Dari kejauhan, aku melihat Reta menutup rapat pintu rumah. Membuat api cemburu di hati kian menyala-nyala, ingin segera menghampiri juga memberi pelajaran kepada mereka berdua.
Dengan emosi sudah meluap-luap berjalan mengendap masuk. Reta memang selalu ceroboh. Tidak pernah mengunci pintu garasi. Memutar knop pintu, berjalan mengendap masuk mencari mereka berdua di kamar tamu. Kosong. Dengan dada bergemuruh hebat menaiki tangga menuju kamar utama, mencoba membuka pintu tetapi dikunci dari dalam. Aku tidak mau mengetuk atau memanggil. Ingin memergoki apa yang sedang mereka lakukan, supaya bisa mengambil tindakan tegas kepada keduanya. Dengan dibantu satpam komplek aku mendobrak pintu kamar utama. Aku sengaja meminta scurity untuk membantu, karena tenaga ini tidak terlalu kuat. Mataku seketika memanas. Terlebih lagi hati yang seperti sedang dicacah-cacah, melihat adegan menjijikkan yang sedang mereka lakukan di tempat peraduan kami. Aku tidak menyangka kalau ternyata Reta sudah berbagi raga dengan orang lain ketika aku sedang tidak ada di rumah. Buk! Dengan sekali tendangan pri itu terjungkal. Reta terkesiap dengan kelopak mata melebar sempurna. Wajah cantiknya terlihat pias. Tidak menyangka aku akan kembali dan memergoki dia sedang bermadu kasih dengan pria simpanannya itu. "Wanita ja*ang. Bisa-bisanya kamu membawa masuk laki-laki lain ke kamar kita!" hardikku seraya menunjuk wajah Reta yang sudah terlihat ketakutan. Sementara si pria. Dia terlihat sibuk memunguti pakaian hedak kabur dari rumah ini. Buk! Sekali lagi kuhadiahi pria itu bogem mentah. Kini sudut bibir laki-laki bre*gs-ek itu terlihat mengeluarkan darah. "Stop, Mas. Jangan pukuli dia terus. Harusnya kamu introspeksi diri. Kamu juga menjadikan aku yang kedua. Jadi, wajar kalau aku juga menjadikan kamu yang kedua. Impaskan?!" Reta memasang badan melindungi kekasih gelapnya. "Aku menjadikan kamu yang kedua karena kamu mau dan butuh uang dariku. Ternyata yang dikatakan Bunda selama ini benar. Kamu itu bukan wanita baik-baik. Kamu murahan. Rela mengobral tubuh semata-mata hanya demi uang!" sungutku meradang. Plak! Panas perih menjalar di pipi saat tangan mulus Reta mendarat. Wajahnya memerah padam dengan rahang mengeras dan gigi bergemeretak. "Kenapa harus marah? Kalau kamu bukan wanita murahan, kamu tidak akan mau digagahi oleh pria yang bukan suami kamu." Mengusap pipi yang terasa senut-senutan. "Sekarang aku baru sadar, ternyata wanita yang aku anggap berlian hanya sebongkah kaca yang aku pungut dari tong sampah. Menusuk. Meninggalkan luka yang begitu dalam walaupun tidak berdarah." Plak! Sekali lagi dia menampar wajahku. "Jaga ucapan kamu, Mas. Kamu juga bukan lelaki baik-baik. Kamu rela menduakan istri kamu hanya demi tubuhku ini. Kamu juga brengsek, Mas. Kita sama-sama bajingan. Murahan seperti yang kamu ucapkan barusan!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku. Meradang. Aku mengangkat satu ujung bibir. "Oke. Mulai hari ini aku akan pulang ke rumah orang tua aku, dan jangan pernah mengharapkan aku kembali!" ancamnya sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Aku tidak perduli. Sudah terlalu sakit melihat pengkhianatan yang dia lakukan. "Kenapa tidak mencegah, Mas. Kenapa kamu diam saja?" Dia menghentakkan kaki di lantai. "Silahkan saja kalau kamu mau pulang. Untuk apa aku mencegahnya!" Melenggang pergi meninggalkan dua insan menjijikkan itu di dalam kamar. "Segera kosongkan rumah ini. Jangan bawa barang apapun kecuali yang sedang kamu pakai. Ah, kenapa aku sampai lupa kalau kamu hanya menggunakan dalaman saja. Kamu boleh ambil baju-baju kamu untuk dibawa, karena aku tidak membutuhkan semua itu," ucapku lagi tanpa menoleh. Entah seperti apa reaksi reta saat ini. Aku tidak perduli. Hatiku sudah teramat sakit dengan pengkhianatan yang telah dia lakukan. Ternyata begini rasanya dikhianati. Sakit, perih, menusuk-nusuk ulu hati. Mungkinkah seperti ini yang Luna rasakan ketika tahu aku telah berkhianat. Dia pasti sedih sekaligus sakit saat mengetahui telah diduakan. Bahkan, harus menahan sakit ini sendiri hingga akhir hayatnya. Ternyata aku seorang laki-laki kejam juga bodoh. Bisa-bisanya menyia-nyiakan berlian hanya demi mempertahankan batu kali. Masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut lalu pergi meninggalkan komplek perumahan itu dengan luka menganga. Bayang-bayang Reta sedang bergumul dengan laki-laki itu kembali berkelebat di dalam benak. Membuat aku tidak konsentrasi mengemdi, bahkan hampir saja menabrak pengendara motor yang melintas, kalau saja tidak menginjak pedal rem dengan segera. Sakit sekali rasanya dikhianati. Bagai disayat sembilu kemudian disiram menggunakan air cuka. Apakah ini hukuman dari-Mu Tuhan? Karena telah menyia-nyiakan wanita shalihah hanya demi mempertahankan sampah. Ponsel dalam saku celana tiba-tiba berdering. Gegas mengambil benda pipih persegi itu dan lekas menggeser tombol hijau karena Bunda memanggil. "Kamu di mana, Fatur? Dari pagi Bunda nungguin kamu di rumah, tapi kamu nggak pulang-pulang?" tanya Bunda dari ujung sambungan telepon. "Aku sedang menenangkan diri, Bun. Biar tidak terus memikirkan Luna," jawabku berdusta. Aku yakin Bunda percaya. "Ya sudah. Sekarang kamu pulang. Ada mama sama papa mertua kamu juga di rumah," perintah Bunda dan segera aku turuti. Kembali melajukan mobil, pulang ke rumah karena keluarga sudah menunggu. Ingin mengistirahatkan hati juga, karena terus menerus memikirkan perselingkuhan yang Reta lakukan, juga bayangan saat Luna menitikkan air mata. Aku harus benar-benar konsentrasi menyetir, karena suasa hatiku saat ini sedang kalut. Setelah beberapa menit membelah kemacetan kota, mobil akhirnya aku tepikan di depan pintu pagar rumah, karena di garasi sudah ada mobil Papa terparkir di sana. Dengan langkah gontai berjalan masuk, menghampiri Bunda serta mertua yang sedang duduk bercengkrama di ruang tamu. Sepertinya ada hal penting yang ingin mereka sampaikan. Semoga saja tidak menyangkut masa lalu aku juga almarhumah Luna. "Sudah lama, Ma, Pa?" sapaku basa-basi, menyalami lalu mencium punggung tangan mereka dengan takzim. "Lumayan, Tur. Kamu dari mana saja?" sahut Papa sambil menatap menyelidik. "Da–dari..." Bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin mengatakan kalau semalam menginap di rumah istri muda. Bisa marah dan murka Papa juga Bunda. Apalagi kalau Bunda sampai tahu aku diam-diam menikahi Reta kekasihku, pasti dia sangat kecewa. "Kenapa wajah kamu pucat seperti itu, Fatur. Apa kamu sakit?" Mama menimpali. "Nggak, Ma. Aku cuma kurang istirahat saja." Mencoba mengulas senyum. "Sudah, jangan dipikirin terus. ikhlaskan Luna. Biar dia tenang di alam sana, Fatur. Mama tahu. Kamu pasti merasa sangat berduka atas kepergian istri kamu yang begitu mendadak. Mama juga merasakan hal yang sama seperti kamu." Mama mertua mengusap lembut bahu ini. Aku menunduk semakin dalam. Bayangan Luna sedang menangis memintaku untuk tidak pergi kembali berkelebat dalam bayang. Wajah kecewa yang selalu ia tampakkan ketika aku menolak menemani kembali menari-nari. Entah sampai kapan rasa bersalah ini akan menghantui. Apakah akan menghilang seiring berjalannya waktu, ataukah rasa ini akan terbawa sampai aku mati. Lagi, dua bulir air bening lolos begitu saja membanjiri pipi. "Mas, aku ini istri kamu. Aku juga butuh perhatian kamu. Aku sedang mengandung. Kalau kamu tidak mencintai aku, tolong kamu cintai anak ini." Luna memegang lenganku, namun segera aku singkirkan tangan itu dengan kasar. "Sampai matipun aku tidak akan menerima kehadiran kalian berdua. Sudah, nggak usah pake drama segala. Air mata kamu itu tidak akan mengubah pendirianku. Pokoknya, setelah anak ini lahir dan aku mendapat apa yang aku inginkan, aku akan segera mentalak kamu!" sungutku seraya beranjak pergi. "Mas!" Luna mengejar hingga sampai ke mobil. "Jangan ikuti aku terus. Muak liat kamu tahu nggak!" "Ya sudah, pulangkan saja aku ke rumah orang tua aku, Mas." "Kamu berani mengancam?" Mencengkram rahang wanita itu, menatap sepasang netranya yang sudah menganak sungai. Dasar cengeng. Cuma bisa nangis doang. "Mas, minum teh hangat dulu. Biar pikirannya sedikit tenang." Suara lembut seorang wanita membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap. Luna berdiri dengan wajah sendu sambil menatap ke arahku. "Luna." Memanggil namanya sambil berdiri. Ingin meraih tangannya tetapi dia beringsut menjauh. "Luna, Mas minta maaf. Mas minta maaf!" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. "Fatur. Astaghfirullah... Istighfar. Dia bukan Luna, tapi Lani. Kamu jangan begitu sayang." Bunda menghampiri, menangkup wajahku sambil menangis. Sekali lagi aku menatap wajah wanita itu. Mengerjap-ngerjap memfokuskan pandangan. Dan ternyata benar. Dia Lani. Bukan Luna. "Sabar, ya sayang." Bunda merengkuh tubuh ini sambil menangis. Aku bergeming. Bingung dengan diri sendiri, kenapa sulit sekali terkendali. Jangan sampai keluarga besar tahu apa yang sudah aku lakukan kepada Luna. Bisa kehilangan semua fasilitas yang dimiliki kalau tabir rahasia ini sampai terkuak. Bunda membibingku duduk. Mengangsurkan teh hangat yang Lani buatkan untukku, menyuruhku untuk meminum sedikit air beraroma melati itu. "Oh ya, Tur. Sebenarnya Papa datang ke rumah ini cuma mau membicarakan masalah barang-barang peninggalan Luna." Papa mulai menyampaikan maksud kedatangannya, membuat napasku sesak seketika. "Barang peninggalan Luna?" Mulutku mengaga. "Iya. Dulu kamu kan pernah ambil uang perusahaan dua ratus juta. Kamu bilang ke Papa kalau uang itu untuk membelikan kalung berlian sebagai hadiah kehamilan Luna. Maksud Papa, Papa mau menjual kalung itu dan uang hasil penjualannya ingin Papa sumbangkan ke anak yatim piatu." Deg! Kalung berlian? Jangankan berlian. Emas biasa yang harganya murah pun tidak pernah aku belikan, sebab uang yang aku minta ke Papa digunakan untuk menyenangkan hati Reta supaya dia tidak berpaling walaupun aku sudah menikah. Mengusap wajah kasar, bingung harus berkata apa. Kalau jujur sudah pasti Papa meradang dan Bunda bisa kena serangan jantung. Duh, bagaimana ini. Apa aku harus menjual mobil yang aku hadiahkan kepada Reta? Ya Tuhan. Kenapa Engkau mempersulit hidupku."Lepaskan saya, Pak. Jangan perlakukan saya seperti seorang penjahat!!" menepis tangan satpam yang memegangi dengan kasar."Kamu jangan pernah datang lagi ke sini, Fatur. Atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan putri kamu untuk selamanya!" tekan Papa. Mata elangnya tidak lepas dari wajahku, menatap bengis penuh dengan kebencian."Tapi Alessa anak saya, Pa. Saya yang lebih berhak mengasuh dia. Bukan Papa ataupun Mama!" Papa mengangkat satu ujung bibir. Tertawa renyah seolah ada yang lucu dengan perkataanku."Apa kamu bisa membayar biaya pengobatan Sekar, Fatur?" "Namanya Alessa, Pa. Luna yang memberi nama. Bukan Sekar!" protesku, tidak terima Papa memberi nama anakku tanpa persetujuan dariku.Lagi. Papa terkekeh. Dia menatap mencemooh ke arahku, seolah tidak percaya dengan semua yang terucap dari bibir ini."Kamu itu sudah setengah gila, Fatur. Jadi apapun yang keluar dari mulut kam
Aku hanya bisa menelan saliva yang terasa mengganjal di tenggorokan. Jika memang Papa menginginkan aku keluar dari rumah ini, aku akan segera melakukannya. Tidak mau melawan ataupun protes, sebab hunian yang sedang ditempati memang bukan milikku. Istana ini milik Luna, hadiah dari Papa ketika kami baru saja menikah. "Oh, ya, Fatur!" Papa menghentikan langkah. "Jangan lupa lupa kalung berlian serta barang-barang berharga milik Luna segera kamu serahkan ke Papa. Mau Papa jual dan Papa hibahkan ke orang-orang yang membutuhkan!" ujarnya lagi tanpa menoleh. "Iya, Pa." jawabku patuh. Aku terus saja berdiri memaku menatap punggung Papa hingga dia tidak terlihat lagi. Kenapa cobaan begitu bertubi-tubi menderaku? Dengan cara apa harus mendapatkan uang untuk membeli kalung berlian Luna yang memang tidak pernah ada. Menyesal kenapa dulu sering berbohong, mengambil sejumlah uang dari perusahaan h
Masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman dan segera menyalakan mesin kendaraan roda empatku. Bunda terlihat kurang yakin ketika perlahan mobil yang sedang aku kemudikan keluar meninggalkan parkiran pekuburan, merasa khawatir kalau anaknya tidak konsentrasi mengemudi dan menabrak kendaraan lainnya.Padahal, tidak mungkin aku akan menabrak. Sudah hapal cara nenyetir, sebab sejak sekolah menengah atas Ayah sudah mengajarkannya kepadaku.Dengan kecepatan sedang kulajukan mobil yang pernah kuhadiahkan kepada Reta ini. Jalanan begitu lengang karena belum ada aktivitas di kota. Hari masih terlalu gelap. Jarum pendek jam masih menunjuk ke angka setengah dua dini hari.Setelah sampai di rumah. Gegas diri ini masuk ke dalam kamar, merebahkan bobot tanpa menggati pakaian dan segera memejamkan mata menjemput lelap serta berharap bertemu istri di dalam mimpi.***Alarm di atas meja terus saja menjerit-jerit. Entah mengapa
Atmojo terkikik melihat respon Suci. "Saya tidak sebejat itu, Suci. Saya hanya bercanda. Saya tidak mungkin melecehkan kamu. Saya sudah tua dan juga memiliki seorang putri. Saya tidak mau kelakuan bejatku berimbas kepada Lani."Suasana berubah menjadi hening. Ekor mata Suci melirik Atmojo sekilas, merasa kesal karena sudah berhasil dikerjai.***#FaturBerjalan melewati dua satpam yang berjaga, ingin masuk ke ruang NICU tempat dimana putri kecilku sedang di rawat. Aku ingin melihatnya malam ini, sebagai penghapus rindu kepada mendiang Luna ibunya."Maaf, Pak. Jam besuk sudah habis. Lebih baik Bapak datang lagi saja besok jam delapan pagi." Cegat salah satu seorang securty, ketika aku hendak masuk ke dalam."Tapi saya mau lihat anak saya, Pak. Masa harus nunggu sampai besok!" protesku tidak terima."Saya hanya mengikuti perintah dan peraturan rumah sakit, Pak."Hmmm...Ya sudahlah. H
Fatur duduk di teras rumah menatap indahnya sinar bulan yang berpendar di langit. Cahaya yang temaram, membuat dia kian merindukan mendiang istrinya. Ah, andai saja dulu tidak disia-siakan. Jika saja dulu menjadi suami yang setia kepada satu wanita, mungkin perasaannya sekarang tidak akan seperti ini. Mencintai dikala dia sudah tidak ada itu lebih sakit dari pada merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan.Sebab, sebesar apapun rindu yang dia rasa, tidak akan mungkin bisa bersua.Pelan-pelan Fatur memejamkan mata, membayangkan jika rembulan itu adalah Luna dan teruntai turun menghampiri dia, menyentuh pipinya dan mengatakan cinta seperti biasanya ketika dia masih ada di dunia.Lelaki dengan garis wajah tegas itu menghela napas dalam-dalam, mencoba merasakan kehadiran sang istri, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Bahkan wangi vanilla yang biasa menguar di udara tidak lagi tertangkap di indera penciumannya.
Sementara Lani. Dia sudah mulai aktif kembali ke kampus. Berusaha tersenyum walaupun getir yang dia rasakan dalam hati, mencoba menutupi luka yang mengaga di dada. Mungkin jika luka hatinya seperti luka bekas sayatan pisau, darah segar akan terus mengalir deras karena luka itu teramat dalam. Terlebih lagi, dia harus menghadapi hari penuh dengan cibiran serta bisik-bisik sumbang dari tetangga dan teman-teman kuliahnya, juga harus sering bersitatap dengan Sultan di kampus tempat dia menimba ilmu. Rasanya sudah seperti kulit sedang disilet-silet lalu disiram menggunakan air garam. Perih, sakit tak terperi. "Lan," Sultan menghampiri ketika Lani sedang duduk sendiri di taman, menikmati novel karya Emak Ida Saidah di sebuah grup literasi. Sebab karya-karya dialah salah satu hiburan dikala hatinya sedang dilanda gelisah. Lani mendongak sekilas, melihat siapa yang datang menghampiri kemudian kembali fokus kelayar laptop.