“Kamu pulang.”
Prasetyo nyaris terjungkal saking terkejutnya, spontan lelaki itu melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul tiga dini hari, seharusnya Natalia sudah tidur sejak tadi. “Belum tidur?” tanya Prasetyo sembari menutup pintu kamar, tubuhnya terasa lengket. Ia butuh mandi dan menyegarkan tubuh setelah seharian beraktifitas di banyak tempat. “Aku akan mandi dulu.” Natalia sama sekali tidak menjawab, perempuan itu hanya duduk diam di atas ranjang sembari menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan drama dari salah satu stasiun tv ternama. “Kenapa kalian para perempuan sangat menyukai tontonan penuh drama seperti itu?” tanya Prasetyo begitu keluar dari kamar mandi, tubuh lelaki itu masih setengah basah. lelaki itu hanya melapisi tubuhnya dengan bathrobe berwarna hitam. “Cari penyakit.” Cecar lelaki itu lagi begitu adegan di dalam layar menampilkan tokoh utama perempuan yang terisak begitu mengetahui ternyata suaminya memiliki wanita idaman lain. “Menurutmu kenapa?” tanya Natalia tanpa mengalihkan tatapan dari layar. “Tentu saja untuk menyadarkan kami apa yang akan terjadi jika bersikap bodoh saat suami kami benar-benar memiliki wanita idaman lain.” Natalia melirik suaminya begitu lelaki itu tertawa, bagi Prasetyo ucapannya jelas hanya bualan. Lelaki itu sudah sejak awal mengatakan tidak akan pernah bisa setia terhadap pernikahan mereka, sejak awal Prasetyo tidak pernah berjanji bahwa ia adalah satu-satunya. “Apa dia cukup hebat saat di atas ranjang?” tanya Natalia langsung. Prasetyo yang sedang menuangkan vodka ke dalam gelas hanya tersenyum miring, lelaki itu jelas tahu apa yang Natalia maksudkan. Tapi sepertinya Prasetyo lebih senang bermain-main dengan perasaan istrinya, alih-alih memberikan jawaban Prasetyo justru melemparkan pertanyaan yang menyebalkan. “Siapa yang ingin kamu pastikan?” tanya lelaki itu sembari menyesap vodka di dalam gelasnya. Tangan Natalia terkepal, “Ada berapa perempuan sebenarnya?” “Perlukah aku mempertemukan kalian?” tanya Prasetyo santai. Natalia tahu suaminya hanya sedang mempermainkannya, tapi hatinya sudah terlalu panas. Perempuan itu sudah terlalu buta untuk menyadari bahwa bisa saja lelaki itu sedang meledeknya. “Favoritmu pasti Samantha.” Alis Prasetyo terangkat seolah bertanya kenapa Natalia berpikir demikian. “Kamu tidak pernah mengizinkan siapapun menyentuh ponselmu, kamu sendiri yang bilang kalau ponsel adalah barang privasi yang tidak bisa dipegang tanpa izin.” Natalia berusaha sekuat tenaga agar suaranya tidak bergetar. “Tapi kamu mengizinkan Samantha menyentuhnya, perempuan itu bahkan bisa mengangkat panggilan dariku.” Prasetyo kembali menuang vodka ke dalam gelas, gestur lelaki itu sangat santai, duduk di single sofa tidak jauh dari ranjang. Gestur santai itu memancing amarah Natalia, perempuan itu merasa Prasetyo tidak terlalu menanggapinya padahal seharusnya lelaki itu meminta maaf atau minimal berjanji akan membiarkan Natalia memiliki akses ke ponselnya juga, sama seperti apa yang lelaki itu berikan kepada Samantha. “Jadi, apa cukup memuaskan kamu, Mas?” tanya Natalia dengan sinis. “JIka dia memang sehebat itu, kamu yakin hanya kamu satu-satunya lelaki yang menyentuhnya?” Natalia terus mengoceh. “Bagaimana jika saat kamu pergi, perempuan itu mengundang lelaki lain untuk naik ke atas ranjangnya? bagaimana jika-” Ucapan Natalia terhenti karena tiba-tiba saja, Prasetyo naik ke atas ranjang. Lelaki itu mencengkram rambut Natasha hingga membuat perempuan itu harus mengdongkakkan kepala. “Samantha bukan perempuan rendahan seperti kamu, Nat. Dia tidak memerlukan lelaki untuk naik ke level kehidupan yang lebih tinggi.” desis Prasetyo tepat di depan wajah Natalia. “Dia bukan kamu.” Tubuh Natalia gemetar, ia bisa merasakan satu tangan suaminya yang bebas berusaha membuka simpul gaun tidurnya. “Dibandingkan mencemburui Samantha, lebih baik kamu juga berusaha keras agar bisa menjadi perempuan kesayanganku.” Kepala Prasetyo turun, memberi kecupan ringan pada urat-urat leher Natalia yang menonjol. “Layani aku malam ini dan kita lihat, apakah aku akan mengizinkan kamu membuka ponselku saat sarapan nanti.”Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b