Semangkuk steam salmon yang dibawa Gamma beberapa saat yang lalu kini sudah berada di tangan Serra. Wanita itu sedang duduk santai dan bersandar pada kepala ranjang, pandangannya terarah pada layar televisi yang menyala di hadapannya. Sedangkan bibirnya sibuk mengunyah potongan daging salmon yang ia suap sendiri.Jika dihitung dengan jari, ini adalah kedua kalinya ia menyantap ikan salmon. Pertama, saat ia dinner di rumah mertuanya beberapa bulan yang lalu. Sayangnya, waktu itu perutnya menolak rasa bumbu mentai yang disajikan hingga akhirnya sepotong pun tak bisa tertelan dengan baik. Entah bawaan bayi, atau mungkin lidahnya tak cocok dengan saus khas negeri sakura itu. Menyedihkan sekali bukan?Akan tetapi kali ini setelah tidak hamil, begitu memakan ikan yang sama, tubuhnya memberikan respon baik. Ia cukup bersyukur karena itu. Tidak terbayang bagaimana jadinya jika Serra tak bisa menelan makanan ini, sementara Gamma sudah repot-repot membeli untuknya.“Bagaimana salmonnya? Kau suk
“Keparat! Ini sudah terlalu jauh dan melampaui batas!” Umpatan kasar itu lolos dari bibir Gamma setelah melihat dan mendengar putaran rekaman pada layar tabnya. Lelaki itu berhasil mengambil rekaman yang tersimpan CCTV yang terpasang di bangsal Serra. Mulanya rekaman video itu hanya menampilkan sudut pandang ketika Rossa berjalan menuju bangsal dimana Serra dirawat. Akan tetapi darah dalam tubuhnya mulai mendidih kala mendengar percakapan antara Rossa dengan istrinya. Wanita sialan itu benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya Rossa merendahkan Serra dan menghasutnya dengan mengungkit kembali masa lalu Gamma bersama Nindira. Lalu mengatakan bahwa Gamma sedang bermain api dengan rumah tangganya? SHIT! Gamma benar-benar geram dibuatnya. Dasar, Licik! “Aku setuju denganmu. Tapi kenapa Serra tidak jujur saja padamu jika Rossa datang dan berkata seperti itu?” William memainkan benda kotak berwarna hitam yang hanya berukuran 2 x 2 cm. Saking mungilnya, benda itu bisa terpegang oleh ibu jar
Gamma baru saja tiba di kamar rawat inap yang ditempati istrinya. Setelah bertemu dengan William di kantin rumah sakit, pria itu bergegas menemui Serra, Jujur saja, semenjak melihat rekaman dari berbagai video yang ia periksa hari ini, Gamma takut bila terlalu lama meninggalkan wanita itu sendirian. Lebih tepatnya pria itu khawatir.Bagaimana tidak? Rossa dan segala permainannya masih mengancam kebahagiannya. Ditambah dengan Bu Ambar yang masih menjadi pertanyaan dalam benaknya. Dan, lelaki itu tak tahu, siapa lagi yang ingin berusaha menghancurkan rumah tangganya?"Sayang? Belum tidur?" tanya Gamma begitu melihat sang istri masih terjaga. Serra sedang terbaring pada ranjang masih dengan aktivitasnya menonton drama favoritnya. Hal itu membuat Gamma menerbitkan senyum tipisnya sembari menggelengkan kepala. Sungguh heran, mengapa wanitanya itu sangat betah menonton sebuah cerita kendati harus menghabiskan waktu berjam-jam lamanya. "Sudah berapa episode yang kau tonton hari ini, hm?"Sete
“Wellcome home!” Sebuah suara bariton menyambut kedatangan Serra membuat wanita itu spontan membuat Serra tersenyum dan melemparkan pandangannya kepada seseorang yang berdiri di sampingnya. Itu William, adik Gamma. Mereka berdua baru saja tiba di kediaman Gamma yang baru saja selesai di renovasi beberapa hari yang lalu. Sembari membuka pintu utama, William menuntun Serra berjalan. Satu tangannya ia gunakan untuk menenteng sebuah tas berisi pakaian milik istri Gamma itu. Kemana perginya Gamma? Mengapa tidak lelaki itu sendiri yang menjemput Serra? Seperti yang dikatakannya semalam, pria itu sedang menemui seorang tamu yang cukup penting dari Australia. Jika biasanya lelaki itu melemparkan tanggung jawabnya kepada sang adik, maka untuk kali ini tidak bisa. Mitra bisnis itu harus bertemu dengan Gamma. Sekalian reuni sebab orang tersebut adalah teman akrab semasa kuliah dahulu. “Terima kasih sudah menjemputku, Will. Maaf merepotkanmu, sebenarnya akum au pulang sendiri dengan supir sa
Sudah satu jam lamanya Serra terdiam di kamar yang sempat ia gunakan beberapa bulan yang lalu, hanya berbaring di atas ranjang dengan sprei hijau tak bermotif ini tanpa memejamkan kedua matanya. Serra sudah mencoba untuk tidur dan beristirahat siang, akan tetapi entah mengapa ketika ia memejamkan mata justru kantuknya tak kunjung datang. Matanya malah semakin segar tak ingin terpejam.Sementara William masih berkutat di dapur, entah apa yang dimasak lelaki itu, tetapi bisa Serra dengar bagaimana bunyi benturan pisau dengan talenan yang cukup keras.Bosan. Itulah yang dirasakan Serra saat ini. Bagaimana tidak jenuh, jika setiap hari yang ia lakukan hanya berbaring saja? Terkadang hanya menonton drama serial china kesukaannya tanpa bisa melakukan aktivitas lainnya. Sungguh ia rindu dapur dan tamannya.Dan, sejak tadi ia hanya mengamati benda-benda baru di ruangan ini dari kejauahan. Kamar ini adalah Kamar Serra. Tidak ada perubahan yang berarti. Semuanya masih sama, hanya interiornya s
Setelah hampir satu jam berkutat di dapur, akhirnya satu mangkuk besar Tuna Kuah Kuning sudah tersaji di meja makan. William menambahkan bawang merah goreng di atas kuah yang baru saja mendidih itu. Selesai sudah tugasnya memasak makan malam untuk manusia-manusia yang tinggal di rumah ini. Sebenarnya, memasak ikan adalah hal yang paling ia benci. Bau amis yang sulit hilang itu merepotkan baginya. Namun, tidak ada resep lain yang terpikirkan William, saat menemukan dua bungkus ikan tuna fillet yang masih segar di dalam lemari pendingin. Tak ada sayuran hijau, tidak adad aging. Benar-benar hanya ikan tuna itu saja. Lalu beberapa buah tomat dan bumbu dapur. Alhasil ia terpaksa membuat ikan tuna kuah kuning ini. Kendati tak menyukai proses memasaknya, tetapi William tetap saja lahap jika menyantap hidangan itu. Ada yang berbeda dari aktivitas William kali ini. Pria itu memang terlihat berkutat di dapur sendirian. Namun, sebenarnya ia tidak sendiri. Ada sosok yang sedang menemaninya seca
Sebuah amplop cokelat yang mendarat di meja mengambil alih fokus Gamma. Terlalu serius mencermati pekerjaan membuatnya tak menyadari jika seseorang telah masuk ke dalam ruang kerja ini. Pria yang sedang berkutat dengan layar laptopnya itu lantas mendongakkan kepala mencari tahu seseorang yang kini berdiri di hadapannya kendati ia tahu bukan orang asing yang bisa melakukan hal semacam ini. Melemparkan barang sembarangan dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan William? Hanya dia yang bisa datang ke rumah ini sesuka hati. Lelaki itu meleparkan dirinya pada sebuah kursi di hadapan Gamma. Jas kerjanya sudah ditanggalkan entah kemana, dasi yang melingkar pada lehernya sudah terlepas, dan kemeja berwarna biru muda yang dikenakan sudah tergulung setengah lengan. Sebuah helaan napas kasar meluncur bebas darinya, membuat Gamma menegakkan badan dan mengernyitkan dahi, bertanya-tanya dalam hati tentang hal serius apa yang sedang dikerjakan oleh adiknya itu sehingga penampilannya kacau seperti ini.
Serra membentangkan baju bayi bergambar jerapah dengan kedua tangannya. Kedua sudut bibirnya terangkat membayangkan betapa lucunya jika ada seorang bayi yang mengenakan baju ini. Namun, sesaat kemudian yang muncul dalam hati hanyalah tusukan jarum yang terulang puluhan kali. Kumpulan rasa bersalah yang sejak kemarin diredam olehnya kembali muncul ke permukaan.Tidak bisa ia tepiskan sebuah fakta yang tersaji dihadapannya saat ini, bahwa tidak ada bayi yang mengenakan tumpukan baju-baju bayi di ruangan ini.Wanita yang tengah mengenakan baju berwarna merah muda itu lantas membuang napas pelan, berusaha menyurut genangan air yang mulai berhimpun di pelupuk mata. Selanjutnya Serra melipat baju berbahan baby terry itu menjadi lebih kecil. Ditumpuknya baju itu pada sebuah lemari khusus. Semua baju yang tergelar di hadapannya ini adalah pilihan Gamma. Entah berapa kodi baju yang dibeli oleh suaminya, tetapi lemari yang disiapkan untuk menyimpan baju putranya itu penuh, bahkan tak cukup sek