Pagi itu kantor kecil Ardi terasa lebih sibuk dari biasanya. Aroma kopi yang baru diseduh Cynthia bercampur dengan suara ketikan keyboard yang berkejaran dengan waktu. Naira duduk berhadapan dengan Ardi di ruang kerjanya yang sederhana tapi tertata rapi, map biru terbuka di antara mereka.Ardi menatap layar laptop, lalu beralih pada Naira dengan senyum lebar.“Kau sudah baca email dari V-Inno?”“Sudah,” jawab Naira dengan senyum lebar. Jika berhasil, ini akan menjadi proyek terbesar bagi Trisula Design Studio.“Mereka minta tema modern kontemporer dengan sentuhan teknologi.”“Kamu tahu, Nai? Sejak kamu bergabung kembali di sini, rezeki kita seperti terbuka. Sebelum ini, dapat proyek desain interior kafe kecil saja sudah bersyukur. Sekarang, lihat… ada email dari V-Inno.”Naira mengernyit, mencoba membaca isi email sekali lagi. “V-Inno? Ini nanti lokasinya di mana, Mas?”Ardi menghela napas, menutup laptopnya sebentar. “Belum pasti. Mereka masih dalam tahap survey lahan. Tapi yang jela
“Bu, coba nanti kamu tanya sama Arum, ada masalah apa dia dengan Naira. Tidak mungkin Naira membuat keputusan seperti ini tanpa alasan.”“Ya, Pak.” Retno meletakkan lagi sendok yang sudah hampir menyentuh mulut, seleranya pagi ini raib seketika setelah suaminya menyinggung tentang menantunya.“Apa Bapak merasakan perubahan Naira setelah pulang dari Jakarta? Apa mungkin kecelakaan yang terjadi pada Naira membuatnya gegar otak?”“Ibu ada-ada saja. Kata Aditya dia hanya keserempet mobil saja, tidak ada luka serius.” Arya menjeda kalimatnya, menghela napas panjang. “Yang bapak takutkan justru jika sampai ada masalah lain dengan mereka.”“Maksud Bapak?”“Apa ibu tidak merasa, jika sekarang Naira lebih banyak diam dan suka menyendiri. Ngobrol dengan kita juga hanya seperlu saja.”Retno menghembuskan napas perlahan. Bukannya dia tidak menyadari perubahan menantunya, tetapi selama ini dia menganggap itu hal yang wajar. Saat baru pulang dari Jakarta, mungkin Naira masih lelah dan merasakan sak
Seperti saat datang, Revan dan Theo juga pergi secara bersamaan. Meski ada ganjalan besar, tapi mereka tidak berani menolak titah Alex.Kini keduanya sedang berdiri berhadapan di area parkir, tepatnya di dekat mobil Theo.“Mengapa Pak Alex begitu berbeda dalam masalah yang berhubungan dengan perempuan yang tidur dengannya malam itu?”Ya, untuk seorang pria dengan kekuasaan dan kekayaan seperti Alexander Quinn Vancroft biasanya sesuatu yang berhubungan dengan perempuan bukanlah masalah yang besar. Semua bisa diselesaikan dengan uang atau ancaman.Tapi kali ini, Alex justru seperti kelimpungan untuk bisa menemukan perempuan yang menghabiskan malam dengannya. Dan Revan yakin, ini bukan hanya sekadar untuk mengucap kata ‘maaf’.“Ini semua berhubungan dengan masa lalu Boss. Dalam bisnis dia tampak bersih, tapi dia punya musuh yang justru berada sangat dekat dengan hidupnya. Mereka siap menghancurkan Boss kapan saja. Dan jika masalah ini sampai tercium mereka, dan benar anak dalam kandunga
Revan segera mengambil map cokelat dari tas kerjanya, lalu menyodorkannya ke meja di depan Alex. “Sebelum kita menemukan lokasi dan membangun gedung baru, ada beberapa gedung milik Pemkot Semarang yang mangkrak bisa kita manfaatkan untuk kantor sementara V-Inno,” ujar Revan sambil membuka halaman demi halaman. “Lokasinya strategis, hampir semua berada di pusat kota. Akses transportasi mudah, dan infrastruktur dasar masih layak.” Alex membuka map itu, matanya cepat memindai daftar foto dan keterangan. “Bagaimana dengan perizinannya?” tanya Alex singkat, tatap matanya masih tertuju pada tumpukan berkas yang diberikan oleh Revan “Untuk izin, semua sudah beres,” jawab Revan dengan nada yakin. “Sementara rekrutmen SDM sedang berjalan. Beberapa posisi inti sudah ada kandidat yang lolos seleksi awal, sisanya akan rampung dalam dua minggu.” Alex melirik sekilas ke arah Revan, bibirnya mengulas senyum tipis yang sulit terbaca apakah itu kepuasan atau sekadar basa-basi. Lalu Revan
Satu kecupan berlabuh di bibir Alex. Awalnya begitu lembut, lalu menuntut, hingga mampu mendobrak benteng pertahan Alex.Alex membalas lumatan bibir Regina dengan rakus dan memburu. Jemarinya pun mulai beringas meremas gundukan kenyal dada Regina. Dengan terburu-buru, tangan itu membuka satu demi satu kancing baju yang menjadi penghalang.Alex mengangkat tubuh langsing di depannya. Dengan sigap Regina langsung melingkarkan kedua kaki di pinggang Alex. Saat berjalan pun, bibir mereka terus menyatu.Dengan perlahan Alex merebahkan tubuh Regina di atas sofa. Matanya terpejam saat menikmati dada mulus Regina.Bukan desahan yang membakar gairah yang menyapa gendang telinganya, tapi isak tangis yang memilukan. Bayangan Naira tiba-tiba datang menghantui.Alex membuka mata, lalu bangkit dan mundur beberapa langkah menjauh dari Regina yang terlihat sudah menantikan sentuhan yang lebih dalam.“Lex…” Regina terkejut saat dengan tiba-tiba Alex meninggalkannya.Tangan kanan Alex terulur membuka di
Lampu-lampu temaram menyala di sudut-sudut penthouse, memantulkan cahaya ke permukaan air kolam yang berkilau. Dari ketinggian, hamparan kota memamerkan jutaan titik cahaya, seperti hamparan bintang yang jatuh ke bumi. Alex mengerakkan tanganya dalam air dengan ritme mantap, entah demi menjaga kebugaran tubuhnya atau sekadar mencoba mengusir beban pikiran yang mengendap sejak siang. Setiap tarikan napasnya berpadu dengan bunyi lembut riak air, menciptakan irama sunyi di tengah malam. Begitu ia muncul ke permukaan, helaan napasnya terhenti sejenak. Di ujung pandangannya, samar-samar terlihat siluet seorang perempuan berdiri di dekat pagar kaca. Awalnya ia mengira hanya pantulan cahaya atau halusinasi akibat lelah, tapi siluet itu semakin jelas, lekuk tubuh, cara berdiri, bahkan aroma parfum yang dibawa angin malam. Regina. Alex mengerjap, lalu berenang menuju tepi kolam. Dengan gerakan sigap, ia keluar dari air, meraih bathrope yang sudah disiapkan, dan menutup tubuhnya yang basah.