"Austin!"
Enam tahun berlalu, kini Zara telah memiliki kehidupan baru. Zoya, begitulah nama barunya. Wanita itu memanggil anak semata wayangnya dari arah dapur. Sarapan telah siap tapi Austin–sang anak, belum juga keluar dari dalam kamarnya.Hari ini adalah hari pertama Austin akan memasuki sekolah taman kanak-kanak. Zoya sangat antusias."Austin!" panggil Zoya sekali lagi dengan suara yang lebih tinggi, tapi nyatanya sama saja, tak nampak sang anak yang berlari menghampiri.Zoya lantas meninggalkan meja makan tersebut dan menghampiri sang anak. Rumah yang mereka tempati sekarang tidak terlalu luas, namun cukup nyaman untuk keduanya dan seorang asisten rumah tangga tempati.Uang 1 miliar milik Zoya dulu kini tak berbekas lagi, namun dia telah berhasil mendapatkan jati diri baru dan wajah yang baru, hidup menjadi Zoya membuat Zara merasa sangat aman. Meski sebenarnya keluarga Floyd masih menjadi momok tersendiri bagi wanita itu.Zoya masih tinggal di kota Servo, namun dia menepi dari hiruk pikuk. Tinggal di pinggiran kota dan membuka sebuah restoran. Satu-satunya keahlian yang dimilikinya hanyalah memasak, karena itulah dia membuka Restoran untuk menyambung hidup. Nasib baik sepertinya sedang berpihak pada Zoya, setelah 4 tahun dia merintis usaha itu kini telah memiliki 10 karyawan tetap. Mengurus bagian dapur, kasir dan pelayanan.Tiba di kamar Austin Zoya melihat bocah tampan itu duduk di tepi ranjang dengan wajah lesu. "Hei, ada apa? Bukankah harusnya hari ini kita bersemangat? Hari ini adalah hari pertamamu sekolah."Wanita itu berujar dengan suaranya yang lembut, dia berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan sang anak.Austin tidak langsung menjawab, bocah berusia 6 tahun itu lebih dulu menatap sang mama dengan lekat. "Teman-temanku pasti akan datang bersama kedua orang tuanya, sementara aku hanya akan datang bersama Mama. Apa aku benar-benar tidak punya Papa?”Selalu saja pertanyaan yang sama tiap kali Austin melewati hari yang penting. Saat ini–ketika hari pertamanya sekolah, setiap tahun saat ulang tahunnya, atau tiap dia bisa melakukan sesuatu hal yang baru. Austin selalu ingin berbagi semua hal itu pada papanya juga, bukan hanya dengan sang mama."Maaf, Austin, tapi papamu sudah meninggal.” Zoya menatap mata sendu sang anak. “Dia memang tidak bisa hadir, tapi percayalah … di atas langit sana, dia sangat bangga padamu."Itu adalah satu-satunya alasan yang bisa digunakan Zoya. Austin mengerucutkan bibirnya. Meski mamanya sudah berulang kali memberitahu sang ayah telah meninggal, tetap saja dia merasa sang mama sedang berbohong. Dia merasa ayahnya masih hidup, tapi entah di mana.“Jika Papa masih hidup, apakah dia akan mengantarku ke sekolah?"Zoya menganggukkan kepalanya cepat. Dia telah terbiasa berbohong pada sang anak, terlebih jika mengenai asal usul mereka. “Tentu saja, karena papa sangat menyayangimu."Namun rupanya, Austine tak kehabisan pertanyaan. Bocah 6 tahun itu kembali mengutarakan pertanyaan yang tak disangka-sangka."Kenapa Mama tidak pernah menulis nama Papa di daftar kedua orang tuaku? Memangnya kalau sudah meninggal tidak dianggap lagi?"“Aduh ….” Zoya menyentuh perutnya dan memasang wajah sakit perut, seolah kelaparan. "Mama sangat lapar, bisakah kita makan dulu baru bicara lagi?"Selain berbohong, kini Zoya pun jadi ahli dalam bersandiwara."Apa benar nama papaku Lewis?" tanya Austin lagi, dia belum puas."Benar, itulah kenapa di akhir namamu ada nama Lewis. Austin Lewis.""Jadi, itu nama belakang? Lalu, siapa nama depan papaku?""Em ... Roland Lewis," celetuk Zoya asal.Austine menyipitkan matanya ke arah Zoya. Dia menjadi semakin curiga melihat gelagat mamanya. "Kenapa menjawab seperti itu saja Mama harus berpikir? Mama pasti bohong!" Bukannya menjelaskan, Zoya justru kembali merespons pertanyaan Austin dengan menggebu-gebu. "Ahh bukan seperti itu, Mama berpikir karena Mama sedang lapar. Kamu yang jahat, membiarkan Mama kelaparan."Sikapnya justru terlihat seperti anak kecil, sementara Austin adalah ayahnya yang berwibawa.Dan mendengar jawaban sang mama tersebut, Austin makin mengerucutkan bibirnya. Dia mana tega membuat mamanya sakit. Selama ini hanya mama Zoya lah yang selalu ada untuknya, menjadi mama dan papa sekaligus. Austin sangat menyayangi mama."Baiklah, ayo kita sarapan.” Meskipun mama berbohong tentang sang papa, dia akan tetap menyayangi ibunya tersebut.Zoya sontak tersenyum lebar. Dia bangkit dan bergidik sendiri, semoga tidak ada pria bernama Roland Lewis di dunia ini.Jam 7 pagi Austin akhirnya telah tiba di sekolah. Dan ternyata benar, semua teman-temannya diantar oleh kedua orang tua mereka masing-masing. Menggandeng ibu dan ayah di sisi kiri dan kanan. Sementara Austin hanya menggandeng mama saja.Zoya kemudian berjongkok untuk memastikan keadaan sang anak. “Hey, ingat apa yang Mama bilang tadi?”Austin mengangguk lemah. Zoya bisa melihat dengan jelas luka yang terbesit di kedua mata sang anak. Tapi Zoya bisa apa? dia juga terpaksa untuk berbohong. Semakin lama Zoya semakin merasa takut jika suatu saat nanti Austin akan pergi meninggalkan dia.Bagaimana jika setelah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang Aland Floyd, Austin jadi enggan untuk hidup dengannya. Karena faktanya dia masih seperti ini saja, tak bisa sehebat keluarga Floyd. Zoya takut, sangat takut.Tiap malam dia selalu diselimuti ketakutan. Selalu memeriksa keluar untuk melihat, jangan sampai Aland ataupun orang suruhannya berhasil menemukan mereka."Masuklah, nikmati hari pertamamu sekolah, ya?"Dia tersenyum lebar, berharap sang anak akan mengukirkan senyum yang sama. Namun yang dia lihat hanyalah senyum kecil dari Austin."Mama membawakanmu banyak ayam goreng untuk bekal. Nanti bagilah dengan temanmu yang lain, ya?" ucap Zoya lagi dan kali ini Austin mengangguk.Bocah berusia 6 tahun itu kemudian memeluk sang ibu sebelum akhirnya dia berjalan untuk memasuki sekolah. Dan setelah melihat Austin masuk, barulah Zoya bisa menghembuskan napasnya lega. Dia harus tetap menyembunyikan kebenaran ini rapat-rapat.‘Maafkan Mama, Austin.’Erile benar-benar menepati ucapannya pada Prisila, pagi ini dia datang ke rumah utama keluarga Floyd dan langsung menghadap pada mama Emma, Aland dan juga Zoya. Sementara si kecil Austin sudah pergi ke sekolahnya."Ya Tuhan, jadi kalian memiliki hubungan. Astaga, Mama senang sekali," ucap mama Emma, kedua matanya sampai berkaca-kaca, ingin menangis saling bahagianya. Jika dulu mungkin mama Emma akan menentang hubungan tersebut, apalagi jika mengingat bagaimana latar belakang Erile yang hanya seorang asisten pribadi.Tapi sekarang semuanya telah benar-benar berubah mama Emma lagi melihat kedudukan seseorang untuk jadi pendamping anak-anaknya. Dia telah banyak belajar, bahwa harta bisa dicari, namun kebahagiaan tak bisa dibeli dengan uang. Jadi kini siapapun yang bisa membahagiakan anak-anaknya, maka akan dia dukung dengan sepenuh hati."Umur kalian sudah matang, lebih baik langsung menikah saja," putus wanita paruh baya tersebut.Zoya sudah terkekeh, lucu sendiri melihat sikap ibu mer
"Erile?!""Sstt!!" kata Prisila, buru-buru dia membekap mulut Zoya agar tidak mengeluarkan suara yang lebih tinggi karena keterkejutannya. Sungguh, tentang hubungannya dengan Erile pun hingga kini masih belum dia percaya juga.Semuanya dimulai saat salju pertama turun di kota Servo. Malam itu dingin sekali, tiba-tiba Erile menggenggam tangannya hingga membuat Prisila marah.Dan yang paling membuatnya terkejut adalah Erile menyatakan cinta, lalu bicara takut kehilangan sebab mama Emma sudah berulang kali membicarakan tentang perjodohannya.Sejak saat itu selalu ada saja cara yang membuat mereka bertemu hingga akhirnya kini keduanya sepakat untuk bersama."Aku tidak akan menjelaskan apapun padamu tentang bagaimana aku dan Erile bisa bersama. Tapi sekarang kami memang sedang menjalin hubungan," jelas Prisila, saat mengatakan itu kedua pipinya sontak berubah jadi merah merona.Selama ini Pricilla adalah wanita yang mandiri dan ketika cinta menyentuh hatinya membuatnya jadi malu sendiri."
Akhir-akhir ini Prisila sangat sibuk, entah sudah berapa lama sejak mama Emma meminta bantuan Zoya untuk menanyakan tentang status anaknya itu. Apakah sekarang Prisila sedang dekat dengan pria atau tidak?Merasa memiliki hutang pada sang mama, jadi malam ini Zoya bertekad untuk bertemu dengan kak Prisila. Jam 9 malam dia hendak keluar dari dalam kamar, padahal sudah hampir 30 menit dia berbaring dengan sang suami. "Aku harus bertemu kak Prisila sekarang Al, besok pagi dia pasti buru-buru pergi ke rumah sakit. Alasanya sedang ada pergantian manajemen," ucap Zoya. "Ya ampun sayang, ini kan sudah malam. Besok saja kita ke rumah sakit kak Prisila, aku akan temani," balas Aland yang tak rela ditinggal sang istri. Padahal mereka masih saling memeluk erat, berbagi kehangatan dari dinginnya cuaca di luar. "Aku mohon sayang, izinkan aku pergi sekarang," mohon Zoya, bahkan menatap penuh permohonan. "Oh my God, kenapa istriku terlihat menggemaskan seperti ini. Aku tidak akan sanggup menolak k
Hari pun bergulir.Dari hari berganti jadi minggu. Tidak disadari oleh semua orang kini hubungan Prisila dan Erile nampak canggung. Sepertinya terjadi sesuatu saat mereka pulang bersama ketika salju pertama turun di kota Servo.Memasuki musim dingin, Zoya juga dilarang pergi ke luar rumah. Namun kali ini mama Emma memenuhi semua kebutuhannya bahkan melimpahkan semua kasih sayang yang dia punya."Zoya, mama baru saja membuat sup. Ayo makan agar tubuhmu hangat," ajak mama Emma, dia datang dari dapur dan menghampiri sang menantu yang sedang berada di ruang tengah.Saat ini waktu masih menunjukkan jam 10 pagi, Austin masih sekolah, Aland pergi ke kantor karena ada beberapa urusan, sementara Prisila juga sudah pergi ke rumah sakit. Jadi di rumah hanya ada mama Emma dan Zoya saja."Tapi aku belum lapar, Ma," jawab Zoya, bukan apa-apa, beberapa saat lalu mama Ema sudah memberinya irisan buah."Tidak apa-apa, sedikiiit saja. Mama akan suapi kamu," balas mama Emma, masih kukuh ingin Zoya makan
Tiba di ruangan sang manager, Prisila dan Erile langsung bertemu dengan seorang wanita yang mengaku bahwa cincin berliannya hilang. Wanita itu masih muda, namun sungguh Prisila tak pernah mengingat pernah mengundang wanita itu dalam pernikahan sang adik.'Siapa yang membawa wanita ini masuk ke dalam pesta.' batin Prisila pula, dia datang dengan sorot matanya yang tajam."Akhirnya kamu datang juga, Aku hanya ingin menuntut ganti rugi tapi kenapa penanganannya buruk sekali seperti ini," ucap wanita tersebut, seseorang bernama Hailey."Maaf Nona, tapi dari rekaman CCTV yang tertangkap sejak Anda masuk ke dalam ballroom anda sudah tidak menggunakan cincin.""Mana CCTVnya? sejak tadi aku ingin melihat rekaman itu tapi kamu terus mengela," balas Hailey pula, tak gentar dengan semua kemauannya. dia harus mendapatkan ganti rugi atas kehilangan ini."Saya tidak menunjukkan CCTV lebih awal karena ingin mendengar kejujuran anda, tapi ternyata anda tetap kukuh dalam kebohongan. Saat rekaman CCTV
Zoya tidak tau harus menjawab apa ucapan suaminya tersebut. Dulu mungkin Zoya akan merasa senang tiap kali melihat penyesalan suaminya seperti ini. Tiap sekarang Zoya sudah tidak seperti dulu lagi, karena kini jadi merasa iba pula jika Aland terus diselimuti oleh perasaan bersalah di masa lalu.Sementara yang Zoya inginkan sekarang adalah mereka sama-sama bahagia, tak lagi terbelenggu dengan masa lalu."Terima kasih, karena kamu masih memberiku kesempatan kedua," kata Aland lagi.Zoya tetap tak tau harus menjawab apa, jadi dari semua ucapan suaminya tersebut hanya dia jawab dengan pelukan yang semakin erat. Zoya bahkan langsung mendongak dan mencium lehih dulu bibir suaminya, ciuman yang langsung disambut oleh Aland.Hingga akhirnya mereka berdua saling berpagut dengan mesra, mengirim cinta yang ada di dalam hati melalui ciuman tersebut.Malam pertama setelah menikah meraka hanya tidur saling memeluk, Aland tak ingin sesuatu hal terjadi pada kandungan sanb istri.**Malam pun bergul