Share

Bab 3 - Ditenggelamkan Oleh Penyesalan

“Sudah 6 tahun, Zara. Apa kamu berhasil melahirkan anak kita?”

Aland berdiri di dekat jendela kaca yang ada di ruang kerjanya, menatap ke depan sana dengan tatapan yang nampak kosong. 6 tahun waktu telah berlalu dan dia belum bisa menemukan Zara beserta anaknya.

Separuh hati pria itu kini telah hilang. Aland memang masih hidup, tapi dia seperti mati. Amarah yang dulu membara kini telah redup, ditenggelamkan oleh rasa penyesalan. Kecemasannya bukan hanya tentang buah hatinya, tapi juga Zara.

“Apa kalian hidup berkecukupan?”

Zara memang membawa uang 1 milyar ketika pergi. Namun, apakah uang tersebut mampu membuat hidup mereka jadi lebih baik? Atau … yang paling menyedihkan di antara itu semua adalah … apakah Zara dan juga anaknya masih hidup? Bagaimana kalau keduanya telah pergi?

Aland merasa gamang, kakinya seperti kehilangan tempat berpijak, mengapung di lautan dan tak punya tujuan. Waktu nyaris menjelang malam, namun Aland tetap tak beranjak dari posisinya berdiri. Melihat matahari tenggelam dari lantai 20 kantor utama Floyd Corporation, Aland seperti melihat hidupnya yang suram.

“Andai waktu bisa diulang ….”

Penyesalan itu terus-terusan menghantui pikiran Aland. Jika saja saat itu Aland mau menerima Zara lebih baik, mereka pasti sudah jadi keluarga yang bahagia. Anak mereka, Calvin Floyd, begitu Aland ingin menamainya, pasti sudah berusia 6 tahun. Tawa bocah itu pasti akan menggema di seluruh penjuru rumah.

Aland membuang napasnya kasar, pengandaian yang dia miliki makin membuatnya sesak. Beruntung, khayalan itu tak lama terinterupsi oleh suara sang asisten.

"Maaf Tuan, ini sudah larut malam, anda ingin pulang atau menginap di sini?"

Dia akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri tersebut, berjalan dengan pelan menuju kursi kerja. Tertulis jelas papan nama Aland Floyd sebagai Owner.

Aland kembali membuka dokumen tentang penyelidikannya yang terakhir. Zara tidak ditemukan di luar kota mana pun, itu artinya besar kemungkinan wanita itu sebenarnya masih berada di Kota Servo.

Jika anak laki-lakinya telah lahir dengan selamat, kini Calvin pasti akan melakukan pendaftaran sekolah taman kanak-kanak. Jadi, Aland menyelidiki semua sekolah yang ada di Kota Servo, melihat foto para pendaftar dan nama kedua orang tuanya.

Datanya banyak sekali, dari sebanyak itu data tak ada satupun foto anak yang menyerupai dia, tak ada nama orang tua yang bernama Zara Audie. Namun, Aland masih belum putus asa. Dia akan kembali membaca data itu sekali lagi dengan lebih teliti, meski kemungkinannya berhasil hanya 0,01%.

"Kamu pergilah, malam ini aku akan mengemudi seorang diri."

Erile tentu sangat iba melihat sang Tuan yang berkubang dalam kesedihannya seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? sekuat tenaga dia telah upayakan untuk mencari sang Nyonya, namun tetap saja belum membuahkan hasil apapun. Nyonya Zara bak hilang di telan bumi.

Erile tahu, Tuan Aland bekerja keras seperti ini untuk menghukum dirinya sendiri. Untuk menepis rasa takut dan cemas yang mengusik tiap kali mengingat anak dan istri.

Erile tentu tak akan membiarkan tuannya bekerja keras sendirian. Untuk itu, dia berjalan mendekati Aland dan membantu membaca dokumen-dokumen itu sekali lagi.

"Saya akan menunggu anda Tuan.”

**

Sementara itu di kediaman orangtua Floyd, Mama Emma masih duduk di ruang tengah bersama Prisila, menikmati sepi yang begitu menyiksa.

"Bagaimana Ma? Apa kata Erile?"

Selepas Zara pergi, rumah ini tak sama lagi seperti dulu, kini jadi terasa begitu dingin dan sendu. Mama Emma bahkan selalu jadi bahan pelampiasan amarah Aland. Dulu Zara pergi setelah dia berkata akan memisahkan Zara dengan sang anak. Mama Emma dan Aland yakin bahwa Zara mendengar ucapannya tersebut.

Mama Emma mengembuskan napas lesu. "Mereka masih di kantor, sepertinya akan pulang larut malam ... lagi."

"Kalau begitu, ayo kita istirahat. Mama tidak boleh tidur terlalu larut malam."

Prisila yang merupakan seorang dokter jelas khawatir pada kesehatan mamanya. Apalagi, Mama Emma memiliki penyakit darah tinggi. Tidak baik jika mamanya selalu tidur lewat tengah malam, menunggu Aland pulang.

"Tapi jika Mama tidur, nanti Aland marah lagi. Biarlah mama menunggu Aland pulang."

Prisila membeliakkan matanya. Dia menatap iba pada Mama Emma. "Ya Tuhan, aku tau kita semua bersalah pada Zara, tapi kita juga harus tetap melanjutkan hidup, Ma. Ini sudah 6 tahun, ayo kita lupakan saja!"

Prisila tahu, semua orang, terlebih Mama Emma merasa begitu bersalah atas kepergian Zara dan cucu laki-laki pertamanya.

Mama Emma menggeleng dan mulai menangis. "Mama tidak mungkin bisa melupakan Zara, Pris. Dia bersama dengan cucu Mama." jawab mama Emma lebih lirih, lengkap dengan tangis yang mengalir tanpa suara.

Mama Emma selalu berakhir menangis tiap kali membahas Zara, juga cucu yang entah berhasil dilahirkan atau justru sudah kembali ke pangkuan Tuhan.

"Bagaimana jika bayi itu tidak selamat–”

"Jaga bicaramu! Zara bukan gadis yang lemah, dia pasti melahirkan anak itu dengan selamat!”

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Sylvia Imelda Junus
Sarah kamu hebat tau harus gimana bertindak ekhey
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kemaren waktu ngomong apa GK mikir ma
goodnovel comment avatar
siti yulianti
bagaimana klo Prisia d perlakuan sama kyk Zara sama mertua nya situ Nerima GK nek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status