk Vita erat. Dia tampak bingung di hadapannya ada Aditya dan ayahnya yang tampaknya belum bisa berdamai dengan pria yang dia cintai.“Ayo...” Kirana tidak tahu pasti siapa yang dia ajak. “Kita ke rumah sakit sekarang,” sambungnya lirih, dengan suara yang patah-patah karena gugup.D

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   236. Amarah Danang

    Aditya terdiam membeku, tidak langsung memberi reaksi atas kabar yang baru saja disampaikan Kirana.Tatap mata Aditya terlihat kosong, seolah semua dinding di sekelilingnya mendadak bergerak menghimpit.Sementara itu, Revan tetap tenang, menunggu reaksi Aditya berikutnya.Lalu Aditya meletakkan tangannya di dahi, tubuhnya sedikit membungkuk, suara yang keluar dari bibirnya begitu lirih. Pria yang selama ini penuh wibawa dan matang kini terlihat lelah, kacau, dan dipenuhi rasa kalah yang selama ini ia sembunyikan.“Ya Tuhan… ujian apa lagi ini…?”Aditya bangkit dari kursi dengan gerakan kaku, seolah lututnya tidak lagi mau bekerja sama. Dengan kalimat seadanya, nyaris tidak beraturan dan sama sekali tidak menunjukkan kelas seorang Aditya Pramudito.“Aku… aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting yang harus segera aku selesaikan. Nanti kita… kita bicarakan lagi.”Tanpa menunggu jawaban, Aditya berjalan terburu-buru menuju pintu bar. Langkahnya goyah, napasnya sesak, seperti seseorang

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   235. Aku Harus Bagaimana?

    Sementara itu di tempat yang berbeda, di sebuah bar yang temaram, lampu-lampu kuning menggantung seperti bintang kuno yang setengah padam. Musik jazz mengalun pelan, namun tidak cukup untuk mengikis ketegangan yang tercipta di antara dua laki-laki di sudut ruangan.Aditya menggenggam gelasnya terlalu kuat, seolah ingin memecahkannya hanya dengan amarah. “Ternyata selama ini kau hanya mempermainkan aku, Van,” ucap Aditya dengan suara rendah, tapi penuh bara.Di tempat dan situasi seperti ini, sikap formal penuh ramah tamah tidak lagi ditunjukkan oleh Aditya. Panggilan dengan embel-embel ‘Pak’ atau sebutan ‘Anda’ sudah ditanggalkan.Pikiran Aditya begitu kacau. Semua rencananya tidak berhasil, semua harapannya tidak terwujud. Rumah tangganya hancur, dan bisnisnya berantakan. Aditya merasakan hidupnya sedang dirundung kesialan.“Kau bilang Tuan Vancroft tinggal menunggu finalisasi. Kau bilang peluangnya besar.”Revan menarik napas panjang, tidak menyentuh minumannya. “Aku tidak pernah bi

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   234. Takdir yang Kejam

    Tyas tertegun, senyum yang sempat menghiasi bibirnya runtuh sebelum sempat benar-benar mengembang.“A… apa maksud, Bu Retno?”Retno meletakkan cek itu di meja, menggesernya pelan ke arah Kirana. Dan setiap sentuhan kertas itu ke permukaan meja terasa seperti tamparan keras bagi Kirana. Apa yang dilakukan Retno bukan hanya penolakan, tapi juga penghinaan baginya.“Jauhi Aditya,” lanjutnya tanpa jeda. “Setelah ini, jangan pernah ganggu kehidupan anak kami lagi. Aku rasa uang ini cukup sebagai kompensasi.”Tyas mengerjap cepat, wajahnya berubah kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicaraka oleh Retno. Yang pasti Tyan tahu, apa yang sedang dibicarakan bukan soal bantuan untuk biaya pengobatan cucunya, tapi sesuatu yang begitu asing dan kasar.“Lho… apa maksud Bu Retno meminta Vita? Vita adalah cucu saya. Meski dia lahir tanpa…”Tyas tidak melanjutkan kalimatnya, suaranya tiba-tiba hilang kala ia menoleh pada Kirana.Kirana menunduk, kedua tangannya saling menggenggam era

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   233. Meminta Savita

    “Pak Arya… Bu Retno,” ucap Kirana lirih, terlihat gugup dan penuh ketakutan.Arya berdiri di depan pintu, tubuhnya tetap terlihat tegap di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi sorot matanya menyiratkan lelah yang sangat. Di sebelahnya berdiri Retno, sang istri tercinta. Perempuan paruuh baya itu sama anggunnya seperti biasa, tapi wajahnya lebih datar, atau mungkin lebih ragu.Kirana menelan ludah. Ingatan tentang penolakan Retno di hotel, dingin, tajam, menusuk, langsung menyentak kembali. Untuk sesaat ia hanya terpaku, tak tahu harus mempersilakan atau tetap berdiri layaknya patung penjaga.Dari dalam, suara Tyas menggema. “Siapa tamunya, Ki?”Kirana baru membuka mulut untuk menjawab ketika Tyas muncul di sampingnya sambil menggendong Vita yang masih tertidur. Begitu melihat siapa yang bertamu, Tyas ikut terkejut. Alisnya naik tinggi, namun nalurinya sebagai tuan rumah muncul lebih cepat dari keterkejutannya.“Oh… Pak Arya… Bu Retno…” Tyas memaksa senyum ringan. “Silahkan masuk P

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status