Share

Ancaman Reta

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2024-05-24 08:00:56

"Fatur. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Papa lagi.

"I–iya, Pa. Nanti aku cari dulu ya. Soalnya, aku nggak tahu di mana Luna menyimpan kalungnya," jawabku gelagapan.

"Sudahlah, Pa. Kita ngurusin masalah begituannya nanti saja. Kita ini masih dalam keadaan berkabung," sambung Mama membuat diri ini sedikit bernapas lega.

"Betul juga, Mas Atmojo. Sementara kita fokus dulu sama kesehatan cucu kita." Bunda ikut menimpali.

"Betul juga apa yang kalian ucapkan. Kita urus masalah peninggalan Luna nanti setelah tujuh harian dia."

"Yasudah, sekarang kita ke rumah sakit dulu. Kasihan dedek bayi sendirian di sana." Mama dan Bunda berdiri, diikuti oleh Papa kemudian mereka segera pamit pulang.

"Mas, ini kunci rumahnya. Aku juga permisi pulang!" Lani menyodorkan kunci rumah dengan bandul bentuk hati, berukiran hurf L dan F.

Ah, Luna agak sedikit berlebihan. Gantungan kunci saja sampai dia ukir inisial nama kami.

Rumah terasa sunyi ketika semua anggota keluarga pergi membesuk putriku. Aku duduk sendiri di bibir ranjang, menatap ke luar jendela memandangi hamparan bunga yang tertata rapi di taman. Luna memang paling suka dengan segala jenis bunga, terutama mawar putih.

Dua buah amplop tergeletak di atas meja. Entah surat apa aku tidak tahu. Tapi sepertinya tagihan pembayaran listrik, sebab ada logo PLN di sampulnya. Mungkin itu tagihan yang belum sempat Luna bayar, sebab aku belum memberi dia uang jatah bulan ini.

Penasaran kubuka amplop tersebut. Dadaku terasa sesak melihat jumlah tagihan yang harus dibayar, karena jumlahnya hampir dua juta rupiah.

Di rumah kami memang ada tiga kamar dan semuanya difasilitasi dengan air conditioner. Pun dengan ruang tamu serta ruang keluarga. Jadi wajar jika tagihan listrik selalu membengkak. Tapi, kenapa Luna tidak pernah mengeluhkan hal ini?

Ah, mungkin setiap bulannya dia meminta sejumlah uang kepada Papa, untuk menutupi segala kebutuhan rumah tangga kami. Dia kan anak orang berada. Jadi, Papa tidak mungkin tidak memberi jika Luna meminta.

Hari kian beranjak siang. Perut ini juga terasa lapar karena sejak pagi belum terisi makanan sama sekali. Mungkin di dalam lemari es ada persediaan makanan. Luna kan hobi masak. Pasti dia punya banyak stok makanan di dalam kulkas.

Alisku bertaut dengan mimik terheran-heran melihat isi lemari pendingin. Kosong. Hanya ada dua butir telur.

Saat sedang mencari pisau untuk mengupas bawang, mataku menyipit melihat sebuah buku kecil tergeletak diantara tumpukan sendok. Mungkin itu buku resep, atau catatan belanja Luna selama ini.

Lagi, rasa penasaran mendorongku untuk membuka buku bersampul kuning tersebut, yang ternyata isinya catatan belanja yang membuat nyeri dada ini saat membaca satu demi satu barisan angka serta menu yang selalu dia hidangkan.

Mataku memanas. Dua bulir air bening mengalir begitu saja melewati pipi hingga menetes di dada.

Jadi, selama ini dia menghidangkan makanan enak hanya untukku. Sementara dia, hanya memakan santapan seadanya, seperti tahu atau tempe demi menekan pengeluaran karena nafkah yang aku beri hanya cukup untuk membayar tagihan listrik dan pembayaran lainnya.

Luna. Pulang sayang. Tolong kembali. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahan yang pernah aku perbuat.

Aku menangis tersedu sendiri di dapur. Rasa lapar menghilang seketika, saat mengingat wajah sendu Luna juga senyum yang terkembang saat nyawanya sudah tidak lagi dikandung badan.

Pantas saja dia terlihat bahagia ketika Tuhan telah memanggil. Pantas saja wajahnya berbinar ketika dia sudah tidak lagi bernyawa. Dia telah menang melawan kedzaliman. Dia sudah merdeka sebab bisa lepas dari cengkraman pria breng-sek seperti aku.

Beranjak dari kursi, kembali masuk ke dalam kamar mencari apa saja peninggalan Luna yang masih tersimpan. Kosong. Tidak ada apapun di dalam lemari maupun laci. Bahkan, perhiasan yang dulu Mama hadiahkan saat kami baru saja menikah sudah tidak ada.

Apa mungkin Luna menjual semua barang berharga miliknya, ataukah, ada yang mengambil?

Ah, sepertinya tidak. Siapa yang mau mengambil barang-barang di rumah ini. Di sini tidak ada orang lain selain keluarga. Lani pun tidak mungkin berani masuk ke dalam kamar.

Lagian, untuk apa dia mencuri. Bisnis online yang dia tekuni juga beromset puluhan juta setiap bulannya. Kalaupun tidak punya bisnis, dia bisa meminta apa saja kepada Papa.

Aku kembali membuka lemari pakaian Luna. Hatiku mencelos hingga ke dasar melihat hanya ada beberapa baju yang tergantung di dalam sana, dan itupun baju yang dia bawa ketika kami baru saja menempati rumah ini.

"Kamu nggak bosen pake baju itu-itu melulu, Lun. Lagi-lagi pake gamis, lagi-lagi pake kaos belel. Modis sedikit, kek. Pakai baju yang bagus, biar enak dipandang mata!" Sungutku saat pulang kerja dan melihat dia berpakaian kumal.

"Yang penting kan nyaman dipakainya, Mas. Kalau mau aku kelihatan modis ya beliin yang baru." Jawabnya seraya mengambil tas kerjaku kemudian membantuku melepas sepatu.

Aku memang selalu menyuruh dia membukan sepatu juga pakaian yang sedang aku kenakan, menyiapkan segala perlengkapan dengan sempurna. Tidak boleh ada sedikit pun kesalahan, atau tangan ini akan melayang dan mendarat di wajahnya.

Seperti saat ia sedang hamil muda. Dia begitu malas, pagi-pagi sudah berbaring di sofa dengan alasan lemas juga pusing. Dia lupa menyetrika kemeja kerjaku, padalah jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh pagi. Hingga akhirnya sebuah tinju mendarat di pipi kirinya dan meninggalkan luka lebam di sana.

Luna menangis tersedu di pojokkan kamar. Dia minta aku menceraikannya tetapi tidak kuhiraukan. Enak saja minta pisah. Siapa yang akan menjamin hidupku juga Reta jika kami sampai bercerai.

Apalagi, percetakan milik Ayah yang katanya akan diwariskan kepadaku masih atas nama Bunda. Dia belum memberiku Kepercayaan memegang usaha peninggalan keluarga, dan lebih mempercayai Diva adik perempuanku.

Aku kembali memilah satu persatu baju milik Luna yang berada di dalam lemari. Semuanya model lama. Tidak ada yang baru sama sekali, hanya ada satu potong baju yang aku belikan selama kami menikah, itu pun karena saat itu ada acara ulang tahun perusahaan, sehingga terpaksa merogoh kocek terlalu dalam untuk membelikan dia pakaian.

Memantas diri di depan cermin, memandangi wajah juga semua pakaian yang aku kenakan. Jam limited edition dengan harga sepuluh kali lipat dari uang nafkah yang aku berikan kepada Luna, baju-baju bermerek yang harganya lebih mahal dari tagihan listrik selama satu bulan. Sepatu serta sendal branded dengan harga fantastis, dan semuanya aku beli menggunakan uang yang seharusnya digunakan oleh Luna.

Betapa dzolimnya aku terhadap istriku selama ini, karena lebih mementingkan penampilanku sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan Luna.

Aroma wangi vanila tiba-tiba menguar memenuhi seluruh penjuru ruangan. Bau wangi Luna yang dulu selalu aku benci. Minyak wangi seharga tiga puluh ribu yang dia beli di toko parfum depan komplek, sebab aku tidak pernah membelikan dia minyak wangi mahal seperti yang selalu aku hadiahkan untuk Reta.

Tapi kenapa semua balasannya malah seperti ini. Reta berkhianat. Berbagi tubuh dengan laki-laki lain.

Oh, kenapa baru ingat sekarang.

Aku harus memastikan apakah Reta dan selingkuhannya benar-benar pergi ataukah masih tinggal di rumah pemberianku. Akan aku beri pelajaran dua insan tidak bermoral itu jika mereka masih tinggal bersama.

Api cemburu kembali menyala-nyala. Bayangan Reta sedang berlayar dalam samudera dosa kembali melintas dalam ingatan. Aku mencengkram kemudi dengan erat, merasakan sakit hati yang begitu dahsyat.

Mobil kembali aku tepikan di depan pintu pagar rumah berlantai dua, dengan pilar-pilar tinggi menjulang bergaya Eropa klasik. Rumah yang aku beli dari uang hasil mencatut di perusahaan. Semua itu aku lakukan demi pembuktian cintaku terhadap Reta. Supaya dia percaya kalau aku memang serius ingin menjadikan dia pendamping hidup, walaupun harus menjadi yang kedua.

Lagi, pintu garasi tidak dikunci. Pasti Reta masih ada di dalam. Aku harus segera menemuinya dan menyuruh dia untuk pergi dari rumah ini.

"Reta! Margareta! Di mana kamu?!" teriakku dari ambang pintu.

Hening. Tidak ada satu orang pun yang menjawab panggilanku.

Aku berjalan masuk, menaiki tangga menuju lantai atas, ingin melihat dia di kamar.

"Mas, kamu kembali?" Reta yang sedang berbaring santai di atas tempat tidur, langsung beranjak menghampiri ketika aku membuka pintu.

"Kenapa kamu masih berada di sini, hah?!" sentakku meradang.

"Mas. Tolong jangan marah-marah seperti itu sama aku. Aku minta maaf. Aku khilaf. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Tolong jangan usir aku dari rumah ini. Kalau kamu mengusirku dari tempat ini, aku akan tinggal di mana?" Dia terus saja memohon dengan wajah memelas.

Namun, bukannya kasihan. Emosiku malah kian meninggi dan sulit terkendali ketika melihat leher serta dada wanita itu penuh dengan tanda merah. Padahal ketika aku memergoki tidak ada ruam-ruam kecil di sana. Berarti mereka melanjutkan aksi mereka setelah aku pergi meninggalkan rumah ini.

Plak!

Kini rasa panas sekaligus perih menjalar di telapak tangan. Jejak tamparan tergambar jelas di pipi mulus istri keduaku. Perempuan yang selalu aku nomer satukan, yang terus saja aku manjakan hingga lalai dengan kewajiban sesungguhnya.

"Kenapa kamu menampar aku, Mas?" Reta mendorong kasar.

Dengan brutal ia menunggangi tubuhku, mencakar wajah hingga terasa perih karena dia memang selalu memanjangkan kuku.

"Kamu boleh mencaci. Tapi aku tidak terima kalau sampai kamu bermain kasar kepadaku!" teriaknya melengking.

Wajah putihnya berubah menjadi merah menyeramkan. Ditambah lagi rambutnya yang acak-acakan, menambah buruk tampak wajahnya saat ini.

"Berhenti, Margareta Zaskia. Atau kamu aku talak sekarang juga!" sengitku tidak mau kalah.

Tubuh Reta meluruh di lantai. Dia menangis tersedu membuat diri ini sedikit merasa tidak tega. Tapi aku yakin itu hanya air mata buaya. Dia itu jago akting. Aku saja sampai tertipu dengan sandiwara yang selalu dimainkan. Mulut wanita itu begitu manis dan sangat pandai bermain lidah.

"Mana kunci mobil dan BPKB?" tanyaku seraya menodongkan tangan.

"U–untuk apa, Mas?" Reta menatapaku dengan mimik heran.

"Mau aku jual. Papa nanyain kalung berlian Luna, karena saat membelikan mobil untuk kamu aku bilang sama Papa kalau uang itu aku belikan kalung untuk hadiah kahamilan Luna."

"Itu bukan urusan aku, Mas. Mobil itu punya aku. Kamu sudah memberikannya. Apa kamu nggak malu meminta kembali barang yang sudah kamu berikan kepada istri kamu?" Dia bangkit sambil melipat tangan di depan dada.

"Cepat berikan!!" Meninggikan nada bicara beberapa beberapa oktaf, tidak perduli dengan air mata yang kembali luruh.

"Kamu jangan macam-macam sama aku, Mas. Atau nanti aku akan membongkar rahasia tentang pernikahan kita kepada papa mertua kamu, dan juga perlakuan kamu selama ini kepada Luna!"

Sialan! Beraninya dia malah mengancamku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tth Im
tinggal jatuhin talak, gitu aja malah jadi ancaman. apalagi nikah siri gak ribet
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Isi hati Luna

    "Lepaskan saya, Pak. Jangan perlakukan saya seperti seorang penjahat!!" menepis tangan satpam yang memegangi dengan kasar."Kamu jangan pernah datang lagi ke sini, Fatur. Atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan putri kamu untuk selamanya!" tekan Papa. Mata elangnya tidak lepas dari wajahku, menatap bengis penuh dengan kebencian."Tapi Alessa anak saya, Pa. Saya yang lebih berhak mengasuh dia. Bukan Papa ataupun Mama!" Papa mengangkat satu ujung bibir. Tertawa renyah seolah ada yang lucu dengan perkataanku."Apa kamu bisa membayar biaya pengobatan Sekar, Fatur?" "Namanya Alessa, Pa. Luna yang memberi nama. Bukan Sekar!" protesku, tidak terima Papa memberi nama anakku tanpa persetujuan dariku.Lagi. Papa terkekeh. Dia menatap mencemooh ke arahku, seolah tidak percaya dengan semua yang terucap dari bibir ini."Kamu itu sudah setengah gila, Fatur. Jadi apapun yang keluar dari mulut kam

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Part 31

    Aku hanya bisa menelan saliva yang terasa mengganjal di tenggorokan. Jika memang Papa menginginkan aku keluar dari rumah ini, aku akan segera melakukannya. Tidak mau melawan ataupun protes, sebab hunian yang sedang ditempati memang bukan milikku. Istana ini milik Luna, hadiah dari Papa ketika kami baru saja menikah. "Oh, ya, Fatur!" Papa menghentikan langkah. "Jangan lupa lupa kalung berlian serta barang-barang berharga milik Luna segera kamu serahkan ke Papa. Mau Papa jual dan Papa hibahkan ke orang-orang yang membutuhkan!" ujarnya lagi tanpa menoleh. "Iya, Pa." jawabku patuh. Aku terus saja berdiri memaku menatap punggung Papa hingga dia tidak terlihat lagi. Kenapa cobaan begitu bertubi-tubi menderaku? Dengan cara apa harus mendapatkan uang untuk membeli kalung berlian Luna yang memang tidak pernah ada. Menyesal kenapa dulu sering berbohong, mengambil sejumlah uang dari perusahaan h

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Alessa?

    Masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman dan segera menyalakan mesin kendaraan roda empatku. Bunda terlihat kurang yakin ketika perlahan mobil yang sedang aku kemudikan keluar meninggalkan parkiran pekuburan, merasa khawatir kalau anaknya tidak konsentrasi mengemudi dan menabrak kendaraan lainnya.Padahal, tidak mungkin aku akan menabrak. Sudah hapal cara nenyetir, sebab sejak sekolah menengah atas Ayah sudah mengajarkannya kepadaku.Dengan kecepatan sedang kulajukan mobil yang pernah kuhadiahkan kepada Reta ini. Jalanan begitu lengang karena belum ada aktivitas di kota. Hari masih terlalu gelap. Jarum pendek jam masih menunjuk ke angka setengah dua dini hari.Setelah sampai di rumah. Gegas diri ini masuk ke dalam kamar, merebahkan bobot tanpa menggati pakaian dan segera memejamkan mata menjemput lelap serta berharap bertemu istri di dalam mimpi.***Alarm di atas meja terus saja menjerit-jerit. Entah mengapa

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Sebuah Penyesalan

    Atmojo terkikik melihat respon Suci. "Saya tidak sebejat itu, Suci. Saya hanya bercanda. Saya tidak mungkin melecehkan kamu. Saya sudah tua dan juga memiliki seorang putri. Saya tidak mau  kelakuan bejatku berimbas kepada Lani."Suasana berubah menjadi hening. Ekor mata Suci melirik Atmojo sekilas, merasa kesal karena sudah berhasil dikerjai.***#FaturBerjalan melewati dua satpam yang berjaga, ingin masuk ke ruang NICU tempat dimana putri kecilku sedang di rawat. Aku ingin melihatnya malam ini, sebagai penghapus rindu kepada mendiang Luna ibunya."Maaf, Pak. Jam besuk sudah habis. Lebih baik Bapak datang lagi saja besok jam delapan pagi." Cegat salah satu seorang securty, ketika aku hendak masuk ke dalam."Tapi saya mau lihat anak saya, Pak. Masa harus nunggu sampai besok!" protesku tidak terima."Saya hanya mengikuti perintah dan peraturan rumah sakit, Pak."Hmmm...Ya sudahlah. H

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Kekhawatiran Seorang Ibu

    Fatur duduk di teras rumah menatap indahnya sinar bulan yang berpendar di langit. Cahaya yang temaram, membuat dia kian merindukan mendiang istrinya. Ah, andai saja dulu tidak disia-siakan. Jika saja dulu menjadi suami yang setia kepada satu wanita, mungkin perasaannya sekarang tidak akan seperti ini. Mencintai dikala dia sudah tidak ada itu lebih sakit dari pada merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan.Sebab, sebesar apapun rindu yang dia rasa, tidak akan mungkin bisa bersua.Pelan-pelan Fatur memejamkan mata, membayangkan jika rembulan itu adalah Luna dan teruntai turun menghampiri dia, menyentuh pipinya dan mengatakan cinta seperti biasanya ketika dia masih ada di dunia.Lelaki dengan garis wajah tegas itu menghela napas dalam-dalam, mencoba merasakan kehadiran sang istri, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Bahkan wangi vanilla yang biasa menguar di udara tidak lagi tertangkap di indera penciumannya.

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Menangislah

    Sementara Lani. Dia sudah mulai aktif kembali ke kampus. Berusaha tersenyum walaupun getir yang dia rasakan dalam hati, mencoba menutupi luka yang mengaga di dada. Mungkin jika luka hatinya seperti luka bekas sayatan pisau, darah segar akan terus mengalir deras karena luka itu teramat dalam. Terlebih lagi, dia harus menghadapi hari penuh dengan cibiran serta bisik-bisik sumbang dari tetangga dan teman-teman kuliahnya, juga harus sering bersitatap dengan Sultan di kampus tempat dia menimba ilmu. Rasanya sudah seperti kulit sedang disilet-silet lalu disiram menggunakan air garam. Perih, sakit tak terperi. "Lan," Sultan menghampiri ketika Lani sedang duduk sendiri di taman, menikmati novel karya Emak Ida Saidah di sebuah grup literasi. Sebab karya-karya dialah salah satu hiburan dikala hatinya sedang dilanda gelisah. Lani mendongak sekilas, melihat siapa yang datang menghampiri kemudian kembali fokus kelayar laptop.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status