Share

6. Tamu yang tak Lagi Berkunjung

Author: Henny Djayadi
last update Last Updated: 2025-07-23 16:08:22

Alex menyusuri koridor lantai atas kantor pusat perusahaannya dengan langkah tegas dan penuh wibawa. Setiap karyawan yang berpapasan langsung menunduk sopan, menghindari tatapannya yang dingin pagi itu.

Revan, orang kepercayaannya, mengikuti di belakang dengan langkah lebih tenang, sesekali melirik ponsel di tangannya.

Begitu Alex tiba di lantai eksekutif, Anita, sekretarisnya, bergegas menghampiri sambil membawa tablet berisi jadwal kerjanya.

“Selamat pagi, Pak Alex.” Suara Anita terdengar ragu. “Ini rundown hari ini. Ada pertemuan dengan direksi cabang jam sepuluh, lalu conference call dengan investor Jepang siang nanti. Dan...”

Anita terlihat menelan ludah sebelum melanjutkan kalimatnya. Matanya menatap Revan sekilas, lalu kembali pada Alex.

“Ada Ibu Regina di ruang kerja Bapak.”

Langkah Alex langsung terhenti. Wajahnya tiba-tiba dipenuhi ketegangan dan amarah, beruntung masih bisa diredam oleh kedewasaannya. Tapi tatap matanya yang tajam tak bisa berbohong.

Tanpa menanggapi lebih lanjut, Alex bergegas menuju ruangannya. Pintu dibuka dengan satu gerakan tegas. Dan di sana, duduk dengan santai di sofa dekat jendela, Regina menatapnya, dengan senyum lebar seolah tak terjadi apa-apa.

Rambutnya digerai rapi, gaun mahal membungkus tubuhnya dengan sempurna. Di tangannya, sebuah majalah bisnis yang belum lama ia tutup. Aroma parfum mewah menguar di udara.

“Selamat pagi, Sayang,” sapa Regina dengan suara manis, tanpa rasa bersalah.

Alex berdiri mematung di ambang pintu beberapa detik. Ia tidak membalas sapaannya, hanya menatap intens perempuan cantik di depannya.

“Ada urusan apa kau ke sini?” tanya Alex datar, dingin, tanpa basa-basi.

Regina tersenyum, lalu berdiri dan melangkah pelan ke arahnya. “Aku hanya ingin bicara soal investasi. Minggu depan ada tawaran merger dari klien Hong Kong. Aku pikir akan lebih baik kalau kita bahas langsung, secara personal…”

Nada suaranya ringan, tapi Alex tidak bergerak. Sorot matanya tak berubah, tajam, tidak membeli kata-kata manis yang Regina lontarkan. Dan saat Regina menyadarinya, senyum itu perlahan memudar.

“Terima kasih atas informasinya, tapi aku akan bicarakan sendiri dengan timku.”

“Lex.” Suara Regina melemah, dia merasakan penolakan dari mantan kekasihnya itu.

Alex menoleh sedikit, akhirnya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Di antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, baik itu personal maupun professional. Jadi… jangan ganggu kehidupanku lagi.”

Regina menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Alex, aku hanya ingin memperbaiki semuanya, hubungan kita. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”

Matanya menatap Alex, mencoba mencari celah empati di balik dinding es yang menyelimuti pria itu.

Alex menyandarkan diri ke sisi meja kerjanya, menatap Regina seperti memeriksa apakah wanita itu benar-benar merasa bersalah, atau hanya sedang memainkan peran barunya.

“Kesibukanku masih seperti dulu. Aku tidak bisa memberimu perhatian lebih, daripada kau merasa di abaikan, lebih baik kau bersenang-senang dengan lelaki lain.”

Regina tertohok, Alex tidak memberinya celah setelah memergokinya tidur dengan pria lain.

“Satu lagi, jangan pernah mengulangi cara kotor seperti malam itu. Aku tidak akan memberimu ampun.”

“A… apa?” Regina gugup, menyadari Alex tahu rencananya.

“Jangan pura-pura bodoh.”

“Aku melakukannya karena mencintaimu.” Regina berusaha membela diri.

“Yang kamu lakukan bukan hanya salah, tapi menjijikkan. Itu bukan cinta, Gina, tapi manipulasi.”

Regina terdiam, tidak mampu mengeluarkan pembelaan. Otaknya yang cantik terus berputar mencari celah untuk bisa kembali menjalin asmara dengan Alex. Status sosial dan kekayaan Alex, adalah daya tarik yang berat untuk dilepas oleh Regina.

***

Tanpa terasa sebulan telah berlalu sejak malam kelam itu. Luka di tubuh Naira mungkin telah pulih, tetapi luka di hatinya masih menganga, belum mengering.

Setelah melalui malam-malam bersama tanpa bersinggungan, Aditya mendekati Naira. Sebuah gelagat yang sangat Naira hafal, suaminya itu menuntut haknya malam ini.

Perlahan, tangan Aditya menyentuh bahu istrinya, mencoba meraih kehangatan yang dulu mudah ia dapatkan. Tapi seketika tubuh Naira menegang dan menepis tangan itu, dan air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan.

"Aku tidak bisa," bisik Naira lirih dan nelangsa. "Aku jijik, Mas...” Bukan hanya pada Aditya yang telah berbagi kehangatan dengan Kirana, tetapi juga pada dirinya sendiri yang telah dijamah pria asing yang tidak dia kenal.

Aditya terdiam. Ia tidak terbiasa ditolak, apalagi oleh istrinya sendiri. Tapi malam ini, bukan hanya hasratnya yang tak tersalurkan. Ada kehampaan yang menyergap, dan ia terlalu egois untuk menyelami luka yang membekas dalam diri Naira.

"Kita... harus memperbaiki ini, Naira," gumam Aditya, mencoba terdengar sabar. "Kalau kamu masih belum siap... mungkin kita bisa coba konsultasi ke psikolog. Diam-diam saja, jangan sampai ada yang tahu. Demi rumah tangga kita."

Naira tidak menjawab, lalu merebahkan tubuh memunggungi Aditya, menahan tangis yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Tubuhnya bergetar, namun tak satu kata pun keluar dari bibirnya. Matanya perlahan terpejam, membiarkan kantuk menenggelamkannya dari kenyataan pahit yang terus menghantui.

Aditya memandang punggung istrinya dalam remang cahaya kamar. Napasnya berat, kecewa. Tapi malam tak menunggu. Ia bangkit dari ranjang, melangkah keluar kamar dengan langkah ringan namun sarat maksud.

Di balkon belakang, ia mengeluarkan ponselnya. Mengetik nama yang sudah ia hafal di luar kepala, Kirana.

“Aku butuh kamu malam ini. Hotel biasa, jam sembilan.”

Pesan terkirim. Tak butuh waktu lama, balasan datang.

“Aku tunggu, Mas.”

Aditya menatap layar ponselnya sejenak, lalu mengusap wajahnya dan kembali masuk ke dalam rumah, seolah tak terjadi apa-apa.

Keesokan harinya, sinar matahari menelusup lewat celah tirai. Naira terbangun dengan rasa ganjil di tubuhnya. Kepalanya berat, perutnya melilit tak karuan. Dan sebelum sempat berpikir lebih jauh, ia bergegas bangkit, berlari ke kamar mandi.

Tubuhnya lunglai di hadapan kloset, mengeluarkan semua isi perutnya. Rasa mual itu menyerang hingga lemas tak berdaya. Tangannya mencengkeram ujung wastafel, tubuhnya berkeringat dingin, dan di wajahnya tergambar campuran panik dan kebingungan.

Ia menatap wajahnya sendiri di cermin. Pucat, mata sembab dan napas yang tersengal.

"Apa yang terjadi padaku?"

Ada firasat yang menyelinap di benaknya, sesuatu yang ia tolak untuk dipercaya, tapi tak bisa diabaikan begitu saja. Jari-jarinya meraba perutnya yang datar saat dia teringat, sejak malam kelam itu, tamu bulanannya tak lagi berkunjung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   238. Mulut Ambar Sudah Gatal

    “Kenapa harus jenguk sekarang sih, Bu? Besok masih bisa.” Ardi dengan wajah kuyu pulang kerja tampak kesal karena ibunya memaksa untuk menjenguk Vita sekarang juga.“Niat baik itu harus disegerakan, Ar. Jangan ditunda-tunda.”Ardi hanya menghembuskan napas kasar mendengar alasan ibunya yang terdengar bijaksana.Di koridor rumah sakit yang dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu-lampu panjang di langit-langit memantulkan cahaya putih yang terlalu terang, membuat bayangan di lantai tampak memanjang.Ardi berjalan sejajar dengan ibunya, dalam benaknya hanya ingin segera sampai lalu segera pulang. Malas rasanya jika harus berbasa-basi di hadapan Kirana, karena sebenarnya mulutnya sudah gatal untuk membuka kedok Kirana di hadapan kedua orang tuanya.Sementara Ambar berusaha menyeimbangkan dengan langkah kecil yang cepat. Sesekali ia merapikan kerudungnya, wajahnya tegang menahan campuran gugup dan penasaran.“Bagaimana pun, Vita itu cucuku,” gumam Ambar seolah ingin mengingatk

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   237. Sisi Hati Naira

    Kata demi kata yang terlontar dari bibir Danang membat Aditya terpaku di tempat. Ia menunduk, bahunya jatuh, tidak ada pembelaan, tidak ada dalih. Hanya kesadaran telanjang tentang betapa besar luka yang sudah ia timbulkan.Dengan suara hampir tak terdengar, Aditya berkata, “Saya akan bertanggung jawab atas semua yang telah saya lakukan, Pak. Tapi izinkan saya untuk mendampingi Vita.”Danang menatapnya lama, pandangan yang penuh benci, sekaligus sesuatu yang lebih tua dari itu. rasa kecewa yang mendalam.“Kau mau ikut atau tidak, itu urusanmu,” ucap Danang akhirnya, dengan nada dingin. “Tapi semua tentang Vita… bukan di tanganmu, kau tidak punya hak apa pun atas cucuku.”Kirana kembali dengan selimut, memeluk Vita erat. Dia tampak bingung di hadapannya ada Aditya dan ayahnya yang tampaknya belum bisa berdamai dengan pria yang dia cintai.“Ayo...” Kirana tidak tahu pasti siapa yang dia ajak. “Kita ke rumah sakit sekarang,” sambungnya lirih, dengan suara yang patah-patah karena gugup.D

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   236. Amarah Danang

    Aditya terdiam membeku, tidak langsung memberi reaksi atas kabar yang baru saja disampaikan Kirana.Tatap mata Aditya terlihat kosong, seolah semua dinding di sekelilingnya mendadak bergerak menghimpit.Sementara itu, Revan tetap tenang, menunggu reaksi Aditya berikutnya.Lalu Aditya meletakkan tangannya di dahi, tubuhnya sedikit membungkuk, suara yang keluar dari bibirnya begitu lirih. Pria yang selama ini penuh wibawa dan matang kini terlihat lelah, kacau, dan dipenuhi rasa kalah yang selama ini ia sembunyikan.“Ya Tuhan… ujian apa lagi ini…?”Aditya bangkit dari kursi dengan gerakan kaku, seolah lututnya tidak lagi mau bekerja sama. Dengan kalimat seadanya, nyaris tidak beraturan dan sama sekali tidak menunjukkan kelas seorang Aditya Pramudito.“Aku… aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting yang harus segera aku selesaikan. Nanti kita… kita bicarakan lagi.”Tanpa menunggu jawaban, Aditya berjalan terburu-buru menuju pintu bar. Langkahnya goyah, napasnya sesak, seperti seseorang

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   235. Aku Harus Bagaimana?

    Sementara itu di tempat yang berbeda, di sebuah bar yang temaram, lampu-lampu kuning menggantung seperti bintang kuno yang setengah padam. Musik jazz mengalun pelan, namun tidak cukup untuk mengikis ketegangan yang tercipta di antara dua laki-laki di sudut ruangan.Aditya menggenggam gelasnya terlalu kuat, seolah ingin memecahkannya hanya dengan amarah. “Ternyata selama ini kau hanya mempermainkan aku, Van,” ucap Aditya dengan suara rendah, tapi penuh bara.Di tempat dan situasi seperti ini, sikap formal penuh ramah tamah tidak lagi ditunjukkan oleh Aditya. Panggilan dengan embel-embel ‘Pak’ atau sebutan ‘Anda’ sudah ditanggalkan.Pikiran Aditya begitu kacau. Semua rencananya tidak berhasil, semua harapannya tidak terwujud. Rumah tangganya hancur, dan bisnisnya berantakan. Aditya merasakan hidupnya sedang dirundung kesialan.“Kau bilang Tuan Vancroft tinggal menunggu finalisasi. Kau bilang peluangnya besar.”Revan menarik napas panjang, tidak menyentuh minumannya. “Aku tidak pernah bi

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   234. Takdir yang Kejam

    Tyas tertegun, senyum yang sempat menghiasi bibirnya runtuh sebelum sempat benar-benar mengembang.“A… apa maksud, Bu Retno?”Retno meletakkan cek itu di meja, menggesernya pelan ke arah Kirana. Dan setiap sentuhan kertas itu ke permukaan meja terasa seperti tamparan keras bagi Kirana. Apa yang dilakukan Retno bukan hanya penolakan, tapi juga penghinaan baginya.“Jauhi Aditya,” lanjutnya tanpa jeda. “Setelah ini, jangan pernah ganggu kehidupan anak kami lagi. Aku rasa uang ini cukup sebagai kompensasi.”Tyas mengerjap cepat, wajahnya berubah kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicaraka oleh Retno. Yang pasti Tyan tahu, apa yang sedang dibicarakan bukan soal bantuan untuk biaya pengobatan cucunya, tapi sesuatu yang begitu asing dan kasar.“Lho… apa maksud Bu Retno meminta Vita? Vita adalah cucu saya. Meski dia lahir tanpa…”Tyas tidak melanjutkan kalimatnya, suaranya tiba-tiba hilang kala ia menoleh pada Kirana.Kirana menunduk, kedua tangannya saling menggenggam era

  • Istri yang Ternoda: Mengandung Benih Tuan Vancroft   233. Meminta Savita

    “Pak Arya… Bu Retno,” ucap Kirana lirih, terlihat gugup dan penuh ketakutan.Arya berdiri di depan pintu, tubuhnya tetap terlihat tegap di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi sorot matanya menyiratkan lelah yang sangat. Di sebelahnya berdiri Retno, sang istri tercinta. Perempuan paruuh baya itu sama anggunnya seperti biasa, tapi wajahnya lebih datar, atau mungkin lebih ragu.Kirana menelan ludah. Ingatan tentang penolakan Retno di hotel, dingin, tajam, menusuk, langsung menyentak kembali. Untuk sesaat ia hanya terpaku, tak tahu harus mempersilakan atau tetap berdiri layaknya patung penjaga.Dari dalam, suara Tyas menggema. “Siapa tamunya, Ki?”Kirana baru membuka mulut untuk menjawab ketika Tyas muncul di sampingnya sambil menggendong Vita yang masih tertidur. Begitu melihat siapa yang bertamu, Tyas ikut terkejut. Alisnya naik tinggi, namun nalurinya sebagai tuan rumah muncul lebih cepat dari keterkejutannya.“Oh… Pak Arya… Bu Retno…” Tyas memaksa senyum ringan. “Silahkan masuk P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status