Share

Bab 5 Gara-gara Kaki

“Brum ... brum ... brum!”

Suara motor Akmal terdengar sangat bising. Karena sudah terbiasa, akhirnya Zulham hanya menoleh sekilas, lalu kembali berkutat dengan buku di tangannya.

Sok cool banget gayanya! Gerutu Akmal geram.

Lelaki yang sudah menganggur selama setengah tahun itu melajukan motor menuju warung langganannya, membeli sebungkus rokok untuk persediaan. Walaupun pengangguran, kebiasaannya masih sama seperti dulu, membeli sebungkus rokok sekaligus karena ia paling anti dengan rokok ketengan. Gengsi, dong!

“Bu, rokok, ya, sebungkus!” ucap Akmal pongah, tangannya merogoh kantong celana untuk mengambil uang yang diberikan Arum tadi.

Akmal terenyak, saat tangannya malah meraba secarik kertas yang licin, tidak kasar layaknya tekstur uang kertas biasa.

Benar saja, saat ia tarik, kertas yang terasa licin tadi bukanlah selembar uang, melainkan secarik kertas origami berwarna merah.

“Ini, rokoknya,” ucap bu Nur, pemilik warung bercat dominan putih dan merah itu. Tangannya menyodorkan sebungkus rokok pesanan Akmal ke atas etalase kaca di depannya.

“Iya, sebentar, Bu.”

Akmal mencoba merogoh seluruh bagian saku celananya. Barangkali celananya bolong sehingga uang yang diberi Arum tadi jatuh. Akan tetapi, hingga ia menarik bagian dalam saku itu keluar, tidak ada yang salah di sana. Celananya masih bagus dan tidak robek sedikit pun.

“Jadi Arum tadi hanya memasukkan kertas ini ke kantongku?” lirih Akmal meringis. Matanya masih lekat memandangi kertas yang dilipat empat oleh Arum.

Penasaran, ia pun membuka kertas itu. Berharap jika uang itu diselipkan Arum di dalamnya. Meskipun rasanya tidak masuk akal, karena Arum tidak pernah melakukan hal itu selama ini. Akan tetapi, apa pun yang tidak masuk akal akan terasa logis bila dalam keadaan kepepet seperti ini.

Kedua mata Akmal seakan hendak melompat saat mendapati sebuah tulisan yang seluruhnya berhuruf kapital dan ia yakini adalah tulisan tangan sang istri.

‘HISAP SAJA DAUN PISANG, MAS. UANGKU SUDAH HABIS UNTUK MEMBAYAR PAKETMU TADI’

Ya ampun, Arum.

Akmal sungguh tidak menyangka jika wanita yang dulunya penurut itu, berani memperlakukan dirinya seperti ini.

Sepertinya Arum memang sudah benar-benar kehilangan rasa hormatnya pada sang suami. Walaupun Semestinya sebagai seorang istri, ia harus lah tetap memperlakukan Akmal dengan baik, mau bagaimana pun keadaannya. Walau saat ini ia tidak lagi bekerja, tapi Akmal tetaplah suami yang harus selalu dihormati. Seperti itu lah kira-kira ungkapan protes dari dalam pikiran Akmal.

Ia meremas kuat kertas berukuran segi empat di tangannya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Akmal tidak mungkin membuangnya di sekitar sana, jika orang lain tahu, mereka akan menertawakan dirinya.

Ia akan menanyakan pada Arum apa maksudnya melakukan ini jika pulang nanti.

Entah bagaimana cara Akmal membayar rokok itu, sementara dirinya sama sekali tidak punya uang. Mana mungkin dirinya berhutang sementara yang Bu Nur tahu, ia adalah pria mapan yang selalu berdompet tebal.

Untungnya ... ada uang lima ribu rupiah yang sedang tergeletak di bawah kolong steling warung ini. Meski tidak tahu milik siapa, yang pasti uang itu kini sudah menjadi milik Akmal.

Akmal bertindak secepat mungkin. Ia menjepit kertas berwarna coklat itu dengan jemari kakinya, lalu dengan sekali gerakan, ia angkat kaki kanannya ke belakang, lalu tangannya dengan sigap mengambil uang itu agar tidak ada yang melihat aksinya.

Akmal menarik napas kasar lalu melepaskannya perlahan. Ia merasa beruntung karena saat itu, Bu Nur sedang melayani pembeli lain. Sehingga ia tidak begitu memperhatikan tingkah Akmal. Lagi pula, rokok itu belum berada di tangannya.

“Tuh, rokokmu, Mal,” imbuh bu Nur lagi, dagunya menunjuk pada sekotak rokok yang tergeletak di atas etalase.

“Bu, aku lupa bawa dompet. Rokok ketengan saja, lah!”

Akmal berkelit, tentu gengsi jika mengatakan hal yang sebenarnya.

“Hah, tidak salah?”

Bu Nur melongo, mata dan mulutnya membulat secara bersamaan. Sebab, baru pertama kalinya dalam sejarah seorang Muhammad Akmal membeli rokok ketengan.

Biar lah, kali ini ia rela hanya membeli tiga batang rokok yang dihargai lima ribu saja. Daripada mulutnya terasa pahit karena tak menghisap apa pun sejak pagi.

Ia pun berencana untuk tidak menjemput Arum pulang sore ini, supaya ia sadar kalau Akmal sedang marah karena perbuatannya.

Akmal sedang duduk di teras rumah sambil menghisap sebatang rokok yang masih tersisa. Menikmati udara sore yang dingin dengan memandangi pias cahaya berwarna-warni di atas langit. Ya, ada pelangi muncul setelah hujan yang mengguyur bumi berhenti.

Sekembalinya dari warung tadi, kebetulan hujan turun dengan derasnya, sehingga rokok yang baru ia beli tadi langsung lenyap dua batang dan hanya tersisa sebatang yang sedang disesapnya. Ia bersantai di teras rumah ditemani segelas kopi hangat.

Jarum pendek sudah berada di angka enam, namun Arum tak kunjung kembali. Akmal memang sengaja tidak menjemputnya walau hujan telah reda, karena hatinya masih dongkol mengingat kejadian tadi.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Saat sedang memikirkan perempuan itu, kini Arum sudah tiba diantar oleh Septi, seorang bidan cantik yang jarak rumahnya sekitar tiga puluh meter dari kontrakan Akmal.

“Dijemput, dong, istrinya, Pak Akmal. Masa’ dibiarkan jalan sendirian. Lagi hamil loh ini, Mbak Arumnya!” tegur bidan Septi yang sudah lima tahun bertugas di puskesmas Sumber Sari. Jabatannya sudah Pegawai Negeri, walau pun umurnya masih terbilang sangat muda.

“Eh, iya, Bu. Saya tadi ketiduran. Ini baru mau jemput, rupanya sudah sampai orangnya,” ucap Akmal berkilah sekaligus salah tingkah. Ia merasa sangat malu karena ditegur oleh bidan cantik seperti Septi. Harga dirinya runtuh bersama senyuman sinis yang terbit dari wajah bidan berusia dua puluh tiga tahun itu.

Bagi Akmal, Arum pun begitu menjengkelkan, kenapa ia malah menumpang pada bidan Septi. Bukannya menumpang pada rekan kerjanya yang lain saja, seperti Mila contohnya. Padahal wanita bertubuh tambun itu searah pulang dengan Arum.

Bidan Septi hanya tersenyum, tidak lagi melanjutkan ocehannya. Ia juga sebenarnya segan harus menegur seorang pria beristri yang usianya pun lebih tua darinya.

Meskipun Arum tidak mengatakan apa pun tentang Akmal sepanjang jalan tadi, namun Septi seakan mengerti tentang sikap keterlaluan Akmal pada sang istri.

“Terima kasih, ya, Bu Septi. Tidak mau mampir dulu?” tawar Arum berbasa-basi.

Dalam hati Akmal berharap agar Bu Bidan mau menerima tawaran Arum untuk mampir ke rumah ini, walau hanya sebentar.

Meskipun begitu, bukan berarti ia seorang buaya. Akmal selalu setia pada Arum sejak dulu. Hanya saja, ia suka beramah tamah dengan orang lain, apalagi perempuan. Peace!

Sayangnya, Bidan Septi malah menolak. Katanya ia harus cepat karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah. Terburu-buru ingin pulang, padahal tidak ada anak ataupun suami yang hendak diurusnya, karena Bu Septi statusnya masih singel.

“Hati-hati di jalan, ya, Bu!” ujar Akmal sedikit kecewa. Kemudian diikuti Arum dengan mengucapkan kalimat yang sama.

Arum lantas melangkahkan kaki masuk ke rumah, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan Akmal yang masih berdiri mematung, menatap kepergian Bu Septi sampai hilang dari pandangan.

Rencananya, Akmal akan melakukan mogok bicara pada Arum malam ini. Ia tidak akan menggubris sedikit pun ucapan Arum padanya. Maksudnya agar istrinya sadar kalau sebagai suami, ia juga bisa marah. Bukan hanya karena dirinya tidak berpenghasilan, Arum bisa mengerjai dirinya dengan sesuka hati.

Sampai malam menyapa, keduanya masih tidak saling bicara. Baik Akmal mau pun Arum, sama-sama tak ada mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan Arum sama sekali tidak ingin memandang sang suami jika mereka sedang berpapasan. Ia tetap sibuk dengan ponselnya, terus mengetik naskah untuk tulisannya.

Arum memang ingin menjaga mood-nya agar tetap baik. Sebisa mungkin menghindari perselisihan demi sang jabang bayi di kandungannya. Akan tetapi, ia tidak bisa berlama-lama mendiamkan Akmal, ia lebih memilih untuk mengalah dan mengakhiri perang dingin di antara mereka.

“Mas,” panggil Arum saat Akmal sedang berbaring di sofa sambil menonton televisi. Arum mengambil posisi duduk tepat di ujung kakinya. Duduk bersandar sembari menekuri ponselnya.

“Hmmm,” jawab Akmal acuh, menirukan ucapan sang istri jika sedang marah padanya.

“Kenapa?” sambungnya lagi, dahinya berkerut sampai tujuh lipatan. Walaupun ia sudah tahu jika suaminya pasti marah karena ulahnya tadi siang.

Akan tetapi, ia ingin sedikit menggoda sang suami. Arum memang sedikit manja sejak dirinya dinyatakan hamil beberapa waktu yang lalu.

“Hmmm,” jawab Akmal lagi. Arum sangat paham jika suaminya kini sedang merajuk.

Satu, dua, tiga menit berlalu. Namun Arum tidak lagi bersuara. Matanya tetap fokus pada layar ponsel di depannya, karena dirinya memang sedang membalas salah satu komentar dari seorang penggemar.

Karena merasa terabaikan, Akmal mengentakkan kaki ke meja. Maksudnya agar ia kembali bersuara dan membujuk Akmal agar mau bicara padanya. Paling tidak, Arum bisa mengiming-imingi dirinya dengan selembar uang merah, sebagai permohonan maaf atas perbuatannya yang tidak mengenakkan, siang tadi.

Akan tetapi, kaki Akmal tanpa sengaja malah menendang tangannya. Tidak keras memang. Namun, berhasil membuat ponsel di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai.

“Heh, apa-apaan kamu, Mas. Kalau ngambek ,ya sudah ngambek saja. Jangan merusak barangku, dong!” cecar Arum lantas berdiri dan berkacak pinggang.

“Enggak, Rum. Ampun, Mas cuma minta diperhatikan saja sama kamu. Tapi kaki ini malah keterusan. Aduh ... bego banget, sih, kaki ini!”

Akmal mengiba sambil memukuli sebelah kakinya yang tadi berbuat salah. Sungguh, Akmal memang tidak bermaksud melakukan itu.

“Awas saja kalau ponselku rusak, aku minta ganti rugi, Mas!” hardik Arum membuat nyalinya menciut.

Kalau memang benar ponsel itu rusak. Mana punya uang Akmal untuk menggantinya, sedangkan untuk rokok saja, ia masih meminta pada Arum.

“Aku tidak mau tahu, ya, Mas. Mau uang dari mana pun aku tidak peduli. Yang penting kamu ganti,” ucapnya lagi seolah paham dengan isi pikiran sang suami. Ia lalu melongos pergi masuk ke kamar setelah memungut ponsel canggih itu dari lantai. Ditatapnya layar itu, lalu dilapnya dengan dasternya, pakaian para istri yang serbaguna karena bisa merangkap menjadi serbet sekaligus.

“Aarrghh! Kenapa malah jadi begini, yang seharusnya marah itu aku, bukan dia. Dasar kaki sialan!” keluh Akmal penuh sesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status