“Sudah 6 tahun, Zara. Apa kamu berhasil melahirkan anak kita?”
Aland berdiri di dekat jendela kaca yang ada di ruang kerjanya, menatap ke depan sana dengan tatapan yang nampak kosong. 6 tahun waktu telah berlalu dan dia belum bisa menemukan Zara beserta anaknya.Separuh hati pria itu kini telah hilang. Aland memang masih hidup, tapi dia seperti mati. Amarah yang dulu membara kini telah redup, ditenggelamkan oleh rasa penyesalan. Kecemasannya bukan hanya tentang buah hatinya, tapi juga Zara.“Apa kalian hidup berkecukupan?”Zara memang membawa uang 1 milyar ketika pergi. Namun, apakah uang tersebut mampu membuat hidup mereka jadi lebih baik? Atau … yang paling menyedihkan di antara itu semua adalah … apakah Zara dan juga anaknya masih hidup? Bagaimana kalau keduanya telah pergi?Aland merasa gamang, kakinya seperti kehilangan tempat berpijak, mengapung di lautan dan tak punya tujuan. Waktu nyaris menjelang malam, namun Aland tetap tak beranjak dari posisinya berdiri. Melihat matahari tenggelam dari lantai 20 kantor utama Floyd Corporation, Aland seperti melihat hidupnya yang suram.“Andai waktu bisa diulang ….”Penyesalan itu terus-terusan menghantui pikiran Aland. Jika saja saat itu Aland mau menerima Zara lebih baik, mereka pasti sudah jadi keluarga yang bahagia. Anak mereka, Calvin Floyd, begitu Aland ingin menamainya, pasti sudah berusia 6 tahun. Tawa bocah itu pasti akan menggema di seluruh penjuru rumah.Aland membuang napasnya kasar, pengandaian yang dia miliki makin membuatnya sesak. Beruntung, khayalan itu tak lama terinterupsi oleh suara sang asisten."Maaf Tuan, ini sudah larut malam, anda ingin pulang atau menginap di sini?"Dia akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri tersebut, berjalan dengan pelan menuju kursi kerja. Tertulis jelas papan nama Aland Floyd sebagai Owner.Aland kembali membuka dokumen tentang penyelidikannya yang terakhir. Zara tidak ditemukan di luar kota mana pun, itu artinya besar kemungkinan wanita itu sebenarnya masih berada di Kota Servo.Jika anak laki-lakinya telah lahir dengan selamat, kini Calvin pasti akan melakukan pendaftaran sekolah taman kanak-kanak. Jadi, Aland menyelidiki semua sekolah yang ada di Kota Servo, melihat foto para pendaftar dan nama kedua orang tuanya.Datanya banyak sekali, dari sebanyak itu data tak ada satupun foto anak yang menyerupai dia, tak ada nama orang tua yang bernama Zara Audie. Namun, Aland masih belum putus asa. Dia akan kembali membaca data itu sekali lagi dengan lebih teliti, meski kemungkinannya berhasil hanya 0,01%."Kamu pergilah, malam ini aku akan mengemudi seorang diri."Erile tentu sangat iba melihat sang Tuan yang berkubang dalam kesedihannya seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? sekuat tenaga dia telah upayakan untuk mencari sang Nyonya, namun tetap saja belum membuahkan hasil apapun. Nyonya Zara bak hilang di telan bumi.Erile tahu, Tuan Aland bekerja keras seperti ini untuk menghukum dirinya sendiri. Untuk menepis rasa takut dan cemas yang mengusik tiap kali mengingat anak dan istri.Erile tentu tak akan membiarkan tuannya bekerja keras sendirian. Untuk itu, dia berjalan mendekati Aland dan membantu membaca dokumen-dokumen itu sekali lagi."Saya akan menunggu anda Tuan.”**Sementara itu di kediaman orangtua Floyd, Mama Emma masih duduk di ruang tengah bersama Prisila, menikmati sepi yang begitu menyiksa."Bagaimana Ma? Apa kata Erile?"Selepas Zara pergi, rumah ini tak sama lagi seperti dulu, kini jadi terasa begitu dingin dan sendu. Mama Emma bahkan selalu jadi bahan pelampiasan amarah Aland. Dulu Zara pergi setelah dia berkata akan memisahkan Zara dengan sang anak. Mama Emma dan Aland yakin bahwa Zara mendengar ucapannya tersebut.Mama Emma mengembuskan napas lesu. "Mereka masih di kantor, sepertinya akan pulang larut malam ... lagi.""Kalau begitu, ayo kita istirahat. Mama tidak boleh tidur terlalu larut malam."Prisila yang merupakan seorang dokter jelas khawatir pada kesehatan mamanya. Apalagi, Mama Emma memiliki penyakit darah tinggi. Tidak baik jika mamanya selalu tidur lewat tengah malam, menunggu Aland pulang."Tapi jika Mama tidur, nanti Aland marah lagi. Biarlah mama menunggu Aland pulang."Prisila membeliakkan matanya. Dia menatap iba pada Mama Emma. "Ya Tuhan, aku tau kita semua bersalah pada Zara, tapi kita juga harus tetap melanjutkan hidup, Ma. Ini sudah 6 tahun, ayo kita lupakan saja!"Prisila tahu, semua orang, terlebih Mama Emma merasa begitu bersalah atas kepergian Zara dan cucu laki-laki pertamanya.Mama Emma menggeleng dan mulai menangis. "Mama tidak mungkin bisa melupakan Zara, Pris. Dia bersama dengan cucu Mama." jawab mama Emma lebih lirih, lengkap dengan tangis yang mengalir tanpa suara.Mama Emma selalu berakhir menangis tiap kali membahas Zara, juga cucu yang entah berhasil dilahirkan atau justru sudah kembali ke pangkuan Tuhan."Bagaimana jika bayi itu tidak selamat–”"Jaga bicaramu! Zara bukan gadis yang lemah, dia pasti melahirkan anak itu dengan selamat!”"Austin!" Enam tahun berlalu, kini Zara telah memiliki kehidupan baru. Zoya, begitulah nama barunya. Wanita itu memanggil anak semata wayangnya dari arah dapur. Sarapan telah siap tapi Austin–sang anak, belum juga keluar dari dalam kamarnya.Hari ini adalah hari pertama Austin akan memasuki sekolah taman kanak-kanak. Zoya sangat antusias. "Austin!" panggil Zoya sekali lagi dengan suara yang lebih tinggi, tapi nyatanya sama saja, tak nampak sang anak yang berlari menghampiri.Zoya lantas meninggalkan meja makan tersebut dan menghampiri sang anak. Rumah yang mereka tempati sekarang tidak terlalu luas, namun cukup nyaman untuk keduanya dan seorang asisten rumah tangga tempati.Uang 1 miliar milik Zoya dulu kini tak berbekas lagi, namun dia telah berhasil mendapatkan jati diri baru dan wajah yang baru, hidup menjadi Zoya membuat Zara merasa sangat aman. Meski sebenarnya keluarga Floyd masih menjadi momok tersendiri bagi wanita itu.Zoya masih tinggal di kota Servo, namun dia menepi dari
"Erile, bukankah anak ini terlihat seperti Zara?"Aland buru-buru memperlihatkan selembar berkas bertuliskan informasi dari seorang murid baru taman kanak-kanak pada Erile. Terdapat sebuah foto berukuran kecil di formulir pendaftaran sekolah taman kanak-kanak, Sekolah yang ada di pinggiran kota Servo, di daerah pantai.Semalaman Aland terus membaca berkas-berkas itu, entah sudah berapa gelas kopi yang dia teguk. Erile juga masih ada di sana dan terjaga semalaman, hingga saat ini waktu sudah menunjukkan jam 5 pagi.Erile segera melihat kertas itu dan memperhatikan secara saksama. Jika diperhatikan lekat-lekat, bocah itu memang terlihat seperti Nyonya Zara. Lebih mencengangkan lagi saat informasi kedua orang tuanya hanya ada nama sang ibu, tapi nama yang tertulis di sana bukan Zara Audie, melainkan Zoya Beatrice."Tapi Tuan, ibunya bukan nyonya Zara, tapi Zoya Beatrice."Erile terpaksa memperjelas tentang hal ini, dia tak ingin sang Tuan berharap terlalu tinggi. Karena jika jatuh, rasan
Di sinilah kini Aland berada, di salah satu restoran yang ada di daerah pesisir tersebut. Masih berada di dalam mobilnya, Aland memperhatikan restoran itu dengan lekat. Cukup banyak pengunjung di jam sore seperti ini. Semua orang di sana bahkan bisa menyaksikan matahari tenggelam secara langsung. Mungkin karena itulah Zoya memberi nama restorannya dengan nama The Sunset Restoran.Aland kemudian memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan masuk ke dalam restoran itu. Sejak semalam belum mengkonsumsi makanan apapun membuatnya hendak makan di sini saja, meski selera makannya tak ada. Tapi setidaknya Aland butuh itu untuk bertahan hidup.Seorang pelayan menyambutnya di pintu masuk, "Mari Tuan, saya akan mengajak Anda menuju kursi yang masih kosong."Aland hanya mengangguk, dia memang kesulitan untuk menemukan kursi. Setelah masuk ternyata lebih banyak pengunjung yang dia lihat."Maaf Tuan, Anda ingin duduk sendiri atau nanti ada teman yang datang?""Sendiri," jawab Aland cukup cepat.Setelah
Aland berulang kali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, melihat waktu yang seolah berjalan begitu lama. Sementara Erile sudah keluar dari dalam mobil ini sejak tadi, Aland telah memerintahkannya untuk mengalihkan perhatian Zoya.Jangan sampai pertemuannya mendapatkan penolakan dari ibu anak tersebut. Sungguh Aland sudah sangat tidak sabar untuk melihat Austin dari dekat, rasanya dia akan segera menemui Zara dan sang anak sekaligus.Seolah 6 tahun waktu pencariannya berakhir hari ini.Ketika Bell tanda pulang di sekolah itu berbunyi, Aland makin melebarkan penglihatannya. Dia lihat jelas Austin yang sudah keluar dan menunggu kedatangan sang ibu, hingga satu persatu temannya meninggalkan sekolah tersebut.Saat Austin sendirian di depan gerbang tersebut, barulah Aland turun dari dalam mobilnya dan menghampiri. Jantungnya berdegup dengan cepat, kedua matanya terasa panas seolah ingin menangis. Sumpah, Austin begitu mirip dengan sang istri.'Zara.'"Ehem!" dehem Aland
Aland tidak sendiri, dia bersama dengan Erile menginap di Flower Homestay. Beberapa kesepakatan telah mereka buat untuk bisa nyaman tinggal di tempat sederhana itu.Erile dilarang memanggil Aland dengan sebutan Tuan, dilarang menyebut nama keluarga Floyd di tempat ini, Aland dan Erile adalah sahabat.Bukan hanya mereka berdua juga yang tinggal di homestay tersebut, tapi ada juga 7 turis yang lain. Rumah Elea mampu menampung hingga 10 turis baik pria ataupun wanita."Dia benar-benar bukan nyonya Zara, Tuan," ucap Erile dengan berbisik, dia juga ikut mengintip pertemuan antara Zoya dan pemilik Homestay tempat mereka menginap.Namun Aland tidak menjawabnya dengan kata-kata, dia justru menatap Erile dengan tatapan yang begitu dingin. Tatapan yang membuat Erile sadar telah melakukan kesalahan, dia menelan ludah kasar."Maafkan aku ... Al," ucap Erile kemudian, lalu menelan ludahnya sendiri dengan susah payah.Kaku sekali lidahnya ketika menyebut sang Tuan hanya dengan nama seperti i
Menjelang jam 4 sore, Zoya mulai bersiap-siap untuk pulang. Dia memang hanya akan berjaga di siang hari saja. Selebihnya Zoya percayakan pada kepala pelayan di sini-Greysa.Masih duduk di kursi kerjanya, Zoya menatap wajahnya di sebuah kaca bulat yang selalu dia bawa di dalam tas. Zoya perhatikan lekat-lekat riasan wajahnya yang masih nampak sempurna. "Tapi lipstik ku sedikit pudar," gumam Zoya, lalu menambahkannya lagi agar terlihat merah merona.Berulang kali dia mengulum bibirnya sendiri untuk menyempurnakan penampilannya tersebut.Zoya benar-benar berusaha untuk jadi orang lain, dia tak ingin bayang-bayang Zara masih melekat di dalam dirinya, gadis lugu yang tak tau apa-apa dan hanya bisa pasrah. Kini Zoya berbeda, dia harus kuat demi sang anak."Cantik," puji Zoya pada dirinya sendiri, begitu percaya diri.Keluar dari ruang kerja itu dia langsung disambut oleh seorang pelayan, "Nyonya, ada telepon, katanya Austin mau kesini.""Loh, kenapa dia kesini? ini aku mau pulang."
'Bagaimana bisa Aland ada di sini dan bersama Austin.' Zoya mendadak membatu di tempatnya berdiri. 'Setelah Zara melahirkan, ambil anakmu dan ceraikan dia. Zara tidak pantas jadi bagian keluarga kita!' kalimat itu kini kembali berdengung dengan jelas di telinga Zara.Gemetar ketakutan yang dulu pernah dia rasakan sekarang kembali mendera lebih dahsyat.Zoya nyaris saja berlari untuk menarik Austin dari pria itu, sebelum akhirnya dia sadar saat mendengar sang pelayan berucap. "Nyonya Zoya, kenapa malah melamun. Ayo kita ke depan," ajak pelayan itu, dia bahkan memeluk lengan Zoya dengan erat. Hubungan Zoya dengan para pelayan di sana memang begitu dekat. Mereka sudah seperti keluarga.Dan panggilan Zoya yang ditujukan untuknya membuat dia sadar, bahwa sekarang ini dia adalah Zoya bukan Zara.Anggaplah Zara sudah mati.Zoya justru tidak boleh gegabah dan berakhir menunjukkan jati diri yang sebenarnya.'Tenang Zoya, tenangkan dirimu, jangan tunjukkan ketakutan mu. Sekarang kamu dan Aland
"Lakukan segala cara agar aku bisa berinteraksi lebih banyak dengan Austin," titah Aland. Dia dan Erile telah keluar dari The Sunset Restoran. Tapi keduanya masih berada di tepi pantai, belum kembali ke Homestay.Melihat Austin yang dibawa pergi menjauh darinya tadi membuat hati Aland kalut. Tim pencari Zara dan sang anak memang masih terus berlanjut, namun hati Aland berat sekali untuk tetap berada di tempat ini."Bagaimana jika anda jadi tenaga pengajar gratis di sekolah Austin?" tawar Erile, hanya itulah satu-satunya ide yang terpikir olehnya. "Jika Anda bersedia, malam ini juga akan saya urus."Aland tidak menjawabnya dengan kata-kata, dia hanya mengangguk kecil. Nyatanya tetap menggunakan kekuatan uang untuk memudahkan semua hal yang dia lakukan di tempat ini.***Semalaman ini Zoya terus memantapkan hati. 6 tahun waktu sudah berlalu dan selama itu pula dia telah hidup sebagai orang lain. Harusnya kini Zoya tak perlu lagi terbayang-bayang tentang masa lalunya.Tidak perlu takut