Share

Bab 6 Hutang Baru

Aku mencubiti kaki ini, menyesali keteledoranku dalam mengendalikannya. Karena pertengkaran yang terjadi barusan, Arum pasti akan mengunci kamar semalaman sehingga aku terpaksa tidur di luar.

Ting

Ponselku tiba-tiba bersuara, menandakan masuknya sebuah pesan. Dengan malas tanganku menggapai benda pipih itu. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya dalam sehari ini, sejak pagi kubiarkan saja benda itu tergeletak di atas meja. 

Aku tak berselera menatapnya, karena ponsel canggihku sudah kehabisan data internet. Tak ada lagi yang perlu kuperbuat jika tak bisa berselancar di dunia maya. Aku tidak punya uang untuk membeli datanya, biasanya juga hanya modal hotspot dari ponsel Arum.

Tapi beberapa hari ini, ia tak pernah lagi mengaktifkan hotspot-nya. Maklum, dia 'kan pelit.

Tanpa semangat, kutekan tombol oke untuk membuka pesan yang masuk dari Mbak Rima.

[Mal, jangan banyak alasan. Besok harus kamu bawa uangnya!]

Pesan dari Mbak Rima membuat otakku yang kusut semakin mengkerut. Bagaimana caraku meminta uang itu pada Arum, jika tadi saja ia sudah begitu marah padaku. 

Biarlah, aku tidak peduli pada urusan Ibu dan Mbak Rima. Lagi pula, dulu sudah aku larang agar Ibu tidak memberikan surat tanahnya pada Mbak Rima, tapi Ibu malah ngeyel. Ia terus saja berkilah, karena menganggap Mbak Rima dan suaminya lah yang paling berjasa dalam hidupnya.

Kami tiga bersaudara, Mas Firman anak pertama sudah menikah dan merantau di luar kota. Anak sulung keluarga ini sangat jarang pulang ke rumah Ibu, paling mentok paling setahun sekali. Jika hari Raya Idul Fitri.

Yang kedua adalah Mbak Rima, ia menikah dengan Mas Andi yang bekerja sebagai buruh pabrik sarung tangan di kota ini. Mas Andi adalah duda yang memiliki tiga orang anak dari pernikahannya yang terdahulu. Tapi salah satu anaknya ikut bersamanya dan Mbak Rima. Namanya Lila, baru saja tamat SMA. Sedangkan pada pernikahannya dengan Mbak Rima, mereka hanya mempunya seorang anak, yaitu Rayen, bocah berusia lima tahun yang sangat akrab denganku.

Yang ketiga aku, Akmal Syahputra. Menikah dengan Arum karena begitu terpesona dengan kecantikan dan kesederhanaannya. Walau harus bersaing dengan beberapa orang lain, termasuk Zulham. Si lajang tua yang sampai sekarang tidak kunjung menemukan belahan jiwa.

Aku adalah anak terakhir di keluargaku, dulunya aku bekerja di kantor kecamatan, meskipun hanya sebagai pegawai honorer saja. Seiring bertambahnya pegawai negeri, maka pegawai honorer terpaksa diberhentikan, termasuk aku salah satunya.

Selama ini, bukannya aku tidak berusaha mencari pekerjaan lain. Tapi, sangat sulit untuk mencari lowongan di bidang perkantoran. Tentu aku harus bekerja sesuai dengan keahlianku, yaitu berkutat dengan kertas dan laptop seperti dulu.

Beban pikiran yang bersarang di kepala membuat rasa kantuk begitu mudah menyerang. Ditambah lagi udara dingin sisa hujan tadi sore masuk melalui celah-celah jendela. Jika seperti ini, apalagi yang harus kulakukan selain tidur? Tidur adalah jalan ninjaku untuk melepaskan sejenak beban dari dunia nyata. Meskipun masih terlalu dini untuk melakukannya, karena ini baru saja jam sembilan malam.

**

Sudah ada sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor Mbak Rima yang masuk ke ponselku sejak tadi pagi. Pun pesan, entah sudah berapa kali ia kirimkan dengan isi yang sama.

Sementara aku terus saja menonton TV tanpa peduli suara getaran antara ponsel dan meja yang sedang beradu. Aku memang menerapkan mode getar saja pada ponselku.

"Sarapan, Mas!" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Arum hari ini. Walaupun kesal, ia tetap peduli pada isi perutku. Arum tipe perempuan yang gampang ngambek, tapi gampang juga baik. Ia tidak akan menyimpan emosi terlalu lama. Tak peduli semarah apa pun sebelumnya, sikapnya akan kembali normal seiring bergantinya waktu malam menjadi pagi.

Arum menghidangkan dua piring mie goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Sebagai pecinta pedas, Arum menambahkan saus cabai di atas mie miliknya.

Kami sarapan bersama meski tanpa suara.

**

Hari berganti malam, begitu pun sebaliknya. Tidak terasa sudah seminggu sejak kejadian di mana kakiku menendang tangan Arum sehingga ponselnya jatuh. Untungnya, ponsel itu tetap baik-baik saja, tidak ada kerusakan yang parah, hanya layarnya saja yang sedikit retak. Itu pun tidak terlalu mengganggu. Arum juga tidak mempermasalahkan hal itu. Karena kulihat jemarinya masih tetap lihai menulis kata demi kata untuk tulisannya.

Aku penasaran bagaimana Ibu dan Mbak Rima membayar hutang bank mereka. Karena sejak telponnya tidak kuangkat, Mbak Rima tidak pernah lagi menghubungiku. Entah marah atau memang sudah dapat pinjaman dari orang lain, yang jelas aku tenang karena tak ada gangguan dari mereka.

Aku saja bingung memikirkan untuk melunasi hutangku. Mereka malah memintaku untuk melunasi hutangnya. Padahal waktu masih bekerja dulu, setiap kali gajian aku akan mendahulukan memberi uang untuk Ibu, barulah pada Arum.

Orang tuaku sudah berpisah sejak lama saat aku masih duduk di bangku SMP. Ayah sudah menikah lagi, sedangkan Ibu masih betah sendiri agar fokus membesarkan kami.

"Rum, Mas mau ke rumah Ibu, ya!" terangku saat aku baru saja mengantarkan Arum ke tempat kerjanya.

"Oh, ya udah, Mas. Gak papa. Yang penting jangan telat untuk jemput aku, ya!" pintanya seraya meletakkan tasnya di bahu.

"Siap!" Tanganku memberi hormat padanya, menunjukkan bahwa aku siap menuruti apa pun perintahnya.

Arum tersenyum memperhatikan kepergianku, kepalanya digelengkan dua kali ketika aku kembali menarik gas motor di depan kelas Zulham. Entah kenapa, rasanya kebiasaan ini sudah mendarah daging dalam diriku. Tidak mengganggu Zulham, hidupku seperti sayur tanpa garam. Ada saja yang kurang.

Rencananya aku akan membawa sepasang sepatu yang aku beli secara online kemarin. Akan kutawarkan pada Lila, barangkali ia tertarik untuk memberikannya sebagai hadiah pada pacarnya. Lagi pula tidak ada gunanya untukku, selain ternyata tidak sesuai dengan gambar, juga ukurannya terlalu kecil. Padahal aku sudah memilih nomor yang sesuai dengan ukuranku, tapi tetap saja tidak pas di kakiku. 

"Lil, mana nenek dan bundamu?" ujarku ketika kulihat Lila sedang berbaring di sofa, matanya sibuk memperhatikan video tutorial make up di ponselnya.

"Nenek dan bunda lagi ke pasar," jawabnya tanpa melihatku. Matanya tetap lekat pada benda berbentuk persegi panjang di tangannya.

"Lihat, ni. Om bawa sepatu bagus banget, cocok nih buat Yoga." Aku menyodorkan sebuah kotak berisi sepatu itu. Lila yang tadinya cuek, mulai memperhatikan kotak tersebut.

Ia membuka kotak berwarna hitam itu, matanya menyipit melihat setiap detail bagian sepatu.

"Om beli online, tapi kekecilan. Gantiin, dong!" jelasku lagi tanpa menunggu pertanyaan dari Lila.

Lila ini sangat bucin kepada pacarnya yang seorang pengusaha daging itu. Meskipun bau prengus, tapi Yoga banyak duit dan sangat royal pada Lila. Itulah yang membuat Mbak Rima tidak mempermasalahkan hubungan antara gadis berusia tujuh belas tahun dengan pria dua puluh lima tahun tersebut. Semua tentang uang. 

"Ya, udah. Nanti aku minta uang dulu sama bunda," ucapnya meletakkan kotak sepatu itu ke bawah meja. Lantas, ia kembali memperhatikan video tutorial make up yang diperagakan oleh seorang youtuber cantik.

Tak lama, Mbak Rima dan Ibu tiba sambil membawa banyak belanjaan. Ada sebuah dus di bagian depan motor, sementara Ibu memegang dua kantong plastik besar di kedua tangannya.

"Mal, bantu dong!" teriak Mbak Rima yang tampak begitu kesulitan untuk turun setelah mematikan mesin motornya.

Aku pun gegas berlari menghampirinya, kuambil dua bungkusan yang terasa berat di tangan Ibu, lalu menurunkan dus yang sebagian sisinya sudah penyok ke dapur.

"Banyak banget belanjanya, dapat rezeki nomplok, ya?" gurauku, memperhatikan isi dua bungkusan yang tergeletak di lantai. Semua berisi ikan, sayuran dan berbagai keperluan dapur.

Sedangkan yang di dalam dus berisi aneka makanan dan minuman kemasan.

"Iya, Mal. Mbak mu lagi banyak uang." Ibu menyahut.

"Kamu kenapa ke sini? Masih ingat sama kami?" celetuk Mbak Rima, ia mulai mengeluarkan isi belanjaan dalam dus.

"Aku ke sini karena rindu dengan Ibu, sekalian mau jual sepatuku sama Lila?"

"Hah, jual sepatu? Sudah gak mau lagi istrimu itu ngasih uang?" omel Mbak Rima.

Aku diam, karena memang begitu adanya. Arum tidak lagi royal padaku.

Memberi uang rokok juga pas-pasan. Jatahku hanya tiga batang sehari.

"Nih, Mbak kasi uang tiga ratus ribu. Cukup untuk rokokmu seminggu. Gak perlu lah ngemis sama Arum itu, lama-lama semakin belagu aja dia!" Mbak Arum memberiku enam lembar uang lima puluh ribu. Meletakkannya tepat di hadapanku.

"Serius, Mbak? Makasih ya, aku gak kebingungan lagi deh kalau mau jajan," ucapku kegirangan. Selain rokok, tentu aku juga butuh camilan. Sate dan jagung bakar misalnya.

"Tuh, makanya nurut sama Mbak mu ini. Mbak ini baik, gak seperti istrimu. Sekarang kamu nyesel 'kan? Coba dulu kamu ikutin saran Mbak untuk nikah sama Firda, pasti sekarang hidup kamu enak." Mbak Rima memuji dirinya, kemudian mengingatkan kembali pada Firda, gadis yang pernah dijodohkan padaku. Anak seorang pengusaha minyak wangi, sekaligus agen kendaraan bekas di kota ini.

"Mbak dapat duit banyak dari mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau mengungkit tentang masa lalu itu. Ketika Mbak Firda begitu ngotot agar aku menikah dengan Firda, bukan Arum.

Sambil membantu Mbak Rima, Ibu menerangkan panjang lebar, membuat hilang rasa penasaranku. 

Ternyata, Mas Andi dapat pinjaman dari bosnya, uang itulah yang digunakan untuk bayar hutang bank yang tertunggak dan membeli mobil second yang terparkir di halaman belakang. Walau sudah bekas, tapi kendaraan itu masih sangat mulus.

Pembayaran dilakukan dengan memotong gaji Mas Andi pada setiap bulannya.

Aku tidak tahu berapa persisnya nominal pinjaman mereka, jika uang itu bisa digunakan untuk membeli mobil bekas, artinya bisa sampai puluhan juta.

"Terus, makanan banyak gini untuk apa?" tanyaku heran sebab melihat banyaknya bahan makanan yang hendak diolah Mbak dan Ibuku.

"Untuk Firda," jawab mereka serentak.

Hah, Firda? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status