LOGINSuara Naira pelan menyapa gendang telinga Aditya. Tapi cukup jelas terdengar, tak gemetar dan tak ada ragu.
Kalimat itu meluncur memangkas sisa-sisa harapan Aditya. Tapi bagi Naira, itu adalah satu-satunya jalan. Ia tak bisa lagi menipu dirinya sendiri, tak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja. Naira tidak menoleh, tak ingin melihat reaksi Aditya. Yang ia tahu, hanya menyelamatkan dirinya sendiri, sebelum semuanya benar-benar terlambat. Aditya mendekati Naira, duduk di tepi ranjang yang sama. Meski mereka duduk bersisihan, tapi jarak di antara mereka terasa begitu jauh. Aditya meraih tangan Naira, namun Naira menariknya dengan cepat. Bukan hanya jijik karena tubuh Aditya telah dijamah Kirana, tetapi Naira belum bisa melupakan sentuhan kasar pria yang memperkosanya. "Naira, aku minta maaf," bisik Aditya, suaranya penuh penyesalan. Namun suara kalimat itu terdengar penuh kepalsuan di telinga Naira. Penyesalan itu mungkin lebih karena adanya konsekuensi yang harus Aditya hadapi. Sebagai pengusaha dan keturunan ningrat tentu Aditya tidak ingin reputasinya hancur, jika aibnya sampai terbongkar. Dan rasa sakit yang telah ia torehkan di hati Naira bisa dinegosiasikan. "Aku ingin mempertahankan rumah tangga kita, Nai.” Suara Aditya lebih tegas, berusaha meyakinkan, terlebih kepada dirinya sendiri. "Aku tahu aku salah, aku khilaf. Tapi kita bisa memperbaikinya. Kita bisa melewati ujian ini bersama." Aditya menatap Naira dengan tatapan memohon, tatapan yang dahulu selalu meluluhkan hati Naira. Namun kini, tatapan itu terasa hambar, tak berarti. Naira akhirnya menoleh, menatap mata Aditya dengan lekat. "Bagaimana dengan Kirana, Mas? Bagaimana dengan anak kalian?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, dingin dan menusuk. Aditya terdiam, hingga menciptakan keheningan yang menyelimuti ruangan, sebuah keheningan yang lebih memekakkan daripada teriakan. Dalam hati Aditya, muncul pemikiran licik, poligami. Ia ingin memiliki keduanya. Naira, istri pertama yang akan menjaga nama baik keluarga. Dan Kirana, istri kedua yang akan melahirkan darah dagingnya. Solusi terbaik bagi Aditya, tapi sangat egois, karena hanya menguntungkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaan Naira sedikit pun. Naira melihat keraguan di mata Aditya, keheningan yang panjang itu adalah jawaban. Ia merasa Aditya tidak benar-benar menyesal, dan hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri, menyelamatkan nama baik keluarga Pramudito. “Kirana sedang mengandung anakku, aku harus bertanggung jawab.” “Aku tidak melarangmu untuk bertanggung jawab atas anak itu.” Aditya mengangkat wajahnya dengan seulas senyum di bibirnya. “Jadi kau mengizinkan aku…” “Jika, Mas Adit berpikir untuk poligami…” ucap Naira seolah tahu apa yang ada di dalam benak suaminya. “Aku tidak mau dipoligami. Jika Mas Adit ingin menikahi Kirana, ceraikan aku lebih dulu. Aku tidak akan mempersulit langkahmu.” Aditya tertohok, ternyata tidak semudah itu untuk membuat Naira memaafkan kesalahannya, dan menerima Kirana sebagai madunya. Sementara itu, tekad Naira untuk bercerai semakin mengeras. Dia tidak akan membiarkan dirinya terperangkap dalam pernikahan yang sudah hancur dengan pria yang telah mengkhianatinya dan ingin memaksanya menerima madu dan anak mereka yang merupakan bukti perselingkuhan tak terbantahkan. *** Alex memejamkan mata saat melihat video CCTV. Keadaan Naira terlihat sangat mengenaskan, dengan pakaian compang-camping dia bergerak seperti mayat hidup sebelum akhirnya sebuah mobil menabrak tubuhnya. Alex baru saja menerima laporan dari orang kepercayaannya. Video CCTV yang merekam peristiwa malam itu sudah berada di tangannya, bukan hanya untuk mencari keberadaan perempuan yang telah menghabiskan malam bersamanya, tetapi juga untuk dilenyapkan, agar tidak menyeretnya dalam masalah yang pelik. “Di mana perempuan itu sekarang?” “Maaf Tuan, kami tidak menemukan jejaknya. Setelah mengalami kecelakaan dan mendapat perawatan singkat di rumah sakit, dia sepertinya menghilang begitu saja,” lapor Revan, orang kepercayaan Alex dengan nada hati-hati. “Di rumah sakit mana dia mendapat perawatan?” “Global Health Centre.” Alex tak langsung merespons, ia menyandarkan tubuh di kursi kebesarannya. Rahangnya mengeras, jemarinya mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Menunjukkan kegelisahan yang tak bisa dia kendalikan. “Kita ke sana sekarang.” Alex langsung bangkit dari duruknya. Jas hitamnya diambil dengan satu gerakan cepat, lalu ia melangkah keluar, meninggalkan Revan yang hanya bisa mengikuti tanpa membantah. Rumah sakit yang menjadi tujuannya berdiri megah di tengah kota. Saat mobilnya berhenti di pelataran depan, Alex langsung keluar, langkahnya tegap dan penuh wibawa menuju bagian administrasi. Seorang perempuan paruh baya dengan seragam putih berdiri di balik meja, menatapnya sopan. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” “Saya mencari informasi tentang seorang perempuan. Dia mengalami kecelakaan beberapa hari lalu. Saya ingin tahu apakah dia dirawat di sini.” Perempuan itu tampak ragu. “Mohon maaf, Pak. Boleh tahu nama lengkap pasiennya?” Alex terdiam, ia bahkan tidak tahu nama wanita itu. Hanya wajahnya yang terus menghantui. “Saya tidak tahu namanya,” jawab Alex, jujur. “Tapi dia perempuan muda, usia sekitar dua puluhan akhir. Dibawa masuk sekitar tiga atau empat hari lalu.” Perempuan mengetik cepat di komputernya, lalu membaca layar beberapa detik. “Memang ada satu pasien perempuan dengan ciri seperti itu. Tapi…” Ia menoleh pada Alex dengan senyum sopan. “Maaf, kami tidak bisa memberikan identitas pasien tanpa persetujuan keluarga atau pasien yang bersangkutan. Itu melanggar kebijakan privasi rumah sakit.” Alex menarik napas dalam. Matanya menatap perempuan itu, dingin, tapi tidak kasar. Ia tahu Bu Rani hanya menjalankan tugasnya. Ia tidak bisa memaksa. “Saya mengerti,” gumamnya akhirnya, lalu mengangguk ringan. “Terima kasih.” Ia melangkah keluar dari ruang administrasi dengan langkah berat. Di luar, Revan sudah menunggunya. Ia menarik napas panjang, lalu menoleh ke Revan. Wajahnya kembali dingin, fokus, dan tegas. “Kerahkan semua kemampuan yang kita miliki, jika perlu hack semua data rumah sakit ini!” Revan mengangguk cepat. “Akan saya kerjakan sekarang juga, Tuan.” Alex kembali menatap ke arah gedung rumah sakit yang menjulang. Sekilas, ia membayangkan wanita itu berbaring di salah satu kamar di dalamnya, sendirian dan terluka. Kilasan masa lalu kembali berkelebat, sejarah kelam yang dia harap tidak akan terulang.“Kenapa harus jenguk sekarang sih, Bu? Besok masih bisa.” Ardi dengan wajah kuyu pulang kerja tampak kesal karena ibunya memaksa untuk menjenguk Vita sekarang juga.“Niat baik itu harus disegerakan, Ar. Jangan ditunda-tunda.”Ardi hanya menghembuskan napas kasar mendengar alasan ibunya yang terdengar bijaksana.Di koridor rumah sakit yang dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu-lampu panjang di langit-langit memantulkan cahaya putih yang terlalu terang, membuat bayangan di lantai tampak memanjang.Ardi berjalan sejajar dengan ibunya, dalam benaknya hanya ingin segera sampai lalu segera pulang. Malas rasanya jika harus berbasa-basi di hadapan Kirana, karena sebenarnya mulutnya sudah gatal untuk membuka kedok Kirana di hadapan kedua orang tuanya.Sementara Ambar berusaha menyeimbangkan dengan langkah kecil yang cepat. Sesekali ia merapikan kerudungnya, wajahnya tegang menahan campuran gugup dan penasaran.“Bagaimana pun, Vita itu cucuku,” gumam Ambar seolah ingin mengingatk
Kata demi kata yang terlontar dari bibir Danang membat Aditya terpaku di tempat. Ia menunduk, bahunya jatuh, tidak ada pembelaan, tidak ada dalih. Hanya kesadaran telanjang tentang betapa besar luka yang sudah ia timbulkan.Dengan suara hampir tak terdengar, Aditya berkata, “Saya akan bertanggung jawab atas semua yang telah saya lakukan, Pak. Tapi izinkan saya untuk mendampingi Vita.”Danang menatapnya lama, pandangan yang penuh benci, sekaligus sesuatu yang lebih tua dari itu. rasa kecewa yang mendalam.“Kau mau ikut atau tidak, itu urusanmu,” ucap Danang akhirnya, dengan nada dingin. “Tapi semua tentang Vita… bukan di tanganmu, kau tidak punya hak apa pun atas cucuku.”Kirana kembali dengan selimut, memeluk Vita erat. Dia tampak bingung di hadapannya ada Aditya dan ayahnya yang tampaknya belum bisa berdamai dengan pria yang dia cintai.“Ayo...” Kirana tidak tahu pasti siapa yang dia ajak. “Kita ke rumah sakit sekarang,” sambungnya lirih, dengan suara yang patah-patah karena gugup.D
Aditya terdiam membeku, tidak langsung memberi reaksi atas kabar yang baru saja disampaikan Kirana.Tatap mata Aditya terlihat kosong, seolah semua dinding di sekelilingnya mendadak bergerak menghimpit.Sementara itu, Revan tetap tenang, menunggu reaksi Aditya berikutnya.Lalu Aditya meletakkan tangannya di dahi, tubuhnya sedikit membungkuk, suara yang keluar dari bibirnya begitu lirih. Pria yang selama ini penuh wibawa dan matang kini terlihat lelah, kacau, dan dipenuhi rasa kalah yang selama ini ia sembunyikan.“Ya Tuhan… ujian apa lagi ini…?”Aditya bangkit dari kursi dengan gerakan kaku, seolah lututnya tidak lagi mau bekerja sama. Dengan kalimat seadanya, nyaris tidak beraturan dan sama sekali tidak menunjukkan kelas seorang Aditya Pramudito.“Aku… aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting yang harus segera aku selesaikan. Nanti kita… kita bicarakan lagi.”Tanpa menunggu jawaban, Aditya berjalan terburu-buru menuju pintu bar. Langkahnya goyah, napasnya sesak, seperti seseorang
Sementara itu di tempat yang berbeda, di sebuah bar yang temaram, lampu-lampu kuning menggantung seperti bintang kuno yang setengah padam. Musik jazz mengalun pelan, namun tidak cukup untuk mengikis ketegangan yang tercipta di antara dua laki-laki di sudut ruangan.Aditya menggenggam gelasnya terlalu kuat, seolah ingin memecahkannya hanya dengan amarah. “Ternyata selama ini kau hanya mempermainkan aku, Van,” ucap Aditya dengan suara rendah, tapi penuh bara.Di tempat dan situasi seperti ini, sikap formal penuh ramah tamah tidak lagi ditunjukkan oleh Aditya. Panggilan dengan embel-embel ‘Pak’ atau sebutan ‘Anda’ sudah ditanggalkan.Pikiran Aditya begitu kacau. Semua rencananya tidak berhasil, semua harapannya tidak terwujud. Rumah tangganya hancur, dan bisnisnya berantakan. Aditya merasakan hidupnya sedang dirundung kesialan.“Kau bilang Tuan Vancroft tinggal menunggu finalisasi. Kau bilang peluangnya besar.”Revan menarik napas panjang, tidak menyentuh minumannya. “Aku tidak pernah bi
Tyas tertegun, senyum yang sempat menghiasi bibirnya runtuh sebelum sempat benar-benar mengembang.“A… apa maksud, Bu Retno?”Retno meletakkan cek itu di meja, menggesernya pelan ke arah Kirana. Dan setiap sentuhan kertas itu ke permukaan meja terasa seperti tamparan keras bagi Kirana. Apa yang dilakukan Retno bukan hanya penolakan, tapi juga penghinaan baginya.“Jauhi Aditya,” lanjutnya tanpa jeda. “Setelah ini, jangan pernah ganggu kehidupan anak kami lagi. Aku rasa uang ini cukup sebagai kompensasi.”Tyas mengerjap cepat, wajahnya berubah kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicaraka oleh Retno. Yang pasti Tyan tahu, apa yang sedang dibicarakan bukan soal bantuan untuk biaya pengobatan cucunya, tapi sesuatu yang begitu asing dan kasar.“Lho… apa maksud Bu Retno meminta Vita? Vita adalah cucu saya. Meski dia lahir tanpa…”Tyas tidak melanjutkan kalimatnya, suaranya tiba-tiba hilang kala ia menoleh pada Kirana.Kirana menunduk, kedua tangannya saling menggenggam era
“Pak Arya… Bu Retno,” ucap Kirana lirih, terlihat gugup dan penuh ketakutan.Arya berdiri di depan pintu, tubuhnya tetap terlihat tegap di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi sorot matanya menyiratkan lelah yang sangat. Di sebelahnya berdiri Retno, sang istri tercinta. Perempuan paruuh baya itu sama anggunnya seperti biasa, tapi wajahnya lebih datar, atau mungkin lebih ragu.Kirana menelan ludah. Ingatan tentang penolakan Retno di hotel, dingin, tajam, menusuk, langsung menyentak kembali. Untuk sesaat ia hanya terpaku, tak tahu harus mempersilakan atau tetap berdiri layaknya patung penjaga.Dari dalam, suara Tyas menggema. “Siapa tamunya, Ki?”Kirana baru membuka mulut untuk menjawab ketika Tyas muncul di sampingnya sambil menggendong Vita yang masih tertidur. Begitu melihat siapa yang bertamu, Tyas ikut terkejut. Alisnya naik tinggi, namun nalurinya sebagai tuan rumah muncul lebih cepat dari keterkejutannya.“Oh… Pak Arya… Bu Retno…” Tyas memaksa senyum ringan. “Silahkan masuk P







