Share

Lorong Rumah Sakit

*Bram POV*

Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dimulai dengan membersihkan bagian bulu-bulu halus pada wajahku, dengan foam wajah. Lalu aku membersihkan seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mulai menyiram seluruh bagian tubuhku.

Terasa sangat segar sekali setelah beraktifitas di pagi ini. Ketika hampir selesai aku meminta Ajeng untuk mengambilkan handuk, yang memang dengan sengaja tidak aku bawa, karena aku ingin mengajaknya mandi bersama.

"Ajeng sayang, tolong ambilkan aku handuk, Aku lupa membawanya."

Terdengar sayup-sayup Ajeng menjawab panggilanku padanya" Yaa Mas."

Hanya beberapa menit kemudian, Ajeng telah membawakan handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu dengan sengaja aku menyiram tubuhnya dengan shower.

"Aduh...mas ini, basah bajuku, dan lihat handuknya juga basah," ujarnya dengan kedua bola mata yang mendelik kearahku.

Aku lalu memeluk dan mencium dirinya yang telah basah kuyup. Melihat serangan hasratku di kamar mandi, membuat Ajeng membalas ciumanku dengan melumat habis lidahku. Hanya suara decap pada kedua bibir kami yang saling menghisap lidah kami masing-masing. 

Setelah itu, aku lucuti seluruh pakaiannya yang basah. Dan tanpa pikir panjang, aku melahap kedua buah dadanya yang tidak terlalu besar bergantian. Sedangkan sesekali tanganku memilin puting hitam miliknya. Hingga Ajeng mendesah.

"Ooouuhhh...," desah Ajeng ketika mulai merasakan hisapan pada buah dadanya.

Lalu tanganku mulai menjalar kebagian selangkangannya, aku mulai memutar bagian klitorisnya dengan jemariku dengan pelahan. terlihat Ajeng, membuka kedua kakinya, agar mempermudah aku memberikan sensasi padanya.

Lalu Ajeng berkata," Enak itu mas, terusin sampai terasa panas kakiku."

Aku lalu terus melakukan putaran lembut pada klitorisnya. Setelah beberapa menit, terlihat hasrat Ajeng yang kian memuncak, dan itu terlihat, ketika bibirnya mulai menjilati leherku dan mengigit perlahan telinggaku.

Setelah terasa semakin enak pada klitorisnya, Ajeng berkata padaku seperti rengekan anak kecil," Mas...di isap mas..isap...enak sekali mas."

Lalu aku pun menuruti permintaannya. Aku duduk dihadapannya yang masig berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar. Lalu aku langsung menghisap kuat klitorisnya, hingga membuat Ajeng histeris.

"Aaaauuuhhhhh....eennaakkk mas, terussss," desahnya dengam suara bergetar dan menggoyangkan bokongnya.

Setelah beberapa kali goyangan ke arah bibirku, akhirnya cairan pada area sensitif Ajeng keluar membasahi bibirku. Setelah itu, aku masukkan batang kelelakianku yang telah lama menunggu untuk masuk kedalam area sensitifnya.

Dengan satu kaki yang aku angkat, aku melakukan hempasan kedalam, tanpa menyisakan sedikitpun batang kelelakianku, hingga Ajeng kembali kelojotan seperti cacing kepanasan. Hanya desahan dan detak jantungnya yang semakin cepat, ketika merasakan kenikmatan untuk kedua kalinya.

"Ooouuhhh...enakkkk...enaakkk...," rintihnya sambil memegang bokongku lebih dalam ke arahnya.

Aku pun merasakan kenikmatan yang luar biasa, hingga aku dengan sekuat tenaga menhembas batang kelelakianku dengan menahan bokong Ajeng. Hingga aku pun merasakan klimaks hingga membuatku mendesah," Aaarrrhhhhh....Ooouugghhh," nikmatnya sayang.

Akhirnya kami pun sama-sama menikmati kebersamaan mandi bersama dengan bercinta dalam cinta. Setelah itu, kami membersihkan diri, lalu aku mengendong Ajeng, menuju kamar kami setelah kenikmatan yang telah kami raih bersama.

Selesai kami memakai baju, kami mulai menuju ruangan santai untuk berbincang-bincang tentang beberapa rencana kedepan kami. Tentang nama calon bayi kami jika perempuan atau lelaki.

Tentang kelak dimana mereka akan sekolah, cara mereka memanggil kami ketika sudah menjadi orangtua. Dan itu sudah kami bahas bersama. Memang sesekali kami berbeda pendapat untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Walaupun akhirnya semuanya aku serahkan kepada Ajeng. Sambil beberapa kali aku mengusap perutnya walaupun belum terlihat. Sesekali akupun menggodanya.

"Dedek bayi sayang....tadi ayah menjengguk kamu, dan...ssstttt...ibumu luar biasa dalam permaianannya," aku tertawa melihat Ajeng memukul mesra tanganku.a

"Mas Bram, apa tidak sebaiknya menjenguk bunda, kasian bunda di Rumah Sakit, ujar Ajeng setelah kami bersenda gurau.

Ajeng mengingatkan diriku untuk bisa menjenguk bunda di Rumah Sakit. Kala itu jam sudah menunjukan pukul dua siang. Dengan bermalas-malasan, aku iyakan saja permintaannya. Dalam hatiku,  kalau saja bunda tahu, bagaimana Ajeng yang tidak dia kenal sangat memperhatikannya. 

Mungkin bunda akan menyayanginya, sama seperti bunda menyanyangi Dina. 

Lalu aku bergegas merapikan pakaian, rambutku dan mengambil kunci mobil yang aku letakan di meja Televisi.

Ajeng mengantarkan aku sampai pintu ruang tamu. Tidak lupa aku memeluk tubuhnya dan mencium keninganya.

"Aku ke Rumah Sakit dulu yaa sayang, inget habis ini langsung istirahat kasian si dedek bayi tadi kecapean," selorohku sambil tersenyum mengoda Ajeng.

"Yaa Mas, hati-hati dijalan," Jawab Ajeng dengan senyum malu.

Aku membuka pintu gerbang dan menuju garasi untuk mengambil mobilku, setelah itu aku menyalakannya dan mulai berjalan menuju pintu gerbang. Setelah aku menutup pintu gerbang, aku melambaikan tangan ke Ajeng dan memintanya untuk masuk kedalam rumah.

Dalam perjalanan ke Rumah Sakit pikiranku melambung jauh. Banyak sekali yang aku pikirkan. Dari masalah bunda, masalah Dina, dan masalah Ajeng. Dalam hati aku berguman, 'Semoga saja semua berjalan sesuai harapan Ajeng dan diriku.'

Setiba di Rumah sakit, aku memarkir mobil dan mampir ke Supermarket yang ada di lingkungan Rumah Sakit untuk membeli air mineral dan beberapa camilan yang akan aku bawa menuju ruangan rawat inap bunda.

Setelah membayar dikasir, aku mulai  berjalan menuju lorong-lorong bangsal Rumah Sakit, menuju ruang rawat inap bunda. Sesampai didepan ruang rawatnya, aku berhenti sebentar untuk mengatur nafas dan berdoa dalam hati, agar bunda tidak kembali emosional atas kejadian dua hari lalu.

Aku membuka pintu kamar dan aku dapati Dina sedang tertidur disofa panjang pada ruang tamu kamar rawat inap bunda. Aku lihat dengan jelas kelelahan terpancar dalam wajahnya yang cantik.

Aku membiarkannya tertidur lelap disana. Kemudian aku masuk ruang rawat inap bunda. Aku pun melihat, bunda masih tertidur dengan nyenyak.  Kemudian aku menuju lemari yang berada dipojok dari tempat tidur bunda untuk mengambil selimut yang akan kuberikan pada Dina.

Setelah mengambil selimut, dan kembali ke ruang tamu tempat Dina tertidur pulas. Aku menyelimuti tubuhnya yang terlihat nyenyak dalam lelah. Terlihat jelas wajah cantiknya dengan alis yang menyatu, serta aku melihat ada tahi lalat pada bawah hidungnya.

Seketika dadaku bergemuruh, ketika tanpa sengaja aku melihat belahan buah dada Dina yang besar keluar dari branya, karena posisi tidurnya yang miring ke kanan. Sebagai lelaki yang mempunyai hormon lebih banyak dari wanita, pemandangan ini tidak aku sia-siakan.

Jelas terlihat warna putih bersih pada kulitnya yang mulus. Selama ini aku tidak pernah memperhatikan bentuk tubuhnya, terlebih buah dadanya yang besar. Karena selama ini, aku selalu berusaha menghindar darinya. 

Walau Dina adalah wanita cantik, yang telah menjadi Istri pilihan bundaku. Tetapi tidak pernah sekalipun aku menyentuhnya. Karena selain tidak mencintainya aku juga terikat janji dengan Ajeng, kalau aku tidak akan menyentuh Dina, walaupun ia telah menjadi istri sahku.

Baru saja aku menyelimuti bagian kakinya yang terlihat sangat mulus dengan bulu-bulu halus dikakinya, tiba-tiba Dina terbangun dari lelapnya. Akupun terkejut melihat dirinya, apalagi dilihat olehnya aku persis didepan wajahnya.

"Maaf Din..., tadi aku mencoba untuk menyelimuti kamu," dengan gugup aku berkata padanya. 

Entah Dina tahu atau tidak kegugupan diriku, tetapi yang kulihat, Dina dengan santai duduk dan merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit terbuja. Lalu ia berkata," Tidak apa-apa Mas, aku sudah tertidur dari tadi." 

"Mas Bram, bagaimana kondisi Ajeng, apa dia bisa menerima penjelasan mu tadi?" tanya Dina sambil melihat kearahku yang berusaha menetralkan detak jantungku karena buah dadanya.

"Aku hanya mengatakan kondisi bunda masih sakit, jadi aku rasa dia cukup maklum mendengar apa yang kusampaikan”. Jawabku dengan suara tegas agar kegugupanku tidak terlihat olehnya.

Lalu aku bertanya padanya," Apa kamu sudah makan siang?"

Dina hanya mengelengkan kepalanya padaku. Seketika aku merasa bersalah padanya. Mengingat dia sudah seharian ini, menjaga bunda. Apalagi,  tadi pagi kami hanya makan sarapan di kantin Rumah Sakit.

Lalu aku mengajak Dina untuk makan siang,"Ayo kita makan Din, juga bunda masih tertidur nyenyak.

Dina  mengangguk tanda menyetujui, dan lalu ia beranjak dari sofa keluar ruang perawatan bunda. Walaupun tadi di rumah,  aku dan Ajeng sudah makan siang, tapi karena Dina belum makan siang maka, aku mengajaknya untuk mencari Rumah Makan yang berada di area Rumah Sakit ini.

Sebelum itu aku berjalan menuju ruang jaga perawat,  untuk menyampaikan, kalau saat ini kami keluar Rumah Sakit, beberapa jam, untuk mencari makan siang serta aku juga minta tolong pada perawat yang jaga disana, untuk segera menghubungiku jika ada sesuatu hal yang genting mengenai bunda.

Setelah menitipkan bunda pada perawat jaga,  kami pun berlalu dari ruang perawat menuju lorong-lorong bangsal Rumah Sakit untuk menuju tempat parkir. Aku berjalan duluan, sedangkan Dina mengikuti diriku dari belakang.

Sesampai diparkiran kami menuju mobil dan masuk kedalam mobil, untuk mencari Rumah Makan yang terdekat dari Rumah Sakit. Di dalam mobil aku bertanya pada Dina," Ingin makan siang apa Din?" 

"Aku ingin makan sate kambing Mas," jawab Dina.

Lalu kami mencari Rumah Makan Sate dan Gulai kambing. Setelah berjalan selama lima belas menit menyusuri jalan dekat area Rumah Sakit, akhirnya kami menemukan Rumah Makan sate kambing muda.

Dalam benakku saat itu, suatu saat aku akan mengajak Ajeng untuk makan disini. Karena dia sangat suka dengan sate kambing. Dan sewaktu aku membaca kembali, nama Rumah makan ini, tergelitik aku membacanya.

Rumah Makan Kambing Muda, aku bergumam,' Jika ada tempat makan sate kambing muda berarti ada sate kambing tua. Sambil tersenyum kecil, aku masuk ke Rumah makan itu.

Setelah kami memilih bangku yamg ada disudut dan menghadap keluar jalan, kami memesan dua porsi sate dan dua porsi gulai. Kami pun duduk bersebelahan, agar kami bisa melihat lalu lalang jalan ketika kami makan.

Setidaknya itu yang bisa kami nikmati ketika makan di Rumah Makan dipinggir jalan. Setelah lima belas belas menit kemudian, pesanan kami pun telah disajikan di meja. Lalu kami mulai melahap sate kambing dan gulai yang telah disajikan.

Demikianlah kebersamaan yang biasa kami jalani, walaupun kami suami istri didalam buku pernikahan tapi kami seperti orang asing satu sama lain. Semua ini karena, kami sangat menjaga urusan pribadi masing-masing. Dan kami juga sudah berjanji untuk bisa saling menjaga jarak ketika berdua.

Karena aku tidak ingin seseorang memasuki bagian dihatiku, kecuali Ajeng. Dan hal itu sudah sangat dipahami dan dimengerti oleh Dina. Memang terkadang aku terlihat egois dengan perjanjian yang kami sepakati bersama, tanpa menanyakan hal yang diingini oleh Dina.

Sampai kini, aku juga tidak terlalu tahu persis sifat dan karakter Dina yang sesungguhnya. Karena selama ini, diriku hanya fokus pada Ajeng yang selama sepuluh tahun ini mengisi kehidupanku.  Tanpa rasa lelah setiap bulan, aku selalu menjemputnya di stasiun kereta api, hingga akhirnya sampai pada kejadian kemarin, yang mengharuskan Ajeng tidak kembali lagi kekampung halamannya.

"Mas Bram,"  panggilan Dina seketika membuyarkan lamunanku.

"Yaa Din," Sahutku.

Dinapun berkata," Jika bunda telah pulih nanti, aku minta izin untuk pergi ke australia."

Dina menoleh ke arahku yang duduk disebelahnya. Lalu Dina menyambung perkataannya.

"Selama sepuluh tahun ini, aku tidak pernah mengunjunginya, aku merindukannya Mas," ujarnya dengan menatap wajahku.

Sejenak aku hanya terdiam sambil memikirkan keinginannya. Dan akhirnya akupun menyetujui permintaannya. Setelah kami rasa sudah cukup waktu untuk berisitirahat dari kesuntukan, dengan berbincang ala kadarnya, aku menuju meja kasir dan membayarnya serta kembali ke Rumah Sakit.

Kami menuju mobil yang terparkir di bahu kiri jalan. Setelah masuk ke mobil, kami pun saling terdiam dan tidak berkata-berkata. Kami seperti dua orang asing yang tidak punya ikatan apapun. Mungkin saja Dina berpikir tentang banyak hal seperti pikiranku yang terkandang terbang ke masalah yang satu dan terbang ke masalah yang lainnya.

Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit. Setelah aku memarkir mobil,  kami keluar dari kendaraan dan mulai menyusuri lorong-lorong bangsal Rumah sakit untuk menuju ruang perawatan bunda.

Kami melewati ruang perawat yang tadi aku titipi bunda, ketika kami minta izin keluar untuk makan siang. Disini aku menanyakan beberapa pertanyaan pada perawat yang berjaga disana. Baik mengenai kondisi terkini bunda dan menanyakan pada perawat jaga disana, apakah bunda sempat terbangun, ketika kami izin keluar Rumah Sakit tadi.

Dan menurut perawat jaga bahwa bunda masih terlelap. Mungkin saja memang itu efek dari pemberian obat-obatan yang telah diberikan pada bunda, karena untuk beberapa hari ini diharapkan bunda punya cukup waktu istirahat agar kesehatannya lebih cepat pulih serta untuk menghindari dirinya dari stres. Supaya tidak terjadi stroke kedua kalinya.

Sesampai di ruang rawat inap, kami berdua masuk menemui bunda untuk melihat, apakah bunda telah terjaga dari tidurnya. Saat ini aku berdiri persis berada disisi kanan bunda, sedangkan Dina berdiri disisi kirinya.

Beberapa menit kemudian Aku melihat bunda membuka mata dan melihat disekelilingnya. Dia mendapati Aku berada disisi kanannya dan mendapati Dina Disebelah kirinya.

Bunda tersenyum melihat kami berdua. masih terlihat pucat pasi pada wajah bunda dan masih terlihat  jelas raut wajahnya yang lelah. Bunda lelah karena penyakit dan karena telah melalui hari-hari berat ketika aku masih sekolah dasar.

Dimana bunda harus berpisah dengan Ayahku, lelaki yang dicinta dan diperjuangkannya selama ini. Walaupun akhirnya, perpisahan itu tidak bisa dihindari. Demi cinta kasih pada Eyang dan rasa hormatnya pada Eyang, bunda melepas semua rasa cinta dihatinya.

Aku kasihan pada bunda yang menjalani hari tanpa dukungan dari suami tercinta,  pada saat membesarkan, mendidik diriku. serta aku merasakan kesepiannya bunda ketika hidup tanpa suami.

Belum lagi guncingan tetangga ketika bunda harus pulang malam, ketika masih bekerja disebuah perusahaan. Seingatku tidak sekali pun, aku melihat bunda mempunyai teman lelaki lain selain Ayahku.

Sepertinya, setelah kejadian yang membawa Eyang putri wafat, bunda seakan-akan menghukum dirinya, untuk tidak bertemu lelaki lain.

"Bram..," lirih suara Ibunda memanggil namaku dan nyaris tidak terdengar.

"Yaa Bunda," jawabku sambil ku genggam tangannya dengan erat.

Lalu aku berkata pada bunda," bunda... maafkan kesalahanku, dan aku adalah penyebab dari bunda masuk Rumah Sakit, maafkan aku yaa bun.."

Bunda hanya menganggukan kepala, lalu ia memanggil Dina untuk lebih mendekat. Setelah itu, bunda meraih tangan Dina dan menyatukannya dengan tanganku. Dan aku merasa ada yang ganjil dengan perasaanku ketika tangan Dina disatukan dengan tanganku oleh Ibunda.

Tapi aku berusaha menghalau segalanya karena aku pikir, bisa jadi semua itu dikarenakan rasa kebaikan hati Dina dalam mengurus bunda selama ini.

"Bram, Dina, berjanjilah....kalian pada bunda, kalau kalian tidak akan berpisah walau apapun yang akan terjadi," suara bunda terdengar sangat lirih dan nyaris tak terdengar.

Aku dan Dina saat itu hanya bisa saling melihat satu sama lain. Dan aku melihat, Dina menunggu jawabanku atas permintaan bunda. Pada saat itu Aku merasa tidak bisa menolak apapun yang bunda minta. Karena aku tidak ingin, hal terburuk menimpa bunda, jika aku menolak permintaannya. Ditambah lagi kondisi bunda yang belum stabil.

Lalu akupun menjawab," Baik bunda, kami berdua akan selalu bersama dan Bunda tidak perlu kuatir akan hal itu."

Kata-kata ku, meluncur begitu saja dari bibirku dan Dina hanya menatapku, mendengar janji yang aku katakan didepan Ibunda. Dan ketika bunda menoleh ke arah Dina.

Dinapun menjawab,"Yaa...bunda, kami akan baik-baik saja. Seketika aku lihat wajah bahagia terpancar dalam raut wajah bunda yang masih terlihat pucat pasi. Bunda langsung mencium kedua tangan kami. Dan kami pun mencium kedua pipi bunda. Dalam hati aku berguman,' Sekarang aku harus bagaimana?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status