Hai, author baru pulang guys dan baru sempat nulis. maaf ya masih up satu bab. dan untuk malam minggu author minta maaf kembali tidak up dulu, karena author wisuda dan ada pesta kelulusan di malam harinya :) terima kasih sudah membaca cerita ini ya semoga kalian selalu suka dengan alur yang author ciptakan. Salam sayang, Sinar Rembulan
Bibir Gamma mendadak kaku saat sang istri baru saja menangkap basah dirinya yang sedang menerima telepon di balkon. Entah sejak kapan wanita itu berada di ambang pintu itu, tetapi ia harap semoga Serra hanya mendengar kalimat terakhirnya saja. Karena apa yang ia bicarakan adalah berkaitan dengan Rena.Pria itu berusaha untuk menampilkan wajah tenang walau sebenarnya ia panik dan gelisah. Harus bagaimana sekarang? Tidak mungkin Gamma memberitahukan semua hal yang william katakan kepadanya tadi. Sedangkan Serra masih bersedekap menatap sang suami, kedua alisnya bertautan seakan melayangkan pertanyaan besar ada apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ia tak boleh tahu? Lalu, harga apa? Mengapa ada kata yang terbaik dan apapun ia setuju?Karena Gamma tidak memberikan jawaban, Serra kemudian menegakkan badannya. Selanjutnya, perempuan berambut sebahu itu mengurai dekapan tangannya sendiri. "Ada apa, Gamma? Kenapa kau diam saja? Apa yang terjadi hingga kau menyetujui apapun yang terbaik?" t
Romana mengernyit saat melihat penampilan Serra begitu berbeda. Perempuan itu mengenakan dress monokrom, wajahnya juga sudah terpoles dengan make up tipis. Ya Romana tahu Serra akan pergi bersama Gamma, putranya. Bukan itu yang menjadi pertanyaan dalam hati perempuan berusia paruh baya itu. Ia mengernyitkan dahi karena mendapati Raut wajah menantunya itu menegang."Serra? Kenapa kau tegang begini? Ada hal buruk yang terjadi padamu?" tanya Romana tak mengindahkan pertanyaan Serra sebelumnya. Sementara Serra yang tergagap sedang susah payah meneguk ludahnya sendiri. "Em ..., tidak ada hal buruk yang terjadi, Bu. Aku Hanya terkejut saja kenapa ibu tiba-tiba di depan pintu," jawab Serra seraya melekuk bibirnya agar Romana percaya bahwa dia baik-baik saja.Mendengar itu Romana hanya berohria saja. "Oh, aku ke sini karena di depan ada kurir yang mengantar paket untukmu. Terima lah dulu, Nak," kata Romana.Serra yang merasa tidak memesan apa-apa kini menautkan kedua alisnya. "Paket?" beonya
"Dok, apapun yang dokter lakukan saya percaya. Dokter jangan khawatir masalah biaya. Berapapun jumlahnya akan segera saya bayar!"William berdiri di depan sebuah ruangan berlabel ICU, pria itu menatap para tenaga medis yang mengenakan pakaian khusus berwarna hijau itu dengan serius. Dada bidangnya bergerak naik turun. Napasnya tersendat-sendat seiring dengan rasa cemas yang kian menyesakkan dadanya.Sementara para dokter yang sedang berdiskusi dengan William membuang napas pelan. "Tuan William, sebetulnya tidak ada lagi harapan untuk Rena dan semua tindakan yang sudah kami lakukan sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Namun, kami akan berusaha dan memberikan yang terbaik, tetapi kami juga butuh dukungan doa dari keluarga. Dan kami minta apapun hasilnya semua sudah kehendak Tuhan yang Mahakuasa," kata salah satu dokter yang berdiri di hadapan William seraya menepuk-nepuk bahu pria itu seakan memberikan kekuatan dan pengertian bahwa para tenaga kesehatan yang bekerja saat ini hanyalah m
"Gamma, sebenarnya kita mau kemana?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Serra tatkala mobil yang dikemudikan oleh sang suami tak kunjung tiba di tempat tujuan. Sudah 30 menit lamanya waktu yang telah mereka lalui, tentu membuat Serra bertanya-tanya sejauh apa te.pat yang akan mereka kunjungi malam ini? Lalu, sebenarnya acara apa yang akan ia hadiri bersama sang suami? Pertanyaan itu juga masih belum terjawab oleh Serra.Sedangkan Gamma yang duduk di kursi kemudi, hanya melirik sekilas sang istri dari balik kaca mata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya.Lelaki itu kemudian menggeser pandangannya kembali fokus kepada jalanan yang cukup padat di malam hari. Ah, sebenarnya Gamma sudah memilih jalan alternatif agar cepat sampai tujuan mereka. Sayangnya, tetap saja ada ribuan kendaraan yang sedang memadati jalanan itu."Gamma?" panggil Serra kembali karena Gamma masih enggan membuka suaranya. Dengusan napas kasar terdengar dari Gamma. "Ikut saja dulu. Nanti kau juga tahu, Ra!" jawab
Kotak merah berlapis kain beludru itu terbuka. Menampilkan sebuah kalung emas dengan sebuah liontin berbentuk bunga yang penuh dengan permata. Lalu di sebelahnya, ada sebuah cincin juga dengan permata bunga yang cukup besar dan sebuah gelang. Serra yakin, semua perhiasan itu bukan berasal dari toko emas biasa. Serra tahu itu karena kotak itu sendiri sudah membawa nama "diamond" pada nama toko yang terbordir kecil di bawah penutupnya. Lalu, Permata yang ada di hadapan Serra saat ini berkilauan. Ia jamin siapapun yang melihat benda-benda di dalam kotak itu akan terpana. Serra semakin yakin ketika pengakuan dari suaminya meluncur bebas dari bibirnya, "Aku memesannya khusus untukmu. Di toko perhiasan langganan ibu. Kau suka?"Andai Gamma tahu, bahwa Serra lebih dari suka. Dan, Sungguh sampai saat ini Serra masih terngaga. Tidak percaya bila ia akan mendapat sebuah hadiah yang begitu luar biasa dari Gamma,suaminya."Ga—Gamma? Ini .... Untukku?" Serra melontarkan pertanyaan itu untuk Gam
Sepasang kaki jenjang milik Gamma melangkah dengan lebar. Pria itu berusaha menyamakan langkah dengan sang istri yang juga sedang berjalan dengan setengah berlari. Entah apa yang terjadi, Gamma juga belum bisa memastikannya. Tetapi dalam hati putra tunggal Pranadipta itu hanya bisa menebak ada sesuatu yang terjadi dengan Rena – Adik Serra – karena berhubungan dengan rumah sakit. Selain itu, wajah sang istri terlihat bergitu khawatir dan cemas. Bahkan mungkin sampai lupa bila ada sebuah janin yang rentan dalam perutnya yang masih rata. Di sisi lain, Serra masih berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ada dalam kepalanya saat ini adalah segera sampai di rumah sakit, tidak peduli dengan lalu Lalang dan keramaian di koridor restaurant. Beberapa kali Serra juga hampir menabrak seseorang karena tidak fokus. Ya, Wanita itu mendadak kalut Setelah mendapatkan kabar dari madam Lily bahwa sang adik sedang kritis dan kini berada di ruang ICU. “Ra! Serra, tunggu!” teriak Gamma berusaha mengejar sang i
Langkah kaki Serra terhenti ketika sepasang matanya menangkap Seorang pria berkemja putih yang sedang berdiri di depan pintu ruangan bertuliskan ICU. Itu William, adik iparnya. Lelaki itu sedang bersandar pada sebuah dinding berkelir biru muda, kedua tangannya terlipat di depan dada dan kepala mendongak seakan meredam air mata yang sempat jatuh terlalu deras. William seraya mengigit bibirnya sendiri serta menggelengkan kepalanya kea rah Serra dan Gamma. Serra sendiri tidak tahu mengapa tangan kanan suaminya itu berada di tempat ini. Tidak hanya itu saja, penampilan William malam ini terlihat kacau. Mata yang sembab dan berair, juga pakaian kantornya yang terlihat sudah kusut. Tubuh perempuan itu semakin menegang ketika melihat Madam lily sudah duduk dengan keadaan lemas pada sebuah kursi. Tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, tetapi melihat kedua insan di hadapannya saat ini sudah menggambarkan bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat ini kepala Serra hanya berisi pertanya
Gamma mendaratkan tubuhnya pada kursi di samping sebuah brankar berwarna biru muda, tempat dimana Serra — istrinya — berada dengan hati-hati. Sekarang ini Gamma dan Serra sedang berada di Unit Gawat Darurat. Seorang tenaga medis memanggilnya saat sang istri baru saja membuka mata setelah beberapa saat yang lalu sempat tak sadarkan diri. Melihat kondisi Serra saat ini, ulu hatinya terasa sakit bak ditikam belati tajam. Perempuan yang tengah mengandung anaknya itu tergeletak lemas tak berdaya, kedua matanya bengkak dan berair bahkan sampai saat ini masih terus mengeluarkan cairan bening itu.Ia tahu, hati Serra pasti terluka.Di samping perempuan itu sudah berdiri seorang perawat juga seorang dokter yang sedang mengisi sebuah dokumen.Pria yang masih mengenakan sweater berwarna kuning gading itu, berusaha menguntai sebuah senyum. Ia harus lakukan itu untuk memberi dukungan kepada Serra, meski saat ini kepala Gamma terasa mau pecah. Tidak tahu hal yang mana duku yang akan ia lakukan. Pr