Alex menyusuri koridor lantai atas kantor pusat perusahaannya dengan langkah tegas dan penuh wibawa. Setiap karyawan yang berpapasan langsung menunduk sopan, menghindari tatapannya yang dingin pagi itu.
Revan, orang kepercayaannya, mengikuti di belakang dengan langkah lebih tenang, sesekali melirik ponsel di tangannya. Begitu Alex tiba di lantai eksekutif, Anita, sekretarisnya, bergegas menghampiri sambil membawa tablet berisi jadwal kerjanya. “Selamat pagi, Pak Alex.” Suara Anita terdengar ragu. “Ini rundown hari ini. Ada pertemuan dengan direksi cabang jam sepuluh, lalu conference call dengan investor Jepang siang nanti. Dan...” Anita terlihat menelan ludah sebelum melanjutkan kalimatnya. Matanya menatap Revan sekilas, lalu kembali pada Alex. “Ada Ibu Regina di ruang kerja Bapak.” Langkah Alex langsung terhenti. Wajahnya tiba-tiba dipenuhi ketegangan dan amarah, beruntung masih bisa diredam oleh kedewasaannya. Tapi tatap matanya yang tajam tak bisa berbohong. Tanpa menanggapi lebih lanjut, Alex bergegas menuju ruangannya. Pintu dibuka dengan satu gerakan tegas. Dan di sana, duduk dengan santai di sofa dekat jendela, Regina menatapnya, dengan senyum lebar seolah tak terjadi apa-apa. Rambutnya digerai rapi, gaun mahal membungkus tubuhnya dengan sempurna. Di tangannya, sebuah majalah bisnis yang belum lama ia tutup. Aroma parfum mewah menguar di udara. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Regina dengan suara manis, tanpa rasa bersalah. Alex berdiri mematung di ambang pintu beberapa detik. Ia tidak membalas sapaannya, hanya menatap intens perempuan cantik di depannya. “Ada urusan apa kau ke sini?” tanya Alex datar, dingin, tanpa basa-basi. Regina tersenyum, lalu berdiri dan melangkah pelan ke arahnya. “Aku hanya ingin bicara soal investasi. Minggu depan ada tawaran merger dari klien Hong Kong. Aku pikir akan lebih baik kalau kita bahas langsung, secara personal…” Nada suaranya ringan, tapi Alex tidak bergerak. Sorot matanya tak berubah, tajam, tidak membeli kata-kata manis yang Regina lontarkan. Dan saat Regina menyadarinya, senyum itu perlahan memudar. “Terima kasih atas informasinya, tapi aku akan bicarakan sendiri dengan timku.” “Lex.” Suara Regina melemah, dia merasakan penolakan dari mantan kekasihnya itu. Alex menoleh sedikit, akhirnya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Di antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, baik itu personal maupun professional. Jadi… jangan ganggu kehidupanku lagi.” Regina menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Alex, aku hanya ingin memperbaiki semuanya, hubungan kita. Aku ingin kita kembali seperti dulu.” Matanya menatap Alex, mencoba mencari celah empati di balik dinding es yang menyelimuti pria itu. Alex menyandarkan diri ke sisi meja kerjanya, menatap Regina seperti memeriksa apakah wanita itu benar-benar merasa bersalah, atau hanya sedang memainkan peran barunya. “Kesibukanku masih seperti dulu. Aku tidak bisa memberimu perhatian lebih, daripada kau merasa di abaikan, lebih baik kau bersenang-senang dengan lelaki lain.” Regina tertohok, Alex tidak memberinya celah setelah memergokinya tidur dengan pria lain. “Satu lagi, jangan pernah mengulangi cara kotor seperti malam itu. Aku tidak akan memberimu ampun.” “A… apa?” Regina gugup, menyadari Alex tahu rencananya. “Jangan pura-pura bodoh.” “Aku melakukannya karena mencintaimu.” Regina berusaha membela diri. “Yang kamu lakukan bukan hanya salah, tapi menjijikkan. Itu bukan cinta, Gina, tapi manipulasi.” Regina terdiam, tidak mampu mengeluarkan pembelaan. Otaknya yang cantik terus berputar mencari celah untuk bisa kembali menjalin asmara dengan Alex. Status sosial dan kekayaan Alex, adalah daya tarik yang berat untuk dilepas oleh Regina. *** Tanpa terasa sebulan telah berlalu sejak malam kelam itu. Luka di tubuh Naira mungkin telah pulih, tetapi luka di hatinya masih menganga, belum mengering. Setelah melalui malam-malam bersama tanpa bersinggungan, Aditya mendekati Naira. Sebuah gelagat yang sangat Naira hafal, suaminya itu menuntut haknya malam ini. Perlahan, tangan Aditya menyentuh bahu istrinya, mencoba meraih kehangatan yang dulu mudah ia dapatkan. Tapi seketika tubuh Naira menegang dan menepis tangan itu, dan air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan. "Aku tidak bisa," bisik Naira lirih dan nelangsa. "Aku jijik, Mas...” Bukan hanya pada Aditya yang telah berbagi kehangatan dengan Kirana, tetapi juga pada dirinya sendiri yang telah dijamah pria asing yang tidak dia kenal. Aditya terdiam. Ia tidak terbiasa ditolak, apalagi oleh istrinya sendiri. Tapi malam ini, bukan hanya hasratnya yang tak tersalurkan. Ada kehampaan yang menyergap, dan ia terlalu egois untuk menyelami luka yang membekas dalam diri Naira. "Kita... harus memperbaiki ini, Naira," gumam Aditya, mencoba terdengar sabar. "Kalau kamu masih belum siap... mungkin kita bisa coba konsultasi ke psikolog. Diam-diam saja, jangan sampai ada yang tahu. Demi rumah tangga kita." Naira tidak menjawab, lalu merebahkan tubuh memunggungi Aditya, menahan tangis yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Tubuhnya bergetar, namun tak satu kata pun keluar dari bibirnya. Matanya perlahan terpejam, membiarkan kantuk menenggelamkannya dari kenyataan pahit yang terus menghantui. Aditya memandang punggung istrinya dalam remang cahaya kamar. Napasnya berat, kecewa. Tapi malam tak menunggu. Ia bangkit dari ranjang, melangkah keluar kamar dengan langkah ringan namun sarat maksud. Di balkon belakang, ia mengeluarkan ponselnya. Mengetik nama yang sudah ia hafal di luar kepala, Kirana. “Aku butuh kamu malam ini. Hotel biasa, jam sembilan.” Pesan terkirim. Tak butuh waktu lama, balasan datang. “Aku tunggu, Mas.” Aditya menatap layar ponselnya sejenak, lalu mengusap wajahnya dan kembali masuk ke dalam rumah, seolah tak terjadi apa-apa. Keesokan harinya, sinar matahari menelusup lewat celah tirai. Naira terbangun dengan rasa ganjil di tubuhnya. Kepalanya berat, perutnya melilit tak karuan. Dan sebelum sempat berpikir lebih jauh, ia bergegas bangkit, berlari ke kamar mandi. Tubuhnya lunglai di hadapan kloset, mengeluarkan semua isi perutnya. Rasa mual itu menyerang hingga lemas tak berdaya. Tangannya mencengkeram ujung wastafel, tubuhnya berkeringat dingin, dan di wajahnya tergambar campuran panik dan kebingungan. Ia menatap wajahnya sendiri di cermin. Pucat, mata sembab dan napas yang tersengal. "Apa yang terjadi padaku?" Ada firasat yang menyelinap di benaknya, sesuatu yang ia tolak untuk dipercaya, tapi tak bisa diabaikan begitu saja. Jari-jarinya meraba perutnya yang datar saat dia teringat, sejak malam kelam itu, tamu bulanannya tak lagi berkunjung.Seperti malam-malam sebelumnya, Naira akan menemani Aditya di rumah sakit. Harus siap bangun kapan saja, saat suaminya membutuhkan sesuatu. Meski d rumah sakit ada perawat yang siap membantu dua puluh empat jam, tapi untuk beberapa hal Aditya merasa tidak nyaman jika harus diurus selain keluarga sendiri.Naira mempersiapkan tempat tidurnya, ingin segera istirahat setelah menjalani hari yang sangat melelahkan, bukan hanya fisik, tapi juga jiwanya. Terus bersandiwara seolah pernikahannya baik-baik saja, dan tentang Alex yang pamit akan pergi, saat dirinya mulai merasa nyaman dan bergantung kepadanya.“Tidurlah di sampingku, Nai…” Suara Aditya yang lirih dan nelangsa, membuyarkan lamunan Naira. “Aku kangen.”Naira terdiam. Kata kangen yang keluar dari mulut Aditya justru seperti pisau yang menggores hatinya. Kangen? Bukankah kata itu seharusnya lahir dari ketulusan, bukan sekadar pengikat agar dirinya tetap bertahan? Air matanya menetes deras tanpa bisa ditahan.Aditya menatapnya heran.
Ponsel Alex tiba-tiba berdering, getarannya memecah detik yang terasa begitu panjang. Nama Revan muncul di layar. Dengan enggan, Alex perlahan melepaskan ciumannya dari bibir Naira. Ada jeda hampa di antara mereka, seolah udara pun menahan napas.Dengan gerakan lembut, Alex merapikan rambut Naira yang kusut karena ulahnya, juga merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan. Jemarinya menahan lebih lama dari seharusnya, seakan tak rela kehilangan momen intim itu.“Bersihkan air matamu,” ucap Alex lirih, nada suaranya penuh perintah tapi juga terselubung kehangatan. Naira buru-buru menunduk, mengusap wajahnya, berusaha kembali tenang.Alex melangkah menuju kursinya, meraih ponsel, lalu menekan tombol merah. Dia menolak panggilan yang hanya merupakan kode jika sebantar lagi Revan akan kembali bersama Ardi.Sandiwara dimulai.Alex harus kembali bersikap professional dan penuh wibawa. Dan pembicaraan dengan Naira hanya sebatas masalah desain interior kantornya saja.Tak lama, pintu ruan
Setelah mendengar suara gebrakan meja yang begitu keras, Naira mulai memasang mode waspada. Apalagi saat ini Alex sudah berdiri dan mulai melangkah mendekatinya.Naira menatap kea rah pintu, berharap Ardi segera datang dan menolongnya. Menyadari sepupunya yang sejak tadi belum juga kembali, bukan kesal, tapi Naira justru khawatir, Alex telah melakukan hal buruk agar kepadanya.Padahal jika Naira tahu apa yang sedang dilakukan Ardi saat ini, bukan hanya kesal, mungkin dia akan memutuskan hubungan persaudaraan. Bagaimana tidak, saat Naira terbelenggu rasa takut berdua dengan Alex, Ardi sedang asik ngopi bareng Revan dan menikmati lintingan tembakau sambil ngobrol ngalur ngidul.“Apa yang akan kau lakukan?” Naira terjingkat kaget saat Alex sudah mengangkat tubuhnya.“Agar kita sejajar, jadi ngobrolnya enak.” Alex sudah mendudukkan Naira di atas meja.Naira tidak bisa melawan, dan hanya meneteskan air mata saat Alex membuka kedua kakinya dan berdiri di antaranya.“Jangan lakukan…”Belum s
Ardi baru saja memasukkan ponselnya ke dalam saku usai menutup panggilan dengan salah satu pemasok material. Wajahnya tampak lega, masalah yang tadi sempat mengganjal sudah mendapat solusi. Ia melangkah ringan menuju ruang private tempat Naira dan Alex menunggu.Namun, baru saja Ardi membalikkan tubuhnya, Revan muncul dari arah berlawanan dengan senyum ramah. Salah satu orang kepercayaan Alex itu langsung menghampirinya dengan sikap yang sangat akrab.“Pak Ardi, ayo kita pesan makanan dulu. Dari tadi kita bicara serius, perut pasti sudah protes.”Ardi menoleh sekilas ke pintu ruang private, ragu. “Naira… dia sendirian di dalam.”Revan langsung menyambung, cepat dan meyakinkan. “Itu justru kesempatan baik, Pak. Nanti Tuan Alex bisa membicarakan teknis detail dengan Bu Naira, toh beliau yang pegang desain. Sementara kita pesan makanan. Lagi pula, kami tidak tahu selera Pak Ardi dan Bu Naira. Katanya kalau orang Semarang cenderung suka yang manis-manis.”Ardi mengernyit, tapi akhirnya me
Ternyata semua lelaki sama saja. Wanita adalah salah satu ujian berat di dunia yang sulit untuk mereka takhlukkan. Bagi Naira, baik Alex maupun Aditya, tak ada bedanya.Tatap mata Naira tetap dingin, seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi di hadapannya. Namun jauh di relung hatinya, ada sesak yang makin menekan.Seketika Naira makin yakin, semua perhatian Alex selama ini bukanlah karena dirinya, melainkan hanya karena anak yang dikandungnya. Alex peduli pada bayinya, bukan pada perempuan yang mengandungnya. Dan jika Alex menginginkannya, mungkin hanya sebagai pelampiasan nafsu semata.Alex, yang biasanya tenang dan penuh kendali, kini tampak salah tingkah. Tatapannya menyapu cepat ke arah Naira, lalu beralih ke Ardi yang masih bingung. Wajah Alex menegang, jelas ia sadar apa yang baru saja diperlihatkan Regina, bisa menimbulkan salah paham besar.Tidak ingin kehadiran Regina merusak semua rencananya, dengan suara tegas, penuh nada perintah yang jarang ia keluarkan di depan umum,
Aditya terdiam sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Setelah menghela napas dalam-dalam dan merasa lebih tenang, Aditya kembali menatap istrinya dengan seulas senyum di bibirnya.“Tidak semua ingatanku hilang, Nai. Aku memang lupa banyak hal… tapi aku masih ingat kenangan indah kita berdua.” Aditya meraih tangan Naira, lalu menggenggamnya dengan erat. Dia ingin istrinya percaya dengan semua yang keluar dari mulutnya.Naira menahan napas, hatinya berdegup. Ada getir yang menyesak di dadanya, mengingat ucapan suaminya bukan sekadar ambisi, tapi juga rayuan yang bisa saja membuatnya luluh dan kehilangan arah.“Sebelum kecelakaan itu terjadi… aku dan bapak memiliki rencana besar. Waktu itu aku sedang memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan tender dari V-Inno. Perusahaan global, reputasi dunia… kalau perusahaan kita berhasil mendapatkannya, itu akan jadi lompatan terbesar.”Retno yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama percakapan itu tiba-tiba tersenyum lebar.