*BRAM POV*
Keesokan harinya, aku lihat bunda telah siuman. Dan aku melihat kondisi bunda dari jendela yang ada di ruang tamu pasien. Karena saat ini aku berada di ruang tamu, yang ada di ruang perawatan bunda.
Untuk saat ini, aku belum berani untuk bertemu bunda. Aku tidak ingin bunda mengingat kejadian kemarin. Oleh karena itu aku tidak ingin mengganggu ketenangan bunda.
Hanya dina yang menunggu bunda di dalam kamar perawatannya. Dan saat ini, aku melihat dina sedang menyuapi bunda. Tetapi aku sama sekali tidak bisa mendengarkan pembicaraan diantara mereka.
Aku masih menunggu di ruang tamu, ketika seorang perawat memasuki ruang perawatan, untuk memberikan obat yang harus di minum oleh bunda. Setelah itu, aku lihat bunda meminum obat yan diberikan obat pada perawat tadi. Lalu Dina terlihat, berpamitan pada bunda dan meminta bunda untuk beristirahat.
Dina akhirnya keluar dari kamar bunda. Dan melihat aku yang sedang duduk di sebuah sofa panjang ruang tamu. Ia pun langsung duduk di sebelahku.
"Mas Bram sudah sarapan?" tanya Dina padaku.
Aku hanya menggelengkan kepala. Karena memang, pagi-pagi buta aku keluar dari rumah Ajeng untuk mengetahui kondisi bunda di Rumah Sakit ini. Jadi aku tidak sempat untuk membeli sarapan pagi.
Lalu Dina mengajak aku untuk mencari sarapan pagi di kantin Rumah Sakit. Kami menyusuri lorong-lorong panjang yang ada di Rumah Sakit ini, untuk sampai ke kantin. Sesampai di kantin, kami duduk berhadapan dan memesan sarapan pagi.
Beberapa menit kemudian, sarapan pagi yang kami pesan pun telah disajikan. Kami pun menikmati sarapan pagi ini, tanpa berkata sepatah kata pun. Selesai sarapan pagi, kami memutuskan untuk duduk di taman yang ada di Rumah Sakit untuk membicarakan kondisi bunda.
Kami sampai di taman, dan duduk disebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jadi. Aku lihat sebuah taman yang rapi dengan bunga-bunga indah dan taman yang terawat.
Seketika aku jadi teringat akan Ajeng, kekasih jiwaku. Kemarin aku hanya memberitahu Ajeng, kalau bunda kembali sakit dan harus dirawat. Tetapi aku tidak bercerita penyebab dari sakitnya bunda. Karena, aku tidak ingin Ajeng merasa bersalah atas kejadian antara bunda dan aku.
Aku takut terjadi sesuatu dengan buah cinta kami, kalau ajeng tahu penyebabnya. Hal itu akan menyita pikiran Ajeng, dan aku tidak ingin Ajeng stress memikirkan hal ini. Yang aku tahu, orang dengan kehamilan semester pertama atau hamil muda, hatinya harus terus bahagia, tanpa terbebani atas hal-hal yang menyita pikirannya. Dan kebanyakan beberapa wanita yang hamil muda lebih sensitif dan lebih mudah menangis.
Dan aku sangat mengerti pribadi Ajeng, yang selalu berempati dengan orang di sekitarnya, hingga terkadang ia jarang sekali untuk memikirkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
"Mas Bram...," panggilan Dina membuyarkan pikiranku tentang Ajeng.
"Yaa...Din, katakan padaku bagaimana dengan kondisi bunda saat ini?" tanyaku langsung ketika tersadar dari lamunan.
"Untuk saat ini, bunda harus lebih banyak ber stirahat, dan disarankan untuk tidak membuat emosi meledak, karena hal itu akan menyebabkan bunda terserang stroke kembali."
Mendengar jawaban Dina atas kondisi bunda saat ini, lalu aku pun bertanya pada Dina," Jadi sekarang harus bagaimana?"
"Aku tidak bisa lagi membiarkan Ajeng berkorban demi keluargaku.’’
Mendengar kata-kataku yang meluncur seketika dengan nada nada sedikit tinggi. Dina hanya terdiam, tertunduk. Lalu Dina berkata," Mas Bram, bicarakanlah hal ini dengan Ajeng, Aku yakin Ajeng akan mengerti dengan kondisi bunda saat ini."
Seketika aku hanya bisa terdiam dan melamun karena aku tidak tahu, apa yang bisa aku sampaikan pada Ajeng. Kemudian aku balik bertanya pada Dina," Dan kapan rencananya, kamu akan mengatakan yang sesungguh yang sebenarnya?"
Dina menoleh ke arahku dan dia hanya mengangkat bahunya. Tetapi ia menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang menohok hatiku.
"Mas, aku tidak mungkin mengatakan hal yang membuat bunda sekarat, aku menyanyangi bunda melebihi rasa sayangku pada mama," ucap Dina dengan pandangan tajamnya kearahku.
Kami berdua dalam dilema yang sangat berat untuk bisa memutuskan apa yang harus kami dahulukan dan yang harus kami kesampingkan. Aku juga tidak bisa mengungkapkan rahasia sesungguhnya yang terjadi pada Dina.
Dulu ketika malam pertama kami, aku telah berjanji pada Dina untuk tidak membuka rahasia yang telah ia ceritakan padaku. Kecuali ia sendiri yang menceritakannya. Mungkin kelak kami akan menceritakan semua. Kami akan menunggu waktu yang baik dan tepat.
Kini aku menyadari, ternyata sebuah kebohongan akan menjadi kebohongan dan akan selalu di ikuti dengan kebohingan lainnya. Dan itu sangat kami sesali. Karena jalan di kedepan dari hidup kami, tidak ada satupun yang tahu. Hingga akhirnya kebohongan demi kebohongan kami lakukan selama sepuluh tahun.
Dulu kami berpikir kebohongan ini, sebagai rasa cinta kepada kedua orangtua kami. Dan menggangap kebohongan ini, untuk kebaikan semua pihak. Ternyata kebohongan adalah kebohongan. Tidak ada kebohongan yang akan berakhir dengan kebaikan.
Sekalipun beberapa orang menyebutnya, sebagai kebohongan putih, karena dilakukan untuk sebuah kebaikan. Dan kini akhirnya, aku menyesali atas segala kebohongan yang aku lakukan seoanjang hidupku.
Aku berpikir, ini adalah sebuah tindakan pengecut bagi kami, yang tidak bisa menerima kenyataan, dan tidak bisa mengambil keputusan dengan bijak, hingga kami terseret dalam masalah yang demikian besar.
Kini kami harus bisa mengurai masalah besar yang telah seperti benang kusut. Kami tidak tahu awal mana yang harus aku perbaiki dari kekusutan masalah ini. Yang pasti aku sadari, korban yang sesungguhnya adalah hanya seorang Ajeng.
Dialah orang yang sangat menderita dan menjadi korban atas segala kebohongan kami. Kalau saja waktu itu, aku bisa mengambil langkah tegas atas segala yang telah aku ketahui, tentang rahasia masa lalu Dina. Mungkin kini, aku tidak akan terjebak dalam dilema ini.
Sakit sekali rasanya kepalaku saat ini, memikirkan janjiku pada Ajeng yng tidak pernah aku tepati. terasa sesak sudah dadaku. Hingga aku menghela bapas berulang kali, agar penat dan beban berat ini dapat aku atasi.
"Mas Bram, apa kamu saki?" Dins bertanya padaku, karena dilihatnya aku memegang kepala dan menghela napas panjang berukang kali.
"Tdak Din, mungkin aku kurang istirahat saja," Jawabku sambil melepas tangan Dina yang memegangi tanganku.
Karena untuk sesaat, mataku seperti berkunang-kunang ketiks memikirkan beban yang terasa berat. Hingga Dina pun mengetahui perubahan wajah dan diriku yang hampir terjembab dari kursi ini.
Selama ini aku selalu menghindari Dina. Aku tidak ingin ia menyentuh diriku. Baik itu tanganku apalagi yang lain. Karena aku tidak ingin mempunyai rasa apapun. Aku sebagai lelaki normal tidak ingin memanfaatkanya ketika aku jauh dari Ajeng.
Aku berusaha sedemikian keras, karena walau bagaimanapun, aku adalah lelaki yang mempunyai hormon lebih tinggi dari wanita. Dimana segala sesuatu hal bisa saja terjadi ketika kita tidak bisa mengontrol diri dan emosi kita.
Apalagi Dina seorang wanita yang cantik dengan kulit bersih, sexy dan penampilan dirinya yang energik dan terbuka pemikirannya membuat aku selalu menghindarinya.
Aku tidak berani membayangkan apapun tentang dirinya. Walaupun aku tahu sebagai lelaki, antara Dina dan Ajeng sangat berbeda jauh dari pisik mereka. Tetapi ketulusan dan cinta kasih Ajeng padaku selama ini, membuat aku bisa mempertahankan kelelakianku dihadapan Dina.
Dina sempat terhentak atas tindakanku yang melepaskan tangannya dari lenganku ketika, ia melihatku hampir terjatuh. Sempat pula aku dengar Dina berkata dengan nada tidak senang, karena aku menolak tangannya.
"Menurut mu, aku salah...jika memegang tangan mu ketika aku lihat kamu hampir jatuh?" Seloroh dina dengan pertanyaan nya.
"Tidak, bukan begitu Din," jawabku cepat dan singkat.
Akhirnya kamipun membisu satu sama lain. Hampir satu jam, kami hanya bemain dengan ponsel kami, dan tiba-tiba ponselku berbunyi. Dan kulihat ada panggilan dari Ajeng.
"Yaaa sayang, sekarang mas ke rumah."
Setelah itu, aku pamit pada Dina, dan aku meminta ia mengabari aku jika ada sesuatu hal dengan bunda. Dina pun hanya menganggukan kepalanya, dan membiarkan aku beranjak dari kursi panjang di taman itu.
Aku lihat sebersit wajah Dina yang terlihat kecewa. Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Karena saat ini bagi diriku Ajeng adalah segalanya. Aku berjalan menyusuri lorong dan beberapa bangsal Rumah Sakit dengan sedikit berlari-lari kecil menuju parkir mobil.
Akhirnya akupun sampai diparkir dengan napas sedikit terengah-engah. 'hmmm lumayan jauh juga' ujar batinku.
Dalam perjalanan menuju rumah Ajeng, aku sengaja mampir ke toko roti, untuk membelikan beberapa roti kesukaan Ajeng. coklat adalah kesukaannya. Dan aku membelinya beberapa untuk di rumah.
Akupun kembali ke parkir mobil dan mulai menyusuri jalan menuju ke rumah mungil kami. Dan kulihat disekitar pinggir jalan ada beberapa lapak atau kios yang menjual beraneka ragam buah-buahan. Lalu akupun membeli beragam jenis buah-buahan yang disukai oleh Ajeng.
Saat ini, aku hanya berpikir untuk bisa memberikan hal yang terbaik untuk Ajeng dan bisa menjaga diri dan bayinya yang ada dalam masa kehamilan mudanya. Beragam buah-buahan telah aku beli seperti pir hijau, semangka, alpukat dan jeruk tentunya.
Setelah membayar, aku pun beranjak kembali ke mobil dan mulai meneruskan perjalanan ke rumah. Perlu sekitar tigapuluh menit dari penjual buah itu untuk sampai ke rumah mungil kami.
Ketika mobilku baru sampai pagar, Ajeng telah membukakan pintu gerbang dan menyambutku dengan senyum ayunya. Hal itulah yang tidak bisa aku tinggalkan dalam benakku walaupun sejenak.
Aku lihat, dia memakai daster warna hijau muda dengan satu tali dan agak terlihat tipis. Jadi ketika terkena matahari, aku dapat melihat lengkuk tubuhnya.
Aku tersenyum-senyum sendiri dalam mobil ketika memarkir mobilku. Setelah aku membuka mobil dan keluar dari sana, aku sudah disambut dengan ciuman hangatnya yang mendarat di pipiku. Kami beranjak masuk kerumah. Dan kamipun sampai kedapur.
"Kamu sudah sarapan sayang?" Tanyaku pada Ajeng
"Sudah mas, tadi aku buat telur dadar, karenakan aku tidak tahu, dimana harus membeli sesuatu disini," jawab Ajeng.
Dia membuka bungkusan yang aku bawa. Dan mengambil roti kesukaannya.
"Makasih mas Bram,’’ kata ajeng setelah dia memasukan sepotong roti pada mulutnya.
Aku bahagia melihat dirinya saat ini berada disisiku. Karena sejak kejadian beberapa hari lalu, tidak ada alasan lagi bagi Ajeng untuk kembali kekampung. Karena memang tempat dia seharusnya disini. Menemani kesepianku ketika dia berada jauh disana.
"Gimana mas, sudah bicara dengan ibunda?" tanya Ajeng disela roti terakhir yang dia makan.
"Ya, nanti aku ceritakan, sekarang minum dulu susunya yaa sayang," ucapkan sambil berpikir cara berbicara pada ajeng tentang kondisi bunda pasca pingsan kemarin.
Aku pikir, seharusnya tidak aku sampaikan dahulu perihal kejadian yang sesungguhnya. Karena aku tidak ingin terjadi dengan kandungannya di trisemester pertama. Yang diperlukan ajeng saat ini hanyalah rasa nyaman, bahagia dan ketenangan pikiran.
"Ayoo mas, ceritakan tentang kondisi bunda saat ini," ujar Ajeng dengan penasaran.
"Ajeng, aku belum menyampaikan apapun pada bunda, karena kondisi bunda belum stabil, penyakit gula bunda kambuh dan masih terus dalam pantauan Dokter di Rumah Sakit, kita tunggu sampai kondisi bunda stabil yaa," ucapku, seketika meluncur dari mulutku.
"Bagiamana kondisi terakhir bunda sekarang ini mas?" Terpancar kecemasan dalam wajah Ajeng, ketika bertanya tentang perihal ibunda.
"Tadi pagi aku lihat di Rumah Sakit, kondisi bunda terlihat sudah agak membaik," jawabku untuk menenangkan hatinyaSyukurlah mas," jawab Ajeng dengan wajah terlihat agak lebih tenang.
Setelah kami selesai menceritakan perihal tentang bunda, aku beranjak pergi ke kebun sedangkan Ajeng merapikan dapur dan menaruh beberapa roti dan buah-buahan yang telah aku beli.
Aku selalu merapikan tanaman yang dulu ditanam Ajeng ketika kami, pertama kali menempati rumah mungil ini. Ajeng yang memilih beberapa bunga dan pohon-pohon yang harus dibeli.
Begitupun dengan penempatan atas pohon-pohon besar ataupun beberapa tanaman kecil yang kami taruh di dalam pot. Seperti bunga melati dan bunga sedap malam, ditanam persis dibawah jendela kamar kami.
Kami sangat menyukai keharumannya sehingga kami tidak memerlukan aromatic untuk kamar kami. Beberapa pohon besar yang ditanam, selalu aku potong daun-daunnya agar terlihat rapih dan tertata apik.
Setelah semua pekerjaan rumah bagian kebun selesai, aku mulai membersihkan kolam kecil yang waktu itu aku buat. Waktu itu aku berpikir, hanya untuk mempermanis kebun itu ditambah suara gemericik air yang aku aliri dikolam itu, membuat rumah mungil kami lebih nyaman untuk kami tinggali.
Dan saat ini aku sangat berbahagia, karena rumah mungil ini yang biasanya sepi ketika aku membersihkannya sekarang sudah tidak lagi kosong dan sunyi. Ada suara Ajeng yang menemani aku berbicara.
Setelah pekerjaan selesai, aku beranjak ke rumah. Dan mendapati Ajeng sedang mempersiapkan makan siang seadanya. Aku melihat dia memasak nasi goreng di tambah dengan telur dan sosis.
Dia melihat aku menghampirinya dan ia tersenyum manis, sambil memberikan isyarat kalau masakannya hampir selesai. Dengan mimik, ia memberitahu aku dengan jari tangannya agar aku bersabar dan tunggu.
Aku hanya tersenyum, dan menganggukkan kepala. Beberapa menit kemudian, Ajeng menyajikan makanan di meja makan. Diavpun menyiapkan teh manis. Lalu kami pun makan siang bersama. Sungguh kebersamaan yang indah dan tidak pernah aku impikan selama ini.
Sesaat selesai makan, aku membantu Ajeng untuk merapikan meja makan, setelah itu aku memutuskan untuk mandi. Karena sewaktu di Rumah Sakit tadi pagi, aku belum mandi.
Aku lihat, Ajeng mencuci beberapa piring yang tadi kami pakai untuk makan siang kami ketika aku berlalu dari dapur menuju menuju kamar mandi. Dan dengan sengaja aku tidak membawa handuk. Karena aku ingin, nanti Ajeng yang akan mengambilkan handuk untukku ke kamar mandi.
Dengan demikian aku akan bisa mengajaknya mandi bersama. pikiran nakalku, membawa aku ke kamar mandi dengan senyum dan hasrat yang akan aku habiskan bersama Ajeng.
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku. Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. “Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya. “Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur. “Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Hari ini aku ke Rumah Sakit bersama Dina, untuk mengambil hasil dari biopsi. Kami menunggu dengan cemas begitu pun dengan Dina. Ia sangat gelisah sekali atas hasil yang akan diterimanya. Sekitar setengah jam kemudian nama Dina di panggil oleh perawat. Aku menggandeng tangan Dina yang terasa Dingin. Aku mengusapnya agar ia merasa tenang. Sesampai di meja, Dokter membuka hasilnya lalu mengatakan pada kami, “Ibu Dina, hasil yang didapat dari hasil biopsi, “menyatakan kalau ibu positif kanker serviks.” Seketika aku melihat Dina yang lunglai seperti tak berdaya, langsung menangis dengan pilu, ia menutupi mulutnya untuk menahan ledakan tangisnya. Melihat hal itu, hatiku serasa hancur, dan tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku hanya memeluk bahunya. “Din, kita pasti bisa melalui ini, kita harus yakin, aku mohon kuatkan diri mu,” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku melihat Dokter memberikan waktu bagi Dina untuk meluapkan seg
*AJENG POV* Kami terbangun pada pukul sepuluh pagi, Aku melihat di sampingku, seorang suami yang penuh tanggung jawab. Bukan hanya tetapi bertanggung jawab pada kehidupanku saja, ia selalu berupaya untuk kebahagiaan ku dalam segala hal. Teguh tidak melihat sedikit pun celah cacat pada dirinya. Pendidikannya, bidang pekerjaannya, jiwa sosialnya, tutur, hubungan sosialnya, dan secara fisik Teguh adalah lelaki dengan postur tubuh yang tinggi, dengan bentuk dada yang, berkulit coklat muda, wajah yang manis, walaupun tidak setampan Bram, dan yang pasti memiliki keistimewaan pada alat vitalnya yang mampu membuat wanita mana p
*AJENG POV* Masa-masa bahagia yang dilalui oleh Aku dan Teguh, membuat kehidupan di lingkungan desa kami terasa lebih bahagia. Aku yang kini telah menjadi seorang istri dari seorang Teguh Pratama, sering ikut membantu suamiku dalam penyuluhan yang dilakukan di desa-desa. Aku juga sangat aktif di dalam pemberdayaan wanita di desa kami. Selain itu karena suamiku seorang ASN maka aku juga aktif dalam kegiatan Dharma wanita, yang biasanya kami lakukan setiap satu bulan sekali mewakili dari dinas pertanian tempat dari Teguh bekerja. Aku sungguh sangat beruntung bertemu dengan Teguh, banyak sekali pembelajaran yang aku dapatkan dari dirinya tentang hidup ini. “Sayang... lihat, aku bawakan bunga anggrek dari kota,” ucap Teguh yang telah dua hari mengikuti seminar kedinasan di kantor pusat. “Aah...cantiknya, tetapi aku kangen sama yang bawa anggreknya,” ucapku bahagia melihat dirinya sudah di rumah dengan memeluk erat tubuhnya. Melihat kerindu