Aku mencubiti kaki ini, menyesali keteledoranku dalam mengendalikannya. Karena pertengkaran yang terjadi barusan, Arum pasti akan mengunci kamar semalaman sehingga aku terpaksa tidur di luar.
Ting
Ponselku tiba-tiba bersuara, menandakan masuknya sebuah pesan. Dengan malas tanganku menggapai benda pipih itu. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya dalam sehari ini, sejak pagi kubiarkan saja benda itu tergeletak di atas meja.
Aku tak berselera menatapnya, karena ponsel canggihku sudah kehabisan data internet. Tak ada lagi yang perlu kuperbuat jika tak bisa berselancar di dunia maya. Aku tidak punya uang untuk membeli datanya, biasanya juga hanya modal hotspot dari ponsel Arum.
Tapi beberapa hari ini, ia tak pernah lagi mengaktifkan hotspot-nya. Maklum, dia 'kan pelit.
Tanpa semangat, kutekan tombol oke untuk membuka pesan yang masuk dari Mbak Rima.
[Mal, jangan banyak alasan. Besok harus kamu bawa uangnya!]
Pesan dari Mbak Rima membuat otakku yang kusut semakin mengkerut. Bagaimana caraku meminta uang itu pada Arum, jika tadi saja ia sudah begitu marah padaku.
Biarlah, aku tidak peduli pada urusan Ibu dan Mbak Rima. Lagi pula, dulu sudah aku larang agar Ibu tidak memberikan surat tanahnya pada Mbak Rima, tapi Ibu malah ngeyel. Ia terus saja berkilah, karena menganggap Mbak Rima dan suaminya lah yang paling berjasa dalam hidupnya.
Kami tiga bersaudara, Mas Firman anak pertama sudah menikah dan merantau di luar kota. Anak sulung keluarga ini sangat jarang pulang ke rumah Ibu, paling mentok paling setahun sekali. Jika hari Raya Idul Fitri.
Yang kedua adalah Mbak Rima, ia menikah dengan Mas Andi yang bekerja sebagai buruh pabrik sarung tangan di kota ini. Mas Andi adalah duda yang memiliki tiga orang anak dari pernikahannya yang terdahulu. Tapi salah satu anaknya ikut bersamanya dan Mbak Rima. Namanya Lila, baru saja tamat SMA. Sedangkan pada pernikahannya dengan Mbak Rima, mereka hanya mempunya seorang anak, yaitu Rayen, bocah berusia lima tahun yang sangat akrab denganku.
Yang ketiga aku, Akmal Syahputra. Menikah dengan Arum karena begitu terpesona dengan kecantikan dan kesederhanaannya. Walau harus bersaing dengan beberapa orang lain, termasuk Zulham. Si lajang tua yang sampai sekarang tidak kunjung menemukan belahan jiwa.
Aku adalah anak terakhir di keluargaku, dulunya aku bekerja di kantor kecamatan, meskipun hanya sebagai pegawai honorer saja. Seiring bertambahnya pegawai negeri, maka pegawai honorer terpaksa diberhentikan, termasuk aku salah satunya.
Selama ini, bukannya aku tidak berusaha mencari pekerjaan lain. Tapi, sangat sulit untuk mencari lowongan di bidang perkantoran. Tentu aku harus bekerja sesuai dengan keahlianku, yaitu berkutat dengan kertas dan laptop seperti dulu.
Beban pikiran yang bersarang di kepala membuat rasa kantuk begitu mudah menyerang. Ditambah lagi udara dingin sisa hujan tadi sore masuk melalui celah-celah jendela. Jika seperti ini, apalagi yang harus kulakukan selain tidur? Tidur adalah jalan ninjaku untuk melepaskan sejenak beban dari dunia nyata. Meskipun masih terlalu dini untuk melakukannya, karena ini baru saja jam sembilan malam.
**
Sudah ada sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor Mbak Rima yang masuk ke ponselku sejak tadi pagi. Pun pesan, entah sudah berapa kali ia kirimkan dengan isi yang sama.
Sementara aku terus saja menonton TV tanpa peduli suara getaran antara ponsel dan meja yang sedang beradu. Aku memang menerapkan mode getar saja pada ponselku.
"Sarapan, Mas!" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Arum hari ini. Walaupun kesal, ia tetap peduli pada isi perutku. Arum tipe perempuan yang gampang ngambek, tapi gampang juga baik. Ia tidak akan menyimpan emosi terlalu lama. Tak peduli semarah apa pun sebelumnya, sikapnya akan kembali normal seiring bergantinya waktu malam menjadi pagi.
Arum menghidangkan dua piring mie goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Sebagai pecinta pedas, Arum menambahkan saus cabai di atas mie miliknya.
Kami sarapan bersama meski tanpa suara.
**
Hari berganti malam, begitu pun sebaliknya. Tidak terasa sudah seminggu sejak kejadian di mana kakiku menendang tangan Arum sehingga ponselnya jatuh. Untungnya, ponsel itu tetap baik-baik saja, tidak ada kerusakan yang parah, hanya layarnya saja yang sedikit retak. Itu pun tidak terlalu mengganggu. Arum juga tidak mempermasalahkan hal itu. Karena kulihat jemarinya masih tetap lihai menulis kata demi kata untuk tulisannya.
Aku penasaran bagaimana Ibu dan Mbak Rima membayar hutang bank mereka. Karena sejak telponnya tidak kuangkat, Mbak Rima tidak pernah lagi menghubungiku. Entah marah atau memang sudah dapat pinjaman dari orang lain, yang jelas aku tenang karena tak ada gangguan dari mereka.
Aku saja bingung memikirkan untuk melunasi hutangku. Mereka malah memintaku untuk melunasi hutangnya. Padahal waktu masih bekerja dulu, setiap kali gajian aku akan mendahulukan memberi uang untuk Ibu, barulah pada Arum.
Orang tuaku sudah berpisah sejak lama saat aku masih duduk di bangku SMP. Ayah sudah menikah lagi, sedangkan Ibu masih betah sendiri agar fokus membesarkan kami.
"Rum, Mas mau ke rumah Ibu, ya!" terangku saat aku baru saja mengantarkan Arum ke tempat kerjanya.
"Oh, ya udah, Mas. Gak papa. Yang penting jangan telat untuk jemput aku, ya!" pintanya seraya meletakkan tasnya di bahu.
"Siap!" Tanganku memberi hormat padanya, menunjukkan bahwa aku siap menuruti apa pun perintahnya.
Arum tersenyum memperhatikan kepergianku, kepalanya digelengkan dua kali ketika aku kembali menarik gas motor di depan kelas Zulham. Entah kenapa, rasanya kebiasaan ini sudah mendarah daging dalam diriku. Tidak mengganggu Zulham, hidupku seperti sayur tanpa garam. Ada saja yang kurang.
Rencananya aku akan membawa sepasang sepatu yang aku beli secara online kemarin. Akan kutawarkan pada Lila, barangkali ia tertarik untuk memberikannya sebagai hadiah pada pacarnya. Lagi pula tidak ada gunanya untukku, selain ternyata tidak sesuai dengan gambar, juga ukurannya terlalu kecil. Padahal aku sudah memilih nomor yang sesuai dengan ukuranku, tapi tetap saja tidak pas di kakiku.
"Lil, mana nenek dan bundamu?" ujarku ketika kulihat Lila sedang berbaring di sofa, matanya sibuk memperhatikan video tutorial make up di ponselnya.
"Nenek dan bunda lagi ke pasar," jawabnya tanpa melihatku. Matanya tetap lekat pada benda berbentuk persegi panjang di tangannya.
"Lihat, ni. Om bawa sepatu bagus banget, cocok nih buat Yoga." Aku menyodorkan sebuah kotak berisi sepatu itu. Lila yang tadinya cuek, mulai memperhatikan kotak tersebut.
Ia membuka kotak berwarna hitam itu, matanya menyipit melihat setiap detail bagian sepatu.
"Om beli online, tapi kekecilan. Gantiin, dong!" jelasku lagi tanpa menunggu pertanyaan dari Lila.
Lila ini sangat bucin kepada pacarnya yang seorang pengusaha daging itu. Meskipun bau prengus, tapi Yoga banyak duit dan sangat royal pada Lila. Itulah yang membuat Mbak Rima tidak mempermasalahkan hubungan antara gadis berusia tujuh belas tahun dengan pria dua puluh lima tahun tersebut. Semua tentang uang.
"Ya, udah. Nanti aku minta uang dulu sama bunda," ucapnya meletakkan kotak sepatu itu ke bawah meja. Lantas, ia kembali memperhatikan video tutorial make up yang diperagakan oleh seorang youtuber cantik.
Tak lama, Mbak Rima dan Ibu tiba sambil membawa banyak belanjaan. Ada sebuah dus di bagian depan motor, sementara Ibu memegang dua kantong plastik besar di kedua tangannya.
"Mal, bantu dong!" teriak Mbak Rima yang tampak begitu kesulitan untuk turun setelah mematikan mesin motornya.
Aku pun gegas berlari menghampirinya, kuambil dua bungkusan yang terasa berat di tangan Ibu, lalu menurunkan dus yang sebagian sisinya sudah penyok ke dapur.
"Banyak banget belanjanya, dapat rezeki nomplok, ya?" gurauku, memperhatikan isi dua bungkusan yang tergeletak di lantai. Semua berisi ikan, sayuran dan berbagai keperluan dapur.
Sedangkan yang di dalam dus berisi aneka makanan dan minuman kemasan.
"Iya, Mal. Mbak mu lagi banyak uang." Ibu menyahut.
"Kamu kenapa ke sini? Masih ingat sama kami?" celetuk Mbak Rima, ia mulai mengeluarkan isi belanjaan dalam dus.
"Aku ke sini karena rindu dengan Ibu, sekalian mau jual sepatuku sama Lila?"
"Hah, jual sepatu? Sudah gak mau lagi istrimu itu ngasih uang?" omel Mbak Rima.
Aku diam, karena memang begitu adanya. Arum tidak lagi royal padaku.
Memberi uang rokok juga pas-pasan. Jatahku hanya tiga batang sehari.
"Nih, Mbak kasi uang tiga ratus ribu. Cukup untuk rokokmu seminggu. Gak perlu lah ngemis sama Arum itu, lama-lama semakin belagu aja dia!" Mbak Arum memberiku enam lembar uang lima puluh ribu. Meletakkannya tepat di hadapanku.
"Serius, Mbak? Makasih ya, aku gak kebingungan lagi deh kalau mau jajan," ucapku kegirangan. Selain rokok, tentu aku juga butuh camilan. Sate dan jagung bakar misalnya.
"Tuh, makanya nurut sama Mbak mu ini. Mbak ini baik, gak seperti istrimu. Sekarang kamu nyesel 'kan? Coba dulu kamu ikutin saran Mbak untuk nikah sama Firda, pasti sekarang hidup kamu enak." Mbak Rima memuji dirinya, kemudian mengingatkan kembali pada Firda, gadis yang pernah dijodohkan padaku. Anak seorang pengusaha minyak wangi, sekaligus agen kendaraan bekas di kota ini.
"Mbak dapat duit banyak dari mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau mengungkit tentang masa lalu itu. Ketika Mbak Firda begitu ngotot agar aku menikah dengan Firda, bukan Arum.
Sambil membantu Mbak Rima, Ibu menerangkan panjang lebar, membuat hilang rasa penasaranku.
Ternyata, Mas Andi dapat pinjaman dari bosnya, uang itulah yang digunakan untuk bayar hutang bank yang tertunggak dan membeli mobil second yang terparkir di halaman belakang. Walau sudah bekas, tapi kendaraan itu masih sangat mulus.
Pembayaran dilakukan dengan memotong gaji Mas Andi pada setiap bulannya.
Aku tidak tahu berapa persisnya nominal pinjaman mereka, jika uang itu bisa digunakan untuk membeli mobil bekas, artinya bisa sampai puluhan juta.
"Terus, makanan banyak gini untuk apa?" tanyaku heran sebab melihat banyaknya bahan makanan yang hendak diolah Mbak dan Ibuku.
"Untuk Firda," jawab mereka serentak.
Hah, Firda?
Hah, Firda? Aku melongo, dengan tampang bingung dan tak percaya. Setahuku gadis itu sedang kuliah di Ibu kota, meneruskan pendidikannya di sana bersama sepupunya."Firda udah selesai kuliahnya dan besok dia mau ke sini, mau silaturahmi katanya." Mbak Rima menjawab, seakan mengerti arti mimik wajahku."Kamu besok ke sini, ya. Temani kami ngobrol-ngobrol sama dia. Siapa tahu nanti kalian bisa ...." ucap Mbak Rima terhenti."Bisa apa, Mbak?""Ah, enggak. Bisa kerja sama, soalnya Firda mau buka bisnis baru di sini." Mbak Rima cengengesan, disambut tawa renyah dari Ibuku.Ah, ada-ada saja keluargaku ini. Hanya untuk kedatangan Firda mereka menyiapkan makanan sebanyak ini. Seperti tamu spesial saja. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Artinya setengah jam lagi Arum akan pulang. Aku pun bergegas pamit pada Ibu dan Mbak Rima, menaiki kuda besi bututku untuk membelah jalanan aspal di depanku.**"Dek, Ibu kamu ngapain ke sini?" tanyaku karena sehabis magrib Ib
Arum sudah sangat keterlaluan. Bisanya hanya mengungkit kejadian yang telah lewat. Menghilangkan perjuanganku sebagai kepala keluarga selama menikah hanya karena aku tidak bekerja lagi. Awas saja akan kubuktikan padanya bahwa aku bisa membayar hutangku, tanpa bantuan darinya. Aku menaiki motorku menuju rumah Ibu. Ke mana lagi kalau bukan ke sana? Rumah ibulah yang selalu membuatku tenang dan merasa nyaman. Tak aku pikirkan bagaimana Arum nanti pergi kerja, mau jalan kaki atau menumpang pada orang lain, bukanlah urusanku. Biar ia rasakan sendiri akibat dari melawan suami.Ketika tiba di rumah Ibu, kulihat ada sebuah mobil berwarna merah terparkir di sana. Namun, seperti tidak asing bagiku, seolah aku pernah melihatnya.Aku masuk melalui pintu belakang, mengintip dari dapur siapa kiranya tamu yang sedang bertandang ke rumah Ibu. Tidak kelihatan, hanya suaranya saja yang terdengar mendayu-dayu."Hayo, ngapain kamu?" Suara Mbak Rima sangat mengagetkanku. Jantungju seperti hendak lompat d
POV Arum( Flashback setahun yang lalu ) Perkenalkan namaku Arum Nur Haziza, orang-orang biasa memanggilku Arum. Umurku baru menginjak dua puluh empat tahun ketika aku mengandung anak pertamaku. Buah cinta pernikahanku dengan Mas Akmal, pria yang telah menikahiku dua tahun yang lalu.Ibu mertua awalnya baik padaku. Namun, perlahan ia mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya seiring gesekan dari Mbak Rima yang semakin hari berusaha mendominasi Ibu.Sejak pertama Mas Akmal mengenalkan aku pada keluarganya, sudah bisa kutebak gelagat Mbak Rima yang sepertinya kurang menyukaiku. Kata Mas Akmal karena saat itu ia pun sedang menjodohkan adiknya itu dengan perempuan lain. Tapi, Mas Akmal menolak dan lebih memilihku, gadis kampung sederhana ini.Awalnya, aku merasa bahagia dinikahi oleh Mas Akmal yang keluarganya terkenal sebagai orang yang berada. Walau tidak mempunyai mobil, tapi rumah mereka sangat besar dan mereka dikenal sebagai keluarga yang punya banyak tanah. Walau sebenarnya, aku t
Esoknya kami ke sana dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan dua kamar yang memang dikontrakkan karena sang pemilik rumah sudah pindah ke kota. Empat juta untuk pertahunnya, dan kurasa itu tidak menguras kantong terlalu dalam.Malam itu, aku dan Mas Akmal bermaksud untuk menyampaikan keinginan kami untuk pindah ke kontrakan. Rencananya kami akan mulai pindah hari Minggu. Tentunya saat Mas Akmal libur kerja."Kenapa harus pindah, Mal? Rumah ini sudah cukup besar untuk kalian." Ibu terlihat tidak senang dengan keinginan kami."Kami pindah supaya Arum tidak terlalu capek karena bolak-balik melewati jalanan yang rusak, Bu," ucap Mas Akmal pelan, kusambut dengan anggukan penuh harap."Kalau kamu pergi Ibu sama siapa, dong?" Wajah Ibu hampir menangis. Ia tidak lagi peduli pada sinetron yang sedang ditontonnya."Kan ada Mbak Rima, ada Lila juga," bujuk Mas Akmal tersenyum manis ke arah Ibu. Meskipun bukan cucu kandungnya, tapi Lila sangat akrab dengan Ibu. Gadis itu sering menginap dan t
Pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi di antara kami. Terlebih kini Mas Akmal sudah menganggur lebih dari enam bulan. Pun meninggalkan hutang yang tidak sedikit. Pernah kutawarkan modal pada Mas Akmal agar ia membuka bengkel saja di rumah, daripada hanya menghabiskan waktu tak karuan dengan merokok dan bermain-main di rumah Ibunya. Tapi ia menolak, alasannya karena ia gengsi dengan gelar sarjananya dan lebih suka kerja di kantoran. Entahlah, kurasa ia terlalu pemilih atau memang sudah keenakan karena istrinya sudah memiliki penghasilan yang besar.Memang kini aku sudah punya penghasilan yang lumayan, berkat kegigihanku menulis di beberapa platform kepenulisan berbayar. Setiap bulan aku bisa mengantongi jutaan sampai puluhan juta. Dan tentu uang itu aku gunakan untuk mencicil hutang suamiku.Sebenarnya aku punya lebih banyak uang dari yang ia ketahui. Tapi aku tidak ingin mengatakan padanya, nanti Mas Akmal malah tambah keenakan. Ini saja sudah membuat Ibu dan Mbak Rima berkali-
"Rum, aku pinjam uangmu dulu tiga juta. Ibu sakit, itu untuk biaya beli obat!" pinta Mas Akmal saat kami baru saja selesai makan malam. Wajahnya begitu sedih dan kebingungan. Pantas saja ia makan sedikit sekali malam ini, bahkan makanannya masih bersisa di piring."Hah, Ibu sakit? Sakit apa, Mas?" Aku tercengang karena setahuku Ibu tidak punya riwayat penyakit apa pun. Paling hanya sering pusing dan sakit kepala, itu pun jika sudah masuk tempo pembayaran hutang."Ibu menderita diabetes. Dia harus rutin cek gula dan mengkonsumsi obat-obatan agar tidak semakin parah," keluhnya begitu khawatir. Mas Akmal sangat dekat dengan Ibunya, wajar jika ia begitu cemas, bahkan lebih cemas daripada melihat aku yang sakit.Aku memang sering mendengar orang-orang seusia Ibu menderita penyakit diabetes, bahkan beberapa penderita yang penyakitnya sudah parah maka penglihatannya akan terganggu. Biasanya mata mereka akan mengalami penurunan dan tubuh juga semakin kurus. Bahkan beberapa anggota tubuh yang
Sebelum azan subuh, aku sudah bangun untuk memasak dan merapikan rumah. Karena hanya sendirian di rumah, aku memasak nasi goreng untukku dan hanya untuk porsi sekali makan saja. Seperti biasa, aku hanya menanak nasi dan untuk makan siang aku akan membeli lauk saja di warung langgananku.Kupercepat kegiatanku memasak saat suara azan subuh berkumandang dari satu-satunya masjid di desa ini. Kusucikan anggota tubuh dengan air wudhu untuk segera menunaikan ibadah dua rakaat tersebut.Kuhamparkan sajadah ke arah kiblat lalu memulai shalatku dengan khusyu'. Kemudian melangitkan doa untuk orang tuaku dan kesembuhan bagi Ibu mertuaku. Berharap Sang Maha Kuasa mendengar doaku dan segera mengabulkannya. Di tangan-Nya lah bergantung setiap makhluk yang bernyawa, Ialah satu-satunya tempat yang diharapkan untuk mengangkat penyakit yang diderita Ibu mertuaku.Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk menyantap sarapan pagiku yang masih hangat, kunikmati sendirian bertemankan segelas susu hamil rasa va
"Rum, bangunlah Rum!" Samar kudengar seseorang memanggil namaku dan menepuk bahuku beberapa kali. Aroma minyak kayu putih menyengat ke hidung. Sepertinya seseorang telah mengoleskan begitu banyak ke area hidungku, sampai bibir atasku terasa panas.Ruangan ini sangat asing bagiku. Kucoba untuk memutar kembali ingatan kenapa aku berada di sini, aku melihat Mas Akmal sedang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang di acara peresmian showroomnya. Tapi, kenapa aku malah terbaring di sini? Apa aku bermimpi?"Arum, kamu udah sadar?" ucap suara yang sangat kukenal, ia adalah Mas Akmal, suamiku. Kukedipkan mata beberapa kali untuk menajamkan pandangan. Memperjelas kembali kejadian dalam mimpi yang terasa nyata."Mas, kita di mana?" tanyaku seraya memegangi kepala yang terasa berdenyut."Uhm, kamu kok bisa ke sini sih, Rum?"Bukannya menjawab. Ia malah balik bertanya.Aku kini berada di sebuah ruangan yang mirip kantor. Ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya terdapat sebuah laptop.